Foto: halimunsalaka.com
Saya mengenal nama Bambang dari seorang pewarta yang menceritakan kisahnya sekilas lalu. Menurut kabar, ia membikin rumah pribadi dan sekaligus menjadi taman baca di desa Cimayang. Sebuah desa di ujung Bogor Barat itu mungkin terdengar asing di telinga sebagian orang, tempat yang tidak (belum) tercatat dalam peta kesejarahan. Namun siapa menyadari, desa ini menjadi arah singgah seorang pengelana yang mengabdikan separuh hidupnya menjadi pengarang cerita anak.
Kabar selayang pandang itu lantas membekas jadi keinginan dalam diri untuk bertemu dengannya; menyambangi kediamannya sekadar mengucap salam silaturahmi, selebihnya, tentu saja mencerap sebaris ilmu dari cerita kehidupannya.
Belakangan saya mendapat tambahan informasi dari petugas desa setempat: Rumahnya berada di lembah, tepatnya di Kampung Cimayang Dukuh RT 10, sekitar satu kilometer jaraknya dari Kantor Desa Cimayang. Kalau masuk dari arah pasar Cimayang, ikuti saja jalan lurus melewati kantor desa, lalu belok ke gang yang hanya muat seukuran mobil, setelah itu bakal ketemu perkebunan dikelilingi rimbunnya pohon; itulah pemandangan yang akan tersuguh sebelum sampai ke Rumah Baca Taman Semesta.
Bambang bukan golongan orang yang sulit untuk ditemui, sebagaimana tak sulit menemukan alamat rumahnya. Di desa itu, namanya tersebar seperti tanda panah baru dalam peta sejarah Cimayang yang belum tertulis. Menanyakan namanya, kita akan diarahkan ke suatu bangunan di lembah, yang di dalamnya menyimpan hutan cerita dari seorang pengelana, Bambang Joko Susilo.
Bambang, siapakah ia?
Awalnya saya kira, berkunjung ke Rumah Baca Taman Semesta ini hanya akan berakhir dengan melihat-lihat deretan rak sambil sesekali menyentuh satu-dua bukunya lalu pulang dengan perasaan yang tak terjelaskan. Tapi ternyata prasangka itu mesti disimpan di rak pikiran saya yang lain, sebab sosok lelaki beruban yang siang itu kebetulan sedang membersamai anak-anak menyambut kedatangan saya dengan keteduhan penuh-seluruh lalu membawa saya pada hal yang lebih karib. Setelah mempersilakan duduk di saung halaman rumahnya, saya memulai obrolan sambil menyesap kopi yang ia sajikan bersama dengan tersajinya kemesraan cerita mengenai kisah pengembaraannya.
Bambang Joko Susilo lahir pada tanggal 14 Juli, 1964, di Sragen, Jawa Tengah. Ia dilahirkan dari orang tua sederhana yang boleh dibilang jauh dari tradisi teks. Meski begitu, Bambang justru akrab dengan cerita anak bahkan sejak duduk di bangku kelas 3 SD. Perkenalannya dengan teks dalam buku-buku bermula dari Pak Sutardi, guru kelasnya yang setiap hari Sabtu rutin mengajak muridnya mendongeng sesudah jam pulang sekolah. Cerita-cerita itu mengakar dalam diri Bambang, kelak menjalar lebih jauh ke dalam literatur sekaligus menjadi bekalnya menjejaki dunia kepenulisan.
Rasa penasaran saya makin menjadi ketika pada siang itu, ia membawakan saya sekotak wadah berisi kumpulan catatan. Bolak-balik tangan saya mencari jejaknya sebelum terhenti pada kliping koran tertanggal 6/10/1981; surat kabar Sinar Harapan yang memuat tulisan pertamanya dalam rubrik Mari Mengarang. Dalam profil di bawah tulisan berjudul “Kakek Tersedu” itu ia tercatat sebagai murid SMP Negeri 68, Jakarta. “Sekitar kelas 3 kalau saya tak salah ingat”, kata Bambang menimpali pertanyaan saya.
Belum ada honorarium dari tulisan yang dimuat dalam rubrik itu, karena ruangnya memang disediakan untuk mereka yang baru belajar melangkah. Honor pertama sebagai penulis baru ia dapatkan setelah karyanya berjudul “Hadiah Dari Paman Sukris” menceritakan seorang anak laki-laki yang tertarik pada kesenian dimuat dalam rubrik cerpen Sinar Harapan. Maka cukuplah “hadiah” itu sebagai tambahan uang saku Bambang yang di samping masih pelajar SMP, waktu sepulang sekolah sampai malam dipakainya untuk berjualan rokok dan minuman dalam kemasan dengan gerobak di Jalan Gatot Subroto. Di samping gerobak itu, ada lapak penjual koran sehingga ia bisa numpang baca setiap harinya. Itu merupakan suatu keberuntungan menurutnya, sebab ia punya kesempatan mengakrabi teks di dalam koran, lebih lagi punya bahan menambah kliping.
Teringatlah saya pada kisah Pramoedya Ananta Toer dan karya-karya besarnya yang bermula dari hal-hal kecil seperti kegemarannya mengkliping surat kabar. Hal serupa saya temukan dari sekotak catatan Bambang dalam perjalanan proses kreatifnya. Ia yang sejak itu menjajakan dagangan dengan gerobak di samping lapak penjual koran diam-diam mengakrabi ragam teks di dalamnya. Tanpa disadari, di kemudian hari klipingnya berisi kumpulan ceritanya sendiri yang pernah dimuat di beberapa surat kabar. Seperti tak ingin lenyap ditelan waktu, Bambang serupa arsiparis yang mengkliping sendiri jejak kepengarangannya. Saya beruntung dipersilakan melihat titik tolak dimana ia berangkat menuju dunia kepenulisan.
Demi meluaskan hasrat-kegemarannya pada menulis, maka selepas SMA ia memutuskan untuk melanjutkan studinya pada Ilmu Jurnalistik Sekolah Tinggi Ilmu Publistik (sekarang IISIP) Jakarta, dan lulus di tahun 1989. Banyak teman seangkatannya yang setelah lulus dari sana menjadi wartawan, tak jarang juga yang lari ke politik, namun kesadaran gerak Bambang tetap di jalur kesenian.
Dalam ceritanya, ia pernah juga keranjingan pada lukisan atau katakanlah “maniac” menggambar, sehingga banyak juga menghasilkan karya dan beberapa kali mengikuti pameran. Dari sana ia punya kesempatan dipertemukan dengan seniman-seniman besar seperti Joko Pekik.
Ia lalu menunjukkan pada saya salah satu gambar-lukisannya yang pernah dipamerkan di Kebayoran Baru bersama Ipe Ma’roef berjudul Damai Bersama Harimau: “Seorang anak duduk membaca buku bersandar pada harimau”. Lukisan yang ia buat tahun 1997 itu seperti menggambarkan kehidupan keras terlampau buas ini yang dapat ditaklukkan dengan ilmu pengetahuan, salah satunya bisa diperoleh lewat buku.
Lukisan adalah sarana menuangkan ekspresi Bambang selain tulisan. Hal itu karena ia sedikit-banyak terilhami atau katakanlah terobsesi oleh kehidupan pelukis Vincent Van Gogh yang hidupnya diluputi kepahitan begitu tragis. Diakui olehnya kemudian bahwa kegetiran, kepahitan, kesepian, kemiskinan, kepatah-hatian, bahkan kedepresian Van Gogh yang demikian dialami pula dalam kehidupan Bambang.
Selain menggambar, ia sesekali menggantungkan hidup dari musik, menjadi wartawan, bekerja di penerbitan, bahkan sampai pula berkeringat sebagai kuli bangunan sambil tetap menulis. Baginya, semua bidang pekerjaan atau seluruh aspek kehidupan ini bisa dipandang dan dijalani sebagai kesenian; kegembiraan meraih keindahan. Pokoknya jalani saja, langkahi saja; watak dunia penuh keculasan kadang mesti diinjak dengan keindahan.
Tentu semua sudah kebagian perannya masing-masing. Pengarang bisa menciptakan reputasinya pada melukis, sebagaimana tukang masak boleh juga kebagian peran menanak kata-kata. Tanggung jawab maumu terhadap kegembiraan berproses itu asal tetap berpegang pada mau-“Nya”, maka setelah melalui segala prosesnya, Bambang percaya pada maunya yang sejak kecil tersanggat dalam dunia menulis. Dari sastra anak sampai dewasa pernah ia garap. Balai Pustaka, Mizan, Gema Insani Pres, Grasindo, Republika sampai Horison adalah sederet nama yang pernah menampung tulisannya.
Meskipun pernah juga menulis sastra serius, fokusnya kembali diarahkan pada dunia anak. Ia memang tidak banyak menulis soal-soal besar yang telah diulang setiap zaman oleh ahli filsafat atau Nabi. Ia menuliskan hal-hal kecil yang pernah dilihatnya. Barangkali dengan begitu ia tak kebesaran pada dunia juga tak kekecilan padanya. Ia mungkin sadar yang dianggap kecil dari buku cerita anak betapa bergunanya untuk memaknai hidup. Mengingat ia sendiri mengaku punya pengalaman masa kanak yang tidak menguntungkan karena perpisahan orang tua, lalu cerita-cerita anak itulah yang kemudian sedikit-banyak telah menyelematkan hidupnya dari perbuatan mencelakakan diri.
Meminjam kata Antoine de Saint-exupery pada pengantarnya dalam The Little Prince: “semua orang dewasa mulanya adalah anak-anak, meskipun hanya sedikit yang ingat.” Maka, Bambang Joko Susilo boleh dimasukkan pada daftar yang sedikit itu. Sebab sampai hari ini, ia seolah tak pernah kehilangan jiwa anak-anak dalam dirinya. Ia menuliskan apa yang dilihat, mengimajinasikan dirinya menjadi kepak sayap burung elang, nyala kunang-kunang di malam kelam, seekor ular melilit pagar, sepotong rumput, ranting-ranting pohon, menyaksikan keriangan anak-anak merapi, atau segala sesuatu yang ia rasa, yang orang lain juga merasakannya tapi buru-buru melupakannya atau menganggapnya biasa dan bukan suatu hal menakjubkan, tapi ia tetap berusaha menghadirkan kenangan masa kecil itu lalu menuliskannya, untuk kemudian ia dongengkan pada anak-anak yang berkunjung ke Rumah Baca Taman Semesta.
Semesta Hidup Bambang Di Cimayang: Rumah Baca Taman Semesta
Hampir setiap hari, rumahnya di lembah desa Cimayang selalu dikunjungi anak-anak. Mereka ada yang datang hanya sekadar bermain, membaca, atau ada pula yang mengerjakan tugas dari sekolahnya. Mungkin karena latar belakang Bambang sendiri yang sejak kecil mengakrabi cerita anak mengantarkannya pada titik ini, ia menjelma rumah bagi anak-anak desa dalam naungan Rumah Baca Taman Semesta. Tapi bagaimana semua itu bermula?
Seperti dikatakan di muka, Bambang mendedikasikan separuh hidupnya menulis cerita anak. Ia sudah menghasilkan ratusan karya; cerita bergambar, cerpen, esai sampai novel. Salah satu novelnya bertajuk “Suatu Hari Di Stasiun Bekasi” meraih juara pertama lomba mengarang Penulisan Cerita Fiksi Keagamaan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama di tahun 2003. Selain itu, pada tahun 2005 ia meraih Anugerah Kebudayaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sebagai penulis buku anak.
Maka datanglah ia ke Desa Cimayang sekitar 2008 silam dengan membawa uang hasil menang lomba menulis tersebut. Sebermula Rashid Akbar, temannya yang juga seorang penulis mengajak Bambang ke desa ini, ia langsung jatuh cinta pada kesunyian di lembahnya. Menurutnya, ini semua seperti sudah ditakdirkan padanya yang kepingin punya tempat untuk menghening, sekadar ruang tetirah dari riuhnya kota.
Pada awal kedatangannya, ia membeli sepetak tanah yang jauh dari pemukiman warga. Tidak ada satu pun bangunan di sana, yang terlihat cuma pohon, yang terdengar cuma aliran sungai melengkapi suara alamnya. Terperangkaplah hatinya pada suasana alam yang demikian. Lalu ia membabat alas, mendirikan saung di lembahnya hanya untuk tempat menyepi, dalam rangka kontemplasi: mendekatkan diri kepada yang Maha Cinta (baca: Gusti Allah).
Setelah kecintaannya akan keheningan lembah itu, ia bertemu Siti Nurhasanah, gadis Desa Cimayang. Adalah gadis desa itu pula sebagai jawaban dari doa-doa Bambang; ilham dari kenikmatan berasyik-masyuk di lembah sunyinya, pengembaraan yang akhirnya berlabuh di desa ini dan mengikrarkan janji hidup sandar-menyandar dalam Cinta. Menikahlah Bambang dengan Siti Nurhasanah pada 2008, yang hari ini telah dikaruniai 3 orang anak.
Bambang yang telah menikah di umur 45 tahun itu kemudian membawa sebagian hidupnya ke lembah Cimayang. Satu rak buku ia bawa dari tempat sebelumnya di Bekasi ke rumah yang berdiri di atas tanah seluas–kurang lebih–seribu meter ini. Tapi ia heran, ia yang sebelumnya mendirikan bangunan di sini hanya untuk menyepi malah banyak didatangi anak-anak. Keheranan itu berubah cinta setelah ia melihat anak-anak bermain, terlebih melihat antusias mereka pada koleksi buku-bukunya. Anak-anak itu senang bermain di halaman rumahnya yang cuma berpagar tanaman begitu juga Bambang membersamainya.
Hal demikian memantapkan hati Bambang untuk sekalian saja mendirikan sebuah taman bacaan. Ia kemudian ingat suatu gagasan sewaktu menjadi wartawan di warta IKAPI–yang kala itu–IKAPI punya misi untuk mencerdaskan bangsa lewat tulisan. Maka gagasan itu pula yang kemudian ia terapkan pada tiang-tiang bangunan Rumah Baca Taman Semesta yang sudah berdiri sejak 2010. Semua itu dibangun dari hasil kerja-kebudayaannya; honornya sebagai penulis cerita anak.
Sejak 2010 sampai hari ini, Rumah Baca Baca Taman Semesta masih berdiri. Tentu bukan waktu yang sebentar untuk sebuah taman bacaan yang hanya digagas-dirawat single-fighter. Taman Semesta Bambang juga bukan hanya rumah bagi anak-anak. Beragam kegiatan dari berbagai kalangan telah banyak dilakukan di Taman Semesta, sebab pintu gerbang dan halaman rumahnya sedia menampung siapa saja-apa saja kegiatannya asal itu kebermanfaatan tanpa pernah ia meminta harga.
Kalau bukan karena panggilan nurani, tanpa kecintaan, hanya bergantung pada proposal demi mendapatkan nominal, sebuah ruang terlebih taman bacaan mungkin tak akan berumur panjang. Ia butuh dedikasi tinggi untuk tidak mengharapkan apa-apa kecuali kesenangan dalam berbagi. Ia secara tidak langsung ikut andil membuka cakrawala berpikir masyarakat sekitar. Boleh jadi, Taman Baca Semesta ke depan adalah pusat kebudayaan Desa Cimayang. Siapa tahu(?).
Meskipun produktivitasnya dalam menulis cerita tidak sekencang dulu. Bukan berarti ia berhenti menulis. Ia tetap menulis meskipun tidak di masa penerbit, ia bahkan menuliskannya langsung di kanvas semesta, lewat pergumulannya menata tanaman, men-tadaburi alam, berasyik-masyuk dengan karya maha megah-Nya lalu menjadi bagian dari semesta itu sendiri. Bagi saya, ini merupakan suguhan dari perkenalan dengan Bambang sekaligus pengalaman sprituil yang tak tercatat dalam teks.
Saya lalu ingat sebuah buku karya Y.B Mangunwijaya yang berjudul: Menumbuhkan Sikap Religius Anak-anak. Di dalam buku itu, Romo Mangun menjelaskan bahwa, pada tingkat religiositas, bukan peraturan atau hukum yang berbicara, akan tetapi keikhlasan, kesukarelaan, kepasrahan diri kepada Tuhan: dalam rasa hormat-takjub, namun juga dalam rasa cinta. Sejalan dengan itu, saya mengamini pula catatan pengantar dalam buku tersebut, yang ditulis Gus Dur (1985): Tuhan yang ditanamkan pada diri anak, kalau diikuti garis pemahaman tersebut, adalah Tuhan yang mewujudkan diri dalam bentuk kongkret bagi anak. Tuhan milik anak, bukan hanya Tuhan milik kaum agamawan, apalagi Tuhan yang dimonopoli para teolog.
Dengan demikian, kalau boleh mereaksi catatan Romo Mangun dan Simbah Gus Dur dengan perjalanan hidup Bambang, maka akan berkelindan suasana kehidupan Bambang yang merangkul kerja-kerja religiositas. Karena tergenang oleh rasa penuh syukur yang merangkul proses anak-anak tumbuh-kembang melalui wahana rumah baca dan pembelajaran taman semesta. Sebab, kita tentunya sadar, bahwa rasa syukur dan kasih sayang milik semua agama, diajarkan pula oleh semua agama, apapun itu.
Syahdan. Sebagaimana layaknya kita manusia, Bambang memang bukan yang terbaik di antara yang terbaik. Tapi yang patut diselami kelembutan kasihnya. Maka, bila diminta menuliskan satu nama mengenai tokoh di Pamijahan ini, terlebih untuk seseorang yang mendedikasikan separuh hidupnya pada cerita anak, nama itu adalah Bambang Joko Susilo. Dan saya menuliskannya di sini sebagai tanda, sebagai salam penuh takzim, sebagai ucapan terima kasih dari seorang anak yang taman bermain dan kepulangan sementaranya adalah Pamijahan.
Sebab di sini, di Pamijahan, terlampau sulit untuk menemukan seseorang yang bisa dijadikan sosok-panutan dari sebuah kebudayaan, terkhusus sastra; penulis cerita, sastrawan yang me-nyastra, penulis puisi yang me-muisi. Kalo aktivis yang “nga”-ktipis sih, banyak.***
Seorang biasa yang meminjam dan menetap pada tubuh lelaki. Kini berusaha memaskimalkan nafas, tubuh, gerak, hidup yang telah dipinjaminya.