Foto: Kemah Seni Festival
Setelah menyukseskan acara Kemah Seni Festival yang petama pada tahun 2021, dan yang kedua pada tahun 2022, kali ini Cilebut Art Project kembali menjadi magnet para pegiat seni, untuk bercampur-baur, menumpahkan bakat dan kemampuannya dalam wadah Kemah Seni Festival yang ketiga, pada 11 – 12 November 2023, di Bumi Perkemahan Sukamantri, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.
Para aktor teater, pantomime, musikus, dan para pementas lainnya mampu menghipnotis para penonton hingga lupa gemercik gerimis yang jatuh bergantian membasahi kepala, pundak, dan kaki mereka. Semalam suntuk, para pementas menyuguhkan sajian yang menghangatkan suasana, lengkap dengan nilai-nilai kritik sosial, fenomena budaya, sebagai refleksi atas jalan kehidupan.
Lagi-lagi Cilebut Art Project berhasil memberikan wadah untuk menghabiskan weekend para pecinta seni di alam terbuka bersama tontonan yang layak dinikmati semua usia. Namun, kenikmatan yang dirasakan oleh para peserta, dan penampil, barang tentu dihasilkan dari kerja cerdas para panitia dalam mengemas dan menyembunyikan problematika di dalamnya. Kita, tahunya acara KSF 2023 berhasil, tanpa mengetahui susah payah para panitia di dalamnya.
Usai pementasan para pemanggung, redaksi Halimun-Salaka menyempatkan untuk berdialog secara khusus dengan orang (katakanlah kuncennya) yang terlibat dalam suksesi KSF 2023. Mulanya kita hanya ingin mengetahui lebih dalam bagaimana resep awal dan prosesnya hingga konsep penyajian acara kemah seni, hingga para peserta rela berjam-jam tidak pindah dari tempat duduknya, karena sajian pementas dalam rangkaian acaranya sungguh menarik. Bahkan ketika diguyuri hujan — penonton rela memakai jas-hujan untuk terus melihat dan mengikuti rangkaian acaranya.
Akan tetapi, sebagaimana diskusi dua orang sahabat lama, dialog berlangsung jauh dari apa yang direncanakan sebelumnya. Mulanya ingin mendapatkan informasi, namun di pertengahan obrolan, ada yang membuat salah satu redaksi Halimun-Salaka menggelengkan kepalanya beberapa kali seraya berkata, “Ya, Tuhan, kok bisa ya!”.
Obrolan yang membuat redaksi Halimun-Salaka heran itu, tentang minimnya peran pemerintah daerah dalam mendukung tumbuh-kembang kesenian di Kabupaten Bogor. Pemerintah Kabupaten Bogor sama sekali tidak terlibat dalam suksesi acara tersebut. Eh, tapi kan di poster acara tertera logonya? Logo Pemerintah Kabupaten Bogor dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya menumpang saja, tentu artinya tak ada apresiasi materil-moril barang-sedikit-pun. Hahay-kacows!
Semoga Cilebut Art Project tak kehabisan cara memberikan kritik pentingnya pengembangan kesenian dalam lajur budaya-sejarah kepada pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, yang seharusnya mereka-lah sendiri yang mengingatkan itu kepada kita sebagai tuan-rakyat. Entah karena memang tidak peduli dengan perkembangan kesenian atau karena Cilebut Art Project bukan bagian dari “orang-orang” bapak Bupati. Entah, yang pasti, kemungkinan kedua-lah bisa dikatakan mendekati kebenaran adanya.
Pemerintah daerah di Indonesia memang seringkali membeda-bedakan “kamu orang siapa” untuk memajukan sektor-sektor tertentu. Kendati begitu, tidak banyak juga pemerintah daerah yang memposisikan diri netral atau tidak melihat siapa di belakangnya demi kemajuan daerah mereka sendiri. Tapi tetap saja, ini kelewat Aneh bin ajaib, dan bukankah sudah kelewat batas tak asyik negara ini, dan bahkan kota ini!
Cerita kesulitan Cilebut Art Project menembus pintu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata untuk hanya mendapatkan support dan dukungan mereka, membuat redaksi Halimun-Salaka terpaksa mengabarkan cerita ini pada khalayak ramai. Sebab, kita ingin kejadian serupa tidak terjadi terus-menerus kepada para pegiat seni di Bogor, zonasi Kabupaten khususnya.
Sejauh mata memandang, pengembangan sektor kesenian di Kabupaten Bogor seakan tidak menjadi prioritas. Entah memang karena tidak dipublikasikan atau memang tidak ada program pengembangan sektor kesenian untuk para pegiat seni betulan. Selayaknya kegiatan pemerintah, secuil kebaikan yang mereka lakukan biasanya akan selalu mereka publikasikan. Namun mengapa kesenian berada di jurang kegelapan, yang mereka sendiri enggan membersamai nilainya?
Lebih jauh lagi, pengisi kegiatan KSF 2023 di-isi oleh para pemanggung yang didominasi dari luar Kabupaten Bogor. Pegiat seni dari Jakarta, Tangerang, dan bahkan ada yang di Yogyakarta, dan beberapa daerah lainnya berkumpul untuk menyajikan yang terbaik kepada para peserta.
Uniknya lagi, bukan Dewan Kesenian Kabupaten Bogor atau Kota Bogor yang hadir dalam KSF 2023, tapi malah Dewan Kesenian dan Kebudayaan Majalengka yang memberikan penampilan spektakuler untuk para peserta. Bukan karena tidak diundang, namun kehadiran Dewan Kesenian Kabupaten Bogor dan Kota Bogor tidak pernah terdengar kegiatannya, wujud strukturnya, bahkan keberadaan hidupnya. Ke-mana-kah mereka, pembaca budiman?
Akhirnya, kita harus menerima realitas dengan hati yang lapang, walau anyings dipikiran. Kondisi dan keberpihakan pemerintah daerah terhadap tumbuh-kembangnya kesenian di Kabupaten Bogor “boleh” disebut belum maksimal, atau memang sebenarnya mereka terlampau acuh? Kita maknai sesuai apa yang di-alami masing-masing saja. Pengalaman di sini, tentu terletak pada keberadaan Cilebut Art Project yang sudah ada namanya di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, masih juga tidak di-lirik sebagai wadah pengembangan kesenian di Bumi Tegar Beriman.
Padahal berbicara tentang seni dan alam, tentu pariwisata-budaya-sejarah salah-satu prosesi input-output sebagai daya tariknya. Bogor tidak kalah menarik dengan pesona alam dan sejarah peradabannya yang tinggi dan luhur. Meski tak memiliki artefak atau warisan kerajaan seperti candi yang megah, tanah yang kini bernama Bogor memiliki nilai sejarah yang panjang — jika ditelisik dari sejarah Sunda, bahkan Nusantara.
Dengan penghidupan kesenian dan kebudayaan yang dirancang dan terencana secara sistematis dengan alam-lingkungan, serta memiliki visi-misi yang tidak meninggalkan sejarah-budaya, harusnya Bogor dapat bersaing dengan kota/kabupaten lainnya dalam hal pariwisata yang ditinjau dari segi kesenian, jika pengelolaan pemerintah bisa membersamai kelompok-kelomok seniman sebagai tonggaknya.
Sebagai contoh, Tubaba mengundang para seniman untuk residensi dan membantu daerahnya dikenal sebagai daerah berpotensi wisata dan memiliki kekayaan seni-budaya. Bisa dibayangkan, jika Bogor fokus melestarikan pemajuan pariwisata seni-budaya dalam muatan nilai sejarah, misalnya melalui seniman lokalnya diwajibkan menelusuri sekaligus meresidensi jejak-jejak peninggalan Tarumanagara, Pakuan Pajajaran, sebagai wahana-kreatif yang direspon para seniman dalam karyanya, dibantu secara berkelanjutan lewat apresiasi-dukungan materil-moril pemerintah, pastilah hasil karyanya akan menarik minat wisatawan domestik Indonesia, bahkan internasional.
Dan bisa terbayang pula, jika residensi secaman itu, diperluas dari nilai peninggalan seni musik, arsitektur, kuliner, dan sebagainya, dampak yang diterima Bogor bisa membangkitkan kehidupan UMKM, pengelola wisata, dan kehidupan seni yang maju dan mandiri, lebih jauh lagi mungkin Bogor akan menjadi kota yang sedikit lebih baik, tidak meninggalkan nilai seni-budaya dan sejarah peninggalan Nenek-moyangnya.
Syahdan. Perjalanan Cilebut Art Project dalam menembus kesadaran pemerintah daerah harus dijadikan pelajaran dan semangat kebersamaan bagi para pegiat seni lainnya, bahwa menggantungkan harapan pada pemerintah (khususnya di Bogor) untuk mengembangkan sektor kesenian akan menemui kesia-siaan dan kesia-sialan, sebab sampai sejauh ini pegiat seni di Bogor tak mendapat tempat dan waktu yang baik lewat dukungan pemerintah dalam membangun sebuah kota yang ber-seni-budaya, sebagaimana yang dialami Kemah Seni Festival.
Kita harus sama-sama berdiri, saling menguatkan dan bekerja keras untuk membangun kesadaran pentingnya pengembangan nilai seni-budaya di Bumi Tegar Beriman, lagi-lagi tanpa berharap apapun pada pemerintah. Sekali lagi, tanpa berharap pada siapa? Isi sesuai keinginan pembaca budiman.***
Saya dinamai Egi Abdul Mugni oleh Umi. Lahir tengah malam di bulan Oktober. Saya seorang Jurnalis di Bogor.