ilustrasi: @alanwari
1)
Tiga puluh menit sebelum lantunan
keberkahan berkumandang
Lantai sudah terpasang karpet
di atasnya tersemai hidangan ibu:
Rasa-rasa dalam makanan menghampar
menggoda mata serta nafsuku
mulai dari yang manis-manis, tapi
bukan janji para koruptor
dibalut kehangatan kilau senjakala
menaungi beranda rumah kecilku
Tuhan, syair- syair yang kudengar ini
terdengar sayu dan mampu menembus
jiwaku, menggemakan sudut-sudut
keheningan ingatan kampung kelahiranku
2)
Dalam naungan Kota Hujan ini
berbagai hidangan sudah tertata rapi
Aku berbuka dengan sederhana,
dengan meneguk air hangat-
menghangatkan tubuh yang kedinginan
lalu menyambung tangan mengambil berbagai hidangan:
mulutku mulai melahapnya dengan tempo
yang perlahan, tak seperti undang-undang
selalu di-sah-kan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya
3)
Setelah berbuka, rasa lapar perlahan pudar
keberkahan dan kenikmatan tiada banding
dari anganan nafsu sedari siang
ketika malam menjelang, para pemenang
hawa-nafsu merayakan racikan
keberkahan di secangkir kopi kesekian
—walaupun hanya satu bulan
Nikmat dan berkahnya ini tak terbandingkan
dari bulan lainnya, yang selalu kurindukan.
Nama gua, Alpacino Burangrang Singawinata, biasa di panggil apa pun gua terima. Gua lahir ketika purwakarta sedang risau terhadap Gunung Burangrang. Jadilahh manusia perindu dalam kejadian.