Gema Swara: Cerita Negeri Sihir di Bulan Makna

Foto: halimunsalaka.com


Kemarin-lalu, pada hari kamis – 12 Oktober 2023, Gema Swara (grup-musik SMA Taruna Terpadu yang bertempat di Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor) diasuh oleh grup-musik Katapel mementaskan pertunjukan musikalisasi puisi dengan tajuk Negeri Sihir. Hal tersebut menarik perhatian saya untuk datang menontonnya, dan sebab menarik lainnya terkait persoalan tajuknya itu sendiri, ialah Negeri Sihir. Ketika sampai di Gedung Boash Convention Center (bertempat di Jl. Atang Senjaya, Kecamatan Rancabungur – Kabupaten Bogor), tepat sebelum pertunjukan di-mulai, timbul-lah pertanyaan dalam benak saya: apa yang dimaksud Negeri Sihir? Apakah Negeri Sihir pelesetan nama dari Negeri Indonesia? Atau apa sebenarnya yang hendak disampaikan anak-anak Gema Swara dalam tajuk Negeri Sihir pada pertunjukan ini?

Tentu, pertanyaan itu akhirnya terjawab ketika saya selesai menyaksikan rentetan pertunjukannya. Sebelum refleksi catatan ini masuk lebih dalam, saya akan memberikan sedikit jawaban menyangkut apa dan bagaimana yang dimaksud Negeri Sihir di atas. Pertama, kemungkinan tajuk Negeri Sihir diambil dari salah-satu judul puisi yang di-musikalisasikannya, berjudul Negeri Sihir karya Nenden Lilis. Kedua, reaksi-kesan yang saya saksikan ialah tak lain – Negeri Sihir yang dimaksud Gema Swara merupakan usaha menceritakan fenomena-peristiwa Negeri tercinta kita Indonesia melalui wahana puisi (para penyair Indonesia), dan-lalu disuguh-alihkan dalam bentuk pertunjukan musikalisasi puisi. Pokoknya ajaib dan memukau pertunjukan mereka, sampai-sampai pikiran saya tertuju kepada geliat panggung Sirkus Barock ketika melihat pertunjukan mereka di atas panggung. Goks!

Bagaimana tidak, mereka (anak-anak Gema Swara) mengolah atau katakanlah meng-alih-wahanakan puisi-puisi dari sastrawan terkemuka di Indonesia, seperti Sutardji, Rendra, Ajip Rosidi, Taufiq Ismail, Wiji Tukul, dan lain sebagainya. Kerja-kerja alih-wahana tentu mesti memiliki bakat serta proses-kreatif panjang pemaknaan dalam mengolahnya. Gema Swara memilih Katapel sebagai guru-pembimbingnya sangatlah tepat. Oleh sebab, perjalanan panjang Katapel sebagai grup-musikal sudah lama fokus mengalih-wahanakan kerja puisi menjadi nyanyian atau lagu, tentulah sudah sangat mahir dan bahkan bisa kita katakan sudah menjadi Empu bagi masyarakat musikal di hunian Bogor dewasa ini.

Ketika puisi digubah menjadi lagu, ia tentu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari komposisi. Baik buruknya lagu sama sekali tidak tergantung pada nilai puisi (yang di-alih-wahanakan), begitu pula sebaliknya. Puisi yang mendapat kritik bagus bisa digubah menjadi nyanyian – yang oleh pakar musik misal dianggap buruk, dan seterusnya, pula sebaliknya bisa juga berlaku para penyair yang mendengar reaksi pakar musik yang mengalih-wahanakan dunia puisi. Oleh sebab itu, persoalan baik-buruk tak akan sampai pada satu kesimpulan, dan kerja-kerja alih-wahana pasti mengalami polemiknya sendiri-sendiri.

Sebaiknya, kita ingat juga bahwa meskipun sudah disatukan dalam nyanyian, puisi masih bisa dilepas dan kembali berdiri sendiri. Sejalan dengan itu, nyanyian juga bisa dimainkan secara instrumental dan puisi yang mula-mula menjadi bahannya bisa ditanggalkan. Puisi kembali menjadi rentetan huruf di halaman buku dan berurusan dengan mata kita, lagu menjadi nada-nada yang masuk ke telinga kita. Namun, tampaknya hal itu terutama berlaku dalam dunia musik yang mau tidak mau harus menggunakan alat. Dalam kesenian tradisional kita kenal jenis puisi yang disebut tembang, yang pada dasarnya baru benar-benar menjadi puisi kalau dinyanyikan.

Di bulan bahasa, bulan oktober khususnya, sebagaimana para pelaku sastra menyebutnya, saya melihat nuansa pertunjukan Negeri Sihir yang dihidangkan Gema Swara mendapat momen tepat-sasaran, dan menyebabkan timbulnya bulan makna atas pertunjukannya. Bahasa, lebih khusus fenomena kata-kata sebagai Rendra katakan, merupakan kerja-kratif perjuangan: perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata! Lebih jauh dari itu, anak-anak Gema Swara pada akhirnya tengah melaksanakan perjuangan kata-kata itu sendiri dalam pertunjukannya, entah mereka menyadarinya atau tidak. Mereka telah melaksanakan pesan-kesan dalam dunia puisi yang pada dasarnya senyap-sunyi dalam kertas-buku di rak-rak berdebu, disulap menjadi nyanyian-musikal di atas panggung yang megah dengan beratus penonton di-hadapannya. Yapsss!

: dari Puisi ke Musikal menjadi Seni Pertunjukan

Dalam buku Alih Wahana (2018), Sapardi Djoko Damono menjelaskan bahwa ada tiga unsur yang harus diperhatikan dalam musikalisasi puisi, antara lain: interpretasi puisi, suara penyanyi, dan suara alat musik. Ketiganya bisa menyatu, tetapi bisa juga berdiri sendiri-sendiri. Dalam pementasan di panggung, ada unsur lain yang juga perlu dipertimbangkan, yakni tampang dan gerak-gerik penyanyi. Di samping itu, ada panggung atau latar belakang yang bisa saja menjadikan makna lain yang dapat ditangkap pendengar atau penonton. Bahkan sebenarnya perbedaan alat musik yang dipakai pun bisa menghasilkan penerimaan yang berbeda-beda pula. Itulah mengapa dimensi musikalisasi puisi yang hanya diiringi gitar saja bisa menghasilkan atmosfir yang berbeda dengan yang diiringi oleh orkestra lengkap.

Lalu, timbul-berkembanglah pertanyaan, sampai berapa jauh hubungan antara puisi dan musikalnya yang digarap oleh komponis (Gema Swara yang diasuh Katapel), dan sampai berapa jauh lagu-nyanyian itu bisa mengungkapkan isi puisi yang menjadi olahan bahannya?

Dengan tegas saya akan menjawab, pertunjukan musikalisasi puisi Negeri Sihir yang disuguhkan anak-anak Gema Swara diolah sedemikian lengkap tanpa cacat, entah apa yang Katapel sihir-lakukan kepada anak-anak Gema Swara itu, bisa-bisanya menghasilkan pertunjukan yang ajaib-memukau. Sejalan dengan uraian Sapardi, proses interpretasi puisi yang disuguhkan anak-anak Gema Swara, suara-suara penyanyi dan musiknya, tampang-mimik serta gerak-gerik para penyanyi dan pemusiknya harmonis-menyatu dengan artistik panggungnya. Dengan demikian, saya percaya diri untuk mengatakan bahwa, seni pertunjukan bertajuk Negeri Sihir (dari puisi ke musikal ini) sudah berhasil sebagai kerja-kreatif alih-wahana.

Puisi-puisi yang di-alih-wahanakan lumayan banyak, terhitung 14 songlist-nya. Maka, saya fokuskan saja pada beberapa puisi, antara lain berjudul: Peringatan (Wiji Tukul), Tanah Air (Ajip Rosidi), Tanah Air Mata (Sutadji Calzoum Bachri), Membaca Tanda-tanda (Taufiq Ismail), dan Sajak Rajawali (Rendra). Ada hal yang menarik dari judul-judul puisi tersebut, yang mana akan coba saya satukan judul-judul puisi itu menjadi sederet kalimat, begini: Peringatan! di Tanah Air – Tanah Air Mata kita, semua orang mesti Membaca Tanda-tanda, ada makna Sajak Rajawali di Negeri Sihir tercinta kita ini! Negeri Sihir Indonesia yang selalu mengalami kabut-kelamnya kehidupan, fenomena mencari sihir-sihir yang tepat untuk mengubah damai-indahnya dari hidup itu sendiri. Saksikanlah sendiri, dan rasakanlah sendiri, damai-indah-kah hidup kita di Tanah Air tercinta ini, atau justru sebaliknya?

: dari Seni Pertunjukan ke Lembah Perasaan

Dalam pertunjukan Negeri Sihir, anak-anak Gema Swara bercerita bahwa di Negeri Sihir ini, kita diharapkan untuk tabah mengolah makna. Sebagaimana dalam puisi Peringatan Wiji Tukul bahwa, Bila rakyat tidak berani mengeluh, itu artinya sudah gawat, dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam. Dilanjutkan Ajip Rosidi dalam puisi Tanah Air, Hijau pegunungan biru lautan, Bukannya harapan adalah ketakutan, Hijau pegunungan biru lautan, Bukanlah ketentraman adalah ancaman. Dibalas Sutadji dalam puisi Tanah Air Mata dengan pernyataan, di balik gembur subur tanahmu, kami simpan perih kami, di balik etalase megah gedung-gedungmu, kami coba sembunyikan derita kami.

Lalu dengan ironis Taufiq Ismail mengutuk keadaan, seperti dalam puisi Membaca Tanda-tanda, Allah. Kami telah membaca gempa, Kami telah disapu banjir, Kami telah dihalau api dan hama, Kami telah dihujani api dan batu. Allah. Ampunilah dosa-dosa kami. Dengan gagah dalam ketidakberdayaan, Rendra bergurau, Rajawali terbang tinggi, membela langit dengan setia. Dan dia akan mematuk kedua matamu, wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka!  Dan tentu masih banyak cerita pada puisi lainnya.

Perkembangan upaya penyebarluasan dimensi makna, atau katakanlah amanat akan mendorong kita untuk menciptakan wahana baru yang mampu menampungnya. Kita akan terus menerus memikirkan bagaimana cara dan akal mengembangkan wahana baru. Dan itu terjadi ketika kita mengubah bunyi-bunyian menjadi aksara, aksara-aksara menjadi nyanyian, nyanyian-nyanyian menjadi sebuah pertunjukan. Pengubahan perjalanan suatu karya yang menyebabkan kita terus berpikir untuk melakukan perubahan lebih lanjut dengan perkembangan-teknologi hidup terkini, mau tak mau, pengkaryaan apapun itu jenisnya mesti berjalan beriringan dengan kemajuan itu sendiri.

Syahdan. Keberhasilan pertunjukan Gema Swara tentu tidak lepas dari kecerdasan memilih puisi-puisi yang hendak dihidangkan, pula kecerdasan mengolah, meng-interpretasi-kan, serta meng-alih-wahanakan pemaknaan terhadap dunia puisi itu sendiri. Sebagaimana judul dan kutipan puisi yang sudah saya uraikan sedikit di atas, tentu akan membuka gambaran pemaknaan mengapa pertunjukan itu dinamai Negeri Sihir. Sisanya, biarlah bahasa hatimu sendiri yang meneruskannya, yang memahaminya.

Selanjutnya, sebagaimana uraian Sapardi (dalam Alih Wahana, 2018), wahana yang baru kita ciptakan itu bisa dimanfaatkan untuk membawa pesan-pesan lain, proses yang tak lain berarti terjadinya perubahan yang terus-menerus. Dan itu berarti terjadinya perkembangan kesenian yang tak akan ada akhirnya – yang tak bisa dipisahkan dari perkembangan kebudayaan. Semua itu terikat erat pada pertimbangan estetik atau komersial, atau keduanya. Hanya dengan cara demikianlah, kita bisa menjaga tradisi berkesenian, dengan catatan bahwa tradisi tidak berarti sesuatu yang mati, tetapi suatu proses yang kalau berhenti akan mengakibatkan berakhirnya keberadaan kita sebagai makhluk yang kreatif. Ong!***