Dewi Sri: Mitologi vs Metodologi

dok. halimunsalaka


Sejak dahulu, hubungan antara alam, tradisi, dan petani sangatlah unik bahkan pada tatanan masyarakat dunia. Di berbagai negara, dalam peradaban bangsa-bangsanya, terdapat manifestasi keunikan hubungan itu dalam berbagai bentuk dan rupa. Dengan masing-masing tradisi turun temurun yang muncul dari mitologi, berbagai tata cara perlakuan, dan tumbuhnya kepercayaan-kepercayaan, membuat hubungan itu menjadi kaya akan khazanah produk kebudayaan. Citra tersebut menunjukan upaya-upaya mencapai tujuan dari hubungan yang harus dijaga di antara alam, melalui mitologi, dan oleh keyakinan petani itu sendiri. Pola pikir dasarnya cukup sederhana: petani menghormati dan menghargai alam dalam bentuk tradisi kepercayaan dan kebiasaan perlakuan, dengan begitu alam akan memberikan respons positif dengan hasil pertanian yang maksimal dan berlimpah.

Seiring berjalannya waktu, pola pikir manusia pasti terus mengalami perubahan, contohnya tentang bagaimana munculnya sistem revolusi hijau dalam pertanian beberapa dekade lalu. Awalnya, kemunculan revolusi hijau dari tangan Norman Ernest Borlaug dianggap menjadi angin segar untuk meningkatkan produksi pertanian. Namun, menurut Putu Fajar Arcana dalam esainya yang berjudul Revolusi Sri Pohaci, datangnya revolusi hijau menjadi permulaan munculnya anggapan mitologi hanya menimbulkan “kesengsaraan”. Mitologi hanya akan menjerumuskan petani dan masyarakat ke jurang kemiskinan dan kelaparan. Dari polemik itu, kita bisa melihat pemaksaan pergeseran pola pikir yang berdasar pada keyakinan ke arah yang berlainan termasuk yang terjadi di Indonesia.

Seperti yang telah kita tahu bahwa di Indonesia, revolusi hijau hadir di masa pemerintahan Orde Baru. Alhasil, sistem pertanian yang mengedepankan sisi produksi ini lambat laun mengikir ritus-ritus penghormatan Dewi Sri. Masyarakat petani lebih percaya pada kerja pertanian yang berdasar pada penggunaan bibit unggul (baca: impor), menggunakan pupuk kimia, pestisida pengusir hama, dan penyediaan sistem irigasi sawah secara paksa untuk memperbaiki hasil pertanian mereka. Memang betul, selama kurun waktu lima tahun yaitu dari 1984-1989, swasembada pangan terjadi dan sangat membanggakan. Namun, setelah itu, ternyata terjadi kehancuran pada hidup petani yang akhirnya memiliki hutang banyak karena harus ketergantungan pada bibit impor, pupuk kimia dan pestisida yang harus dibeli. Selain itu, tanah mengalami pengurangan kesuburan karena penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan “pemaksaan” agar tanah memproduksi padi tiga kali dalam setahun. Belum lagi, bibit-bibit impor ternyata telah memusnahkan ratusan bibit lokal yang dari dulu dipertahankan dalam khazanah pertanian Indonesia. 

Kenyataan pahit lainnya, masyarakat juga akhirnya kehilangan keyakinan terhadap Dewi Sri yang sebelumnya pernah menjadi ujung pengharapan mereka, tergantikan oleh mekanisme “kotor” bernama revolusi hijau. Maka tak ayal, Putu Fajar Arcana pun mempertanyakan di mana posisi Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang lemah-lembut dan cantik jelita pasca-revolusi hijau di Indonesia?

Mitologi vs Metodologi

Dalam kepercayaan masyarakat Sunda, Nyi Pohaci Sanghyang Sri (Dewi Sri) muncul dari cerita Wawacan Sulanjana. Beliau digambarkan seorang dewi cantik jelita yang dipercaya dari mayatnya tumbuh tumbuh-tumbuhan seperti kelapa, rempah-rempah, sayuran, aren, bambu, rerumputan, pohon-pohon kayu, umbi-umbian dan padi. Dari kepercayaan itu masyarakat petani di zaman dahulu berupaya untuk memuliakan tanaman-tanaman pangan itu dengan melakukan ritual-ritual penghormatan kepada Dewi Sri. Artinya, Dewi Sri bukan hanya dianggap tokoh fiksi belaka. Lebih dari itu, Dewi Sri adalah entitas gaib atau makhluk mistis yang dipercaya berpengaruh pada kehidupan pertanian.

Dari kepercayaan terhadap Dewi Sri itu muncul berbagai ritus-ritus penghormatan yang jika diperhatikan bisa merupakan sebuah metodologi dalam bentuk unik. Sama halnya dengan revolusi hijau yang merupakan metode produksi dengan penggunaan bibit unggul, pupuk dan pestisida, ritus-ritus yang muncul dalam kepercayaan masyarakat kepada Dewi Sri pun mengarah pada hal yang sama. Pertama, persoalan bibit. Karena kepercayaannya terhadap Dewi Sri, masyarakat memiliki metodologi pemilihan bibit yang unik yaitu Nyalin. Pada prosesi ritual tersebut, masyarakat akan berdoa kepada yang kuasa dan berupaya “menghadirkan” Dewi Sri dalam kegiatan Ngala Indung Pare atau mengambil indukan padi. Biasanya kegiatan ini dilaksanakan pasca-panen. Padi-padi terpilih akan disimpan dalam leuit utama untuk masa tanam berikutnya. Dengan begini, masyarakat tidak akan kehilangan varietas padi lokal terbaiknya yang terus dijaga keberlangsungannya.

Kedua, persoalan pembasmian hama. Dalam tradisi penghormatan Dewi Sri, masyarakat melakukan ritual Nyawen yang bertujuan untuk menolak bala dan mengusir hama dengan menggunakan benda-benda tertentu seperti tangkal pacing, bawang putih, cabe merah, jawerkotok, honje, dan lain-lain. Dalam cerita Dewi Sri, hama-hama adalah perwujudan dari Kala Gumarang yang sebelumnya telah menjadi wujud babi dan terus mengejar-ngejar Dewi Sri yang memikatnya. Hingga akhirnya Dewa Wisnu yang terus memburu Kala Gumarang dapat membunuhnya dan mayatnya berubah menjadi hama-hama pertanian. Dari kepercayaan ini, Nyawen hadir untuk menolak gangguan entitas gaib seperti Kala Gumarang yang terus mengejar sang Dewi Padi, yang secara ril Kala Gumarang seperti hama-hama pengganggu tanaman padi.

Ketiga, persoalan kesuburan tanah. Dewi Sri merupakan sumber kehidupan pertanian. Dari tangannya-lah muncul kesuburan dan kemakmuran. Setidaknya, itu yang dipercaya masyarakat pertanian zaman dahulu, baik di wilayah Sunda secara khusus, umumnya di Indonesia secara luas. Doa-doa yang dipanjatkan kepada yang Maha Kuasa dan penghormatan bagi Dewi Sri menjadi “pupuk” spiritual bagi tanaman-tanaman padi. Oleh sebab itu, dari berbagai ritual seperti Nyalin, Mapag Sri, Nyawen, Seren Taun dan lain-lain, selain masyarakat menunjukan aksi nyata dan sosial, mereka melakukan ritual doa-doa. Hal tersebut bukan lain karena percaya bahwa kesuburan dan kemakmuran berasal dari “pemberian” berkah dari yang kuasa. Selain itu, sistem tani yang setahun sekali, tidak akan pernah “mencekik” mikro-organisme tanah pertanian yang dipaksa membantu padi-padi untuk terus berproduksi. Nah, mari kita olah-maknai bersama ketiga poin di atas. Apakah persoalan itu bukan bagian dari metodologi, sebagaimana ilmu Barat? Atau kita akan terus menganggap itu sebuah mitologi belaka yang kental dengan kegaiban duniawi?

Jika dilihat dari perbandingan tersebut, maka sangat beralasan jika hadirnya revolusi hijau kala itu, benar-benar dan telah menggeser tradisi-tradisi di atas. Padahal kepatuhan kepada yang Maha Kuasa dan penghormatan bagi leluhur dalam tradisi mitologi—yang pada kenyataannya merupakan metodologi itu sendiri—telah menghantarkan petani lebih menghargai alam, sebab percaya bahwa alam adalah manifestasi keberadaan yang Maha Kuasa dan juga warisan leluhur yang harus dijaga. Namun itu semua dipaksa tergantikan oleh pola pikir petani sendiri yang mulai berpikir dengan istilah “modern” dan lebih percaya pada produk pabrikan ketimbang sekadar keyakinan. Walaupun pada kenyataannya akan kompleks, jika pada akhirnya peran pemerintah memainkan nilai dagang produk-produk pertanian yang memaksakan petani melilit leher dirinya sendiri.

Syahdan! Ketika selesai membaca uraian di atas, pembaca pasti akan mengatakan: anda pembual cocokologi! Memang betul! Uraian di atas hanya keisengan kerangka berpikir dan pendalaman perasaan. Namun, istilah Sri sebagai metodologi modern sesungguhnya pun telah hadir secara nyata dan ril, bukan lagi mitos. Sri yang dimaksud adalah System of Rice Intensification (SRI), yaitu sistem pembudidayaan padi yang ramah lingkungan dan mengintegrasikan antara tanah, air, pupuk, dan tanaman, serta lingkungan yang intensif dan organik. Nah, apakah itu bukan reaksi-refleksi dari Dewi Sri itu sendiri?

Berdasarkan penerapan System of Rice Intensification (SRI), seperti di India, telah menunjukan berbagai keuntungan, misalnya mengurangi penggunaan air irigasi dan kimia sintetis. Selain itu, produksi hasil padi meningkat lebih dari 68% (Johan Iskandar, dkk; 2023). Hal tersebut dapat sangat memungkinkan karena sistem pengairan intermiten (macak-macak) pada SRI dapat mengontrol efektivitas dan efisiensi penggunaan air. Dalam sistem ini, petani juga sangat mungkin untuk memaksimalkan potensi mikro-organisme lokal dari hasil pengolahan jerami sekaligus meninggalkan pupuk anorganik yang berbahaya dan juga semakin mahal. Belum lagi, tanaman padi yang digunakan adalah tanaman padi yang berumur di bawah 12-13 hari dengan mekanisme tunggal dan diberi jarak yang renggang. Tujuannya yaitu untuk mengupayakan hasil anakan dan malai yang lebih banyak. Kaitannya dengan penerapan di Indonesia, sistem ini sudah diterapkan, kok!

Beberapa penelitian di Indonesia pun menunjukan hasil yang memuaskan dengan penerapan SRI dalam pertanian. Penelitian Yanto R. Tampubolon dkk. yang dilaporkan di Jurnal Logista Vol. 4/No.2 tahun 2020 menunjukan bahwa penerapan SRI di wilayah Deli Serdang mengurangi penggunaan bibit sebesar 75%, biaya pengolahan tanah dan penggunaan pupuk UREA berkurang 50% dan yang mencengangkan dapat meningkatkan hasil produksi sebesar 62% dari proses konvensional biasa. Sungguh kabar yang membawa angin segar. Belum lagi, penggunaan jerami pada proses itu sebagai pupuk organik membuat tanah menjadi lebih sehat.

Jauh sebelum itu, pada tahun 2014, Pratiwi dkk. melakukan riset penerapan SRI di Singkawang, Kalimantan Barat. Seperti yang dilaporkan pada lama pertanian.go.id yang memuat hasil risetnya, penerapan SRI menunjukan adanya peningkatan pada jumlah malai dan berat gabah dari biasanya. Dari hasil perubahan tersebut maka terbukti bahwa SRI dapat meningkatkan produksi pertanian yang awalnya 4,5 ton/ha menjadi 6,4 ton/ha. Menurut Marwanti, yaitu seorang PMHP Ahli Muda dari Ditjen Tanaman Pangan di laman pertanian.go.id, atensi pemerintah menurun terhadap penerapan SRI sejak pertama dikembangkan dan digalakan di Indonesia. Padahal menurutnya, dengan penerapan SRI, pemerintah bisa menekan angka subsidi pupuk yang sudah mencapai 25 Triliyun Rupiah! Barangkali, sebagian dana itu bisa mulai digunakan untuk kembali menggalakan SRI bagi petani-petani Indonesia. Misal saja, katanya, pemerintah mengadakan semacam kompetisi sampai tingkat desa. Dengan begitu penerapan SRI bisa lebih simultan dan diseminasi sistem SRI akan masif dan mandiri sampai ke pelosok negeri. Patut dicoba!

Sekarang, mari kita tanya ulang pertanyaan Putu Fajar Arcana di awal, di mana sebenarnya Nyi Pohaci (Dewi Sri) kini bersemayam? Saya rasa, Ia tengah bersemayam di dalam kerangka metodologi pertanian itu sendiri, lewat transformasi mitologi Nyi Pohaci karya nenek moyang kita sendiri, dan kita enggan melihat itu semua sebagai ilmu pengetahuan di alam pikiran modern kita ini.***