dari jarum, huruf-huruf itu ditusuk agar ia
merangkai kata sendiri, merangkai kalimat sendiri, merangkai bahasa sendiri, namun merangkai hidup-itu sejujurnya-mustahil sendiri.
dari jauh, dari keramaian tren orang-orang tenggelam dan hanyut dalam arus konsumerisme
“ah, aku ingin ini, ambil itu, beli yang ini, unggah barang anyar itu. biar skorku lebih tinggi dari gengsi orang lain.”
Mereka lalu membungkuk dan mengabdi pada hidup yang hierarki.
sebelum sore tenggelam pada hari sya’ban
sebelum burung bergegas dan semua orang menepi
dari kekacauannya. aku menyingkap kata-kata dari dalam handphone-ku,
membacanya dengan hening—menyirat dalam batin. mencoba menangkap maksud dan makna. kenapa-dan-mengapa
Namun sia-sia, sebab siapapun akan menyangkal pada mulanya terhadap kenyataan yang selama ini tak pernah dibayangkannya terjadi. atau seperti ketidak-mungkinan.
Seperti pertanyaan retoris tanpa jawaban singkat. hari itu rupanya hari seperti wabah sampar. di mana kata-kata tersusun seperti kesimpulan kepergian.
kesimpulan yang datang dari puisiku sendiri—puisi yang belum selesai, yang belum dimiliki sepenuhnya. telah menanggalkan kata dan keyakinan lebih segera. sebab ia tak ingin lagi jadi puisi—pergi sebelum jari-jariku sempat
meneruskan kata dan kalimat berikutnya. semacam doa ke sekian kalinya.
dan aku terlambat.