Foto: halimunsalaka
Pada mulanya catatan ini disebabkan dengan sederet rasa curiga-penasaran, begini: selain menuliskan sajak berjudul Jalan Bogor – Jasinga, Rendra juga menulis sajak berjudul Hutan Bogor (baca: kumpulan Sajak-sajak Sepatu Tua). Di dalam sajak Jalan Bogor – Jasinga terdapat jelas bahwa sebagai penyair Rendra menuangkan renungan-hidupnya ketika melewati jalan tersebut, lalu dapat kita telusuri bersama pula Jalan Bogor – Jasinga yang dimaksud Rendra bisa kita temui (kemungkinan) sejauh daerah dari jalan-raya Leuwisadeng atau Cigudeg menuju Jasinga (di Kabupaten Bogor Bagian Barat). Sedangkan di dalam sajak Hutan Bogor, tidak jelas hutan Bogor yang mana atau katakanlah hutan Bogor yang Rendra maksud apakah Kebun Raya (di tengah Kota Bogor) atau bukit-hutan Halimun (di ujung-ujung Kabupaten Bogor) yang mengelilingi Bogor-Raya?
Berbekal kebingungan serta rasa penasaran itulah, dengan semangat yang membara (walaupun akan berpesta dengan kemungkinan pada akhirnya) saya akan mencoba menelusuri proses kreatif Rendra pada kedua sajak tersebut. Sebab, saya menduga-kira, ketika menulis kedua sajak itu, tentu Rendra tidak serta-merta main ke Bogor dan menulis sajak, melainkan Bogor sebagai lintasan pengembaraannya ketika ke Rangkas-Bitung. Memangnya mau apa Rendra ke Rangkas-Bitung? Praduga-kira saya ialah kedua sajak tersebut menggambarkan rute-jalur Rendra ke Rangkas-Bitung melewati Jalan Bogor – Jasinga dan melihat banyak bukit-hutan Halimun yang mengelilingi Bogor, dan itu yang saya maksud menggambarkan proses kreatifnya yang pada akhirnya tercipta kumpulan sajak Orang-orang Rangkas-Bitung. Dengan bahasa lain, kedua sajak (Jalan Bogor – Jasinga dan Hutan Bogor) tersebut kemungkinan menjadi proses Rendra sebelum menulis kumpulan sajak yang berjudul, baca: Orang-orang Rangkas Bitung.
Selain itu, catatan ini disebabkan pula semacam reaksi atas tulisan Tenu Permana yang sudah terbit di laman-media Kolonian.is berjudul, Hotel Salak: Ada Pada Setiap Masa dan Saatnya Jadi Bagian Wisata Kota Sastra. Dalam tulisan itu, intinya, Tenu menjelaskan secercah-cerita Hotel Salak dalam pusaran sejarah Bogor yang berhubungan dengan proses kreatif Iwan Simatupang (di kamar nomor 52) dalam merampungkan beberapa karyanya, seperti novel Ziarah dan Merahnya Merah. Selanjutnya, Tenu mengharapkan agar Hotel Salak (Kota Bogor) bisa menjadi Kota Wisata Sastra (tempat residensi, pameran, dan sebagainya) sama seperti kota Eidenburg Granada, Utrecht, dan terakhir Lillehammer di Norwegia.
Reaksi saya terhadap tulisan Tenu menitik-berat-kan pada sederet pertanyaan, begini: Apa yang dimaksud Wisata Kota Sastra? Apakah Wisata Kota Sastra bisa diwujudkan dengan hanya seorang sastrawan pernah menetap di (hotel) Kota Bogor dalam melahirkan karyanya, walaupun muatan karyanya Kota Bogor tak disebutkan dalam isi karya, tak seperti misal karya-karya seorang sastrawan yang sengaja meresidensi suatu Kota? Atau bagaimana jika hanya muatan karya-karya saja yang bertemakan Bogor namun sastrawan tidak pernah menetap-tinggal di Bogor, masuk-kah dalam perwujudan Wisata Kota Sastra? Dan, apakah Wisata Kota Sastra mesti kita lihat hanya pada proses-kreatif dan karya seorang sastrawan indonesia yang terkemuka? Bagaimana nasib nama-nama yang tenggelam oleh mereka yang berdiri di puncak tokoh-tokoh terkenal itu?
Pertanyaan itulah yang menyelimuti diri saya. Sebab, memang sepencarian saya terhadap sastrawan yang berhubungan dengan Bogor (proses kreatif dalam berkarya), mungkin hanya Iwan Simatupang-lah paket-komplit sastrawan terkemuka Indonesia yang pernah tinggal-menetap di Bogor serta menjalani proses kreatif pengkaryaannya. Akibatnya Bogor terlampau gaib bagi sastrawan terkemuka Indonesia. Hal tersebut pula-lah yang membuat kita sulit untuk mencari karya-karya yang bertemakan Bogor hasil sastrawan terkemuka Indonesia, dan semakin jelas pula sastrawan terkemuka kita tidak tertarik berproses kreatif di Bogor. Tentu, tingkat kesulitan itu tidak berlaku bagi Kota tetangga, Jakarta ataupun Bandung.
Dengan demikian, agaknya, sebelum mewujudkan Hotel Salak (atau Bogor) sebagai Kota Wisata Sastra, kita mesti mencari-mengumpulkan semua bahan secara bersama-sama dan melengkapinya dengan karya-karya apa saja yang dilahirkan sastrawan Indonesia (dengan catatan: bukan hanya tokoh-tokoh besar saja) yang terkait hubungannya dengan Bogor. Sebab, lagi-lagi, mungkin manusia seperti Iwan Simatupang saja satu-satunya yang rela ditakdirkan tinggal-menetap dan melahirkan karyanya di Bogor, sisanya pastilah Bogor hanya lintasan (proses-kreatif maupun karyanya) sastrawan kita menuju Bandung ataupun Jakarta.
Itulah mengapa, pada kesempatan ini, saya akan menelusuri proses kreatif Rendra pada sajak yang berjudul, Jalan Bogor – Jasinga dan Hutan Bogor. Dengan catatan: usaha yang hendak saya telusuri ini tentulah bersifat kemungkinan pada kemungkinan lain (cocokologi?), yang menyebabkan memang tak ada data tertulis terkait penjelasan Rendra sendiri sebagai penyair melahirkan sajak tersebut, ataupun kesaksian kerabat, teman, ataupun sastrawan seangkatannya terkait proses penciptaan kedua sajak tersebut. Lagi-lagi dikarenakan Bogor terlampau gaib (dan bahkan mungkin tak masuk dalam kamus karyanya) di mata sastrawan kita.
Walau tidak menetap seperti Iwan Simatupang, dan hanya berupa sajak, kita mesti berbahagia masih ada seorang sastrawan yang rela merenungkan Bogor yang gaib ini dalam proses kreatif pengkaryaannya. Apalagi sastrawan-penyair itu adalah W.S. Rendra, yang seperti mitos-gaib di dalam dunia kesusastraan Indonesia kita. Seorang yang geliat-hidup-karyanya bagai burung-merak yang indah namun tetap gagah bagai Rajawali mencakar relung jiwa masyarakat pembacanya. Baiklah, agar pembaca dapat ikut menyusuri jalannya sajak, mari simak selengkapnya apa dan bagaimana isi sajak yang berjudul, Jalan Bogor – Jasinga dan Hutan Bogor.
Jalan Bogor – Jasinga
(Sumber: Sajak-Sajak Sepatu Tua. Cetakan 1987)
–
Di tengah jalan menuju Jasinga
Tuhan mengucapkan selamat sore
sambil membukakan tangan-Nya
dan memberi pemandangan senja kala.
Bis mendaki jalan meninggi
menempuh bau pupuk tanah.
Di langit perak dan tembaga
di bumi kain jemuran bidadari.
Dan mentari merendah di puncak kelapa.
Di sungai yang berbatu
hanyutlah kesangsianku.
Angin memasuki lengan baju
dan kenangan-kenangan gaib masa kanak-kanakku
dengan tandas menciumku.
Lalu padi dan ilalang mulai mengantuk.
Mereka berangkat tidur dengan warna suasa.
Di rumah-rumah berkolong orang-orang menutup jendela.
Seorang bocah duduk di tangga
merampungkan makan sorenya.
Kemudian
sementara seorang pengail pulang bergegas ke rumahnya
turunlah tanda musim hujan yang pertama.
Dan dengan ramah
Tuhan mengerdipkan sebelah mata-Nya.
Maka jam tujuh lebih sampailah kami ke Jasinga.
Dan di dalam secangkir kopi yang pertama
ku minumlah senja kala yang baru saja.
–
Hutan Bogor
(Sumber: Sajak-Sajak Sepatu Tua. Cetakan 1987)
–
Badai turun
di dalam hutan.
Badai turun
di dalam sajak-sajakku.
Selalu, sayang,
aku terkenang kepadamu.
–
Sudah jam empat sore
hujan jatuh di hutan kenari.
Semula nampak manis
kemudian mendahsyatkan
Di dalam hujan, mendung dan petir
bumi pun nampak fana.
Tak ada yang abadi.
–
Buruk dan basah
jenggot pohonan,
lumut-lumut di dahan, benalu dan paku-paku.
Aku berpikir
betulkah aku tidak menipumu?
–
Di dalam hujan
bumi dan sajak
terasa fana.
Berhadapan dengan maut
dengan malu
telanjanglah kita.
–
Menggapailah tangan-tangan kita
bagai dahan-dahan pohonan
dan beriaklah suara-suara
dalam perkelahian yang fana.
Tapi dengan dahsyat
dahan-dahan tetap menggapai.
Yang penting
bukanlah kekalahan atau pun kemenangan
tapi bahwa tangan-tangan telah dikepalkan
biarpun kecapaian.
–
Badai turun
di dalam hutan.
Badai turun
di dalam sajak-sajakku.
Jalan Bogor – Jasinga
Sebelum memasuki penelusuran benarkah Jalan Bogor – Jasinga merupakan proses kreatif Rendra sebelum membuahkan kumpulan sajak Orang-orang Rangkas-Bitung, ada baiknya kita telusuri sedikit persoalan sajak dalam hidup kepenyairan Rendra. Ketika sajak merupakan ekspresi dari suatu kehidupan, maka sajak yang bernilai adalah ekspresi dari suatu kehidupan itu sendiri. Rendra dalam memandang kehidupan tidak bergerak pada bidang yang horisontal saja, melainkan menangkap pula dimensi yang vertikal. Dengan kata lain, Rendra menghidupi-kehidupan di dalam sajaknya sebagai latihan sesungguhnya bagi dirinya dan bagi kehidupannya, lebih luasnya seorang seniman haruslah sampai pada puncak proses pendewasaan alam jasmani dan semesta rohani atas dirinya sendiri.
Dalam sajak Jalan Bogor – Jasinga, kita akan menemukan bagaimana Rendra membuka cerita dengan, di tengah jalan menuju Jasinga/ Tuhan mengucapkan selamat sore/ sambil membukakan tangan-Nya/ dan memberi pemandangan senja-kala. Hal tersebut tertera jelas, yang dimaksud di tengah jalan menuju Jasinga, berarti jalan yang sedang Rendra tempuh belum sampai Jasinga, dan menurut saya jalan tersebut antara lain bisa terjadi di Leuwisadeng atau Cigudeg. Selanjutnya, Rendra juga menggambarkan betapa indahnya pemandangan jalan menuju Jasinga (pada tahun kurang-lebih 60-70an, sesuai lahirnya sajak), dengan sehimpun makna, Tuhan mengucapkan selamat sore sambil membukakan tangan-Nya dan memberi pemandangan senja-kala.
Setelah itu tergambar suasana detail di jalan menuju Jasinga tersebut, Bis mendaki jalan meninggi/ menempuh bau pupuk tanah./ Di langit perak dan tembaga/ di bumi kain jemuran bidadari./ Dan mentari merendah di puncak kelapa. Yang menarik dalam suasana tersebut, Rendra menghadirkan kata perak dan tembaga, yang menurut saya tak lain merupakan banyaknya tambang di sekitar jalan menuju Jasinga tersebut, ditambah Rendra (merenungi masa silam Bogor) dengan modal sudah membaca polemik Kesejarahan di Pulau Jawa, Salakanagara sebagai Kota Perak yang dicurigai Kerajaannya sepanjang Banten-Bogor.
Itulah mengapa, nuansa kenangan dihadirkan Rendra pada cerita selanjutnya, Di sungai yang berbatu/ hanyutlah kesangsianku./ Angin memasuki lengan baju/ dan kenangan-kenangan gaib masa kanak-kanakku/ dengan tandas menciumku. Dalam lanjutan sajak tersebut, nuansa kenangan lewat ketika Rendra melihat sungai (kemungkinan sungai Cidurian – Cigudeg?) yang berbatu dan hanyutlah kesangsiannya (kemungkinan pula persoalan polemik sejarah antara Jawa dan Sunda menyelimutinya?), bersamaan dengan angin yang menyelinap memasuki lengan baju, menghadirkan kenangan gaib masa kanak-kanaknya (yang mulanya tak tahu apa-apa dan tak memikirkan apa-apa selain bermain dan tumbuh).
Terlihat pula kehidupan Desa (jalan menuju Jasinga) dalam sajak lanjutannya, Lalu padi dan ilalang mulai mengantuk./ Mereka berangkat tidur dengan warna suasa./ Di rumah-rumah berkolong orang-orang menutup jendela./ Seorang bocah duduk di tangga/ merampungkan makan sorenya.// Kemudian/ sementara seorang pengail pulang bergegas ke rumahnya/ turunlah tanda musim hujan yang pertama./ Dan dengan ramah/ Tuhan mengerdipkan sebelah mata-Nya. Sangat jelas tertera kata padi, ilalang, rumah berkolong, seorang pengail, sebagai pelengkap gambaran hidup di Desa menuju Jasinga.
Lalu, di-tutup dengan, Maka jam tujuh lebih sampailah kami ke Jasinga./ Dan di dalam secangkir kopi yang pertama/ ku minumlah senja kala yang baru saja. Inilah letak kecurigaan saya. Di akhir sajak, Rendra memakai kata kami sampai ke Jasinga, yang menandakan ia tak sendiri menempuh perjalanan itu. Dan perasaan curiga saya justru terletak pada, Jasinga bukan akhir dari perjalanan atau yang menjadi tujuan Rendra, melainkan sebagai tempat rehat sebelum melanjutkan perjalanannya kembali jauh ke Barat, yang mana curiga saya itu tertuju pada Rangkas-Bitung. Hal tersebut jelas diterangkan lewat kode sajaknya, di dalam secangkir kopi yang pertama, ku minumlah senja-kala yang baru saja. Sebab, di Rangkas-Bitung akan dilanjutkan dengan secangkir kopi yang kedua.
Hutan Bogor
Sedangkan di dalam sajak Hutan Bogor, kita tak dapat menemukan dengan jelas, hutan Bogor manakah yang Rendra maksud? Namun, tetap kita akan mencoba berusaha mendobraknya, walau tak ada sumber-data detail semacam kesaksian, tapi kemungkinan-kemungkinan tentu sah-sah saja untuk dijadikan sumber-datanya. Sebagaimana saya menduga-kira, sajak Hutan Bogor ini ditulis (atau rangsangan kreatif sajaknya) ketika Rendra sedang rehat di Jasinga. Dan kemungkinannya, hutan Bogor yang Rendra katakan merupakan bukit-hutan Halimun yang berada dekat di Jasinga.
Bahkan saya memikirkan hal yang jauh lebih menarik mengenai sajak Hutan Bogor ini. Pikiran saya mencurigai Rendra ketika menuliskan sajak (Hutan Bogor), ia memadukan antara kenangan dan khayalan masa silam. Apa dan bagaimana maksudnya? Di dalam sajak Hutan Bogor, proses pembacaan memaknai isi sajaknya bisa sangat beragam, sangat multi-ambiguitas, tergantung kita mau sambungkan kepada apa dan bagaimana. Nah, sejalan dengan itu, saya akan membagi proses pembacaan memaknai isi sajaknya sesuai dengan uraian antara kenangan dan khayalan masa silam. Sebab saya mencurigai ada suasana peristiwa atau tragedi bubat di dalam sajaknya, persoalan benar atau tidak itu lain soal, namun lagi-lagi kemungkinan bisa saja terjadi, dan kebenaran mutlak hanya ada di dalam diri pengarang dan Tuhan.
Sajak Hutan Bogor dibuka dengan sederet cerita di bait pertama, Badai turun/ di dalam hutan./ Badai turun/ di dalam sajak-sajakku./ Selalu, sayang,/ aku terkenang kepadamu. Berdasarkan versi kenangan: gambaran pemaknaan bait pertama tersebut bisa menceritakan Rendra (masih sebagai Rendra) diselimuti kangen kepada kekasihnya, ketika melihat badai turun di dalam hutan yang menyebabkan ia juga mengalami badai pula di dalam dirinya, lalu meluapkan kangennya itu dalam dunia sajak. Versi khayalan masa silam: Rendra melepaskan dirinya dan menjadi Hayam Wuruk. Rendra (sebagai Hayam Wuruk) ketika melihat dan mengalami badai turun di dalam hutan menyebabkan timbul rasa kelam di alam sadar dirinya, ialah rasa rindunya kepada Dyah Pitaloka putri cantik dari Tanah Sunda.
Lanjut bait kedua, Sudah jam empat sore/ hujan jatuh di hutan kenari./ Semula nampak manis/ kemudian mendahsyatkan/ Di dalam hujan, mendung dan petir/ bumi pun nampak fana./ Tak ada yang abadi. Versi kenangan: Rendra (sebagai Rendra) menyadari bahwa hidup tak ada yang abadi sekaligus fana, bahkan perasaan rindunya terhadap kekasihnya ini pula ia sadari tak abadi, dan itulah mengapa ia tuliskan dalam sajak agar menempuh keabadian. Hal itu ditandai dengan hujan yang mulanya nampak manis namun mendahsyatkan, atau semula rasa rindu itu indah menjadi beban di dalam diri – sebab obatnya mestilah bertemu. Sedangkan versi khayalan masa silam: Rendra (sebagai Hayam Wuruk) pula menyadari bahwa cintanya kepada Dyah Pitaloka semula dibayangkannya akan indah, akhirnya mendahsyatkan bagai hujan beserta mendung dan petir mementaskan kefanaan, disebabkan persoalan takdir tak memihak mereka.
Di bait ketiga, diperjelas dampak-persoalannya, Buruk dan basah/ jenggot pohonan,/ lumut-lumut di dahan, benalu dan paku-paku./ Aku berpikir/ betulkah aku tidak menipumu? Versi kenangan: Rendra (sebagai Rendra) mempertanyakan apa yang dialaminya tentang rindu dan cintanya kepada kekasihnya dengan pertanyaan, betulkah aku tidak menipumu? Sedangkan versi khayalan masa silam: Rendra (sebagai Hayam Wuruk) pula mempertanyakan cintanya, ketika pada akhirnya Gajah Mada malah merumuskan tipudaya dan Linggabuana tak mau kalah ataupun tunduk, timbul-lah pertanyaan di dalam hati Hayam Wuruk, apakah aku tidak menipu Dyah Pitaloka, atau dikarenakan takdirlah yang mengelabui hidup kita?
Sedangkan di bait keempat, ada semacam klimaks dari ceritanya, Di dalam hujan/ bumi dan sajak/ terasa fana./ Berhadapan dengan maut/ dengan malu/ telanjanglah kita. Versi kenangan: Rendra (sebagai Rendra) mendapat kesimpulan bahwa ketika melihat hujan dan badai ia menyadari kehidupan memang fana, cinta dan maut tak pernah ada yang dapat membongkarnya, hanya dengan telanjang (ketika bertemu dengan kematian) barulah semua persoalan dapat terjawab. Sedangkan versi khayalan masa silam: Rendra (sebagai Hayam Wuruk) mengulang cerita masa silam, tentang persoalan menghadapi maut dan telanjanglah takdirnya bersama Dyah Pitaloka, ketika Mahapatih Gajah Mada dengan pasukan bersenjata lengkap, berjumlah besar, dan para bhayangkara yang tangguh, berhadapan dengan Maharaja Linggabuana (prosesi bubat) dengan pasukan pengiring calon pengantin yang berjumlah sedikit dan tidak membawa persenjataan untuk perang, kecuali aksesori untuk kawinan.
Di bait kelima, cerita sampai pada epilog, Menggapailah tangan-tangan kita/ bagai dahan-dahan pohonan/ dan beriaklah suara-suara/ dalam perkelahian yang fana./ Tapi dengan dahsyat/ dahan-dahan tetap menggapai./ Yang penting/ bukanlah kekalahan atau pun kemenangan/ tapi bahwa tangan-tangan telah dikepalkan/ biarpun kecapaian. Dalam versi kenangan: Rendra (sebagai Rendra) pada akhirnya, setelah melewati perkelahian dengan dirinya sendiri, bergelut dengan waktu, mulai berdamai dengan rasa rindunya, perasaan cintanya, sebab ia menyadari bahwa kekalahan atau kemenangan tak ada bedanya dalam hidup. Sedangkan versi khayalan masa silam: Rendra (sebagai Hayam Wuruk) membayangkan kembali tentang pertempuran yang tidak seimbang itu tentu berakhir dengan tragis. Denting pedang, keris, dan kujang, serta romantisme cintanya dengan Dyah Pitaloka dan tragedi dramatis menghiasi episode senja di tanah Bubat itu. Menyebabkan putri yang dicintainya, Dyah Pitaloka, menemui ajalnya.
Itulah mengapa, dalam akhir sajaknya kembali pada bait mulanya, Badai turun/ di dalam hutan./ Badai turun/ di dalam sajak-sajakku. Kedua versi itu tetap memberikan makna bahwa hutan, mendung, petir, hujan, dan badai, merupakan wahana perenungan Rendra memandang Bogor di dalam dirinya lewat wahana alam-semesta, bersatulah dalam jiwanya alam-semesta luar dan alam-semesta dalam.
Menuju Jalan Panjang Kemungkinan
Syahdan. Apakah sampai di sini, persoalan kedua sajak (Jalan Bogor – Jasinga dan Hutan Bogor) sedikit membuka wahana kemungkinan pemaknaan kita bersama, untuk apa dan mengapa seorang Rendra rela merenungkan kerja kepenyairannya pada Bogor yang gaib di mata sastrawan kita? Dan, apakah persoalan kedua sajak tersebut, memberikan gambaran kemungkinan bahwa Rendra tidak serta-merta main ke Bogor untuk menulis sajak, melainkan ada niatan khusus yang entah apakah sebagai lintasan Banten, sebagaimana saya curigai tujuannya ialah Rangkas-Bitung?
Pertama, ketika Rendra melakukan perjalanannya menuju Jasinga, sebagaimana sudah dijelaskan dalam uraian sajak sebelumnya, Rendra kemungkinan bersama temannya, entah kita tak bisa menembaknya dengan siapa ia, yang jelas ia tak sendiri. Di perjalanan menuju Jasinga, Bogor menjadi menarik di mata Rendra, dan terciptalah sajak Jalan Bogor – Jasinga. Kemungkinan ini disebabkan setelah Rendra membaca rentetan masa silam sebelum Bogor tercipta, dan membaca pula secara jelas letak geografisnya (dalam hal ini Jasinga, dan hubungannya dengan Kerajaan Pajajaran (Sunda umumnya) terakhir ialah bertempat di Bogor).
Kedua, ketika sampai di Jasinga, Bogor bahkan tambah menarik di mata Rendra. Hal tersebut dibarengi dengan terciptanya sajak Hutan Bogor, yang mana sudah saya uraikan dengan pemaknaan (curiga) sebelumnya, bahwa Rendra telah menelusuri kenangan dan khayalan masa silam: persoalan tragedi bubat dalam kerja sajak. Rendra sebagai trah Jawa yang berada di Tanah Sunda kemungkinan tengah mengalami guncangan batin antara sejarah nenek-moyangnya, dan hal itulah yang menurut curiga saya mengapa sajak Hutan Bogor bisa dimaknai dengan kenangan dan khayalan masa silam peristiwa bubat.
Ketiga, setelah rehat di Jasinga tepat pukul 7 malam (sebagaimana dalam sajaknya), memungkinkan sekali Rendra menginap semalam di Jasinga, dan melanjutkan perjalanannya menuju Banten esok harinya. Mengapa saya selalu mencurigainya melanjutkan perjalanannya ke Rangkas-Bitung? Sebab, Jasinga dekat dengan Banten (khususnya Rangkas-Bitung), dan hal menarik lainnya setelah kedua sajak (Jalan Bogor – Jasinga dan Hutan Bogor) ini tercipta, beberapa tahun kemudian, ia menuliskan sajak-sajak tentang Orang-orang Rangkas-Bitung. Itulah mengapa saya menduga ada keterkaitan Rendra ke Bogor sebagai lintasan ketika ia hendak berkunjung ke Rangkas-Bitung.
Selanjutnya, hubungan kedua sajak tersebut sebagai proses-kreatif Rendra, sudah bisa menjadi bahan salah-satu tempat (dalam hal ini daerah Jasinga) Wisata Kota Sastra, sebagaimana Hotel Salak dan proses kreatif Iwan Simatupang. Bahkan, kita ketahui bersama, Jasinga sebagai daerah memiliki cerita silam yang menarik tentang terciptanya kamus sunda-inggris pertama – berjudul A Dictionary of the Sunda Language of Java (1862), yang disusun oleh Jonathan Rigg, seorang Inggris yang mempunyai lahan perkebunan teh di Jasinga. Benarkah demikian?
Hal tersebut bisa kita telusuri ketika membaca pengantar Rigg dalam kamusnya (dalam Atep Kurnia, 1862: xii-xv), ditulis di Jasinga, 5 Agustus 1862, Rigg mengatakan bahwa sangat berhutang budi pada pembacaannya atas karya-karya tulis pendahulunya, seperti Crawfurd, Marsden, P. Roorda (1835), Wilde (1841), dan orang-orang Eropa lainnya yang meneliti kebudayaan Sunda khususnya. Selain itu, ia juga mengatakan sangat berutang budi pada Ki Gembang, seorang juru pantun dari Jasinga, yang telah ia undang untuk mementaskan pantun Sunda untuk memperoleh pengetahuan bahasa Sunda. Dan-lalu, ia sangat berterima kasih kepada Demang Jasinga Raden Nata Wireja, yang menjadi sumber sekaligus teman diskusinya mengenai keseluruhan kamus tersebut, ditambah atas jasa baiknya memeriksa kata-kata Sunda yang sulit selama berbulan-bulan pada tahun 1854.
Ini amat sangat lengkap, antara proses kreatif seorang (Rigg) dalam bidang bahasa dan proses kreatif seorang (Rendra) dalam bidang sastra, bisa menjadi wisata bahasa dan sastra. Tentu, saya mempunyai gambaran tentang bagaimana prosesi wisata itu dijalani. Agar tak melebar jauh ke ujung-berung, saya kerucutkan saja menjadi, begini:
Jasinga sebagai daerah (pemerintah, masyarakat, dan huniannya) sebagai wadah bagi para pe-wisata sekaligus membantu pe-wisata dalam menyusuri hunian Jasinga dan sekitarnya yang berhubungan dengan proses kreatif kamus Rigg dan sajak Rendra. Timbal-balik dari pe-wisata untuk masyarakat setempat (Jasinga), akan dibuat menjadi karya (entah bentuk tulisan, gambar-rupa, musik, atau lain sebagainya) dari reaksi atas penelusuran proses kreatif (kamus) Rigg dan (sajak) Rendra, ditambah sangat bisa sekali muatan karya-karya pe-wisata dihubungkan pula dengan sejarah-budaya yang ada di Jasinga, Bogor luasnya (sebagaimana masih banyak peninggalan artefak-naskah yang belum diteliti dan dialih-wahanakan dalam bentuk kekaryaan. Dengan bahasa lain, pe-wisata akan memperkaya literatur tentang Jasinga.
Sampai di sini, apakah catatan saya ini menghadirkan kemungkinan menarik untuk kalian telusur-ziarahi mengenai daerah Jasinga, lebih khusus sebagai wisata bahasa dan sastra? Apakah sekarang dapat ditemukan secara detail kemungkinan kecurigaan saya (walau hanya kemungkinan pada kemungkinan lain) terkait proses kreatif Rendra di Bogor, sebagaimana dalam sajak Jalan Bogor – Jasinga dan Hutan Bogor? Selengkapnya, saya serahkan pada pembaca. Dan selanjutnya, akan saya serahkan pula pada pembaca. Ong!***
Pamijahan – Bogor, Oktober 2023
–
Kepustakaan:
Sajak-sajak Sepatu Tua, Pustaka Jaya: 1987
Orang-orang Rangkas Bitung, Diva Press dan Mata Angin: 2017
Catatan-catatan Rendra Tahun 1960-an, Burung-Merak Press: 2005
Membaca Kepenyairan Rendra, Kapel Press: 2005
Mempertimbangkan tradisi, Gramedia:1984
Rendra Berpulang 1935 – 2009, Burung-Merak press: 2009
Rendra: Ia Tak Pernah Pergi, Kompas: 2009
Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia Wangsa Wangsakerta Cirebon, Pustaka Jaya: 2005
Kidung Sunda, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: 1980
BIOGRAFI JONATHAN RIGG 1809-1871 – BandungBergerak.id (diakses oktober 2023)
Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.