gambar. AI
Fenomena aksi demonstrasi lokal yang dilakukan segelintir orang atas nama masyarakat menjadi sebuah kebiasaan yang sering kita wajarkan. Kualitas demokrasi Indonesia yang masih merangkak saat ini memang cocok untuk orang-orang yang menjual kuantitas (massa) daripada kualitas nilai kritisisme untuk kebaikan bernegara.
Sehingga, tidak jarang nilai kritisisme yang dilontarkan sejumlah orang atas nama ratusan manusia itu tidak matang secara menyeluruh; setengah matang pun kadang tidak kayanya. Asal, apa yang mereka tuntut dan inginkan bisa dikabulkan para pemilik kebijakan.
Padahal, kritisisme sendiri, sebagaimana dalam pengertian kami yang paling dasar, adalah sikap mempertanyakan, menganalisis, dan mengevaluasi segala sesuatu. Ini adalah sebuah proses mental yang melibatkan perbandingan antara informasi yang ada dengan standar tertentu, baik itu standar logika, bukti empiris, nilai-nilai, atau prinsip-prinsip tertentu.
Sedangkan kenyataannya, kritisisme olahan para aktivis (di Bogor khususnya) hanya dipakai sebagai dramatisasi kepentingan, yang biasanya menggambarkan nasib masyarakat serupa kijang yang di-kelilingi ‘macan’ lapar. Kita masyarakat tidak meminta apa-apa, tapi para aktivis meminta apa-apa atas nama kita masyarakat yang bukan siapa-siapa.
Memang, ucapan dan kritikan mereka seringkali nikmat sekali untuk kita khayalkan. Tapi, tidak jarang juga apa yang dihasilkan mereka hanya sebuah khayalan-khayalan untuk kita dan keinginan untuk mereka. Begitulah hidup di tengah penjual rakyat, kadang dijual, kadang juga terjual tanpa sepengetahuan. Sial, bukan?
Meski begitu, sebagai rakyat biasa, kita tidak boleh diam saat nama kita dicatut dan dijual sebagian orang. Kita juga boleh menolak atas pencatutan nama yang mereka pajang di baliho ataupun kertas demonstrasi orang-orang berkepentingan itu. Kita harus paham apa maksud dan tujuan baik mereka, agar tujuan dan maksud baik itu benar-benar seperti yang kita inginkan.
Pola Olah-Olah
Di kalangan aktivis, budayawan, komunitas, dan kelompok lain pengkritik pemerintah, peribahasa ‘Olah-olah’ mungkin sudah cukup dikenal sebagai upaya ‘memeras’ isi kantong pemerintahan setempat.
Peribahasa itu didapat redaksi Halimun Salaka saat mengumpulkan inspirasi penulisan di wilayah Bogor kepada sejumlah narasumber yang paham tentang birokrasi pemerintahan, pengguna anggaran, hingga permasalahan-permasalahan soal kebogoran. Entah, peribahasa itu hanya dipakai di Bogor atau terpapar juga di daerah lain, kami belum mengetahui dan menelusuri itu secara mendalam.
Pola Olah-olah seringkali menggunakan nama rakyat untuk mencapai keinginan pribadi atau kelompok mereka. Oknum-oknum itu biasanya berselancar melalui aksi demonstrasi atau melalui media massa dengan narasi yang sekiranya bisa membuat pemilik kebijakan tidak nyaman tidur, dan ingin sesegera menyuap agar lekas tidur nyenyak.
Bahkan kami mendapatkan kabar akurat dari seorang aktivis dan eks-aktivis soal pola Olah-olah demonstrasi aktivis di Bogor, yang sayangnya tak bisa kami sertakan namanya di sini, sebab satu dan lain hal. Meski demikian, kami menganggap tidak semua aktivis di Bogor berkelakuan sama, maksudnya jika diandaikan, mungkin dari 100 orang, 97 orang masuk kategori kurang baik dan 3 orang masuk kategori baik.
Pola Olah-olah aktivis Bogor yang kami dapati, salah satunya ialah menjalankan pesan dan mengambil bagian. Menjalankan pesan artinya, para demonstran berdemonstrasi sesuai pesanan para pemilik modal yang membiayai mereka untuk turun ke jalan, mencari tumbal masyarakat kecil yang sedang geliat-geliat amarahnya, yang awam dalam persoalan kepentingan.
Tentu, sebab-sebab di atas bisa kita telanjangi bahwa, pemilik modal itu ‘memanfaatkan’ gelar aktivis yang membawa isu kerakyatan, yang biasanya lebih didengar oleh pemilik kebijakan daripada bernegosiasi langsung dengan para pemilik kebijakan itu sendiri.
Kedua, pola Olah-olah yang mengambil bagian. Biasanya pola Olah-olah seperti ini dilakukan hanya untuk mendapatkan keuntungan sekelompok orang semata. Mereka biasanya menyuarakan isu-isu general yang diambil dari informasi-informasi media massa. Akhir dari demonstrasi pola kedua itu adalah pertemuan dengan pejabat bersangkutan, lalu pergi menenteng “kebahagiaan”.
Kedua pola tersebut paling banyak digunakan atas nama masyarakat. Meski begitu, kita harus percaya bahwa masih banyak aktivis di Bogor yang benar-benar memperjuangkan kepentingan masyarakat, yang semoga saja bukan hanya 3 orang dari perumpamaan banyaknya 100 orang di atas.
Rakyat Harus Melawan
Aksi atas nama rakyat kini semakin sewenang-wenang, tanpa ada pemberian pemahaman, kajian mendalam, hingga pemberitahuan kepada masyarakat paling kecil yang terjual namanya.
Semestinya, keputusan-keputusan demokratis itu disepakati oleh semua lapisan, baik para pemilik kepentingan, maupun masyarakat yang hanya menjalankan hasil dari persetujuan.
Perlawanan dan penolakan yang mengatasnamakan rakyat harus dimulai dari masyarakat kecil terdidik secara kesadaran, agar masyarakat benar-benar paham apa yang ada di balik toa-toa, di balik pengakomodiran massa, hingga di balik meja ‘audiensi tertutup’ itu.
Skeptis terhadap kebaikan orang-orang berkepentingan merupakan hal yang wajar. Sebab, penggembala domba tidak akan mati-matian mencari rumput untuk binatang ternaknya jika tidak ada nilai ekonomis di dalamnya.
Rakyat harus melawan terhadap perjuangan-perjuangan yang tadinya suci, dicemari oleh manusia-manusia yang mengambil keuntungan kelompok mereka saja.
Perlawanan-perlawanan itu harus dimulai dari diri kita, keluarga dan orang-orang terdekat kita melalui pemahaman-pemahaman dasar tentang tata kelola dan kerja-kerja pemerintahan, serta kerja pola oknum Olah-olah.
Oleh sebab itu, Halimun Salaka bersedia menjadi ruang rakyat untuk berdiskusi dan mencari tahu kabar dan isu terkini yang benar-benar harus dikawal bersama perjalanannya. Kita mulai dari Bogor Barat, yang banyak aktivisnya, dan banyak juga kemiskinan dan angka stuntingnya.***
Pada suatu waktu menziarahi Bogor: ruang hidup telah kembali ke akar dan kembali ke sumber!