Gambar: dok.galeribumiparawira
Saat kamu hendak masuk/keluar dari Kota Bogor lewat jalur Tol Jagorawi, kamu akan disuguhkan pemandangan ciamik dari Digitron besar yang menampilkan tayangan tentang Bogor. Seorang dalang yang memainkan Wayang, penari Jaipong, para pengrajinan kerajinan khas Bogor, kuliner juga wisata Bogor yang memanjakan penglihatan sekaligus membikin rasa ingin menikmati Bogor tanpa ada usainya. Secuil bayangan itulah yang akan kamu jumpai bila Bogor memiliki Wali Kota yang asyik dan dipenuhi ide-ide kreatif. Seperti saya mungkin? Ehem. Ehuk. Tidak, tidak.
Tak hanya sebatas Digitron yang berfungsi sebagai pengenalan Kota, lokasi-lokasi sibuk yang biasa dihiasi oleh kemacetan pun akan diisi oleh pertunjukan dari para seniman-seniman lokal guna menghibur sekaligus pengingat akan budaya. Pertunjukan ini digelar rutin di setiap waktu sibuk. Terutama akhir pekan. Jadi yang biasanya kamu selalu merongos tiap menghadapi kemacetan, kali ini sepertinya kamu akan dibuat betah dan menganggap bahwa kemacetan adalah anugerah terindah yang diciptakan oleh suatu Kota.
Ah, sepertinya paragraf pembuka saya ini terkesan bercanda dan main-main. Tidak tahu juntrungannya ke mana. Maaf. Sebagai anak muda visioner memang sudah seharusnya tidak perlu serius-serius amat. Sebagaimana Jargon yang akan saya kumandangkan bila saya menjadi Wali Kota Bogor nanti yakni “Bogor Menyender”.
Saya percaya bahwa kegiatan menyender adalah suatu bentuk perenungan. Kepasrahan manusia terhadap sang pencipta. Lewat menyender, banyak membuahkan pikiran-pikiran positif dan mengisi enerji untuk mampu menciptakan hal-hal yang luar biasa. Ya, dibanding banyak gerak gak karuan, yang ada jago banget berlari; lari dari pelbagai masalah contohnya.
Bogor Dan Cerita Masyarakatnya
Saya sering bertanya kepada pelbagai lapisan masyarakat terkait apa yang mereka ketahui tentang keidentikan kota Bogor? Sebagian besar pasti menyebut Bogor sebagai kota hujan. Julukan ini kian lengket di kepala masyarakat. Namun bagi saya, membanggakan ciri khas suatu kota dari takdir geografis sangatlah dangkal. Ada beberapa tokoh masyarakat yang punya pendapat menarik tentang Bogor. Ada yang menyebut Bogor sebagai kota istirahat, kota pengarsipan, kota pendidikan, dan kota dengan sejarah peradaban tertua. Ini bukan sesumbar. Walau hari ini kita kesulitan mencari arsip-arsip penting yang membahas perihal itu, tapi saya sendiri percaya dengan ingatan kolektif dari masyarakat.
Banyak tokoh-tokoh yang datang dan bermukim di kota Bogor. Seperti yang saya ketahui mulai dari Raden Saleh, presiden Soekarno, dan tokoh-tokoh lainnya memilih Bogor sebagai tempat peristirahatan di usia senja. Lalu bukan hanya itu saja, pergerakan kaum Teosofi dan Freemansonry tertua di Hindia Belanda pun bergeliat membentuk Loji di kota Bogor. Salah satu buktinya adalah seorang penggerak Teosofi bernama Baron van Tengnagel yang diketahui wafat di kota Bogor. Lantas karena alasan apa mereka singgah di kota yang cukup mungil itu? Sekadar menikmati keindahan alam yang sudah ditakdirkan untuk Bogor? Mungkin, bisa jadi. Tapi usil saya, ada hal lain yang membikin Bogor menjadi sorotan para tokoh untuk disinggahi. Alasan itu sudah pasti terangkum pada arsip-arsip sejarah. Tapi sayangnya, sekali lagi, kita terlalu teledor akan arsip sejarah.
Dari beberapa uraian masalah di atas, seharusnya kita sadar akan takdir kota Bogor sebagai kota peristirahatan dan sejarah. Namun kenapa dari masa ke masa, kita selalu tidak mengindahkan hal itu? Wali Kota sebagai sosok penggerak pun sibuk mengurus program-program kekinian yang entah untuk siapa – atau hanya ingin memanjakan dan mengenyangkan perut para investor dan pelaku bisnis besar yang memiliki saham di kota Bogor? Entahlah. Malah beberapa tempo ke belakang banyak cagar budaya yang telah diruntuhkan demi keuntungan sepihak.
Bila ditinjau dari aspek perputaran ekonomi, sepertinya tidak perlu berharap kepada investor dan pembangunan besar-besaran. Bergerak lewat ekonomi kreatif dalam pakem peristirahatan dan pendidikan pun sudah lebih dari cukup. Tapi, mungkin program ini sudah masuk ke dalam agenda-agenda pemerintahan, ya? Namun sepertinya hanya ada rasa gugup saja saat hendak dieksekusi. Mengingat apa yang sudah dibuat hanya fokus pada sarana-sarana nya saja. padahal pra sarananya pun lebih penting. Ini sama saja ibarat membikin rumah makan nasi timbel tutug oncom di dalam hutan belantara. Atau membikin pom bensin bayar seikhlasnya di pinggir jurang.
Komunitas, Seni, dan Budaya yang Terlantar
Siapa yang pernah mendengar jika ada komunitas kreatif yang bergerak di ranah seni dan budaya bisa hidup di kota Bogor? Mungkin ada. Mungkin hanya segelintir saja yang beruntung sebab memiliki akses langsung dari “orang dalem”. Ah. Basi. Belum lagi komunitas-komunitas kecil yang kadang mendadak diikut-sertakan tidak lain hanya untuk sebatas pelengkap atau korban dari panitia-panitia acara pemerintahan yang konon bayarannya kecil. Eh, iya gak sih? Nggak ya? Maaf, maaf. Punggung saya mulai pegal. Saya izin menyender dulu deh sebentar.
Banyak pelaku Seni dan Budaya hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Setelah itu ya mereka harus bisa survive sendiri. ceileh, bahasa saya survive. Padahal ada banyak komunitas-komunitas kreatif di Kota Bogor yang perlu diperhatikan dengan baik. Dukung mereka berkembang dan bisa hidup di kotanya sendiri. Selama ini, sebetulnya banyak tokoh Seni dan Budaya asal Bogor yang memiliki ide-ide dan karya-karya yang sangat mantap. Tapi karena tidak ada ruang untuk menyalurkan dan minim apresiasai, maka dari itu banyak pula yang hijrah ke kota lain atau ide-ide tersebut terpaksa malah harus direlakan untuk ditiru oleh kota lain.
Sebagai kota peristirahatan dan pendidikan, sudah tentu pergerakan Seni dan Budaya mesti gencar. Ini miliki fungsi sebagai hiburan saat beristirahat sekaligus bahan-bahan pembelajaran. Sektor usaha kreatif di bidang kuliner atau kerajinan pun turut digalakkan. Sebab sebagai kota peristirahatan dan pendidikan sudah pasti banyak wisatawan yang berkunjung ke kota Bogor. Sebagai garis besarnya, Bogor akan menjadi destinasi wisata untuk bersantai ria namun juga kaya akan nilai-nilai pengetahuan. Ini tanpa bersifat mengobjekan apalagi mengeksploitasi Seni, Budaya, dan Alam. Semua berjalan sesuai dengan semestinya dan sewajarnya.
Merubah atau Meneruskan?
Dari masa ke masa, setiap pergantian wali-kota tak sebatas hanya meninggalkan cerita dari tokoh yang telah menjabat. Namun juga meninggalkan jejak-jejak pembangunan; baik proyek fasilitas yang mangkrak maupun proyek fasilitas yang entah seberapa penting fungsinya untuk masyarakat. Itu semua menjadi hal wajar. Apalagi untuk warga Bogor yang terbilang santai dan cuek saja. Yang terpenting sudut-sudut kota menjadi cantik. Bisa foto-foto. Tamasya murah-meriah. Perihal besaran anggaran masuk diakal atau nggak, ya gak peduli.
Nyaris setiap tahunnya, banyak proyek pembangunan yang berlangsung. Baik renovasi maupun pembaruan. Wajah kota menjadi tampak lebih modern. Syukuri saja. Akan tetapi bila kelak berlangsung pergantian wali-kota, apakah hal tersebut menjadi PR baru? Mengingat setiap calon wali-kota memiliki programnya masing-masing. Dan ibarat kota adalah rumah kepunyaan wali-kota, sudah pasti pemilik rumah menginginkan desain rumah yang diinginkan. Sebagai warga yang seolah menjadi penghuni teras, ya dukung-dukung saja asal cantik. Bisa foto-foto. Tamasya murah meriah.
Saya pribadi bila jika ditanya ingin merubah atau meneruskan? Sudah pasti meneruskan saja. Tanggunglah. Merubah butuh waktu dan anggaran. Belum lagi saya ini pemalas. Menyender lebih penting dibanding banyak gerak. Namun saya pun tidak betul-betul meneruskan yang bersifat seolah menjadi ahli waris. Saya akan menambah atau mengalihfungsikan pembangunan fasilitas agar menjadi lebih bermanfaat. Seperti pendestrian yang luas banget itu mungkin bisa dijadikan sebagai kolam pemancingan gratis. Sebagian lagi untuk wahana air anak-anak. Sebagian lainnya untuk tempat leyeh-leyeh. Sebagaian yang lainnya lagi untuk kegiatan komunitas. Jadi walau jalan raya menyempit yang mengakibatkan kemacetan, di sisi-sisinya ada pemandangan dan fasilitas menarik untuk meredam emosi.
Dari setiap perubahan beranda-beranda kota, ada satu yang dari dulu tidak ada ubahnya. Yakni lalu lintas dan pasar. Mobil angkutan kota masih saja semrawut menyita kesantaian warga Bogor. Sepertinya juragan-juragan angkot memang sengaja membuat pergerakan secara komunal untuk menciptakan Bogor masuk ke dalam Guinness World Records sebagai kota dengan angkot terbanyak. Tapi permasalahan ini pun jika dihapus bakal menjadi masalah baru katanya. Supir-supir serabutan kehilangan pekerjaannya. Eh, tapi, kalau mematenkan satu angkutan kota yang sangat tertata dengan baik, supir-supir itu bisa bekerja dengan baik. Mereka bukan hanya bisa menjadi supir saja, melainkan bisa pula menjadi ahli teknisi dan mekanis. Apalagi saya yakin bahwa supir-supir angkutan kota sangat mempumpuni ilmu mengakali mesin. Ini pun bakal menambah kurikulum sekolah kejuruan mesin. Program praktek kerja lapangan untuk siswa-siswa SMK dapat berlangsung di kantor angkutan kota khas Bogor. Apalagi jika angkutan kota tersebut dibuat secara mandiri oleh warga-warganya yang terampil dan berkompeten.
Permasalahan pasar yang dari dulu urak-urakan pun terkesan sangat sulit diurus. Pertanyaan-pertanyaan usil dari warga pun kian bermunculan. Ada apa? Saya sendiri pun tak habisnya bertanya. Sejatinya pasar adalah tempat jual-beli, mungkin dari definisi tersebut dapat memberi poin bahwa apapun yang bernilai transaksi adalah bisnis. Tidak ada yang cuma-cuma. Program pasar bersih sebetulnya memang sudah berjalan. Akan tetapi usianya tidak ada yang panjang. Ini menimbulkan pikiran skeptis tentang adanya permainan di pasar yang menjadi mainan menggemaskan dari oknum-oknum lapar yang hanya menginginkan kepuasan dari tameng yang merasa miliki kuasa.
Kota, Politik, Tidak Berujung
Setiap orang yang maju untuk mendapati jabatan penting di suatu wilayah terkadang mereka sendiri pun tidak memahami arti dari jabatan itu. Seberapa sakral dan penuh tanggung jawab. Sebagai wali yang seharusnya berpihak dan melayani total masyarakat, malah tak jarang mereka dengan sengaja membentuk citra bukan sebagai yang mewakilkan namun sebagai yang menguasai. Suatu wilayah ibarat kue ulang tahun yang manis dan menggemaskan – yang kemudian kue itu dipotong dan dibagikan kepada orang-orang di lingkarannya. Masyarakat hanya menjadi penonton. Sesekali diselipkan hiburan berupa fasilitas umum agar tak jenuh. Tidak banyak yang bisa dilakukan. Pada akhirnya kita semua hanya bisa pasrah. Dan kemudian menyender?
Saya yakin bahwa siapapun pemimpinnya nasib-nasib warganya akan tetap sama. Sebab yang perlu diganti bukan hanya pemimpin dan program kerjanya saja. melainkan seluruh struktur politik yang ada di dalamnya. Dapur tempat memasak. Kamar mandi tempat membersih. Ruang tamu tempat berkumpul. Dan kamar tempat senggama. Semua perlu dibenahi dan steril dari kuman-kuman penyebab penyakit.
Keusilan pikiran jika saya menjadi wali kota adalah obrolan saya bersama rekan-rekan dari pelbagai komunitas di suatu warung kopi. Mendekati momen pergantian wali-kota Bogor, mereka menyebut bahwa saya setidaknya lebih pantas mewakili pergeliatan kota. Bukannya saya ingin membanggakan diri sendiri, bukan, tapi mereka menyebut bahwa saya layak sebab saya punya hati yang lurus dan tidak mudah tergiur pada hal-hal yang hanya mementingkan pribadi. Saya kerap berperan sebagai penyambung. Pekerja mandiri yang serba bisa banyak hal. Tidak mudah dinegosiasi. Tidak silau kuasa dan harta. Bahkan bilamana saya mendapat uang sebesar 50 ribu rupiah saja saya selalu bingung untuk diapakan uang tersebut. Apakah cukup untuk dibelikan cemilan agar teman-teman saya pun bisa sama-sama menikmatinya?
Sejauh ini saya banyak menampung keluhan dari teman-teman terkait kehidupan kota. Setidaknya saya jadi tahu betul PR-PR yang mesti dikerjakan. Tapi ini bukan alasan yang sah untuk saya maju sebagai wali kota. Duh, kejauhan! Jika hanya modal seribu KTP dan program kerja yang masuk akal saja sudah cukup. Mungkin iya. Terlebih saya adalah seorang pengangguran yang sebetulnya gemar melakukan banyak hal yang tanpa memikirkan timbal balik asal miliki pengaruh besar untuk banyak orang. Duh, kenapa saya jadi cukup lihai gombal begini. Saya tidak punya beking untuk menjadi sosok penting yang memimpin satu wilayah. Saya bukan orang partai politik. Bahkan saya tidak punya kenalan salah satu dari mereka. Saya yakin jika seumpama lelucon ini menjadi nyata, saya jadi wali kota Bogor, paling bantar hanya beberapa bulan saja jabatan saya. Saya dilengserkan secara paksa sebab tidak bisa memakmurkan “warganya”. Mempersulit perekonomian. Dan hanya menjadikan Bogor sebagai kota paling pasif.
Saya cuma warga Bogor yang kere yang setiap harinya melamun di pinggiran sungai Cisadane. Harta kekayaan saya hanya berupa satu motor astrea tahun 96 yang sangat mustahil bisa digunakan untuk modal kampanye. Saya gak terbiasa dan bahkan tidak akan betah melakukan pekerjaan di ruangan megah berfasilitas lengkap. Apalagi ada AC. Duh, saya gampang masuk angin.
Sebetulnya masih banyak program-program kerja jika saya menjadi wali kota. Seperti yang sempat dibahas di warung kopi bersama rekan-rekan dari pelbagai komunitas. Akan tetapi sepertinya tidak perlu banyak dijabarkan di sini. Bukan karena takut dicuri, malah saya senang bila ada yang mencuri dan benar-benar mengerjakan. Saya jadi gak perlu capek, dan benar-benar bisa merasakan sebagai warga sesungguhnya yang dilayani penuh oleh para walinya. Tapi jika saja benar saya menjadi wali kota, kemungkinan besar saya akan hidup seperti apa yang sudah saya jalani hingga saat ini. Sederhana seperti ciri dari warga Bogor. Santai seperti ciri dari warga Bogor. Saling mengenal satu sama lain seperti ciri dari warga Bogor. Dan memperbanyak menyender sebagai bentuk kepasrahan, perenungan, dan syukur untuk Tuhan dan para sepuh yang telah menciptakan Bogor sebagai tempat paling nyaman untuk menjalani kehidupan sekaligus peristirahatan dalam jeda menjalani kehidupan yang ringsek ini.
Sempurnalah Jiwa-Jiwa Manusia.***
Musikus sekaligus pengarang gorong-gorong yang lahir dan besar di Bogor. gemar sarapan soto mie dengan tambahan keroket.