Munggah

Ilustrasi: @alanwari


“Berapa harga tiket masuk ke bulan Ramadan?”

Seorang Nenek renta bertanya pada gambar di kaleng Khong Guan lama yang diisi rindu,

pemberian anaknya yang tak datang sejak sepuluh tahun lalu.

Sementara yang menjawabnya adalah televisi jadul yang sudah bisa menayangkan gambar setelah diberi Set Top Box yang sempat dibagikan ke warga oleh calon kepala desa waktu itu.

Dengan mulut basah, televisi berkoar soal harga beras dan cabai yang melonjak. Juga daging, juga tempe, juga minyak, juga niat hati anaknya buat mengunjunginya.

Nenek menggelengkan kepala hingga lepas dari lehernya. Kemudian menggelinding ke bawah tempat tidur tua. Bersembunyi dan mungkin akan coba disambungkan dengan badannya yang beku setelah lebaran berlalu.

***

“Bolehkah sahur pertama tidak dengan daging empal, semur, atau rendang. Atau ayam bakakak, opor, goreng, maupun D’besto?”

Dia kembali bertanya kepada tentara Inggris di kaleng Monde berkarat berisi tabungan haji yang terus diambilinya setiap hari karena kebutuhan hidup

dan karena pesimis sebab biaya haji terus meningkat. Lagi-lagi televisi menjawabnya dengan sidang isbat

dan perbedaan awal Ramadan yang membingungkan tentara Inggris — yang mungkin bukan seorang muslim.

“Nek, kenapa berbeda?”, tanya sang tentara Inggris.

“Kau tak paham bhineka tunggal ika! Ini Indonesia. Tapi aku pun tak pasti!”

“Nenek pilih mana?”

“Aku pilih tak sahur!”, jawab tegas sang Nenek sambil memakan bantal dan guling berisi mimpi dirinya berkumpul dengan anak dan cucunya ketika Ramadan tiba.

***

“Apakah munggahan tidak boleh dilakukan oleh orang sebatang kara?”

Dirinya mulai bertanya pada bayangan sendiri di sebuah cermin retak yang tertempel di sebuah lemari peninggalan mendiang suaminya. Dia membuka lemari itu dan memilih-milih mukena putih-polos yang cuma satu-satunya.

Kemudian berusaha memilih baju kebaya dan gamis yang akan dia kenakan ketika lebaran tiba.

Botol Marjan bercerita. Juga botol sirup ABC, Cap Bango, Freiss Squash, Tjampolay, Kurnia, Monin, Kartika, sampai Tropicana ikut mengisahkan nostalgia kosong. Sebab diri mereka telah habis oleh waktu mereka sendiri, juga oleh debu dan sarang laba-laba, juga kalajengking dan cacing. Sama seperti si Nenek yang tak lagi memiliki waktu yang telah dia belikan baju baru dan digunakan ongkos untuk mencari anaknya.

Masa lalu adalah tetangga yang tak pernah menjenguk, dan kenangan adalah kerabat yang sudah melupakan, katanya dalam hati yang tak ada.

***

Si Nenek membuka jendela. Tak ada cahaya apa lagi udara. Hanya tanah.

Tak ada JNE atau Anteraja atau J&T. Tak ada kiriman paket reguler maupun ekspres tahun ini. Seperti tahun-tahun lalu. Seperti munggah Ramadan sebelumnya.

Dengan kain kafannya, dia mencoba menyelimuti dirinya, berbaring kembali menghadap gelap. Dengan giginya, dia berbisik pada suami yang tak pernah lagi bertegur sapa padahal ada di sebelahnya.

“Selamat munggah bersama tanah, sayangku. Anak dan cucu kita menunggu kita pulang.”

Bogor, 1 Ramadan 1445 H.