Memutar Karya Sastra yang Memotret Bogor dalam Musim Penghujan

Jika Anda datang ke Bogor di bulan Desember, siap-siaplah untuk melihat hujan yang turun seperti pertunjukan yang tak pernah benar-benar selesai. Sebagai kota yang terkenal dengan Kota Hujan, Bogor tak pernah kehabisan alasan untuk meromantisir air (karunia-Nya) Tuhan. Sebab setiap kali hujan datang, kota ini mengisapnya dengan tenang.

Seolah menjadi tradisi tahunan, Desember tiba dengan hujan deras yang membasahi jalanan kota, tetapi bukan dalam bentuk kedamaian atau romantisisme yang sering digambarkan dalam puisi cum lagu picisan. Hujan di Desember lebih mirip acara dari kelompok budayawan yang tidak mengerti bahwa spiritnya kelewat tidak relevan.

Untuk itu, dengan berani saya bilang bahwa hujan di Bogor—-spesifik bulan Desember—adalah suatu ironi. Di satu sisi, ia menawarkan rasa segar yang diinginkan banyak orang dari kota-kota gersang, tetapi di sisi lain, ia bak tangan kiri Siwa yang hanya memperburuk keadaan. Bogor di musim hujan bak pemeran utama yang selalu memainkan peran yang sama: hujan dengan tanpa henti, tanpa perubahan, tanpa pernah mengubah plot ceritanya.

Kemacetan dan Hujan adalah Simfoni yang Tidak Pernah Selesai

Desember ini, hujan seperti teman yang sudah tidak diundang lagi ke pesta—tetapi tetap datang dan duduk paling depan. Ada yang beranggapan bahwa Bogor memang cocok dengan hujan. Tapi, coba tanya pada pengendara motor yang kejebak macet di Puncak atau Dramaga—apakah mereka merasa “romantis” dengan segala genangan air yang terkandung saat hujan itu? Atau malahan ironis?

Kota yang dahulu dikenal dengan ketenangan alamnya, kini jadi arena saling serobot antara kendaraan pribadi dan ribuan angkot yang menghindari genangan saat hujan turun. Dalam hal ini tentu Bogor dan Hujan yang turun saban pagi-sore-malam punya wajah lain yang tak melulu soal kesegaran, tetapi juga ketidakpastian yang merayap pelan masuk ke dalam keseharian. Hujan di Bogor, di saat musim penghujan entah bagaimana selalu seperti teka-teki yang tak pernah mau dipecahkan persoalannya.

Salah satu tokoh sastra yang menggambarkan kegelisahan yang datang dengan hujan dan keramaian adalah Mochtar Lubis. Lubis, sastrawan yang mahir menggubah kebosanan menjadi pergulatan sosial, dalam karyanya Senja di Jakarta menggambarkan hujan di Bogor sebagai ketegangan sosial. Meskipun hanya sebagai latar, hujan di Bogor mencerminkan ketegangan yang tajam dalam narasi tersebut.

 “Di luar, hujan turun dengan deras. Di dalam rumah, tak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu, tapi menunggu apa? Entah kenapa aku merasa, hujan ini tidak akan memberi apa-apa, kecuali menambah keringat di dahi.”

Lubis dengan cermat menangkap paradoks kehidupan modern, di mana hujan yang seharusnya menjadi pelepas lelah justru menjadi beban tersendiri bagi mereka yang terjebak dalam rutinitas. Dalam Bogor yang penuh dengan kemacetan ini, hujan tidak lagi memberi kita ketenangan; ia malah memperburuk keadaan. Hujan dalam arti yang lain juga, adalah ruang yang tidak pernah bisa sepenuhnya dimiliki atau dimengerti. Seperti dalam (kutipan) buku Senja di Jakarta di atas, hujan hanya memberi kita kesempatan untuk merenung, tetapi tidak pernah memberikan jawaban.

Penyair dan cerpenis A.S. Laksana pun tidak ketinggalan mengabadikan Bogor dalam karyanya. Bagi Laksana, hujan di Bogor bukan hanya soal basah-basahan, tetapi soal kehidupan yang terus terperangkap dalam rutinitas yang tak pernah netral. Selalu tentang perasaan dan kerinduan.

Dalam salah satu karyanya “Matahari yang Jatuh,” Laksana menuliskan:

“Di kota yang hampir selalu hujan, setiap perasaan seolah menjadi basah, memendam kenangan yang hanya bisa diingat saat kabut datang.”

Dalam karyanya yang lain, yang berjudul Suryakencana, Laksana bahkan menggambarkan anomali: jalanan Bogor selalu tak pernah sepi, bahkan saat badai. Dan dengan nyinyir, Laksana mengkritisi hujan dengan tidak puitis.

“Di Suryakencana, hujan mengalir begitu saja, sama seperti aku yang terus berjalan tanpa tahu apa yang aku cari.”

Cerpen ini dengan tajam menggambarkan Bogor sebagai kota yang terjebak dalam kebiasaan yang terus berulang. Hujan datang dengan cara yang tidak pernah berubah, dan setiap kali ia datang, kita hanya bisa terdiam dalam ketidakpastian, meski kemacetan, pohon tumbang, dan banjir di setiap tepi (jalanan) perkotaan menjadi latar berita harian—dalam hal ini, tentu kita bak mind character dalam cerpen Laksana yang terus mencari, tetapi tidak pernah benar-benar menemukan apa yang ia cari. Bogor, dalam cerita ini, menjadi kota yang menghanyutkan kita dalam rutinitas yang tidak pernah ada ujung. Hujan dan segala yang timbul dan muncul, tak pernah selesai dan diselesaikan.

Hujan yang Tidak Menyelesaikan

Pada akhirnya, hujan di Bogor pada bulan Desember adalah cerminan dari sebuah paradoks—dan pada tataran ini, saya menjadi ingat Lelaki Harimau-nya Eka Kurniawan. Dalam novel LelakiHarimau, kita tahu Eka mengangkat banyak tema tentang kehidupan yang penuh ironi dan kontradiksi. Tetapi dalam satu bagian, Eka menulis begini:

“Dari jendela, hujan terlihat seperti tirai yang menutup jalan keluar. Di luar, orang-orang berlarian tanpa tahu mereka sedang menuju ke mana. Begitu juga dengan kota ini, yang semakin lama semakin sesak, tetapi tidak ada jalan keluar.”

Dalam narasi itu, kita bisa merelevansikan pada keadaan Bogor sekarang: Hujan turun, tetapi apakah itu memberi kenyamanan, atau justru semakin menambah kegelisahan?

Bogor dalam ke-kontemporer-an adalah kota yang terus melaju, tetapi berputar tanpa tujuan yang jelas, hanya berusaha untuk bertahan dalam situasi yang semakin terhimpit-terjepit. Bogor dalam rentetan hujan dan problem-problematika yang tidak selesai, seperti kata Eka, hanyalah tirai yang menutupi kenyataan—kemacetan yang semakin parah dan kebisingan yang tidak bisa dihindarkan.

Tapi mungkin, begitulah Bogor. Kota yang tak pernah tahu kapan hujan akan berhenti, dan tak pernah bisa berhenti bercakap-cakap tentang kemacetan, hujan, dan segala ilusi yang datang berbarengan. Dan seperti pengetahuan dasar, saat Desember kita akan tahu bahwa hujan akan datang, tetapi kita tidak pernah tahu kapan ia akan selesai—dan ketika selesai, ia hanya meninggalkan kita dengan sebuah kenyataan yang tak berubah. Dengan tanpa pernah benar-benar memberikan jawaban.***