Menerka Prosesi Puasa – Menelusuri Jalan Puisi

Menerka Prosesi Puasa – Menelusuri Jalan Puisi

ilustrasi @alanwari


Ketika di-hadapkan dengan persoalan puisi, kadang kami ingat Chairil Anwar yang putus asa, ..yang merangkaki dinding buta/ tak satu juga pintu terbuka, meminjam seutas puisinya berjudul “Tak Sepadan”. Lalu, ketika di-hadapkan dengan persoalan puisi melalui prosesi puasa, kadang kami ingat Maulana Jalaludin Rumi yang semangat menapaki labirin kehidupan, yang mengatakan bahwa, puisi itu hanyalah cabang dari tujuan, meskipun tujuannya tidak ada dalam kandungan puisi tersebut. Jika yang dilihat adalah tujuannya, maka dualisme-nya akan hilang. Karena dualisme hanya terjadi dalam cabang, sementara akarnya tetap satu. Menurut Rumi sama halnya dengan perjalanan hidup syekh-syekh sufi. Meski dalam penampilan luar, keadaan, perilaku, dan perkataan mereka berbeda, tapi mereka semua memiliki satu tujuan yang sama, yaitu mencari Tuhan: meminjam kutipannya dalam buku Fihi Ma Fihi.

Itulah sebabnya, kami merasa segala yang menabur serta memburu makna mesti melalui prosesi puasa, agar tak merangkaki dinding buta sebagaimana gerutu Chairil, dan menyebabkan tak menemukan satu pintu (penerangan hidup) pun terbuka. Melalui refleksi puasa, banyak harapan agar kita dapat mengarungi samudera makna di luar keluasan makna hidup itu sendiri. Sebab, ketika menerka prosesi pemaknaan puasa, kami percaya ada banyak pintu sekaligus jalan untuk menelusuri jalan puisi, wahana pembelajaran menempuh-memaknai permainan labirin hidup ini.

Setelah meminjam fenomena Chairil dan Rumi, seikat pengantar nuansa persoalan puisi dan puasa, kami bermaksud menerka proses puasa yang terhimpun dalam puisi-puisi serial ramadan (berbuka-puisi), melalui pembacaan ke luar diri dan kembali ke diri. Sebagaimana proses yang kami tempuh-jalani belajar menempuh makna pada edisi berbuka-puisi bersama itu — tengah membuahkan penelusuran jalan puisi yang suka tidak suka, mau tak mau, sangat erat-berkait-kelindan dengan prosesi puasa.

Bagaimana tidak, pada gerak-sudut pandang kami, puasa dan puisi yang kami bayangkan serupa dua konsep yang entah dari segi budaya atau tata-laku dan prosesinya memiliki hubungan yang erat mendalam, meskipun terlihat berbeda secara kasat-mata, bahkan secara definitif. Namun, keduanya memiliki dimensi spiritual dan reflektif yang serupa, yang seringkali tak kita sadari itu ternyata saling melengkapi dan memperdalam pengalaman kita sebagai manusia khususnya.

Misalnya, puasa dalam banyak tradisi agama umumnya, seperti Islam khususnya, memiliki aspek spiritual yang kuat. Ini melibatkan pelajaran menahan diri dari keinginan duniawi dan memusatkan perhatian pada dimensi spiritualitas, introspeksi, dan koneksi dengan Tuhan atau mungkin saja dimensi transenden lainnya. Demikian pula, puisi sering kali dipandang sebagai ekspresi spiritual atau pencarian makna perjalanan hidup yang mendalam. Puisi juga kami terka-kira, terkhusus yang sudah terhimpun dalam Majalah Serial Ramadan ini, sebagaimana pembacaan pengantar di halaman awal, wahana yang ditempuh para penulis sangat beragam untuk mengekspresikan pengalaman spiritualnya masing-masing, mempertanyakan keberadaan dirinya masing-masing, dan atau menggambarkan hubungan individu dengan yang kebesaran Sang Ilahi-nya masing-masing.

Ditambah, kita ketahui bersama, puasa memberikan kesempatan bagi kita untuk memeriksa diri sendiri, jauh kembali ke diri sendiri, mengevaluasi perilaku dan kebiasaan hidup sendiri, serta mendalami pemikiran dan perasaan yang juga sendiri. Itulah mengapa di bulan ramadan, wahana puasa dikait-hubungkan dengan puisi merupakan waktu yang tepat untuk introspeksi dan refleksi kembali jauh ke diri. Sebagai contoh, kerja puisi sering kali menjadi sarana bagi para penulis untuk merefleksikan pengalaman mereka, mengungkapkan pemikirannya yang dalam, dan mengeksplorasi kompleksitas emosi diri (sebagai manusia) melalui bahasa dan kata-kata, atau simbol-simbol makna. Kedua praktik ini (puasa dan puisi) memungkinkan kita untuk mengeksplorasi dan memahami diri sendiri secara lebih baik khususnya, umumnya menyangkut pengkaryaan bersama yang bisa saja akhirnya akan tercermin-pantulkan juga ke diri kita sendiri.

Jika puasa dan puisi kita sepakati erat hubungannya dengan pengalaman transenden atau kesadaran yang lebih tinggi, maka ketika seseorang menahan diri dari kebutuhan duniawi dan fokus pada spiritualitas, bukankah sangat mungkin seseorang itu mengalami momen-momen transenden di mana ia melalui kerja puisi merasa lebih dekat dengan Tuhan atau alam semesta(?). Puisi bahkan memiliki kemampuan untuk membawa pembaca atau sidang pendengar ke pengalaman transenden yang serupa, walau hanya bermodalkan bahasa dan kata-kata. Toh, melalui kata-kata yang dipilihnya dengan hati-hati, proses kreatif panjangnya sendiri, se-sepele puisi diciptakan masih dapat mengangkat pembaca ke tingkat pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan, kemanusiaan, dan bahkan keberadaan perwujudan benarkah raga kita dimainkan oleh jiwa?

Hal itu bukan tanpa sebab, puasa dapat memunculkan emosi yang mendalam lewat perenungan menahan hawa-nafsu, dan puisi juga memiliki kekuatan untuk mengekspresikan emosi, memilah-memilih batasan-batasan emosional itu sendiri, sebelum sampai kerja pengkaryaannya ke sidang pembaca luas. Hal itu menurut kami sejalan ketika seseorang berpuasa, mereka mungkin mengalami berbagai macam emosi, termasuk rasa lapar, kesabaran untuk menahan, ketenangan diri untuk bertahan, yang akhirnya mampu menembus kegembiraan spiritual. Dan momentum puitik itulah, memungkinkan penulis mengambil kerja puisi sebagai wahana mengekspresikan emosi-emosi dengan cara yang kreatif, unik, tentu mendalam, sehingga memungkinkan pembaca pasti akan masuk jurang perasaan: merasakan dan memahami pengalaman emosional daripada penulisnya.

Sungguh-pun, dalam wahana menerka proses puasa dan menelusuri jalan puisi ini, kami tak sampai pada suatu rumusan panjang dan mendalam, sebab kami adalah pembelajar yang tak akan mampu mengajari, apalagi mengenai hubungan antara puasa dan puisi, yang oleh para peneliti, sastrawan maupun agamawan sendiri sangat tak mungkin dirumuskan secara objektif, atau tak mampu sampai pada rumusan kesepakatan bersama.

Terlepas dari persoalan demikian, sepembacaan dan perumusan kami, puasa dan puisi mampu mengeksplorasi bagaimana kedua konsep tersebut saling memengaruhi dalam konteks hidup-kehidupan: budaya, agama, individualitas manusia, dan seterusnya – dan sebagainya. Dengan melalui  terkaan dan jalan panjang puasa dan puisi juga, mungkin kita dapat menyelidiki bagaimana puisi dapat menjadi sarana untuk merayakan, merenungkan, atau merespons pengalaman puasa, serta bagaimana puisi mungkin saja dapat menginspirasi atau memperdalam pemahaman tentang praktik puasa itu sendiri.

Sebagaimana pada catatan #selamatberbukapuisi&selamatberbukapuasa kami menutup catatannya dengan sebuah puisi dari Syahruljud Maulana berjudul Malam Lebaran, maka kami tutup epilog ini dengan sebuah puisi dari Sitor Situmorang dengan judul yang juga sama:

Malam Lebaran

Bulan di atas kuburan

1955

Kami ucapkan selamat memulai dengan hati yang tak mati-mati. Sementara begitu saja. Walaupun Cuma setetes saja dari napas kehidupan, semoga kumpulan wirid puisi ini menjadi penggedor perjumpaan kita menuju kehidupan puisi sejati. Terimakasih sudah berkunjung ke Majalah kecil pada edisi serial ramadan berbuka puisi ini. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H/2024 M, maaf atas lahir dan dari batin.***