Setapak Jalan Menuju Hutan lebat: Saleh Danasasmita

Foto: ziarah ke pemakaman Saleh Danasasmita (halimunsalaka.com)


Ndeh nihan tembey (inilah permulaannya)

Apa yang terlintas ketika melihat tagline “Kembali Ke Akar, Kembali Ke Sumber(?)”, bagaimana menelusup akar, lebih jauh lagi kembali ke sumber? Begitulah kira-kira pertanyaan retoris di tengah obrolan sekumpulan orang yang tengah melakukan perjalanan pulang ke kampung halamannya.

Sudah barang tentu yang dimaksud ungkapan tersebut mengarah pada akar kesejarahan tanah kelahiran. Sekali pernah ditawari pertanyaan seorang kawan di tengah obrolan sekopi kala itu yang kemudian malah jadi obrolan bersambung: Siapa di balik peletak dasar yang kini bernama Bogor? Dari mana muasal sumber tersebut? Bisakah narasi itu diziarahi sebagai referensi tekstual dan pijakan bersama menuju ke depan?

Kemudian ketemulah pada satu nama yang terkenang, ialah Saleh Danasasmita. Salah satu dari sedikit orang yang bisa menerjemahkan naskah-naskah Sunda Kuno. Seorang yang sejak kecil akrab dengan kesenian dan budaya Sunda. Mempelajari huruf palawa yang konon ia tempuh secara mandiri (otodidak), dan membaca bahasa kawi/sunda kuno yang kemudian menjadi bekalnya menebas jalan menuju hutan lebat kenangan: Bogor dan sejarahnya. Sudah pasti, tak kurang pula dengan dukungan disiplin historiografi dan filologi yang menyatu dalam dirinya.

Obrolan kala itu berlanjut pada laku penziarahan. Pada mula pertama ziarah mesti diarahkan pada makam Saleh Danasasmita sebelum melanjutkan ziarah tekstual pada lahiriah kekaryaannya. Barangkali itu adalah cara lain melepaskan diri dari perangkap Pseudohistory.

Saleh Danasasmita dilahirkan di Sumedang 27 Juni 1933 dan wafat di Bogor pada hari jum’at, 8 Agustus 1986, waktu itu pukul 04:30 pagi dalam usia 53 tahun dan dimakamkan di TPU Dreded Kota Bogor. Meskipun catatan mengenai tempat kelahirannya menimbulkan kerancuan (beberapa menyebut ia lahir di Sumedang, yang lain lagi menyebutnya di Bandung), tapi yang membuat diri ini ingin menafsir menyoal pemakamannya di Bogor, lebih tepatnya di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dreded di Jalan Pahlawan, Kelurahan Empang, Kecamatan Bogor Selatan di mana seperti kata mbah Saleh sendiri: Empang dahulu merupakan alun-alun luar di jaman Pajajaran sebagai latihan keprajuritan Laskar Pajajaran.

Apakah ia pernah berwasiat untuk dimakamkan di tanah bekas kejayaan Pajajaran? Tapi kalau tak berlebihan dalam menafsirkan, di luar kemungkinan wasiatnya, Saleh Danasasmita serupa pejalan yang merapikan sendiri puing-puing yang tertutup halimun sebagai tempat peristirahatan sejati. Sebagaimana para terdahulu yang siaga mempersiapkan sendiri tanah yang kelak jadi pekuburannya; mereka yang awas pada isyarat bakal menyiangi rumput, meretas ranting, merapikan tanah di mana ia akan dibaringkan, bahkan ada yang menanam sendiri kapas yang kelak dipakai sebagai perhiasan kematiannya. Semisal pernah membaca puisi Chairil Anwar dalam kumpulannya Yang Terhempas Dan Yang Putus tertulis: Di karet, daerahku yang akan datang. Maka kalau boleh meminjam sepenggal puisi seorang kawan, untuk tidak melebih-lebihkannya, mungkin mbah Saleh mau juga untuk bilang: Bogor bagiku bukan hanya ruang pengembaraan, jauh sebelum itu melebihi batas waktu persembunyian; kelahiran dan kematian.

Mungkin saja pemakaman Saleh Danasasmita di TPU Dreded tersebut diinisiasi pemerintah waktu itu sebagai penghormatan pada beliau yang hasil kerja kebudayaannya banyak tercurah untuk Bogor? Atau bentuk ketakziman kepada beliau yang di samping seniman, budayawan, pengajar, guru dan sejarawan, juga sempat menjabat sebagai kepala Seksi Kebudayaan Depdikbud kota Bogor di tahun 1975?

Anggapan tersebut mesti sedikit dijeda oleh sebab, apa yang dialami di Dreded ketika mencari pemakaman Saleh Danasasmita sama melelahkannya dengan mencari gerbang kesejarahan Bogor ini sendiri. Sejauh pembacaan kami, nyekar yang dilakukan pemerintah ke makam ini terakhir dilakukan pada 2014 silam (koreksi). Kalau pun dapat perhatian, pusaranya tak bakal kosong melompong tanpa tulisan namanya di atas nisan.

“Nyukcruk” yang tak pernah selesai

Saleh Danasasmita, sebagai manusia biasa yang bernafaskan kesenian telah banyak menciptakan lagu-lagu sunda, pupuh, kawih, tembang cianjuran dan gendang karesmen. Ia juga mendirikan majalah Manglé yang merupakan majalah pertama berbahasa sunda yang diterbitkan di Bogor selain majalah Sunda lainnya seperti Hanjuang dan Baranangsiang. Meskipun tidak (belum mampu) kami temui artefaknya yang mungkin saja masih tersimpan di balik meja dinas arsip atau memang tak lagi ada? Mengingat hasil karyanya seperti buku Sejarah Bogor yang–makin sulit didapat–terdiri atas dua bagian ini pun cuma satu yang terbaca, terlebih karya ilmiahnya yang masih tercecer di perpustakaan luar negeri, seperti Universitas Yale, Michigan dan di Australia. Walau mungkin masih bisa didapatkan di perpustakaan sebuah Yayasan, seperti Yayasan Kebudayaan Rancagé yang didirikan Ajip Rosidi beserta budayawan lain. Sebab Ajip pulalah yang getol mengumpulkan tulisan-tulisan Saleh yang berserakan itu.

Lalu mengapa Saleh Danasasmita yang kemudian muncul ke permukaan di tengah sidang perkopian? Bukan tanpa alasan, hasil karya Saleh banyak dijadikan sumber pijakan, referensi tekstual para peneliti, budayawan, dan pelaku sejarah kasundaan di masa datang. Dari kegigihannya membaca, menyalin, menerjemahkan naskah sunda kuno itu kita yang awam bisa belajar mengenal, membuka jalan, mendekat ke sumber, atau orang kini biasa menyebut Close Reading–membaca dari dekat. Seperti yang pernah dikatakan Hawe Setiawan: “membaca tulisan-tulisan Saleh adalah tamasya tersendiri.” Maka, bila ingin menjelajahi hutan lebat kesejarahan itu, baiknya tulisan Saleh dijadikan pijakan untuk sampai menuju ke sana.

Memasuki hutan lebat kenangan bernama Bogor itu serupa menapaki jalan yang sangat berlumpur dan berbatu (De wech seer modderich en steenigh). Sebelum akhirnya Saleh Danasasmita membukakan jalannya setapak demi setapak. Ia meninjau ulang temuan para peneliti Eropa, seperti laporan tertulis tim ekspedisi kebo bulé (VOC) untuk meneliti bekas Istana Pakuan Pajajaran.

Sejauh pembacaan, ada tiga tim ekspedisi pernah dikirim yang masing-masing dipimpin oleh Scipio (1687); Adolf Winkler (1690); Abraham Van Riebeeck (1703-1709). Saleh mengasosiasikan laporan-laporan itu dengan apa yang ada dalam naskah Sunda Kuno, Carita Parahyangan dan artefak. Ia juga mengklarifikasi keraguan laporan Winkler. Dalam catatannya, Winkler memberitakan bahwa isi “Istana Pakuan” dikelilingi dinding dan di dalamnya terdapat batu berisi tulisan 8 setengah baris. Kemudian Saleh Danasasmita yang mengklarifikasinya dan menjelaskannya kembali bahwa yang dilaporkan Winkler itu adalah prasasti Batutulis yang mengandung 9 baris tulisan.

Saleh seperti mengajak “Nyukcruk” jauh ke pedalaman. Melihat dari dekat hutan kenangan, membuka banyak tempat, mengenalkan banyak nama juga peristiwa yang kemudian menjadi dasar kehidupan Bogor setelah Pakuan Pajajaran. Tentu dengan tetap berpijak pada perbekalan teks dan artefak yang ia bawa, sebab kata Saleh: masa silam yang jauh sering memantulkan gema yang kabur yang proyeksinya dapat dilihat dalam lakon pantun dan babad.

Sekali waktu pernah mendengar pendahulu berujar: “Pajajaran tidak hilang, Pakuan hanya ngahiang.” Itulah ungkapan kerinduan para pujangga setiap mendengar Gema Pajajaran. Seperti Tanujiwa, orang Sunda dari Sumedang yang terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas ibukota Pakuan bersama Scipio yang kemudian membuka hutan Pajajaran dan mendirikan kampung baru bersama pasukannya. Itulah yang kemudian diceritakan Saleh sebagai peletak dasar Negeri Bogor. Seperti titik tolak pengambilan hari jadi kota Bogor yang tak bisa dilepaskan dari hutan kenangan Pakuan Pajajaran.

Jika Saleh Danasasmita “nyukcruk” Gerbang Pakuan Pajajaran, upaya ini baru sebatas “Nyukcruk”, menulusuri–melangkah pun belum– jejak Saleh Danasasmita sebagai filolog yang menyabit semak menuju kesejarahan Bogor.

Kalau boleh dibilang, upaya ini tak ubahnya langkah anak kecil yang baru belajar berdiri; kemudian berjalan selangkah demi selangkah berusaha memasuki gerbang kesejarahan ibu yang melahirkannya. Jika tak bisa memasukinya secara utuh, itu karena kemampuan terbungkus keterbatasan yang amat sangat.

Atau anggap saja “ngabulatuk” ini sebagai tanda menamkan akar atau Ngabalay (berbalay; membuat jalan, mengeraskan jalan), sebagaimana para leluhur Pakuan yang dulu ketika berpindah ke Citorek membawa pohon pakujajar, mereka menanamkan pohon-pohon itu di sepanjang perjalanan (Bogor – Gunung Batu – Kampung Balay – Citorek) untuk kelak mereka jadikan patok mengenal kembali jalan pulang.

Untuk mengakhiri omong-omong ngabulatuk ini, maka sepenggal pantun Sunda yang diterjemahkan Hawe Setiawan inilah sebagai penutup:

Diteundeun di jalan gedé

Dibuka ku nu ngaliwat

Anu weruh di semuna

Anu terang di jaksana

Anu Rancagé di haté

“Simpanlah sesuatu di jalan besar/supaya bisa dibuka oleh siapapun yang lewat/yang bisa mengetahui isyarat/yang bisa menangkap tanda-tanda/yang kreatif di dalam hatinya.”

Sumber:

Sejarah Bogor – Saleh Danasasmita

Kerajaan Pakuan Pajajaran dan Bogor dalam pusaran sejarah dunia – Ahmad Yanuana Samantho

Saleh dan Referensi Tekstual Sejarah Sunda – Hawe Setiawan

komentar (0)