Buanglah Kemarahan Pada Kampus Tercinta: Pakuan

xr:d:DAGBXseUxT0:5,j:5848347835070250307,t:24040314

Dok. tagar.id


Sekarang biarkan saya terbakar amarah sendirian. Biarkan saya terlihat seperti seorang alumni nyinyir ketika mengetahui bahwa setelah lulus, lho-lho, kok tiba-tiba bangunan sekolah dibangun semakin bagus. Namun ini berlaku berkebalikan. Karena selulus saya dari Universitas Pakuan ternyata kampus saya berubah semakin ambyar. Dengan dua perubahan yang membuat alarm ledak saya menyala: Pertama, semakin terlihat menjadi kampus rasa tentara. Kedua, sekarang terang-terangan menjadi kampus homophobia.

Buat kampus yang tidak lagi menjadi asik, para alumni yang lain pasti sudah berbusa-busa dalam hal membandingkan, “Pas zaman Abang mah nih yak.. ” dengan tambahan kebrutalan, keintelektuilan, beserta bumbu narsistik yang tebal, juga romantisisme yang jalang. Namun kendati tak lagi banyak berkegiatan di kampus, hemat saya, kampus memang sudah berada diambang batas keteraturan. Sekali langkah menuju kebosanan dan tinggal kepeleset ke jurang kesenyapan.

Untuk tahu itu, gak mesti rasanya harus jadi mahasiswa lagi, toh dengan melihat berita, kita sudah insyaf—bahwa kehidupan kampus memang tengah diarahkan sedemikian rupa untuk iseng sendiri, jika tidak mau dibilang “dinormalisasikan”. Kampus jauh-jauh hari dengan segala kurikulum dan beban akademiknya, memang sudah dibuat menjadi pengamin status quo. Ditambah cengkraman liberalisasi pendidikan dan gempuran globalisasi, terbelenggulah kehidupan kampus dengan segala lilin revolusionernya. 

Namun saya juga tak punya perkakas keilmuan atau indera ke enam untuk memastikan sejauh apa penormalisasian akan terjadi di dunia kampus, khususnya kampus saya, Pakuan. Tetapi secara anabel saya, saya tahu perubahan menuju ke sana tengah atau akan terjadi. Jelas saya tak ingin itu terjadi—setidaknya tidak dalam skala yang akan mengubah marwah dan trah kesejarahan mahasiswa dalam penggaung gerakan moral di saat semua kelompok berebut kue dan kepentingan.

Tentu dalam kejengkelan ini, saya tidak sendirian, karena ketika saya tanya mahasiswa yang sefakultas dengan saya, apakah mereka betah dengan peraturan dan rantai besi yang dipasang di tiap sisi bangunan, beserta pseudo-symbol kampus dengan kepemilikan tentaranya. Mereka kompak menjawab tidak. Jika kalian tidak percaya, silakan kalian keliling Unpak. Tenang saja, kampus saya hanya selemparan batu untuk tau mana ujung gedung yang satu dengan ujung yang lainnya. Dan jika yang langsung terlintas dipikiran Anda adalah, “Settt ini kampus apa Nusa Kambangan?”.  Tenang, Anda tidak sendirian. Bahkan mahasiswa-mahasiswa Pakuan dengan senang hati menambahkan: ini di “pengungsian” masyarakat ilegal.

Tetapi bukan itu bagian lucunya, karena setelah saya tanya lebih dalam, yang bisa saya dapatkan dari semua kepenjaraan yang berbentuk universitas ini adalah: ini hanya menjadi keresahan sedikit mahasiswa, bahkan tidak sampai sebagian, dan mahasiswa yang lebih banyak, menganggap bahwa hal tersebut bukanlah masalah. Bahkan banyak yang merasa itu membantu untuk menambah keamanan. Bayangkan.

Mendengar itu saya langsung ingat Bourdieu dengan segala dominasi simbol dan doksa-nya. Bagaimana reproduksi pengetahuan itu sudah berjalan menjadi suatu kewajaran (common sense). Simbolisasi pun berhasil dimonopoli oleh Rektorat sebagai agen yang mewujud menjadi suatu keteraturan dan “kebenaran”. Alhasil, munculnya kesadaran akan “ketertiban” membuat Rektorat semakin punya klaim kultural untuk membikin mahasiswa hanya fokus untuk mengikuti kelas lantas pulang.

Rektorat memastikan bahwa kehidupan kampus harus selalu clear dari ketidaktertiban. Implikasinya konsolidasi kemahasiswaan mengenai mahalnya pendidikan, peringanan tunggakan pembayaran SKS dan SPP, dan segala diskusi-diskusi tentang menuntut hak pendidikan dianggap sebagai tindakan tidak produktif yang patut ditertibkan. Dan ketika pemerintah Orba punya NKK/BKK, Unpak punya peraturan “jam delapan malam”, senjata ampuh untuk menertibkan.

Motif pemasangan rantai besi di seluruh gedung,—oh jangan lupakan, pemasangan CCTV yang juga merajalela dipasang di tiap belokan— tentu semata-mata hanya untuk menanamkan teror atas kehidupan mahasiswa yang serba dalam kontrol dan terpantau. Gampangnya Rektorat hendak menunjukkan kuasa The Big Brother yang terus memantau. Sekarang sebutlah diberlakukannya peraturan jam delapan malam itu untuk ketertiban dan keamanan semua. Sekarang pertanyaannya, kenapa ini diberlakukan di masa sekarang? Covid sudah tidak ada. Perang Rusia-Ukraina jauh jaraknya. Dan jika jawabannya untuk meminimalisir adanya kejahatan atau hal-hal yang tak diinginkan. Bolehlah kita tanya, apa kegiatan yang tak diinginkan itu? Diskusi, konsolidasi, mabuk-mabukan, perkelahian, penyalahgunaan narkoba, atau apa? Kita tidak pernah diberi pengertian yang komprehensif dari setiap peraturan yang diberlakukan, kita hanya dipaksa mengikuti, dan jika tidak nurut? Siap-siap, nama Anda ditandai dan dipersulit skripsi.

Lagi pula, “ketakutan” itu adalah monster yang abstrak. Dengan mengatakan, “Kalo nanti … “ dengan tambahan bla-bla-bla yang bernada segala keburukan, pasti di detik itu juga ada antisipasi bahaya yang kita cipta. Dan kalian sudah paham betul pastinya. Ancaman bisa dibikin-bikin. Kegentingan bisa didatangkan dengan segala macam rupa, lepas itu woooosh, aturan diciptakan sekedipan mata. Sial bin brengseknya kita menganggap peraturan sebagai taken for granted, yang tidak pernah dipertanyakan dan malah dijalankan dengan kesenyapan. Kita pun sebagai mahasiswa yang ditodong oleh setiap peraturan, digambarkan bak anak-anak yang jauh dari kata bisa berpikir sendiri dan mustahil bisa menjaga diri.

Jika ini terus terjadi, percayalah, Rektorat dan Yayasan akan semakin membuat aturan-aturan aneh hanya untuk kepentingannya. Membuat mereka aman atau terlindungi dari setiap upayanya untuk mengkomersilkan pendidikan atau melanggengkan kekuasaan. Sebab dalam imajinasi Rektorat dan Yayasan, Universitas hanya dilihat sebagai universe yang hitam-putih belaka. Visi untuk memastikan kehidupan mahasiswa yang “esa, unggul dan berkarakter” hanya dijembatani dengan aturan jam lapan malam dan rantai besi yang dipasang di seluruh bangunan. Tidak ada inovasi keilmuan dan jelas ini peremehan pengetahuan.

Menghilangkan budaya kekerasan? Hmmm, mana ada. Keributan malah jadi maju ke siang atau sore hari. Pembulian dan catcalling pun masih sering dialami. Jadi alih-alih peraturan diciptakan untuk menjamin kenyamanan hak dan martabat kemanusiaan seluruh civitas akademika di Pakuan, ini menjadi ajang hegemoni untuk terus memproduksi pengetahuan ketakutan.

Tetapi ini hanya permulaan.

Masalah lebih asasi saya dengan Pakuan adalah himbauan yang ditempel di tiang besi yang dipasang di setiap sudut fakultas yang tertulis: Mari kita jaga Unpak tanpa narkoba, miras, rokok, LGBT, asusila, kekerasan seksual, dan perundungan/bullying.

Lihat, dari sederetan tindakan yang memang kriminil, ada “Lesbi, Gay, Bisex, dan Transgender” yang dimasukan sebagai himpunan kriminal. Hmmm, homophobic secara brutal.

Okey, sebelum saya dihujat, saya persilakan lebih dulu untuk kaum yang membela peraturan homophobic tersebut dan pasti kalian akan bilang, “Tapi kaum LGBT,” dan dilanjut dengan, “Itu dilarang agama. Membuat banyak orang resah, bisa menular dan tidak sesuai dengan sistem fitrah manusia”

Sekarang mari kita bedah ini satu persatu. Dan untuk testamen pembelaan saya, akan saya mulai dengan satu pengalaman saya, di satu hari di tahun 2021, saat saya dipanggil ke ruangan Rektor yang waktu itu rektornya masih Pak Bibin Rubini. Di ruangan itu, yang dihadiri juga, dua teman perempuan saya bernama Frida dan Novi. Pak yang sekarang mantan rekor itu, setelah lama menguliahi saya empat sks tentang moral dan etika terapan, di akhir beliau menutupnya dengan bilang, “Kampus kita ini adalah kampus yang didasarkan oleh nilai-nilai Pancasila, bukan berlandaskan satu agama, jadi kita harus lebih mengutamakan kerukunan atas sesama manusia dengan tanpa harus membedakan keyakinannya.

Tidak ada yang aneh. Toh kampus saya memang kampus pancasila, kampus yang diinisiasi oleh Abri-abri Orba. Kembali ke persoalan. Jika pancasila memang menjadi landasan segala tata aturan Pakuan, tentu membikin aturan yang homophobic seperti menggengbeng nilai pancasila itu sendiri. Sebab dengan membikin aturan tersebut, ada hak asasi manusia dari sekelompok minoritas yang dibedakan, bahkan dihilangkan. Selain itu, aturan tersebut pun sudah mendahulukan stigma dan diskriminasi, alih-alih menghadirkan inklusivitas.

Lagi pula dalam peraturan tersebut sudah ada kontradiksi di dalamnya. Karena jika disebutkan “tidak boleh ada perundungan” tentu mendiskriminasi orang-orang hanya karena bedanya preferensi seksual adalah bentuk perundungan yang nyata dan kaum rentan yang didiskriminasi ini menjadi tidak nyaman berada di lingkungan Pakuan. Padahal kita tau institusi kampus seharusnya menjadi wajah pertama dalam transformasi masyarakat yang adil dan berperspektif kemanusian. Terlepas dari apapun identitas gendernya

Saya paham di satu sisi kampus berusaha menjaga nama baik dan moralnya dan di satu sisi kebanyakan mahasiswa seolah terkoneksi untuk mengarahkan kemurkaan pada kaum rentan. Dan kita tampak punya kecenderungan untuk takut pada perbedaan. Namun para pembuat aturan yang ada di kampus saya, seperti punya gudang moral imajiner atas ketakutan yang menjulang tinggi. Jumlahnya mungkin lebih banyak dibandingkan dengan data kebaikan yang mereka miliki. Untuk itu, perbedaan—plus tidak mau mencoba memahami—memang sejatinya adalah bahan bakar ketakutan.

Alhasil kaum LGBT, sebagai kaum rentan yang harusnya kampus lindungi malah menanggung diskriminasi. Hanya lantaran terlahir dengan preferensi seksual yang berbeda dengan arus utama. Dan dengan horizon pikiran kita yang miskin, mereka nampak “menakutkan” dengan embel-embel perusak bangsa dan pengisi neraka. Mereka, karenanya, mengutip Rene Girard, menjadi sasaran pengganti untuk amarah yang sejatinya tak mempunyai sasaran. Kita lupa bahwa mereka juga manusia seperti kita, dan mereka bukanlah penyakit, dan LGBT itu tidak menular.

Untuk menutup tulisan ini, mari kita ingat satu waktu, pernah masanya kampus itu diibaratkan sebagai negara kecil, dan dua sumber amarah saya atas negara kecil bernama Universitas Pakuan mungkin bisa menjadi jembatan pemahaman menuju kebrengsekan lebih dahsyat dalam memandang negara besar bernama Indonesia. Mungkin. Mungkin juga tidak.