Hari Minggu:
Selesai menyalatkan jenazah
—–aku membayangkan keranda
yang digotong beramai-ramai
menuju liang kuburan itu adalah
kenangan jalan hidupku.
Hari Senin:
Sehabis gelap kelelawar akan pulang
mencari ruang yang tak tembus
kilau cahaya
—–seperti rimbun pikiranku
yang menyusuri refleksi lorong hati
agar jiwa tak sampai melukai raga ini.
Hari Selasa:
Aku terbata-bata membaca firmanmu
yang menjadi sabda para nabi:
zat maha-cahaya yang memainkan
tombol kilau purnama dan bintang-bintang
penghias angkasa
—sewaktu doaku memusat dalam
lantunan gema-memuji namamu,
sempat terlintas dalam pikiranku
apakah hanya Muhammad, Kekasimu,
penuntun pengembaranku?
Hari Rabu:
Dengan sarung bias pelangi
dan baju koko berwarna putih awan
sesekali memakai peci hitam rambut
—sejadah terhampar di waktu pagi,
siang, sore, dan malam. Inilah shalat rinduku
yang selalu kupersembahkan padamu, Tuhan.
Hari Kamis:
ketika aku memungut kata-kata
menjadi sajak-sajak cinta
di dalam kitabmu itu, ada terjemahan
salah-satu fenomena hidupku.
Hari Jumat:
matahari tepat berdiri
pada garis perjalanannya
menjadi penanda
—aku bersujud menghadapmu
dengan ayat-ayat yang ritmis
berkumandang melintasi celah jiwaku
—serentak memanggilmu
ketika barisan-barisan sunyi
yang menggerakan tangan dan kakiku
—semua ini benarkah karenamu.
Hari Sabtu:
Waktu semakin ngebut, 100km/jam
dan ruang semakin sempit, tersisa
1-hektar
—tanpa menaiki sepeda, motor, mobil,
kereta, pesawat, kapal, ataupun berjalan kaki
aku masih memikirkan sampai kapan
dan akan bagaimana hidupku ini
sambil memejamkan mata sesekali rebah
di kasur yang penuh debu bekas
buku-buku masa-lalu.
Seorang peziarah