Bagaimana kita bisa sampai pada peristiwa masa lalu ketika ditakdirkan hidup di masa kini? Melalui prosesi, cara, dan jalan yang seperti apa untuk kita bisa menziarahi peristiwa masa lalu itu?
Pertanyaan tersebut, kiranya akan membawa kita pada serangkaian ilmu-pengetahuan yang berfokus pada hal-hal yang bersifat silam: salah-satunya jalan sejarah dan kebudayaan dalam dimensi antropologi, arkeologi, filologi, dan sejenisnya, yang siap sedia mengantarkan kita pada data-sumber, pada sebuah metode-metodologi cara menyusuri kehidupan masa lalu itu seperti apa gambarannya, bermakna apa warisannya, dan seberguna apa persoalan tersebut untuk kehidupan kita dewasa ini.
Sedangkal pembacaan kami, persoalan ilmu sejarah, baik antropologi, arkeologi, filologi, dan sejenisnya itu sejatinya merupakan wahana penerokaan masa silam dengan atau melalui metode-metodologi yang sama-sama memiliki batasan dan kekurangannya masing–masing. Itulah mengapa, kerangka ilmu sejarah memiliki dan menciptakan cabang ilmu pengetahuan guna melengkapi kekurangan dari masing-masing studi ilmu itu sendiri.
Misalnya saja jika kita membaca istilah arkeologi genealogi yang dipakai oleh Michel Foucault dengan arti yang khusus itu akan cukup berbeda dengan pemaknaan arkeologi pada umumnya. Jika istilah arkeologi pada umumnya diartikan sebagai ilmu purbakala tentang benda-benda, maka Foucault menyamakan istilah itu dengan pengertian “arkhe” pada filosof Yunani kuno, dimaksudkan untuk mencari arkhe sebagai asal-usul sesuatu. Istilah arkeologi Foucault menunjukkan potret persoalan pada kita bahwa usaha arkeologisnya itu hendak mengaktivasi tujuan, metode, dan bidang penerapannya dalam kerja ilmu pengetahuan.
Sedangkan pengertian genealogi yang digunakan oleh Foucault bukan sebagai klaim kebenaran dalam sebuah lembaga ilmu pengetahuan secara umum, melainkan lebih pada pencarian kesatuan yang utuh antara pengetahuan dan ingatan-ingatan kolektif-lokal yang dapat digunakan untuk menyusun suatu pengetahuan historis mengenai usaha dekonstruksi-transformasi plus sekaligus menggunakannya untuk kepentingan waktu sekarang secara taktis.
Arkeologi secara umum atau dalam pandangan Foucault, kami rasa tetap tidak meninggalkan epistemologi sebagai titik acuan, walaupun metodologinya menempati posisi yang berbeda dalam analisis rasionalitasnya. Kalau menurut Gaston Bachelard—epistemologi menuntut agar ilmu “menata filsafat,” maka arkeologi menyatakan diri tidak terikat oleh semua ilmu lain dan kritis terhadap gagasan tentang rasionalitas. Dan dengan membaca metode arkeologi dan genealogi yang ditawarkan oleh Foucault, kita akan mengetahui berbagai latar belakang munculnya sebuah gagasan dan fenomena ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain—tidak lain hanya upaya untuk mempertahankan sebuah kekuasaan, sebuah tawaran lain dari jalan memandang sejarah, dalam hal ini dunia arkeologi.
Ilmu sejarah, arkeologi plus antropologi khususnya akan coba kami sentuh pada edisi persona kali ini, dengan menghadirkan Muhamad Alnoza—seorang penulis sekaligus peneliti yang menggeluti dunia arkeologi dan sejarah kebudayaan. Karirnya sebagai penulis di mulai sejak 2019 sewaktu masih duduk di bangku kuliah di Program Studi Arkeologi UI, yang mana ia aktif menulis di beberapa jurnal ilmiah arkeologi dan sejarah. Sejak lulus dari Program Magister Antropologi UGM di penghujung tahun 2022, Alnoza bekerja sebagai peneliti untuk Intellectual Property (IP) dari perusahaan Anantarupa Studios. Lalu, kini ia bergiat mengasuh plus mendirikan Bujangga Manik Society yang berhuni di Kota Bogor.
Secara singkat proyek yang pernah dijalankan Alnoza adalah berikut: Tentor Sejarah di Bimbingan Belajar Primagama Depok (2018). Asisten Peneliti di Balai Arkeologi Sumatera Selatan (kepada Dr. Aryandini Novita) (2018). Tim Pengolah Data di Direktorat Perlindungan Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2020-2021). Asisten Peneliti (Magang) di Intellectual Property Research and Development Anantarupa Studios (2021). Peneliti Utama di Intellectual Property Research and Development Anantarupa Studios (2023-2025). Kontributor di Tirto.id (2023-2025). Peneliti di Proyek Penelitian Sejarah Desa di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat (2024).
Sedangkan dalam hal kajian kepenulisan dan publikasinya, Alnoza pernah menjadi, pertama, Pemakalah pada Konferensi Ilmiah (Pilihan): 1. International Conference of Indonesian Culture “Daya Lenting Ekosistem Kebudayaan di Masa Pandemi” (Kemendikbud RI) Judul Karya: “Resiliensi Budaya dan Hubungan Patron-Klien: Kebijakan Sima Makudur oleh Raja Airlangga” (2021). 2. International Conference of Javanese Culture“Jayapattra” (Kraton Yogyakarta) Judul Karya: “Selokan Mataram: Pergulatan Kuasa Jepang dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1942-1945) dari Perspektif Teori Akses” (2022). 3. The 1st Mangkunegaran International Symposium “Towards a New Global History of Javanese Court Culture, Politics and Governance” (Pura Mangkunegaran, Universiteit Leiden, UIN Raden Mas Said) Judul Karya: “Abdi ingsun kang Prasetya: Reading the Development of Mataram Kingdom’s Kingship Pattern in Priangan through Piyagem” (2023).
Kedua, Pembicara Seminar dan Diskusi Kelompok Terpumpun (Pilihan): 1. Seminar Peringatan Hari Purbakala ke-111: SMA Kosgoro Bogor dan Tim Ahli Cagar Budaya Kota Bogor (2024). 2. Diskusi Kelompok Terpumpun “Temuan Objek diduga Cagar Budaya di Taman Nasional Ujung Kulon”: Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VIII (2024). 3. Seminar “Bujangga Manik: Kota Bogor dalam Visi Pangeran Sunda Abad ke-15”: Niskala Institute dan Tim Ahli Cagar Budaya Kota Bogor (2024). Ketiga, Karya Tulis Ilmiah Terpublikasi (Pilihan): 1. “Konsep Raja Ideal Masa Sriwijaya berdasarkan Bukti-bukti Tertulis”, Jurnal Manuskrip Nusantara (Jumantara) Vol. 11-2 (2020). 2. “Political approach of Sultan Abu Al-Mahasin and Sultan Mahmud Badaruddin II towards the Lampungnese in XVII and XIX century CE”, Jurnal Berkala Arkeologi Vol. 41-2 (2021). 3. “Pertimbangan Penggunaan Timah sebagai Media Penulisan Prasasti di Sumatera”, Jurnal Siddhayatra Vol. 26-1 (2021). Keempat, Proyek Penelitian (Pilihan): 1. “Ekskavasi Situs Saringan, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat”, diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Sawahlunto dan Departemen Arkeologi FIB UI (2018). 2. “Dermaga dan Pelabuhan Kuno di Pulau Belitung”, diselenggarakan oleh Balai Arkeologi Sumatera Selatan (2021). 3. “Potensi Sumber Daya Arkeologi di Desa Purwasedar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat”, diselenggarakan oleh Niskala Institute (2023).
Lebih jelasnya, kami sudah merangkum catatan hasil wawancara Redaktur Halimun Salaka dengan Alnoza melalui google-meet, pukul 23.00 – 01.23, pada malam menjelang pagi tertanggal 21-22 Juni 2025, yang kami maksudkan sebagai refleksi Hari Jadi Bogor ke-543 tahun ini.
Menziarahi Ruang & Meneroka Waktu di Perjalanan Panjang Penelitian Hidup Muhamad Alnoza
Redaktur Halimun Salaka: Untuk memulai omong-omong ini, kiranya yang perlu dibahas pertama adalah bagaimana awal mula Mang Noza terjun ke dunia arkeologi, antropologi, atau katakanlah dalam hal ini dunia kesejarahan?
Muhamad Alnoza: Ketertarikan ke dunia arkeologi dan antropologi, sebetulnya diskursusnya bukan sebelum masuk ke studi arkeologi, melainkan ketika sudah masuk studi arkeologi itulah penguat saya untuk istikamah di dunia sejarah. Sebelum masuk ke dunia arkeologi, sejak SMA memang saya sudah menyukai dunia sejarah. Tapi pada masa (SMA) itu saya belum terfokus pada masa modern atau sejarah kontemporer, pergerakan saya justru tertarik pada periode sejarah kuno awal.
Nah, setelah proses itulah, saya sempat bingung mau masuk studi apa. Ketika saya ngobrol dengan orang-orang yang bergelut di dunia sejarah, saya memantapkan diri fokus dan masuk dunia arkeologi. Sebab, ada perspektif yang tidak bisa dijelaskan di dalam studi ilmu sejarah dan di studi (khusus) arkeologi dapat dijelaskan. Sebab, arkeologi mampu melihat umur kebudayaan, bahkan jejak-jejak kedewasaannya. Seperti misal dunia manusia yang memiliki jejak anak-anak, remaja, dan dewasa. Secara konseptual bagian-bagian seperti itulah yang coba dianalisis arkeologi melalui medianya. Lalu, alat analisisnya saya mengambil di studi antropologi, bapaknya arkeologi. Karena memang, arkeologi banyak membicarakan soal data, tapi ketika kita membicarakan ketajaman analisis, kita perlu untuk kembali ke bapaknya (antropologi), bukan ke anaknya (arkeologi). Begitu, Mang.
Redaktur Halimun Salaka: Baik. Sekarang coba ceritakan, kajian apa yang pertama kali Mang Noza lakukan dan teliti?
Muhamad Alnoza: Alhamdulilah, dari dulu sampai sekarang dari segi tema insyaallah masih konsisten. Di awal menulis, tahun 2019 sampai sekarang saya masih membahas itu-itu saja: kebudayaan dan kausa. Apa yang pertama saya tulis? Tulisan itu tertera di artikel-jurnal yang saya garap tahun 2019, karena ada beberapa sesuatu hal, jadi terbitnya tahun 2020. Adalah sebetulnya saya kembali kepada lingkungan. Apa yang ada di lingkungan saya itulah yang awal mula saya tulis. Misal dilihat dari latar belakang keluarga, saya sebenarnya hard blood seperti Professor snape, sebab bapak saya dari seberang Sumatera-Palembang sedangkan ibu saya orang Sunda. Jadi suatu waktu saya pulang ke rumah bapak di Sumatera-Palembang, tidak menyangka di sana saya menemukan ada satu makam kuno, sebetulnya makam islam, tapi tempatnya di atas candi atau bekas candi, namanya Situs Gede Ingsuro, makamnya Ki Gede Ingsuro. Jadi, profilnya di abad 16 salah satu bangsawan dari Demak-Jawa, ia migrasi ke Sumatera karena ada konflik politik pada masa itu antara Demak dan Pajang kalau tidak salah. Ia membuat satu kadipaten di Palembang yang seiring waktu bertransformasi menjadi kesultanan Palembang.
Nah, dia dikuburkan di salah-satu candi. Mengapa disebut candi? Karena ditemukan arca Trimurti, arca Siwa-Brahma-Wisnu. Di percandian itu seperti candi di Trowulan, candi-candi bata. Menurut beberapa peneliti dahulunya itu candi zaman Majapahit. Menariknya, ketika kita mengkritisi Mohammad Yamin mengagung-agungkan Majapahit, memang apa buktinya orang Majapahit ada di luar Jawa? Nah, ini salah-satu buktinya, di rumah bapak saya—di Palembang. Lalu, saya menulis tentang jangkauan politik dan kuasa. Di tulisan itu saya meninjau bagaimana situs tersebut yang mulanya candi menyimbolkan makna kuasa, yang awalnya Palembang lekat dengan budaya Melayu, tiba-tiba muncul anasir budaya-politik Jawa, dalam hal ini Majapahit.
Redaktur Halimun Salaka: Sangat menarik. Oh iya, kami ingat, waktu itu Mang Noza pernah mengisi Seminar Peringatan Hari Purbakala ke-111 (bersama SMA Kosgoro Bogor dan Tim Ahli Cagar Budaya Kota Bogor). Nah, coba ceritakan apa yang Mang Noza bahas di seminar itu, bagaimana respons audiensnya, dan seterusnya.
Muhamad Alnoza: Saat itu, di kegiatan Hari Purbakala yang ke-111 itu, sebetulnya saya diundang sebagai pembicara yang membicarakan soal sejarah Kota Pakuan Pajajaran, tinggalan-tinggalan periode klasik di Kota Bogor. Nah, karena sepertinya seminar itu kaitannya dengan program sekolah, TACB bekerja sama dengan SMA Kosgoro. Jadi, audiensnya semua hanya siswa-siswi SMA, tidak meluas ke umum. Terus responsnya kurang responsif, karena mungkin mereka capek juga sudah trip muter-muter dan lalu berkumpul di Bumi Ageung, plus sudah lelah harus mendengarkan 3 narasumber sekaligus, termasuk saya salah satunya.
Redaktur Halimun Salaka: Sekarang kita akan membahas tentang Bujangga Manik. Mengapa dan apa alasannya tertarik dengan Bujangga Manik. Coba jelaskan, Mang Noza!
Muhamad Alnoza: Butuh jawaban politis atau jawaban ilmiah yang mengikuti idealisme?
Redaktur Halimun Salaka: Hahaha, boleh dua-duanya, Mang.
Muhamad Alnoza: Kalau jawaban politik: proyek. Ya, kalau jawaban politik saya juga butuh proyek kan, hehe. Kalau jawaban ilmiah atau katakanlah mengikuti idealisme, hmmm, bagaimana ya. Soalnya saya sepanjang menyentuh dunia arkeologi, kebudayaan Jawa dan Sunda kuno, nama Bujangga Manik itu sering disebut.
Redaktur Halimun Salaka: Maksudnya di beberapa prasasti dan arca?
Muhamad Alnoza: Bukan. Maksudnya di beberapa tinjauan-tinjauan para peneliti, si Bujangga Manik sering disebut. Artinya, naskah yang ditinggalkan oleh dia (Bujangga Manik) sering dikutip oleh kita yang mengaji Jawa, dikutip. Yang sedang mengaji Sunda, dikutip. Mengaji Bali, dikutip. Jadi, itu menjadi sumber rujukan di mana-mana. Saya melihatnya begitu. Tapi mengapa, tokoh sebesar ini dalam tanda kutip, naskahnya dianggap salah-satu sumber yang empiris, sumber yang otoritatif-lah, mengapa tokohnya itu tidak dianggap tokoh. Jujur saja memang, ada beberapa filolog yang meragukan ketokohan Bujangga Manik itu. Disebut dia itu tokoh fiktif. Nama-nama tempat yang ditulisnya memang fakta karena empiris. Membayangkan Bujangga Manik sebagai tokoh itu memang sulit. Itulah mengapa Bujangga Manik sering disebut teks-naskah panduan perjalanan, ada yang bilang itu teks-naskah keagamaan biasa saja, yang nantinya memang ada beberapa teks-naskah yang cukup sama seperti Serat Centini, Kidung Subrata yang dari Merbabu itu.
Tapi, menurut saya berbeda, ada sisi kemanusiaan di dalamnya, ada satu hal yang hemat saya, okelah kita kesampingkan si tokoh Bujangga Maniknya, tapi di dalamnya ada sisi kemanusiaan yang menurut saya ada nilai-nilai yang tidak mungkin bisa ditulis oleh manusia jika ia tidak pernah mengalaminya. Misal disebutkan Bujangga Manik itu “ngaro basa” atau berdwibahasa, yang menurut Bujangga Manik dianggap sebagai hasrat untuk belajar ke Timur untuk mempelajari bahasa, ia ingin berdwibahasa. Kalau bukan dari pengalaman empiris atau katakanlah ia tidak pernah mengalami perjalannya, bukankah itu sangat tidak mungkin diucapkan di dalam naskahnya? Sebab itu sangat subjektif, bagaimana ia Bujangga Manik bisa mengaspirasikan bahwa, atau setidaknya katakanlah si penulis Bujangga Manik itu mengaspirasikan ia suka berdwibahasa. Terus ia suka berinteraksi di luar kebudayaannya. Bukankah semua manusia itu begitu sifatnya? Nilai-nilai yang aspeknya universal itulah yang jarang dianggap dalam naskah Bujangga Manik. Karena kebanyakan perhatiannya selalu pada toponimi atau nama-nama tempat, pada corak kebudayaan Sunda kunonya. Tapi, pesan-pesan kemanusiaan dalam naskah Bujangga Manik itulah yang jarang dibicarakan dan dikaji. Maka, ketika saya membuat satu nama Bujangga Manik Society, bukan saya bermaksud menjunjung atau memitologikan tokoh Bujangga Manik, tapi mencoba mengangkat nilai-nilai yang terdapat di dalamnya itulah nilai-berharga dari Bujangga Manik, terlepas dia tokoh nyata atau bukan itu lain soal. Apa saja? Keterbukaan, semangat etos ilmiah, etos rasa simpati terhadap masyarakat, dan seterusnya. Hal itulah yang relevan dengan Bogor hari ini, di tengah huru-hara kebudayaan yang kini semakin bias. Ketika kita misal mencari patronase moralitas, mencari patronase kebudayaan itu pada siapa? Kepada Siliwangi? Siliwangi yang mana? Nah, ini Bujangga Manik cukup jelas ketokohan dan nilai-nilainya.
Redaktur Halimun Salaka: Kami ingin diperjelas atas poin, kira-kira berapa persen tokoh Bujangga Manik dianggap fiksi dan berapa persen yang menganggap fakta, di kalangan para peneliti khususnya?
Muhamad Alnoza: Saya tidak bisa mengatakan berapa persen—berapa persennya, karena memang pendapat itu kebanyakan pendapat verbal. Saya bertanya ke Kang Ilham, dia bilang fiksi. Lalu saya bertanya ke Kang Adit beda lagi. Tapi memang tidak pernah ditulis pada akhirnya. Karena dianggap tidak usah dan tidak perlu kiranya kita membicarakan ketokohan Bujangga Manik. Begitu.
Redaktur Halimun Salaka: Karena buktinya susah juga ya, dan juga karena peristiwa masa lalu itu sulit untuk kita bicarakan plus menerokanya tanpa sumber-data yang ada.
Muhamad Alnoza: Iya itu satu. kedua, nama Bujangga Manik tidak pernah disebut di naskah-naskah lain.
Redaktur Halimun Salaka: Lalu, kenapa memilih Bogor sebagai proyek-pembelajaran Bujangga Manik, atau khususnya Bujangga Manik Society tersebut?
Muhamad Alnoza: Kalau boleh jujur ya, Bogor itu merugikan buat saya.
Redaktur Halimun Salaka: Maksudnya, dalam hal apa?
Muhamad Alnoza: Saya sudah 6 bulan mengerjakan proyek di Bogor: membuat workshop, membuat ngaos, seminar, bahkan saya tidak dibayar. Maksudnya, ketika para pejabat Bogor tepuk tangan, para budayawan tepuk tangan, dan sebagainya. Tapi apakah itu lalu menghasilkan? Ya tidak. Jadi, ketika saya dituduh ke Bogor hanya untuk proyek basah saja, ya proyek apa lalu saya kembalikan lagi. Maka, di luar persoalan itu, kenapa Bogor, pertama, saya tinggal di Depok. Pusat budaya Sunda di sini ya Bogor. Kedua, ketika saya di Bandung kumpul bersama teman-teman Niskala Institut misalnya, saya tidak menyebut yang lain. Pemahaman orang Bandung terhadap Sunda, terutama kesejarahan Sunda, karena mereka ada di wetan, mereka selalu condong ke Ciamis-Galuh.
Redaktur Halimun Salaka: Di pihak Bandung itu, ya?
Muhamad Alnoza: Iya betul. Jadi artinya, saya sedikit kecewa begitu. Maksud saya bagaimana dengan masyarakat kulon, bagaimana dengan masyarakat Sukabumi, Cianjur, Bogor, atau bahkan Banten. Memang kita bukan orang Sunda? Orang Sunda apa memang kita? Nah, saya menganggap narasi Bogor atau narasi kesejarahan Bogor itu marjinal, Mang, dalam kategori Kasundaan. Saya merasa ini tepat memilih Bogor sebagai tempat berikut jalur yang marjinal, yang tidak terdengar, setidak-tidaknya untuk kalangan orang Sunda. Saya bahkan masih punya cita-cita gebleg, begini: saya akan terus mengkaji-meneliti Bogor sampai Bogor tidak punya lagi undak-usuk bahasa Sunda. Ya, karena itu simbol hegemoni Priangan, simbol hegemoni masyarakat sana. Apa perlu kita seperti Banten memisahkan diri dari Jawa Barat, karena merasa di-nomor-tigakan, bukan di-nomor-duakan lagi.
Redaktur Halimun Salaka: Hmmm, Iya juga sih. Berarti itu jadi salah satu faktor atau alasan mengapa Bogor tidak ramai disambangi para peneliti Sunda, seperti di Priangan khususnya? Bagaimana menurutmu, Mang?
Muhamad Alnoza: Ya sangat mungkin bisa kita bilang begitu. Begini saja, siapa penulis buku Sejarah Jawa Barat? Edi S. Ekadjati berbasis di Bandung. Siapa Sastrawan besar Sunda? Ajip Rosidi berbasis di Bandung. Siapa filolog besar Tanah Sunda? Atja berbasis di Bandung lagi kan. Nah, hegemoni itu yang sulit dijauhi. Kemarin saya punya obrolan menarik dengan Mang Hady. Saya bilang gini, Mang ini ada temuan naskah di Brebes, di daerah berbahasa Sunda di Brebes, di Gunung Sagara nama daerahnya. Bagaimana respons para filolog? Soalnya para filolog itu banyak yang berfokus di Ciburuy. Jadi, bisa dikatakan yang mengangkat naskah Koleang, naskah Jasinga (daerah kulon) itu baru Kang Aditya Gunawan. Katakanlah para sejarawan filolog Sunda dari periode tahun 70-80an seperti tidak mau meneliti, menyambangi daerah sana itu seperti tidak mau. Bagaimana ya, tapi saya salut pada Pak Saleh Danasasmita, terlepas dari berbagai kontroversi dari hasil penelitiannya, tapi dia berani menghadapi benturan hegemoni itu sendiri. Buktinya penulis (transkripsi) Naskah Carita Parahiyangan, satu Bandung (Atja)—satu Bogor (Saleh). Maksud saya, semangat itulah yang tidak ada hari ini. Hal itu menjadi pertanyaan menarik saya, orang Bogor sebenarnya berkiblat ke mana? Apakah mau membikin kiblat sendiri? Jadi kan itu yang akhirnya kita meromantisasi Bogor sebagai Pakuan Pajajaran tapi faktanya di dunia Kasundaan selalu dijadikan anak-tiri, kan lucu, maksud saya begitu.
Redaktur Halimun Salaka: Apakah itu juga menjadi faktor budayawan Bogor yang katakanlah cukup heuras genggerong/tertutup menjadikan para peneliti jadi enggan menziarahinya. Apakah begitu juga?
Muhamad Alnoza: Kayaknya bukan begitu arahnya. Maksudnya, sebetulnya bahwa, misal ada narasi ketika mau lihat orang Sunda asli lihatlah orang Bogor dan Banten.
Redaktur Halimun Salaka: Sering juga ada yang bilang bahasa sunda Bogor dan Banten masuk kategori asli dari warisan Sunda kuno, ya?
Muhamad Alnoza: Ya, bahasanya, tata perilaku, dan lain-lain. Nah, itu mengindikasikan bahwa sebenarnya ada perhatian di kalangan para peneliti, memang Bogor menempati posisi penting dalam satu periode sejarah. Tapi menurut saya, yang menjadi bahan untuk para peneliti enggan masuk Bogor adalah, pertama, orang Bogor itu primordialisme orang Bogor itu sendiri. Orang Bogor itu sangat primordial, dan setidaknya itu kesan saya selama 3 bulan ini intens di Bogor, saya tergabung dalam beberapa forum orang Bogor, saya masuk ke diskusi-diskusi yang kadang memang tidak terkait kebudayaan, saya bisa menangkap bahwa orang Bogor itu pola perilakunya sangat primordial. Itu tidak buruk sebetulnya, artinya mereka punya kepemilikan lebih terhadap budaya dan daerahnya. Tapi di sisi lain, orang Bogor itu membuang referensi. Jadi dikatakan katak di dalam tempurung juga, tapi tempurungnya sendiri juga dibikin sendiri. Artinya sudah waktunya masyarakat Bogor membuka diri. Jangan karena dianggap tua jadi tidak membuka diri. Ketika para peneliti tertarik dan hendak mengkaji kebudayaan dan kesejarahan Bogor, jangan dianggap sedang menginvasi, jangan dianggap sebagai hal yang agresif. Memang ada beberapa yang sifatnya begitu, tapi kan akhirnya bagaimana ya, akhirnya kan orang Bogor tidak punya referensi dan acuan yang ajek, setidak-tidaknya dalam kerangka ilmiah.
Redaktur Halimun Salaka: Sekarang kita bahas bagaimana kesan ketika menempuh pembelajaran Bujangga Manik Society di Bogor, dalam hal ini khususnya keterbukaan budayawan itu sendiri dalam memandang Bujangga Manik Society (BMS)?
Muhamad Alnoza: Sebenarnya sangat terbuka. Tapi, ada tapinya nih, kami memang memformasikan diri ini yang setidaknya orang lama atau kokolot Bogor yang katakanlah punya kapital sosial setidak-tidaknya di Bogor. Misal, ketika kami BMS melakukan pertemuan dengan apa dan siapa, anggapannya seperti, oh bukan orang baru, itu orang-orang lama yang berkumpul di satu kelompok baru. Justru, kehadiran saya yang cukup problematik: saya cukup muda, saya bukan orang Bogor. Walaupun bukan dalam bentuk penolakan, tapi seperti menjadikan pertanyaan sedang apa di sini? Ada tujuan apa? Jadi interogatif ketika bertemu dengan rekan sejawat kebudayaan. Ketika saya akhirnya mengambil legitimasi sebagai arkeolog atau peneliti, sedikit mulai tereduksi pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jadi akhirnya berbalik dan mulai menerima. Tapi setidaknya itu belum sepenuhnya menerima. Atau katakanlah hal ini masih mencari bargaining point, antara mereka dan saya. Dan memang sekarang ini karena saya masih bergerak di ranah ring 1, jadi belum ada penolakan yang gimana-gimana. Kalau omongan-omongan pasti ada, sebab hal itu tidak bisa dipungkiri, ketika kita ngumpul di mana pun persoalan gosip pasti ada. Saya justru menikmati itu. Saya membayangkan seperti sedang melakukan etnografi, mendalami bagaimana kerangka berpikir orang Bogor, dan kiranya itu yang menjadi ketertarikan saya. Alih-alih meneliti lebih dalam Bujangga Manik, sebenarnya dalam tahap ini persoalannya sudah selesai dulu. Justru yang ingin saya dalami bagaimana mensinkronkan orang Bogor hari ini dengan seorang pangeran (Bujangga Manik) yang pernah hidup di tempat mereka di abad 15. Begitu saja sih.
Redaktur Halimun Salaka: Sekarang kami ingin bertanya tentang kira-kira bayangan 5 tahun ke depan, bagaimana ekosistem kajian-penelitian yang ada di Bogor, khususnya Sunda?
Muhamad Alnoza: Hmmm, bagaimana ya. Sebenarnya saya bukan pembaca tarot, heiheee.
Redaktur Halimun Salaka: Eiiih, iya Mang, maksudnya hanya pembayangan ke depan kira-kira bagaimana menurut dirimu.
Muhamad Alnoza: Iya saya juga mengerti apa maksud pertanyaannya. Dan saya juga paham bagaimana keresahan anak muda Bogor. Sebetulnya dari ranah penelitian, sejujurnya orang-orang di luar Bogor, entah karena jenuh, menganggap Bogor itu sudah beres.
Redaktur Halimun Salaka: Sudah beres bagaimana maksudnya?
Muhamad Alnoza: Ya, sudah beres. Karena dianggap zaman Kolonial sudah dibahas. Zaman Pakuan Pajajaran yang dibahas Pak Saleh dan Pak Atja juga sudah beres. Tapi, pada dasarnya, memang ketertarikan para akademisi bisa muncul ketika ada selentingan isu baru. Maka saya deudeuh ke Mulyaharja itu mungkin bisa jadi kunci dari mandeknya iklim ilmiah di Kota Bogor atau Bogor Raya. Ketika saya melihat Mulyaharja, seakan-akan melihat satu harapan baru, bahwa memang Bogor itu bukan lahan kajian lama atau baru, tapi konstan dia ada di titik tengah lintas waktu penelitian dari zaman ke zaman, yang setidaknya dia menyajikan hal baru, tapi bukan hal yang lama. Hal baru yang saya maksud itu karena kesilapan para peneliti terdahulu atau dianggap tidak penting. Karena fokus tujuan para peneliti zaman ke zaman, generasi ke generasi berbeda. Zaman dan generasi Pak Atja dan Pak Saleh yang penting monumentalisme, yang penting orang Sunda punya candi, yang penting punya icon. Sekarang kan beda lagi, kita masuk ke postmodern, bahwa bagaimana narasi-narasi yang tak terdengar itu bisa didengarkan dan tersampaikan. Nah, itu yang sebetulnya persoalan lama tapi tidak lama, ada tapi tidak terkaji pendalamannya karena para penelitinya belum sampai pada persoalan tersebut.
Redaktur Halimun Salaka: Lalu, bagaimana progres Bujangga Manik Society yang akan dan hendak dituju selanjutnya, selain ngaos, workshop, dan seminar yang sudah dijalankan? Apakah akan membuat semacam penziarahan trip dari nama-nama tempat yang tertuliskan di naskah Bujangga Manik, misalnya?
Muhamad Alnoza: Memang, agenda masuk ke agenda Bujangga Manik Society. Tentu, semua orang pasti bisa menebak ke arah sana, karena naskah Bujangga Manik menceritakan itu. Tapi memang akan bertahap prosesnya. Saya tidak mau membuat trip atau napak tilas yang sama dengan yang sudah ada di Bogor hari ini, seperti ada yang fokus pada masa kolonial, fokus ke situs klasik, fokus ke keagamaan, dan seterusnya, saya tidak mau sama dengan mereka. Karena ketika saya ngobrol dengan Kang Hamdan Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Bogor, saya maunya berziarah dengan BMS itu dengan semangat ilmiah, bukan semangat entrepreneurship, bukan semangat mencari uang. Memang BMS perlu uang dan butuh pendanaan. Tapi bukan berarti menjadikan trip atau ziarah itu menjadi pendapatan terbesar atau utama, justru saya ingin seperti konsep berkemah misalnya, dengan data pribadi masing-masing, dengan pemahaman yang sama rata, artinya saya tidak mau jadi fasilitator lalu ngomong a b c d e. Saya maunya kita punya pemahaman yang sama ketika sebelum berangkat, lalu di sana kita diskusi bersama-sama soal perjalanan Bujangga Manik: kapan, bagaimana, seperti apa situasinya Bujangga Manik ke sini, kenapa Bujangga Manik ke sini, bagaimana dia beraktivitas di sini, dan seterusnya, saya inginnya begitu kita berkontemplasi bersama di alam dan kita mencoba merasakan menjadi Bujangga Manik. Sedangkan proyek itu tidak bisa ujug-ujug, kita tidak bisa open submission ke sini atau ke sana. Seperti masih jauh di-angan. Tapi tetap akan kami lakukan bagaimanapun caranya.
Mangkanya saya sempat membahas soal yang terpenting hari ini adalah kaderisasi BMS. Sekarang kita tahu mengedukasi orang yang generasinya lebih tua dari kita, mungkin ada jarak kuasa, jarak literasi, bagaimana referensi bacaan mereka dengan referensi kita, dan bahkan jarak perspektif, atau beda fokus dan keberangkatan dari latar belakang. Kenapa saya ingin kaderisasi itu agar jadi kertas kosong kembali, bagaimana kita mengisinya bersama. Sebetulnya tujuan utama ngaos itu, bukan karena saya ingin jadi fasilitator, bukan. Saya malahan ingin anggota dan simpatisan BMS tahu dan mengerti perjalanan Bujangga Manik itu sendiri.
Redaktur Halimun Salaka: Selain itu, adakah program yang akan dikerjakan entah dalam waktu dekat atau waktu yang masih berjauhan?
Muhamad Alnoza: Ada. Dalam waktu dekat saya atau khususnya BMS dalam hal ini, akan membuat workshop lagi. Pertama, di Pamijahan. Kedua, di Sukabumi. Sebelum ke Bogor saya juga pernah berbasis di Sukabumi, di sana ada kenalan yang mau menyediakan tempat dan waktunya untuk saya silaturahmi dan belajar bersama lagi di sana. Terus ini juga saya rasa akan menjadi jalan agar menghempaskan stigma ketika kolektif yang lahir di Bogor itu selalu giatnya di Bogor, tanpa ada usaha berkolaborasi ke luar wilayahnya.
Redaktur Halimun Salaka: Apakah Bujangga Manik Society tertarik atau hendak membuka ruang kepada para seniman Bogor, entah yang bergiat di rupa, sastra, musik, dan seterusnya, soal trip atau ziarah toponimi Bujangga Manik dalam bentuk residensi bersama yang output-nya jelas menghasilkan karya alih-wahana atau katakanlah transformasi karya dari dimensi sejarah?
Muhamad Alnoza: Ya, saya setuju dan cukup terbayang. Justru itu pernah saya tawarkan, karena di BMS sendiri banyak seniman yang bergiat di tari, rupa, dll. Namun, belum sampai pada gerak-eksekusinya. Misalnya pernah saya tawarkan kepada para pesilat di Bogor. Bagaimana jika membuat jurus atau apapun itu yang berkaitan dengan pecut, karena di naskah Bujangga Manik itu diceritakan bahwa Bujangga Manik ketika melakukan perjalanan selalu membawa pecut. Hal itu misal dijadikan pertunjukan untuk acara apapun terserah, agar hasil reka adegan itu menjadi wahana transformasi cerita Bujangga Manik dalam laku silat. Cuma waktu itu kendalanya, karena saya minta apakah pernah ada aliran silat atau jurus yang menyerupai atau terinspirasi dari pecut, agar itu bisa dijadikan sumber formalitas koreografinya, dan lalu bisa dijadikan sumber pelatihan untuk siswa-siswi sekolah di Bogor. Ditambah kendalanya juga karena sepuh yang saya tawarkan itu pupus, saya lupa namanya. Lalu, sebenarnya yang mulanya tergambar di kepala saya, tempat trip Bujangga Manik itu ke Rabut Palah—Candi Penataran. Karena itu tempat titik sentral perjalanan Bujangga Manik. Di sana saya terbayang membikin diplomasi budaya, saya membawa para seniman Bogor agar dipertemukan dengan seniman di Jawa Timur agar berkolaborasi dalam mewahanai cerita Bujangga Manik, entah dalam bentuk apa, lalu mereka pentas di Candi Penataran.
Redaktur Halimun Salaka: Kayaknya itu tembus jika diajukan ke Dana Indonesiana, heuheu.
Muhamad Alnoza: Nah! Mending dibikin oleh Halimun Salaka saja, mumpung sedang giat dan hendak mengaktivasi Dewan Kesenian Bogor kan. Maksudnya, itu kan menarik. Soalnya saya pernah ngobrol dengan orang Jawa Timur, salah lupa namanya, komunitasnya bernama Pasak Kadiri yang kemarin heboh menemukan arca Kediri Kota. Komunitas di sana menemukan arca, tapi di sini hanya melakukan pembakaran dupa saja kan, hehehe. Itulah mengapa kerja kolaborasi penting, entah seniman dengan peneliti, atau dengan masyarakat lokal, dan saya rasa itu gebrakan yang sangat menarik.
Redaktur Halimun Salaka: Bogor, Mang Noza, selain Bujangga Manik dan Pakuan Pajajaran atau Sunda umumnya, potensi atau wahana apa saja kajian entah untuk arekolog, filolog, atau dalam hal ini dimensi kesejarahan?
Muhamad Alnoza: Masih banyak tentunya. Misalnya diskursus Kota Kolonial itu juga belum beres kajiannya menurut saya. Kemarin saya ngezoom dengan salah-satu mahasiswa doktoral sejarah arsitektur di Munchen. Sebetulnya dia orang Yogya, cuma kuliah di sana. Dia tertarik dengan sejarah arsitektur di bekas wilayah perkebunan di Jawa Barat. Karena saya sekarang sedang menjalur di Bogor, saya tawari bagaimana pemberangkatannya bermula dari Bogor. Karena menurut saya ini kasus menarik. Kenapa memang, kata dia. Pertama, Bogor itu di satu posisi jadi pusat pemerintahan kolonial, istana Gubernur Jenderal terletak di Bogor. Dan mengapa Gubernur Jenderal dekat sekali dengan tanah-tanah partikelir, seakan-akan bertetangga dengan tanah partikelir. Bisa tidak kita menuduh bahwa Gubernur Jenderal itu adalah cukong, karena bergaul dengan para juragan-juragan. Maksudnya, kadang si juragan-juragan itu jadi Gubernur Jenderal, atau sebaliknya dari Gubernur Jenderal jadi juragan tanah atau tuan tanah, seperti Van Motman, dia kan awalnya Residen Priangan lalu jadi tuan tanah. Nah, hubungan itu bisa terlihat dan terbaca langsung di Bogor, bagaimana keterkaitan antara Gubernur Jenderal dengan tuan tanah atau juragan-juragan. Tawaran itu saya perjelas, bagaimana budaya perkebunan itu sendiri yang melimpah, dari segi memori kolektif, corak tradisi,dari tinggalan arkeologis, sampai interaksi dunia perkebunan dan dunia Sunda kuno yang ada di Bogor Barat itu sangat menarik, seakan-akan pada suatu masa dunia industrialisme berhadapan langsung dengan dunia klasik Sunda, melewati zaman Menak, dan itu ada di Bogor. Begitu tesis yang saya tawarkan. Dan tentu sangat banyak jika kita telusuri lebih jauh dan mendalam.
Sekarang yang disebut Bogor Tilem itu apakah benar-benar tilem atau bagaimana? Nah, itu saya rasa bentuk skeptisisme para sejarawan, para arkeolog, para filolog terhadap dunia Sunda kuno pada periode peralihannya, ketika dunia Sunda kuno menghadapi dunia baru. Lalu di-skeptisisme-kan oleh orang-orang itu sebagai Bogor Tilem, begitu. Mangkanya, ketika pada 3 Juni, saya jujur saja, ketika mau mengganti tanggal HJB, pertanyaannya sekarang di sini coba tunjukan saja yang asli orang Bogor yang berdarah Pakuan Pajajaran? Saya raya tidak ada. Mengapa? Karena kita tahu, Pak Saleh sendiri malahan menerima ketika Pakuan Pajajaran runtuh, hunian Bogor ini adalah hutan lebat dan kosong. Pada suatu masa, datang seorang dari Sumedang, bernama Tanujiwa yang membabat dan membikin hunian di Bogor yang menjadikan masyarakat Bogor hari ini. Seharusnya titik nol Bogor bukan Sribaduga, melainkan Tanujiwa itulah. Memang hari ini kita orang dari atau katakanlah keturunan Pajajaran? Bukan kan. Itulah mengapa masyarakat Bogor bisa kita bilang kurang jujur terhadap rentetan sejarahnya, terlalu meromantisasi anti-kolonial yang sebenarnya tidak memiliki dasar. Saya selalu memberikan analogi begini: sekarang orang Amerika (Utara dan Selatan) damai-damai saja, mereka tetap mengakui bahwa leluhurnya ada yang pembela Lincoln, ada yang pembela Amerika Selatan, dan bahkan mengakui pernah ada perang saudara dengan sangat jentel. Sedangkan kita tidak, malahan menutupi peristiwa dan meromantisasi peristiwa itu sendiri.
Redaktur Halimun Salaka: Bagaimana dengan Tarumanagara? Atau begini, sepakat tidak, Mang, ketika Ayatrohaedi membikin fiksi yang judulnya “Panji Segala Raja” yang katanya dialihwahanakan dari hasil sumber-sumber cerita tentang Tarumanagara, yang menurutnya prasasti-prasasti yang kini terletak di Bogor itu pada masa lalu merupakan hasil dari peristiwa Purnawarman membantu dan menumpaskan pemberontak yang terdapat di hunian Bogor masa lalu. Apakah sepakat tentang itu?
Muhamad Alnoza: Saya rasa kita mesti kembali pada titik permulaan dan apa tinjauan kita. Entah mengapa, ketika kita membicarakan kesejarahan Bogor selalu saja yang kita bicarakan bukan tentang Bogor, tapi tentang sejarah Sunda. Tapi, bagaimana caranya kita melokalisasi tentang Bogor itu sendiri. Nah, itu saya rasa persoalan yang sulit, karena kita akan terkait atau berkelindan dengan kebudayaan lain, dengan masyarakat lain, dengan dunia lainnya. Namun, jika membicarakan Tarumanagara, rasa kepemilikan orang Bogor dengan Taruma patut dipertanyakan. Mungkin, karena jarak umur dan emosional kehidupannya yang jauh, tapi di sisi lain para pendahulu dan pengkaji Bogor seperti Pak Saleh dkk. tiba-tiba menyambungkan dengan Naskah Wangsakerta, itulah problematikanya. Akhirnya, problem itu baik diakui atau tidak, menyebabkan ada rasa kepemilikan pada masa Tarumanagara.
Andaikata Naskah Wangsakerta tidak pernah muncul, mungkin hari ini masih terbengkalai Ciaruteun, Muara Cianten dll—dan mungkin sudah dihanyutkan itu prasastinya. Tapi mengapa masih dipertahankan, karena bagian dari identitas. Nah ada tapinya lagi, karena tanda kutip artifisial hubungan Bogor dengan Taruma itu, jadi tidak jelas juntrungannya, merasa mempunyai tapi tidak tahu cara mengkaji-mendalami warisannya, agar semakin cinta pada warisan kehidupan masa silamnya itu memang tidak ada data-sumber validnya. Maka tak heran jika dikaitkannya dengan artifisial, dengan cara yang tidak organis. Dan akhirnya, naskah Wangsakerta memegang kendali atas kajian Tarumanagara yang masih memicu konflik interpretasi Pak Hasan, Pak Ayat dkk. atau antar pengkaji-peneliti itu sendiri. Itulah mengapa saya berpegangan, sebelum sampai ditemukan data-sumber lanjutan tentang Tarumanagara, saya tidak bisa mengatakan apa-apa tentang Tarumanagara, terlepas dari naskah Wangsakerta yang akan menjadi pemicu persoalan yang tak pernah selesai itu.
Redaktur Halimun Salaka: Terakhir, Mang Noza. Memilih Bogor sebagai Tunggul Kawung, Baqar, atau Buitenzorg? Coba sila jelaskan!
Muhamad Alnoza: Saya sebenarnya ada fakta menarik. Dan saya sebenarnya belum berani berbicara dengan orang Bogor lainnya. Untuk Halimun Salaka di sini bolehlah saya beranikan diri. Bogor itu bukan bahasa Sunda, tapi Bogor itu bahasa Jawa kuno.
Redaktur Halimun Salaka: Ya, kami teringat Saleh membicarakan asal-usul nama Bogor mengacu pada Kamus Jawa olahan Coolsma. Lalu, bagaimana?
Muhamad Alnoza: Jadi ada cerita menarik, tapi ini masih dhaif, tapi semoga saja tidak dhaif sih. Jadi, pada suatu cerita di abad 18 tahun 1700-san, waktu itu kan masih tanah partikelir blubur ya pusat Kota Bogor ini. Nah, waktu itu (ini cerita dari Pak Taufiq), dibawalah orang-orang Jawa yang pandai membuat alat-alat logam atau orang-orang pandai logam. Para pandai logam itu ditempatkan di Paledang-Panaragan dan bahkan Pabaton-Ciwaringin. Di kampung itu si pandai logam itu yang ngababakan atau membabat-membuat kampungnya. Menurut cerita itu, yang menemukan Tunggul Kawung itu orang-orang Jawa yang berhuni di Bogor pada masa lalu. Mangkanya yang menyebut Tunggul Kawung sebagai Bogor itu mereka, sebab yang tahu Tunggul Kawung adalah Bogor bahasa mereka sendiri. Kita lihat saja di google-maps yang banyak mengais nama Bogor itu banyak di Jawa Tengah dan Timur: desa Bogor, kampung Bogor, bukan di Jawa Barat. Alasannya jelas, karena kamus mereka sudah mempunyai bahasa Bogor sebagai Tunggul Kawung, dalam hal ini Kamus Jawa kuno. Pertanyaannya, ketika masyarakat Bogor mengamini Tunggul Kawung sebagai Bogor, apakah masyarakat Bogor hari ini tahu bahwa Tunggul Kawung itu sendiri bukan bahasa Sunda, dan itu bukan orang Sunda pula yang memunculkan istilah dan temuannya?
Redaktur Halimun Salaka: heuheu, cukup menggelikan. Lalu jadinya mau pilih yang mana, Mang, di antara ketiga itu?
Muhamad Alnoza: Biar aman, Tunggul Kawung saja. Tapi saya sebenarnya bisa menguliti ketiga istilah itu. Buitenzorg jelas tidak masuk, harusnya serupa dengan Pram menyebut Buitenzorg jadi ontosoroh, misalnya. Kalau Baqar, baqarah, atau al-baqarah, tapi kan arca Nandinya bukan di Bogor, tapi di Jawa Timur aslinya.
Redaktur Halimun Salaka: Okelah, Mang Noza. Terima kasih sudah meluangkan waktunya dan sudah menyajikan cerita penziarahan ruang & penerokaan waktu di perjalanan panjang penelitian hidup Mang Noza itu sendiri. Sekali lagi, kami ucapkan hatur nuhun.