Pemertahanan Leksikon Fauna Air Tawar di Kalangan Remaja (Kecamatan Leuwiliang)

Ilustrasi:@Alanwari


Kita tahu, Indonesia adalah negara yang terbentuk atas berbagai suku dan budaya yang tersebar dari ujung barat (Sabang) sampai ujung timur (Merauke). Sebuah bangsa dapat dinilai kaya atau tidaknya bisa dilihat dari seberapa besar kebudayaan yang dimilikinya. Salah satu ornamen dalam kebudayaan itulah, bahasa merupakan bagian dari tonggak kebudayaan itu sendiri. Dan Indonesia memiliki banyak sekali kebudayaan dan atas hal itu bahasa yang dimilikinya pun begitu banyak serta beragam.

Menurut data Etnologue 2022, Indonesia menempati peringkat kedua bahasa terbanyak dengan jumlah 715 bahasa. Jumlah ini berkurang yang pada tahun-tahun sebelumnya berjumlah 742. Sejalan dengan itu, bahkan 90 bahasa sudah berada diambang kematian dan kepunahan dikarenakan jumlah penuturnya yang sedikit dan tidak ada generasi selanjutnya. Penyebab dari kepunahan ini, tentulah tak lepas dari adanya pergeseran bahasa dan pergeseran penggunaan bahasa oleh penutur lingkungan aslinya.

Berbicara tentang bahasa, lebih jauh lagi, tidak sebatas alat komunikasi. Sebab bahasa mengandung visi budaya, merekam, memelihara, dan mewariskan konsep-konsep kolektif, nilai-nilai historis, relijius, filosofi, sosio-budaya, dan ekologis dari masyarakat tempatan. Dengan demikian, untuk membangun sebuah komunikasi dan interaksi sosial diperlukan sebuah alat pengantar yang disebut dengan bahasa. Setiap suku memiliki bahasa dan kebudayaannya sendiri, nah, dalam hal ini kita fokuskan pada suku Sunda.

Suku Sunda, sebagaimana kita ketahui bersama, merupakan suku yang tersebar di wilayah Jawa Barat dan Banten. Pada dasarnya suku Sunda adalah suku yang memiliki penutur cukup banyak bahkan dapat dikatakan penutur bahasa Sunda masuk 2 teratas paling banyak penuturnya di Indonesia setelah bahasa Jawa. Dengan memiliki penutur yang banyak, maka penggunaan bahasanya pun menjadi banyak pula.

Penyebaran bahasa Sunda yang banyak menjadi sebuah hal yang menarik karena atas peyebaran tersebut bahasa Sunda menjadi memiliki banyak dialek berdasarkan geografisnya: dari dialek Bogor, Sumedang, Cianjur, Bandung, Purwakarta, Cirebon, Kuningan, Ciamis dan Banten (Nunung). Intonasi dan leksikal menjadi sebuah pembeda yang kuat antar dialek berdasarkan geografisnya. Diantara dialek tersebut dialek Bogor yang cukup memperihatinkan karena banyak mengalami pergeseran pada setiap leksikalnya.

Itulah sebabnya, pemertahanan bahasa perlu dilakukan sebagai upaya mempertahankan budaya dan melestarikan lokalitas, terkhusus dalam hal ini Bogor, yang merupakan suatu kabupaten yang terletak di sisi paling barat di Provinsi Jawa Barat, berbatasan langsung dengan Provinsi Jakarta dan Provinsi Banten. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 Bogor memiliki luas 2.985,20 km² salah satu kecamatan yang ada di wilayah Bogor adalah Leuwiliang. Kecamatan Leuwiliang berdasarkan data 2021 oleh BPS memiliki luas 91,03 km².

Penduduk Indonesia yang multi-etnis memiliki keragaman budaya, yang tercermin dari cara hidup yang berbeda, seperti adat istiadat, tradisi, dan pemikiran lokal sehingga jiwa memilikinya dalam bentuk pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan kearifan lokal kearifan (local wisdom) yang mengacu pada bangsa atau budaya yang identik dan ikonik (Rosidin). Salah satu perwujudan dari pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat etnis indonesia adalah pemanfaatan sumber daya hayati dan nabati untuk keberlangsungan hidup mereka.

Pada kenyataannya, pemertahanan bahasa hanya menguat pada kalangan orang tua dan tokoh adat. Pada sisi lain pemertahanan bahasa melemah pada tataran multi-etnis, terkhusus remaja generasi muda (milenial) dan berpendidikan. Kalangan remaja milenial sudah mulai melupakan bahasa daerahnya sendiri dan lebih sering menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk berkomunikasi. Pengaruh globalisasi menjadi faktor yang menjadikan hal ini terjadi.

Penelitian mengenai pemertahanan bahasa memang sudah jenuh dibicarakan, akan tetapi sejauh penelusuran saya, belum menemukan penelitian yang khusus mengkaji pemertahanan pada leksikon fauna air tawar di lingkungan masyarakat Sunda kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Berkenaan leksikon fauna pada masyarakat Sunda khususnya dialek Bogor, Leuwiliang, saya belum menemukan rekam jejak dan dokumentasi penamaan leksikon fauna air tawar.

Sementara itu, saya menemukan penelitian yang mengkaji leksikon fauna di Indonesia yaitu penelitian yang dibahas oleh Nurhakiki dkk. (2021) terhadap leksikon fauna dalam bahasa Surabaya; Fitria dkk. (2019) yang meneliti pemertahanan leksikon kemaritiman: Filomena Iku (2020) yang melakukan pengkajian pemertahanan leksikon kepadian. Berdasarkan tinjauan penelitian di atas terdapat celah rumpang pada penelitian pemertahanan bahasa pada taraf leksikon khususnya di lingkungan masyarakat Sunda.

Rumpang tersebut berfokus pada leksikon fauna air tawar di masyarakat Sunda khususnya kalangan anak remaja. Penelitian terdahulu lebih fokus pada pemertahanan leksikon secara utuh dan tidak berfokus pada leksikon fauna air tawar, lalu penelitian terdahulu juga berfokus umum dalam pemertahanan bahasanya tidak spesifik dalam proses pemertahanan bahasanya. Padahal dalam pemertahanan bahasa kalangan remaja sebagai generasi selanjutnya yang harus menjadi tumpuan dalam pelestarian dan pemertahanan bahasa khususnya leksikon fauna air tawar.

Oleh karena itu, penelitian saya ini diharapkan dapat melengkapi penelitian yang sudah dilakukan oleh pendahulu. Sebagaimana kita ketahui, sebuah penelitian penting dilakukan dan memiliki kemaknaan yang besar, sebab seiring berjalannya waktu keragaman hewani yang ada disautu wilayah akan terkikis jumlah serta jenis bahkan mengalami kepunahan. Hal itu memungkinkan terjadi karena kerusakan lingkungan yang terjadi serta bencana-bencana alam juga dampak dari kerusakan ekologi atas eksploitasi lingkungan seperti pembangunan perumahan, pengerukan pasir dan lain-lain.

Kehadiran leksikon dalam masyarakat merupakan hasil dari pemikiran dan pendapat masyarakat tentang lingkungan sekitar. Senada dengan ungkapan tersebut, pemertahan leksikon fauna air tawar masyarakat Sunda di wilayah kecamatan Leuwiliang, kabupaten Bogor menarik untuk dikaji, khususnya yang membicarakan terkait hal ini, pertama bagaimana sikap kalangan remaja masyarakat Sunda di kecamatan Leuwiliang dalam memahami leksikon fauna air tawar, kedua apa sajakah leksikon fauna air tawar dalam masyarakat Sunda yang masih bertahan dan yang telah punah atau tergeser.

Hal ini terkait dengan tujuan penelitian ini faktor apa saja yang mempengaruhi pemertahanan leksikon fauna air tawar di masyarakat Sunda khususya pada kalangan remaja. Kata tidak hanya berfungsi sebagai satuan fonem dan morfem tetapi bisa berfungsi sebagai arsip kebudayaan. Kata yang bermakna harus diuraikan dalam wadah kebudayaan yang membingkainya. Oleh sebab itu, pemertahanan leksikon fauna air tawar bukan sekadar menunjukan penamaan, tetapi sebagai aspek penting untuk dokumentasi makna kebudayaan dan upaya merekam pemahaman dalam leksikon fauna air tawar yang begitu urgensi untuk dikaji.

***

Penelitian saya ini dilaksanakan di kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, yang merupakan satu dari sekian banyak kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Leuwiliang merupakan kecamatan yang ada di wilayah bagaian barat Kabupaten Bogor. Lalu, kecamatan Leuwiliang memiliki luas 91,03 km² dengan dibagi menjadi 11 desa yaitu Desa Barengkok, Desa Cibeber I, Desa Cibeber II, Desa Leuwimekar, Desa Leuwiliang, Desa Karehkel, Desa Karacak, Desa Puraseda, Desa Karyasari, Desa Purasari, dan Desa Pabangbon. Penelitian ini dilaksanakan di 3 desa yaitu Desa Leuwiliang, Desa Leuwimekar dan Desa Karehkel.

Saya memilih menggunakan pendekatan sosiolinguistik dengan ancangan ekologi dalam penelitian ini, dan memakai data penelitian berbentuk kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif didapatkan dengan cara penyebaran angket, sedangkan saya menggunakan skala kategori. Kategori I yaitu Pernah melihat, memegang, dan merasakan. Kategori II hanya pernah mendengar namanya saja. Kategori III yaitu tidak pernah mendengar ataupun melihat. Dengan demikian, teknik yang saya gunakan dalam penyebaran angket adalah Purposive Sampling. Dan-lalu data kualitatif saya dapatkan dari hasil wawancara dan observasi mendalam pada informan dalam situasi yang informal.

Data yang sudah didapatkan dipilah dan diklasifikasikan serta dianalisis sesuai dengan teori yang digunakan, antara lain: dimulai dengan mencatat hasil dari wawancara dan penyebaran angket dari informan, mengklasifikasikan satuan lingual dan menjabarkan tetang makna dari data leksikon, dan menghitung pemertahanan leksikon fauna air tawar pada kelompok usia remaja menggunakan rumus berikut:

P= jp/n ×100

Ket:

P: Angka persentase

JP: Jumlah sampel yang paham

N: Total sampel

***

Berdasarkan penelitian yang telat dilakukan terkumpul 84 leksikon fauna air tawar yang dipilah menjadi fauna jenis ikan terdapat 57 leksikon, fauna jenis melata 13 leksikon, fauna bercangkang 6 leksikon dan fauna serangga air tawar 8 leksikon. Bentuk lingua dalam penelitian ini menggunakan teori dari Chaer yang berupa monomofonemis, polimerfonemis dan frasa (Ladyanna). Dari jumlah leksikon yang saya dapatkan berdasarkan teori Chaer, satuan lingua yang berbentuk monomorfonemis berjumlah 73 leksikon, satuan polimorfonemis berjumlah 4 leksikon dan satuan frasa berjumlah 7 leksikon.

Pemahaman leksikon fauna air tawar dalam bahasa Sunda pada usia remaja (14-20) tahun terhadap yang diujikan kepada masing-masing 10 orang pada tiap desa dari 3 desa yang saya pilih. Jadi total jumlah sampel penelitian ini berjumlah 30 orang dalam usia remaja (14-20) tahun. Berdasarkan data yang didapatkan peneliti juga membagi golongan leksikon fauna air tawar golongannya yaitu: Budidaya/Makanan Pendamping Nasi, Non Budidaya/Makanan Pendamping Nasi, dan Non Budidaya/Bukan Makanan. Dari penggolongan tersebut dapat kita lihat dari kebiasaan masyarakat Sunda di kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, tentunya.

Penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 11-19 November ini yang berlokasi di kecamatan Leuwiliang, Bogor. Lebih tepatnya di 3 desa yaitu desa Leuwiliang, desa Karehkel dan Desa Leuwimekar ini menghasilkan 84 leksikon fauna air tawar. Leksikon fauna air tawar terdapat pada tabel 1 sampai 3 pada lampiran. Pembahasan satuan penelitian ini terdiri dari kata dan frasa. Kata adalah suatu ujaran yang dapat berdiri dengan sendiri yang bersifat bisa dipisahkan, ditukar, serta dipindahkan dan memiliki makna sendiri sebagai penggunaan komunikasi. Frasa adalah sebuah gabungan dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas serta fungsi dari klausa.

Satuan lingual penelitian ini terdapat 84 leksikon fauna air tawar yang dibagi menjadi: 73 leksikon monomorfemis, 4 leksikon polimorfemis dan 4 leksikon bentuk frasa. Contoh satuan lingual berbentuk monomorfemis yaitu Kadut. Leksikon Kadut adalah sebuah leksikon berbentuk dasar sebuah kata. Leksikon Kadut digologkan menjadi morfem bebas karena dapat berdiri sendiri tanpa pendamping dan dibantu oleh kata lain. Ditinjau dari satuan gramatikalnya. Bentuk ini termasuk bentuk monomorfemis, karena terdiri dari satu morfem. Leksikon tersebut dapat menjadi subjek dalam kalimat sebagai berikut.

Konteks: Pribahasa bahasa Sunda “Kadut nyamperkeun panenggeul” Pribahsa tersebut memiliki arti menghampiri sesuatu yang berbahaya bagi dirinya sendiri. Berdasarkan dari pribahasa yang sudah disebutkan di atas. Dapat dibuktikan bahwa kata “Kadut” dapat hidup sendiri tanpa dibantu oleh morfem atau kata lainnya. Kadut sendiri memiliki arti ular air/ular sawah. Kita bisa menjumpai hewan tersebut jika kita bermain di area persawahan atau perairan dangkal. Kadut memiliki ukuran yang tidak terlalu besar dan memiliki banyak jenis ada yang berwarna hitam legam dengan warna putih di bagian seluruh perutnya.

Ada juga yang berwarna coklat dengan garis berwarna kuning pucat melintang vertikal di tubuhnya. Kadut jenis ular yang termasuk tidak berbahaya karena tidak memiliki bisa dalam gigitannya. Biasanya jenis ular ini menjadi sebuah peliharaan bagi masyarakat Sunda khususnya kalangan remaja. Terutama yang warnanya coklat serta garis keemasan memiliki daya tarik sendiri sebagai hewan hias. Berdasarkan hasil kuisioner yang telah dilakukan oleh peneliti dan diajukan kepada para smpel. Diperoleh pemahaman terkait leksikon fauna air tawar bernama” Kadut”, yaitu pada 10 remaja usia 14-20 tahun desa Leuwiliang terdapat jumlah pemahaman pada kategori I sebanyak sepuluh (100%), remaja usia 14-20 tahun desa Leuwimekar terdapat jumlah pemahaman kategori I sebanyak sembilan (90%) dan remaja usia 14- 20 tahun desa Karehkel terdapat jumlah pemahaman sebanyak sepuluh (100%).

Satu dari sepuluh remaja di desa karehkel masuk ke kategori II yaitu hanya ‘pernah mendengar saja’. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa leksikon Kadut masih digunakan dalam aktivitas sehari-hari dan masih bertahan dalam masyarakat Sunda di kecamatan Leuwiliang. Contoh satuan lingual yang berbentuk polimorfemis yaitu leksikon Sapu-Sapu. Leksikon Sapu-Sapu merupakan kata ulang atau biasa disebut reduplikasi yang merupakan proses morfofonemis sehingga menjadikan leksikon Sapu-Sapu ini menjadi bentuk polimorfemis karena terdiri dari dua morfem. Leksikon Sapu-Sapu dapat mengisi keterangan seperti kalimat di bawah ini.

Konteks: Ujang memberikan peringatan pada teman perempuannya.

Ujang: Euis tong meli baso di mang Udin deui ih! (Euis jangan beli baso di bang Udin lagi!)

Euis: Naha kitu? Apanan ngeunah barijeng mirah. (Kenapa memang? Kan enak dan murah lagi.)

Ujang: ih sia eta mah basona dijeiun tina lauk sapu-sapu makana mirah jeng gurih. (Ih itu mah basonya terbuat dari sapu-sapu. Pantas murah dan gurih.)

Berdasarkan dari ujaran di atas, terlihat bahwa leksikon Sapu-Sapu merupakan reduplikasi yang dapat berdiri sendiri tanpa dibantu oleh morfem lainnya.

Dalam pengertiannya Sapu-Sapu adalah sebuah hewan air tawar yang berjenis ikan. Biasanya hidup di peraian dangkal dan keruh. Sapu-Sapu hidup tidak seperti ikan pada umumnya yang berenang ke sana kemari. Sapu-Sapu hidup dengan menempel pada batu-batu di perairan bisa juga di dasar air. Ikan jenis ini cukup populer karena kuantitasnya yang banyak serta jenis dan warnanya yang bervariatif. Umumnya bisa dijumpai di toko-toko akuarium karna selain dijadikan hewan hias, ikan jenis ini juga berfungsi sebagai pembersih kaca akuarium alami dengan memakan lumut-lumut yang menempel pada dinding akuarium.

Pada dasarnya ikan jenis ini tidak dapat dikonsumsi karena selain dagingnya yang sedikit ikan jenis ini berbentuk yang menyeramkan sehingga orang banyak menghindari ikan Sapu-Sapu ini untuk dikonsumsi. Tidak ada juga budidaya pada ikan jenis ini karena tidak dapat dikonsumsi. Berdasarkan kuisioner yang diajukan kepada sampel. Diperoleh pemahaman remaja tentang leksikon fauna air tawar yang bernama Sapu-Sapu ini. Pada kelompok remaja usia 14-20 tahun di desa Leuwiliang diperoleh Kategori I dengan pemahaman sebesar sepuluh (100%), remaja usia 14-20 tahun di desa Leuwimekar diperoleh Kategori I dengan pemahaman sebesar sepuluh (100%), dan remaja usia 14-20 tahun desa Karehkel diperoleh kategori I dengan pemahaman sebesar sepuluh (100%).

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa leksikon Sapu-sapu yang berbentuk polimorfemis ini masih bertahan dan digunakan dalam aktivitas sehari-hari baik untuk edukasi bahwa fauna ini tidak dapat dikonsumsi atau sebagai hewan hias serta pembersih akuarium. Contoh satuan lingua berbentuk frasa yaitu Kutu Cai. Kutu Cai merupakan serangga sejenis kutu yang hidupnya di air tawar dangkal dan keruh. Kutu Cai termasuk ke dalam frasa endosentrik karena memiliki unsur dan atribut bawaan yang setara sehingga jika salah satu dihilangkan akan tetap menjadi sebuah kalimat akan tetapi dapat berubah pengertian. Leksikon Kutu Cai dapat menjadi sebuah leksikon keterangan dalam kalimat. Contohnya seperti di bawah ini.

Konteks: Ujang bertanya kepada ibunya.

Ujang: Bu. Suku Ujang naha barereum jeng ateul kieu? (Bu, kaki Ujang kenapa merah dan gatal gini?)

Ibu: Ih sia. Eta mah kena Kutu Cai. (Ih itu mah kena kutu air)

Kutu Cai atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kutu air adalah serangga air yang cukup mengganggu dan dihindari oleh beberapa kalangan masyarakat dikarenakan jika tersengat serangga jenis ini cukup memberikan gatal yang ekstrim.

Dalam KBBI, Kutu air disebut juga sebagai kuman yang memberikan rasa gatal pada sela-sela jari tangan maupun kaki. Kutu Cai juga bisa diambil manfaatnya oleh beberapa kalangan terutama penyuka ikan-ikan kecil seperti cupang, Chana, dan Louhan karena Kutu Cai ini bisa menjadi pakan sekunder untuk hewan berjenis predator ini. Tidak sedikit juga yang sengaja membudidayakan Kutu Cai ini karena harganya yang cukup tinggi dipasaran serta permintaan yang banyak pula.

Berdasarkan penyebaran kuisioner pada sampel penelitian ini, diperoleh pemahaman kelompok kalangan remaja terhadap leksikon Kutu Cai, yaitu pada kalangan remaja usia 14-20 tahun di desa Leuwiliang diperoleh kategori I sebesar sepuluh (100%), pada kalangan remaja usia 14-20 tahun di desa Leuwimekar diperoleh kategori I sebesar 10 (100%) dan pada kalangan remaja usia 14-20 tahun di desa Karehkel diperoleh kategori I sebesar sepuluh (100%).

Dilihat dari hasil kusioner tersebut leksikon Kutu Cai masih dikenal di kalangan remaja dan digunakan dalam aktivitas sehari-hari dikarenakan tren yang mulai muncul kembali akhir-akhir ini yaitu memelihara ikan predator. Kalangan remaja kini sudah mulai melirik kembali tren yang sudah hampir hilang tersebut sehingga leksikon-leksikon fauna air tawar mampu bertahan pada kalangan remaja saat ini. Untuk mendapatkan seberapa besar pemahaman kalangan remaja terhadap leksikon fauna air tawar pada masyarakat Sunda yang telah dikumpulkan, peneliti menguji leksikon tersebut kepada 30 orang dengan kelompok usia yang sama yaitu 14-20 tahun tetapi berbeda desa.

Desa tersebut adalah desa Leuwiliang, Desa Leuwimekar dan desa Karehkel yang berada di kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Leksikon-leksikon yang sudah dikumpulkan diujikan kepada 30 remaja tersebut dengan memberikan 3 pilihan jawaban yaitu (1) Mengenal, Pernah melihat dan Pernah menggunakan, (2) Pernah mendengar, dan (3) tidak mengenal sama sekali. Peneliti menggunakan rumus yang telah disebutkan di atas sebagai bentuk perhitungan dalam menentukan persentase kepemahaman remaja pada leksikon fauna air tawar. Pemahaman kalangan remaja usia 14-20 tahun di kecamatan leuwilinag terhadap 84 leksikon fauna air tawar. Pada kalangan remaja desa Leuwiliang pemahaman kategori I diperoleh sebanyak 560 dengan jumlah rata-rata 66,6%.

Pemahaman kategori II diperoleh sebanyak 90 dengan jumlah rata-rata 10,7 % dan pemahaman kategori III diperoleh sebanyak 190 dengan jumlah rata-rata 22.7 %. Pada kalangan remaja desa Leuwimekar didapatkan pemahaman kategori I diperoleh sebanyak 360 dengan jumlah rata-rata 42,7%, pada pemahaman kategori II diperoleh sebanyak 100 dengan jumlah rata-rata 12% dan pada pemahaman kategori III diperoleh sebanyak 380 dengan jumlah rata-rata 45,3 %. Pada kalangan remaja desa Karehkel didapatkan pemahaman kategori I diperoleh sebanyak 420 dengan jumlah rata-rata 50%, pada kategori II diperoleh sebanyak 220 dengan jumlah rata-rata 26,2%, dan pada kategori III diperoleh sebanyak 200 dengan jumlah rata-rata 23,8%.

Ditinjau dari hasil perhitungan peneliti dapat disimpulkan bahwa ada 19 leksikon fauna air tawar yang sudah tidak dipahami dan dikenal oleh kalangan remaja di kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Berikut leksikon-leksikon yang sudah tidak dikenal dan punah pada kalangan remaja kecamatan Leuwiliang. Berdasarkan tinjauan dari data di atas dapat disimpulkan ada 19 leksikon fauna air tawar yang sudah lagi tidak digunakan di kalangan remaja usia 14-20 tahun.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kepunahan leksikon-leksikon tersebut yaitu. (1) terganggunya ekosistem dalam perairan daerah kecamatan Leuwiliang sehingga fauna-fauna yang dulunya ada di daerah Leuwiliang tidak dapat bertahan hidup sehingga jangan ditemui kembali pada masa kini. (2) tidak terjadinya regenerasi bahasa dari orang tua kepada kalangan remaja. (3) Tidak adanya kepedulian akan pencatatan dan rekam jejak kebudayaan dalam lingkar literasi kebahasaan khususnya bahasa Sunda. Pemertahanan terjadi pada 65 leksikon lainnya.

Peneliti melihat bahwa kebiasaan masyarakat masih menjadi titik utama dalam mempertahankan leksikon-leksikon fauna air tawar ini seperti budidaya dan menjadi santapan pendamping nasi. Dari 65 leksikon yang bertahan hampir seluhurnya mengatakan mengenali karena masih dapat ditemui karena budidaya yang dilakukan sebagai upaya memenuhi kebutuhan. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah pertimbangan dalam pencatatan budaya khususnya leksikon fauna air tawar pada masyarakat Sunda di kecamatan Leuwiliang-Bogor sebagai upaya pemertahanan bahasa Sunda.

***

Fauna sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia, tidak hanya sebagai makhluk yang dapat memberikan manfaat tapi juga dapat memberikan warna bagi lingkungan. Konsep fauna khususnya fauna air tawar terbungkus dalam bingkai leksikon. Leksikon-leksikon tersebut dikumpulkan dan dikaji sebagai upaya pemertahanan bahasa Sunda khususnya. potensi punahnya atau ketergeseran fauna air tawar pada kalangan remaja sangat tinggi sehingga perlu upaya dan pengkajian yang serius dalam hal ini. Sebagaimana berbagai kondisi yang telah saya dilalui dalam penelitian tersebut.

Saya menyimpulkan bahwa 19 leksikon fauna air tawar punah dan bergeser pada kalangan remaja hal ini dapat diantisipasi dengan menurunkan kembali meregenerasi leksikon yang sudah hampir punah ini. Dari penelitian ini mendapatkan hasil 84 leksikon fauna air tawar yang dibagi menjadi 3 jenis yaitu 67 leksikon fauna jenis ikan, 13 leksikon berjenis melata, 6 leksikon fauna bercangkang, dan 8 leksikon berjenis serangga. Dari hasil uji pemahaman kepada 30 remaja di kecamatan Leuwiliang didapatkan 65 (77,4%) leksikon fauna air tawar masih bertahan dan digunakan dalam aktivitas sehari-hari. 19 (22,6%) leksikon fauna air tawar tidak dapat bertahan atau punah pada kalangan remaja di kecamatan Leuwiliang.

Dalam hal ini upaya-upaya perlu dilakukan dalam mempertahankan leksikon-leksikon yang masih bertahan agar tidak terjadi kembali kepunahan pada leksikon fauna air tawar tersebut. Pentingnya penelitian ini menjadi sorotan utama dalam melakukan penelitian. Karena selain mengakomodir kebudayaan dalam leksikon fauna air tawar dalam bahasa Sunda, juga sebagai rekam jejak pemertahanan dan ketergeseran leksikon fauna air tawar pada kalangan remaja di kecamatan Leuwiliang ini.

Dengan adanya penelitian ini, saya menyarankan untuk meningkatkan upaya-upaya mempertahankan bahasa daerah khususnya bahasa Sunda dalam leksikon fauna air tawar pada kalangan remaja. Penelitian ini juga saya harapkan dapat menjadi bahan catatan budaya dan bahan pembelajaran bagi mahasiswa bahasa Indonesia ataupun mahasiswa Bahasa Sunda, terkhusus masyarakat luas.***

DAFTAR PUSTAKA

Alimin, Rahmat, et al. “Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Universitas Syiah Kuala Provinsi Aceh 429.” Jurnal Master Bahasa, vol. 8, no. 1, 2020.

Antono, Arif, et al. “Pemertahanan Fonologis Dan Leksikal Bahasa Jawa Di Kabupaten Wonogiri: Kajian Geografi Dialek.” JSI, vol. 8, no. 1, 2019. Arnawa, Nengah. Pergeseran Kosakata Bahasa Bali Ranah Pertanian: Studi Linguistik Kebudayaan. Aksara. vol. 8no. 1, 2016.

Chaer, Abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Rineka Cipta, 2004.

Nunung Y. et al. “Pemertahanan Bahasa Sunda Di Kecamatan Binong Kabupaten Subang: Suatu Kajian Sosiolinguistik.” Metalingua. Vol. 19, no. 2, 2021.

Darmayanti, Nani, and Duddy Zein. “Pergeseran Bahasa Sunda Dalam Leksikon Makanan Tradisional Sunda Di Kabupaten Bandung Dalam Perspektif Sosiolinguistik Mikro.” Metahumaniora, vol. 8, no. 3, 2018.

Tarigan, “Kebertahanan Danketergeseran Leksikon Flora Bahasakaro: Kajian Ekolinguistik.” Diseratasi Universitas Sumatera Utara, 2020.

Febriyanti, Fitri, and Sulistyowati, “Leksikon Jagung Dalam Masyarakat Tutur Jawa.” Retorika: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya, vol. 11, no. 1, 2018. Iku P. Faktor-Faktor Pemertahanan Khazanah Lingual Kepadian Pada Masyarakat Tutur Bahasa Manggarai. Politera: vol. 3, no. 1, 2018.

Ladyanna, Sonezza, et al. “Leksikon Persawahan Di Kota Padang.” Puitika. vol. 14, no. 2, 2018. Mashudi Wibowo. “Leksikon Dalam Aktivitas Pertanian Masyarakat Yogyakarta.” Sasdaya. vol. 4, no. 2, 2020.

Muslihah, Nur Nisai, et al. “Pemertahanan Bahasa Sindang Pada Masyarakat Kota Lubuklinggau.” Jurnal Kajian Bahasa, Sastra Dan Pengajaran (KIBASP), vol. 2, no. 1, Dec. 2018.

Mustikasari, Rizki, and Cutiana Windri Astuti. “Pergeseran Penggunaan Bahasa Jawa Pada Siswa Tk Dan Kb Di Kelurahan Beduri Ponorogo.” Alinea. vol. 9, no. 1, 2020.

Rosidin, Odien, et al. “Kajian Antropolinguistik Leksikon Etnomedisin Dalam Tradisi Pengobatan Tra-Disional Masyarakat Sunda di Kabupaten Lebak dan Pandeglang.” Litera, vol. 151, no. 1, 2022.

Ulfah, Hanum, et al. “Pemertahanan Bahasa Jawa Krama di Desa Jagir Kecamatan Sine Kabupaten Ngawi.” Alinea. vol. 11, no. 1. 2020.

Yunus, Muhammad, and Jamiatul Hamidah. “Leksikon Fauna Dalam Bahasa Jawa Surabaya Di Desa Batu Mulia: Kajian Etnolinguistik.” Dialektik.vol. 3, no. 2, 2021