(Gambar: Profil Kecamatan Parung Panjang)
Di bulan September kemarin, kawan kami Azmi Permana yang seorang penyanyi asal puncak Cisarua Bogor, bersama Des Di Boemi (Desy) mengadakan semacam kegiatan tour; jalan-jalan; nyukcruk-nalusur dengan mengendarai karyanya masing-masing. Meski sama-sama menumpang karya, kendaraan mereka dalam menempuh perjalanan ini berbeda: Azmi dengan kesadaran geraknya menyandarkan pada bekal musik yang sudah dirangkum ke dalam album, sedang Desy menuliskan puisi untuk merespon setiap keadaan tempat yang ia singgahi: bagaimana rupa wajahnya, masih adakah angin cinta kebersamaan di dalamnya, serta banyak lagi gambaran lain yang mungkin tertangkap sebagai penggedor hati dan pikiran kemudian dibacakan langsung di hadapan sekalian.
Rangkaian jalan-jalan kekaryaan bertema Bobogoran Sasabaan itu semacam ajang silaturahmi, lantas silaturasa lintas komunitas, sebab Azmi tidak sendiri. Dalam pamflet tertulis kabar, mereka berjalan beriring dengan Pengantar Pesan, Sukmawelas, Mawih, Ina, Istantos dan tentu masih banyak lagi saudara sepeduluran di Parung Panjang dengan bergunung kasih siap merangkul hangat kedatangan para pengunjung yang hadir pada kegiatan tersebut.
Sebermula Azmi, yang ketika mengalunkan lagunya di Jawa Tengah (dengan kata lain, ketika ia sedang melakukan tour di daerah Jawa Tengah) mendapati pertanyaan ini: seberapa jauh kamu mengenal Bogor? Kagetlah ia seraya bingung, jawaban macam apa yang paling mungkin ia berikan guna melengkapi pengetahuan mereka tentang Bogor. Kebingungan itu mengajaknya pulang dan nazar pada diri untuk mengenal lebih lagi tanah tempat tinggalnya. Rupanya pertanyaan itu pula yang menjadi awal penggedor batin Azmi untuk mengadakan silaturahmi Bobogoran Sasabaan. Menjadi menarik karena titik pertama yang dipilih demi merespon pertanyaan tersebut adalah Parung Panjang. Sebab ia, sekalian saya, dan siapapun itu yang hadir berkesempatan melihat gambaran Bogor dari sudut yang berbeda. Meskipun tak akan lengkap garis-garis warna yang tertangkap, setidaknya itu menjadi bahan ajar bersama, syukur-syukur menuju arah kebermanfaatan.
Pertanyaan yang dilayangkan terhadapnya mengendap jadi keresahan, lalu sampai juga ke hati saya. Resah bersamaan gelisah Azmi adalah keresahan saya-mungkin juga kamu-yang ketika pulang ke rumah mendapat pertanyaan serupa. Jawabannya bisa saja sesederhana menjawab pertanyaan seorang petugas sensus. Tapi Bogor bukan cuma puncak yang dingin tapi macet, hutan lebat di tengah-tengah kota yang bangunannya tak kalah lebat, hujan di tengah kegersangan poli-hehehe-tikus, dan seabrek destinasi wisata yang foto-fotonya lumrah terpajang di Instagram sebagai buah karya yang, aduhai mencocok mata.
Kalau kebetulan sedang pelesiran ke Bogor bagian barat dan perbekalan nafasmu masih setumpuk, sudilah sesekali mampir lalu rasakan udara di daerah perbatasan, di mana bakal terhirup pameran dari beragam rupa peristiwa yang tak kalah menggelitiknya dengan pariwisata. Parung Panjang, misalnya.
Beruntunglah saya, bisa melingkar dalam kegiatan tersebut. “Ngajugjug dulur nu jauh, nyaba baraya nu anggang” di Parung Panjang. Membersamai mereka menuangkan karya, ikut mengalami dari dekat dan bergumul mesra, merasai udaranya menempa tubuh lalu terpejam dalam pertanyaan serupa pesan yang makin mengepul di dalam pikiran. Tapi sebentar, Ngabulatuk mengenai kegiatan Bobogoran Sasabaan di atas bolehlah ditulis lebih jauh lagi di lain waktu, atau anggap saja itu sebagai pengantar; cuap-cuap pemantik pertanyaan yang semakin mengepul ihwal Parung Panjang.
Pesan Panjang Dari Parung Panjang
Butuh waktu 2 jam lebih untuk sampai ke Parung Panjang yang berbatasan langsung dengan Provinsi Banten jika ditempuh dari Pamijahan yang lebih dekat ke perbatasan Sukabumi. Perkiraan itu bisa saja meleset, sebab motor yang ditumpangi mesti berebut jalan dengan truk tambang yang melintas di sepanjang jalan raya Rumpin-Parung Panjang. Padahal, seperti kata Camatnya, jalan raya ini masuk dalam kategori jalur provinsi, yang menurut asumsi seorang biasa seperti saya, mestinya tidak dilalui kendaraan berat dengan jumlah yang melebihi kapasitas. Jadilah itu sebagai nyala-suar untuk saya, sedapat mungkin, seminimal mungkin, menggali informasi agar tak terjerumus ke dalam lubang galian tambang. Bukan. Bukan, maksudnya ke dalam jurang ke-sok-tahuan.
(Gambar: OneMap ESDM, Potensi Sumber Daya Cadangan Logam dan Batuan)
Pada Tahun 1982, PT. Sudamanik membuka jalur di jalan Lebakwangi. Dokumen itu direpositori oleh Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Bogor dengan judul Rehabilitasi jalan Lebakwangi, Parung Panjang, Oleh PT. Sudamanik. Itulah mula pertama catatan menyoal datangnya Industri pertambangan ke wilayah ini dan sekitarnya. Setelah beberapa tahun eksplorasi yang dilakukannya, perusahaan lain banyak berdatangan. Merebaklah eksploitasi tambang galian-C dengan segala dampak turunannya yang ditimbulkan hingga sekarang, dan mungkin masih akan terjadi sampai tak tahu kapan. Sebab, pernah ada yang menuturkan kalau pertambangan di sana proyeksinya bakal berlangsung sampai seratus tahun ke depan. Entah keceplosan atau tidak, tapi jelaslah bila melihat data di situs resmi geoportal.esdm.go.id tentang cadangan batu andesit yang angkanya sangat besar, 1,5 miliar ton.
Ada ungkapan menarik di Parung Panjang, ketika geger pandemi covid beberapa tahun kemarin, “covid gak berani masuk ke sini, kalau pun masuk, covid yang mati duluan kena ISPA.” Celetuk seorang kawan ketika melingkar di Sasabaan waktu itu. Masuk akal bila melihat berita-berita yang ditulis atau data yang diterbitkan langsung oleh Dinas Kesehatan Kab. Bogor tentang banyaknya warga yang terpapar ISPA. Atau ketika saya coba memasang aplikasi pemantau udara di ponsel pribadi, aplikasi yang notabene cuma alat yang tak berpikiran, yang tak punya perasaan, alat yang tak berpihak pada partai dan bebas dari ideologi apapun itu, hasilnya, setelah lewat sebulan dari kegiatan tersebut, belum pernah sehari pun melihat kualitas udara di sana menyentuh angka aman.
Penyakit ISPA, adalah setitik rumput dari gunungan permasalahan yang ada di kawasan sekitar jalur pertambangan. Sebab, masih banyak lagi peristiwa yang belum terbaca, seperti kemungkinan konflik horizontal yang bakal terjadi, bising, macet hingga sampai pada titik yang lebih krusial, kecelakaan yang banyak disebabkan oleh truk dan tak bisa disembuhkan oleh obat: kematian.
(Gambar: Tangkapan Layar Aplikasi Nafas)
Saya rasa kita semua sudah membaca dari berbagai sumber tentang peristiwa-peristiwa di Parung Panjang. Apa yang terjadi di kawasan sekitar pertambangan selama berpuluh-puluh tahun itu seakan tak pernah habis untuk dibaca dari segala sudut, dikupas dari berbagai sisi. Mereka yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa di sana secara langsung atau tak langsung telah banyak menuangkan pengalamannya lewat tulisan-tulisan, menjadi sebentuk karya berupa lagu, selebaran atau pamflet-pamflet, ada pula yang menghayati peristiwa di sana sebagai objek kajian untuk kemudian dibawa kepada dimensi yang lebih mendalam hingga sampai pada fase yang kritis dan komprehensif.
Tentu semua hasil refleksi dari berbagai elemen itu adalah upaya menggali gagasan konstruktif agar tak kalah dengan galian tambang. Atau bagi saya yang awam, bisa dipakai sebagai kaca benggala dalam memandang Bogor dari latar Parung Panjang, khusunya. Tapi ketika seorang biasa seperti saya coba meraba lagi permasalahannya secara personal, kok yaa, kaca benggala itu makin mengembun dan yang terkupas kemudian adalah kulit luar keindahan sebuah kota yang “wah” melenakan, lalu tampak di bagian terdalamnya adalah borok-borok menggelikan yang tercipta dari ketidakseriusannya pemangku otoritas dalam mengelola kebijakan.
Kalemkeun, itu cuma gatal-gatal dari kesaksian seorang biasa seperti saya. Semacam efek dari kepulan pertanyaan dalam diri: sampai kapankah situasi seperti ini? Sudahkah terdengar lagu-lagu bimbang di sana? Terbacakah pamflet-pamflet kecemasan yang bertebaran itu? Pernahkah alam diposisikan sebagai saudara dan bukan sebagai objek? Atau lebih jauh lagi, sudahkah ketemu formula khusus untuk mengobati “borok-borok” itu?
Sekali lagi, pertanyaan-pertanyaan itu ditujukan bagi diri (siapa saja) yang siaga menangkap isyarat. Lagi-pula, kalau pun dilayangkan lebih banyak lagi berondong pertanyaannya pada mereka (pemangku kebijakan), mereka mungkin tak bakal merasa karena memang sudah tidak punya lagi semacam saraf perasa dari gatal yang ditimbulkan penyakit borok. Bukan. Bukan menyebut mereka lamban dalam merespon apalagi cacat. Maksudnya, sudahkah sampai pada hati tuan dan nyonya terhormat ragam kesaksian dari seorang biasa itu? Padahal bisa jadi, protes-protes yang dilakukan masyarakat di sana adalah racikan formula demi terciptanya keadaan yang lebih baik; semacam obat borok yang belum terciptakan itu. Saya paham mengapa yang terjadi di sana sedemikian kompleksnya, saya cuma tak mau mewajarkan.
Membayangkan permasalahan di sekitar kawasan pertambangan sana jauh lebih melelahkan dari perjalanan Pamijahan-Parung Panjang. Getir sekaligus nyeri. Maka biarlah itu kita simpan pada wilayah para pemangku kebijakan. Kita cuma setitik debu terombang-ambing menunggu kemungkinan yang bakal terjadi. Menanti hawa sejuk berembus sambil tetap mengawasi, menagih lagi ketetapan yang setepat-tepatnya. Maka sekali lagi, jika butir-butir debu yang terintegrasi dilintas truk tambang seperti Rumpin, Cigudeg, Gunung Sindur dan Parung Panjang itu dikumpulkan lalu disusun menjadi sebentuk garis, garis itu serupa pesan panjang yang tak tahu di mana ujungnya. Dengan segala cinta, tanpa bermaksud membuka tabir dan luka lama, sudahkah sampai garis panjang itu menyentuh batin tuan dan nyonya terhormat?
Parung Panjang Mau Bilang: Tunggul Tong Dirurud Catang Tong Dirumpak
Pernahkah mendengar petuah-petuah orang tua terdahulu saat mereka membagi cerita masa lampau, atau kisahnya sendiri yang diolah jadi semacam alegori? Ketika saya coba gali kembali dokumen ingatan itu, terangkatlah satu-dua potongan cerita. Tentang kali ciliwung (cikuluwung, pamijahan) misalnya, nenek saya dulu pernah bilang: “Cikuluwung ka hareup mah aya di kota.” Kalau nanti kamu ingin melihat pasir di sini, lihatlah di kota-kota besar. Sewaktu masih kecil, sulit rasanya menerima alegori semacam itu, baru belakangan ini saya sadar urgensinya. Di sana, bakal terpajang bangunan yang materialnya diambil dari kali Cikuluwung. Maka itu berlaku juga ketika melihat fakta di Parung Panjang. Dari bandara sampai reklamasi teluk Jakarta, misalnya, atau proyek pembangunan jalur tol, 80% materialnya adalah muntahan dari alam Bogor Barat. Boleh jadi, Parung Panjang penyumbang terbesarnya.
Lalu ada lagi ungkapan, Mipit kudu amit ngala kudu menta. Artinya, memetik sesuatu dari alamnya mesti dengan kesadaran, mengambil bagiannya mesti dengan meminta izin-Nya.” Sesuatu yang diambil dari alam seminimal mungkin mesti ada yang dikembalikan lagi ke alam. Jika ditarik artinya pada dimensi yang lebih luas dan modern mungkin bakal seperti yang diungkapkan Mas Sabrang, “kapitalisme yang baik dan benar memastikan, bahwa untuk hidup berdampingan dengan saudaramu (alam) harus punya sumbangsih tertentu.” Kamu tidak punya hak untuk mengambil dari saudaramu jika tak ada sumbangsih terhadapnya. Lalu pertanyaannya, sumbangsih seperti apa yang sudah diberikan kepada Parung Panjang dan manusia sekitarnya setelah lebih dari dua dekade kekayaan alamnya itu digerus-rakus?
Pandangan “kaya” yang sudah lama tersemat pada alam juga sudah tak lagi relevan. Apakah tak sebaikanya pandangan terhadap alam itu diganti saja dengan “saudara” ketimbang menyebutnya “kekayaan alam” yang faktanya malah menjadi sasaran eksplotasi tanpa sadar. Saya kira, “saudara” alam Parung Panjang mau juga untuk bilang pada manusia: Saudaraku, Tunggul tong dirurud, catang tong dirumpak. Masihkan terdengar harmoni dari “saudara” manusia dan alam semacam itu atau makin terlupakan. Sebab hari ini, sulit sekali untuk menemukan relasi kepercayaan “kolot” (culture diversity) dan ilmu pengetahuan menjadi suplemen vitamin bagi kelangsungan hidup berkelanjutan. Pepatah orang tua terdahulu seakan dianggap transenden sebagai konsep, dan tak berlaku lagi bagi kehidupan yang menuntut “pembangunan” modern dengan segala perangkatnya.
Berkenalan Dengan Perpuskita Parung Panjang
Di tahun 1920-an, di Yogyakarta sana berlangsung sarasehan (diskusi) secara rutin yang dilakukan setiap selasa kliwon. Kegiatan itu adalah bentuk perlawanan terhadap pendidikan kolonial yang materialistik dan individualistik. Dari diskusi-diskusi itu lahirlah gagasan berupa Taman Siswa ala Ki Hajar Dewantara.
Maka di Parung Panjang, tak sulit menemukan sekumpulan orang yang melakukan diskusi semacam itu. Begitulah kiranya Perpuskita Parung Panjang. Salah satu dari sekian banyaknya para pengepul cinta di Parung Panjang. Sekumpulan itu serupa angin sejuk kebersamaan di tengah sesaknya debu pertambangan.
Sebermula Romy, ketika kembali ke Parung Panjang setelah selesai dari studinya, punya mimpi untuk mengabdikan diri pada pendidikan di pelosok yang pernah digagas instansi pemerintah waktu itu. Padahal, ketika dipikir ulang lagi mengapa tak mendirikan saja sebuah bangunan di sekitar rumah sebagai sarana menuangkan ilmu yang telah didapat dari rantauan studi itu. Sambil tertawa ia, ketika melingkar di Bobogoran-Sasabaan menuturkan sepotong kisah awal terbentuknya Perpuskita Parung Panjang.
Sebagai langkah awal, Ia bersama kawan kecilnya Bagus dan Wais mengumpulkan buku-buku bacaan pribadi. Dari buku yang terkumpul itu kemudian ia gelar lapak bacaan di jalan. Siapa saja boleh terlibat, kata Romy, asal punya cinta, maka terjalinlah interaksi sosial. Teringatlah pada apa yang pernah dikatakan Ki Hajar Dewantara: “mobilisasi politik itu berawal dari pendidikan, untuk kemudian dipakai sebagai alat menyejahterakan dan membebaskan umat.”
Terbentuk pada bulan Ramadhan, tepatnya 28 Mei 2017, Perpuskita Parung Panjang telah menggelar beragam rupa kegiatan. Diskusi, membaca, menggambar, mewarnai, membersamai anak-anak “nalusur” mengenalkan alam di sekitarnya, hingga lahirlah Perpuslistiwa; kumpulan tulisan berbentuk Zine hasil dari diskusi-diskusi kecil yang sudah terbit sebanyak 8 edisi.
Perpuskita adalah bagian terkecil dari banyaknya lingkaran yang bertebaran di Parung Panjang. Mereka serupa kumpulan oase di tengah gurun yang membebaskan dahaga. Serupa langkah menuju intelektualistik yang populis, yang memayu hayuning bawana (memelihara kedamaian) kasasama-kapapada, yang kehadirannya diharapkan sebagai pemberi pengetahuan, membuka cakrawala berpikir, membantu mengasah keterampilan, mengklarifikasi keraguan, meracik ramuan obat borok, lebih jauh lagi menuliskan metode yang secara tidak sadar, metode merekalah yang akan berbuah menjadi perubahan. Sebab, bukankah perlawanan memang mestinya mengarahkan pada perbaikan?
Tabik.***
–
Referensi bacaan :
Buku Ki Hajar Dewantara “Pemikiran dan Perjuangannya”
Skripsi Gerakan Sosial Dan Kekuatan Politik Studi Atas Aksi-aksi Sentral Gerakan (SEGRA) Parung Panjang Dalam Menuntut Perubahan Regulasi Pertambangan. Ahmad Farhan Firdaus
Kecamatan Parung Panjang Dalam Angka 2023. BPS Kabupaten Bogor
Buku profil informasi kesehatan. Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor 2020
Tambang Pasir Bogor Barat: Truk Menjadi Mesin Pembunuh Warga. Tirto.id
Orang-orang Mati Karena Truk Tambang, Tapi Pemerintah Lepas Tangan. Tirto.id
Seorang biasa yang meminjam dan menetap pada tubuh lelaki. Kini berusaha memaskimalkan nafas, tubuh, gerak, hidup yang telah dipinjaminya.
komentar (0)