Mapai Lembur: Cerita Jalan Kaki di Ciampea

dok. Ahmad Anggi


Jalan kaki di Ciampea dengan menggandeng tajuk “Mapai Lembur”, merupakan hal ihwal yang coba kami inisiasikan sebagai kegiatan berolahraga bersama—yang pada dasarnya hal itu merujuk pada kegiatan paling mudah dan murah. Di balik niatan berolahraga di seputar daerah Ciampea, atau umumnya di daerah sekitar kita masing-masing, bukankah akan banyak sajian kearifan serta kelokalan yang sebenarnya belum banyak diketahui masyarakat umum? Maksudnya mengenai kebiasaan laku masyarakat yang berada dalam tubuh kebudayaan, artefak peninggalan masa silam, yang akan memberi kita dorongan untuk menyapa hal-hal di sekitar hidup kita, dalam hal ini Kawan-kawan Ciampea memilih daerah Ciampea itu sendiri sebagai tempat lahir dan tumbuh berkembang.

Rute yang ditempuh dalam jalan kaki edisi pertama ini dimulai dari Polsek-Wangun Jaya-Ciaruteun Ilir-Jembatan Rawayan-Kp.Tutul Cidokom-Nyebrang Naik Eretan. Ciaruteun Ilir-Lapangan Brunei-Bonk (Makam Cina)-Hok Tek Bio dan berakhir di Es Kelapa Desa Benteng. Dari rute yang tersedia, sebenarnya itu menyesuaikan keinginan tempat dan kesanggupan kita berjalan. Maka, tentu saja tak ada keterpaksaan untuk menuntaskan rute dalam kegiatan jalan-jalan ini.

Dalam catatan ini, kami hendak membagikan sedikit kesan gambaran kegiatan jalan kaki, yang kami fokuskan pada beberapa desa. Pertama Desa Ciaruteun ilir. Desa Ciaruteun Ilir merupakan salah-satu daerah di bagian barat Kabupaten Bogor yang juga menjadi saksi perjalanan panjang kesejarahan Bogor. Walau kenyataannya banyak perubahan wujudnya dewasa ini, peninggalan-peninggalan kehidupan masa silam itu sebagian masih tetap dijaga-dipelihara hingga saat ini. Di dekat sungai besar Cikaniki – Ciaruteun misalnya, di sebuah kampung yang kami lewati, terdapat salah satu situs yang masih ada di antara rumah-rumah warga, masyarakat menyebutnya situs Goong Ronggeng Kabuyutan, salah satu situs dari banyaknya peninggalan yang tersebar di sepanjang sungai Halimun Salak.

Sedikit cerita tentang situs ini akan kami kutip dari sumber berita, karena sayang sekali—ketika jalan-jalan itu kami tidak sempat mewawancarai bahkan menemui masyarakat yang tahu sedikit banyaknya tentang situs Goong Ronggeng Kabuyutan, ditambah karena memang tidak dipersiapkan dan direncanakan untuk sowan. Jika meminjam uraian metropolitan.id, Rabu, 4 September 2019, juru pelihara Situs Goong, Suhandi (40) menceritakan, Goong Ronggeng Kabuyutan merupakan sebuah alat musik daerah yang mengiringi setiap acara pada masa Kerajaan Sunda (Pajajaran?). Pada masa Kerajaan Pajajaran, Prabu Sinala Aji menyimpan Goong Keramat di bumi alit (rumah kecil), tepatnya di Sangga Buana daerah Karawang. Hingga akhirnya, oleh keturunan Prabu Sinala, Tarmiji memindahkan kelima Goong tersebut dari Karawang ke Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor.

Goong keramat digunakan warga untuk menentukan kapan dimulainya masa tanam dan panen. “Jika hendak memulai masa tanam padi goong dibunyikan agar mendapatkan keberkahan hasil panen yang berlimpah,” begitu ungkapannya.  Rasanya, cerita itu selaras dengan aktivitas yang dilakukan warga di daerah Cikaniki – Ciaruteun yang kami temui, karena beberapa meter setelah situs ini terdapat lahan kebun sayur yang dikelola oleh para kelompok tani.

Setelah jalan beberapa meter dari Situs Goong dan lahan perkebunan warga, di seberang terdapat suguhan megahnya sungai, tepatnya arah menuju Desa Mekarjaya. Saat ini, mobilitas untuk mengakses jalan ini sudah terbilang mudah, karena dibangun sebuah jembatan Rawayan gantung yang cukup memicu adrenalin karena jaraknya yang begitu panjang tanpa pondasi di bawahnya. Terhitung sejak 2021, jembatan Rawayan sepanjang 113 meter ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat (periode 2019 – 2024) Ridwan Kamil, sebagai penghubung yang niatnya memudahkan masyarakat untuk beraktivitas. Walaupun, memang jembatan ini hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki atau bersepeda, karena akses jalan dan desain yang dibuat menyesuaikan geografis antar dua desa tersebut.

Ada hal yang unik yang terdapat dari jembatan ini, yaitu tentang julukannya. Ketika jembatan Rawayan ini rampung, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat itu memberikan nama julukan untuk jembatan ini sebagai Romeo dan Juliet. Bukan tanpa alasan, penamaan ini diberikan karena ada kisah menarik yang terjadi antara dua desa tersebut. Singkatnya, kebanyakan penduduk dari Desa Mekarjaya dan Desa Ciaruteun ilir ini, yang saling bersebrangan diputuskan oleh sungai, penduduknya saling menikah satu sama lain. Dan sebelum ada jembatan inilah, untuk sampai ke seberang atau saling menyebrang itu mereka harus naik getek atau kita biasa menyebutnya eretan yang terbuat dari bambu. Karena itu, jembatan yang kami lalui ini diberi penamaan yang unik dari kisah cinta warga yang terpisah oleh sungai Cikaniki.

Begitu melewati jembatan Rawayan atau Romeo-Juliet itu, kami disuguhkan dengan keasrian sepanjang perjalanan dengan melewati beberapa kampung, yang rasanya kedamaian dan kehangatan masyarakat menjadi semangat kami dalam merefleksikan diri. Contohnya, kami menemukan ada tempat menarik, terdapat sebuah vila dengan luas 6 hektar yang kurang lebih sudah 5 tahun terbengkalai (kini sebagian dimanfaatkan warga sebagai lahan perkebunan pisang). Vila ini menjadi perhatian kami karena konsep bangunan yang bercorak nuansa khas Jawa. Dibuat dengan tema Rumah Joglo dan beberapa ornamen seperti patung yang menjadi ciri khas tersendiri di tengah bukit yang jauh dari dataran rendah kota, menjadikan vila ini pas untuk dikunjungi sebagai pelepas penat masyarakat perkotaan. Selain vila, tempat ini juga menyediakan berbagai fasilitas bermain dan arena downhill untuk para pesepeda dan pecinta motorcross.

Sayangnya semenjak sepi peminat dan akibat terdampak pandemi, vila ini sudah tidak terpakai dan menjadi tidak terurus. Beberapa pernyataan warga sekitar dari hasil obrolan istirahat di sela-sela perjalanan kami, tempat ini menjadi angker dan enggan untuk dilalui oleh warga ketika malam. Hal ini tentu menjadikan pengalaman dan cerita baru untuk kami, yang membawa penyadaran bahwa selama ini ternyata kami belum tahu apa-apa tentang daerah kami sendiri, padahal banyak tempat menarik yang mesti dijaga bersama.

Menyesuaikan kesanggupan perjalananan melewati kampung dan desa itu, tentu kami pun banyak melakukan pemberhentian. Sesekali kami rehat sejenak di salah satu warung warga. Di mana hal itu membawa kesadaran baru, untuk sedikitnya mesti berbagi dan menyisihkan rezeki selama di perjalanan dengan jajan ke berbagai warung, yang semoga menjadi semangat para pedagang, ditambah itu menjadi penghubung kedekatan interaksi kami pada mereka.

Setelahnya rehat dan melakukan perjalanan akhir (ke tempat awal kami berangkat: Polsek Wangun Jaya), kami kembali menyambangi Sungai Ciaruteun, namun kali ini tidak menggunakan sebuah jembatan lagi, tapi menyebrangi sungai menggunakan getek atau eretan, sebuah transportasi air yang sangat jarang ditemukan sekarang.  Mang Anwar, merupakan salah satu warga yang selalu berjaga dan membantu setiap masyarakat yang ingin melintas menggunakan jasa ini. Banyak hal yang kami bicarakan dengan beliau, dari keramahan dan cerita yang beliau sampaikan, membuka diri kami terhadap pengetahuan baru, khususnya tentang daerah Ciaruteun.

Setiap orang bisa belajar dari mana-pun, dan dalam bentuk apa pun.

Adanya jasa penyebrangan ini menjadi kemudahan bagi masyarakat desa ini, jika ingin melintas tanpa harus memutar sejauh kurang lebihnya 5 kilometer. Dengan membayar seikhlasnya, kita sudah bisa melintas menggunakan mode transportasi air itu. Walaupun memang sudah tidak seramai dahulu, mode transportasi ini masih tetap hadir dan dibutuhkan masyarakatnya. Lokalitas yang hadir menjadikan nilai pada keseharian yang saling menjaga.

Sebetulnya, setelah rute penyeberangan ini, sebenarnya masih banyak tempat dan peninggalan yang ada di sekitar Desa Ciampea dan Ciaruteun ini. Seperti prasasti-prasasti peninggalan masa Kerajaan Tarumanagara yang menjadi saksi peradaban di tanah Bogor ini. Juga beberapa tempat ibadah bersejarah dari lintas agama yang menguatkan toleransi masyarakat sekitar, seperti Masjid, Klenteng, Gereja, dan Vihara menjadi bukti bahwa masyarakat di sini hidup dengan keserasian dan toleransi yang terus terjalin baik. Tapi sayangnya, rute yang kami tuju tidak semua tersambangi, mengingat waktu tempuh dan kesanggupan dari Kawan-kawan semua. Mungkin itu akan menjadi rencana perjalanan kami selanjutnya, yang mudah mudahan kita semua selalu diberi waktu dan kesehatan dari Sang Maha Kesehatan. Heiheeee.

Sekali lagi, sederhananya perjalanan nalusur jalan kaki ini Kawan-kawan Ciampea buat sebagai wadah kegiatan berolahraga bersama, dan sama-sama belajar untuk sedikitnya mengetahui apa dan bagaimana yang ada di sekitar kami khususnya, atau kita semua pada umumnya, baik itu kehidupan masa silam, maupun kehidupan yang terjadi sekarang. Dengan begitu, ada usaha kita tetap menjaga nilai masa lampau, merawat nilai-nilai sejarah-budaya, sekaligus merawat semangat dan dukungan kepada masyarakat yang dengan senang hati terus menjaga nilai-nilai masa silam, usaha melestarikan kebudayaan yang ada.***