Gambar: Cover Buku Dadap Malang Sisi Cimandiri
Ketika saya sedang asyik membaca naskah Sunda kuna yang berjudul Sewaka Darma, hasil transkripsi dan terjemahan Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, dan Undang Ahmad Darsa, yang diterbitkan oleh Sundanologi tahun 1978, tiba-tiba saja proses-pembacaan saya terhenti sejenak pada sederet-bait kata-kata, yang membaca sungguh-sungguh – janganlah hanya dilihat, dengarkan dan resapkan petuah – lalu ikuti (hal.72 – no.66). Anehnya, pikiran saya langsung tertuju pada pantun Bogor (olahan juru pantun: Aki Buyut Baju Rambeng, yang konon bertempat-tinggal di Jasinga) yang memang sedang saya cari keberadaannya: keberadaan pewaris pemegang naskah dan ingin mengetahui isi lengkap pantunnya.
Sederet-bait kata-kata itu, entah mengapa seperti membuka kembali cakrawala tentang fenomena warisan kebudayaan dan wahana kesejarahan tentang Bogor, atau katakanlah bagaimana persoalan warisan kebudayaan bisa terkubur dan wahana kesejarahan bisa lenyap. Dengan bahasa lain, kutipan naskah Sewaka Darma di atas, dalam alam pikiran saya menimbulkan dialektika, dan bahkan seperti menggambarkan peristiwa yang sedang saya alami tentang persoalan sulit-rumitnya mencari naskah-cerita pantun Bogor secara lengkap. Sebab, suka tidak-suka, perjalanan hidup para sepuh masih menggandeng kerja mitologi dan metodologi cara mewariskannya: untuk apa dan kepada siapa – sarat dengan teka-teki prosesinya, menyebabkan akan sulit didapati oleh kita sebagai anak-cucunya.
Mitologi dan Metodologi Pencarian
Itulah mengapa, sampai saat tulisan ini sedang berhadapan dengan pembaca, naskah pantun Bogor atau katakanlah seri pantun Pajajaran Bogor yang sedang saya cari, berjudul: Rakean Kalang Sunda Makalangan, Pakujajar Beukah Kembang, Pakujajar di Lawanggintung, Kujang di Hanjuang Siang, Dadap Malang Sisi Cimandiri, Pajajaran Seren Papan, Curug Sipadaweruh, Tunggul Kawung Bijil Sirung, Lawang Saketeng ka Lebak Cawene, dan Ronggeng Tujuh Kalasirna, olahan juru pantun Aki Buyut Baju Rambeng belum saya temukan, selain naskah pantun Bogor yang berjudul, Dadap Malang Sisi Cimandiri yang diterbitkan Raden Mochtar Kala atau Ki Rakean Minda Kalangan, tahun 1954, itupun versi digital dari (sila baca di aplikasi: Sundadigi, Universitas Padjadjaran).
Ditambah sulitnya menemukan para sepuh yang masih hidup dan yang masih mengetahui tentang cerita pantun Bogor, ada pula kesulitan menemukan acara kacapi-pantun yang sudah langka, bahkan kesulitan yang lebih tidak terpikirkan ialah adanya mitologi tertutupnya para sepuh Bogor atau budayawan dan sejarawan Bogor itu sendiri, menyebabkan keringnya referensi tulisan berbentuk buku cetak yang tersebar berhubungan dengan sejarah-budaya tentang jalan panjang Bogor, terkhusus kesusastraan pantun Bogor.
Hanya buku Sejarah Bogor yang disusun Saleh Danasasmita-lah buku yang dari dahulu sampai dewasa ini menjadi rujukan masyarakat Bogor menyangkut kehidupan silam sebelum Bogor tercipta, padahal itu-pun belumlah lengkap dan menyeluruh, disebabkan Saleh Danasasmita belum menyelesaikan tugas jilid 2-nya, tugas menerbitkan serta mentranskripsi-menerjemahkan naskah-naskah pantun Bogor, dan sebagainya, takdir sudah lebih-dahulu memanggilnya untuk pulang ke-ribaan-Nya.
Dengan begitu, jika rujukan-referensi amat sangat minim, bagaimana kita bisa mencoba menelusuri sejarah-budaya Bogor yang lebih dalam? Bagaimana kita menemukan naskah cerita pantun Bogor di atas agar bisa belajar pada muatan isinya? Bagaimana pula kita melengkapi dan meneruskan jejak buku Sejarah Bogor olahan Saleh Danasasmita? Kesusastraan masa lampau! Kesusastraan Bogor yang sulit kita dapatkanlah kuncinya.
Saya berpikiran bahwa menyusuri kesusastraan masa lampau-lah, dari babad, pantun, dan karya lainnya, yang dapat membantu melengkapi serta memperdalam buku yang sudah Saleh Danasasmita wariskan pada kita. Sebagaimana pantun Bogor yang sedang saya cari ini, walaupun saya menyadari sebagai anak-cucu modern hari ini kita pasti akan menemui kesulitan, dan akan dihadapkan dengan mitologi cara mewariskan nilai kebudayaan, lalu rumitnya mengendarai wahana kesejarahan: apalagi yang hendak kita telusuri adalah Bogor, gaib tertutup kabut-halimun! Namun, keadaan serba-sulit itulah merupakan jalan kebahagiaan tersendiri jauh di lubuk hati. Tabe-pun, bukankah hidup sendiri merupakan kesulitan-kesulitan yang harus kita jalan-lalui dengan lulucon-bagja?
Mitologi Warisan Kebudayaan dalam Pantun Bogor
Saya menemukan salah-satu artikel berjudul, (baca: Pakujajar di Lawang Gintung, Inilah Pantun Bogor Menurut Ki Anis Djatisunda), terbit di hallojabar.com yang memuat nama penulis Yan Brata Dilaga, menguraikan bahwa, dari sekian banyak yang belajar pantun Bogor kepada Raden Mochtar Kala (seorang sastrawan Sunda asal Bogor, keturunan Aki Buyut Baju Rambeng) hanya dua orang yang terpilih untuk mewarisi naskah pantun Bogor: pertama Saleh Danasasmita, dan kedua Ki Anis Djatisunda. Dalam artikel itu dijelaskan pula, anehnya pantun Bogor diwariskan dengan budaya-tutur, Ki Anis Djatisunda dan Saleh Danasasmita dilarang-keras mencatat saat menerimanya. Mengapa demikian?
Masih meninjau artikel tersebut, kesaksian Ki Anis yang menuturkan bahwa pantun Bogor yang ia tutur-ceritakan kepada khalayak umum hanya di-ambil dari naskah pantun Bogor Leutik. Sedangkan naskah pantun Bogor Gede dengan teks-aslinya masih dirahasiakan untuk khalayak umum, kecuali orang-orang tertentu karena sifatnya yang sakral. Pantun Bogor Leutik memuat kisah tentang kehidupan sehari-hari masyarakat kecil Pajajaran sampai ke cerita tentang kehidupan seperangkat Kerajaan, seperti Putri Raja dan Para Kesatria. Lalu pantun Bogor Gede hanya memuat kisah tentang nilai agama, silsilah Raja-Raja Sunda, ramalan atau uga, dan bahkan pola pemerintahan Kerajaan Sunda atau Pakuan Pajajaran.
Uraian dalam hallojabar.com hanya berkisar tentang itu saja, dan tidak ada kelanjutan setelah Ki Anis Djatisunda dan Saleh Danasasmita wafat, naskah-pantun itu berlanjut diwariskan pada siapa, catatannya itu tidak mempunyai jawaban. Selanjutnya, saya menemukan artikel di blogspot.com berjudul, (baca: Mencari Ahli Waris Pantun Bogor), yang mana tertera nama penulis, Luki Muharam (Budayawan Cianjur, katanya menurut keterangan biodatanya sendiri). Dalam artikel itu dijelaskan bahwa, Ki Anis Djatisunda berharap sebelum ajal menjemputnya, ia ingin menemukan pewarisnya yang benar-benar mencintai kasundaan, yang berkepribadian ”Nyunda, Nyiliwangi, dan Majajaran” dan memiliki jiwa yang Saharigu, Sasusu, Sahate jeung Sarancage (Sehidup dan Semati) dengan nilai kesundaan. Bila tidak juga menemukan sosok yang sesuai, pantun Bogor (warisan Aki Buyut Baju Rambeng) terpaksa akan ia bakar, hal itu sesuai pesan mendiang Raden Mochtar Kala atau Rakean Minda Kalangan.
Membaca artikel itu, tentunya saya langsung pesimis untuk mendapatkan naskah lengkap pantun Bogor, dan sangat menyayangkan jika itu memang benar terjadi. Sebab, sebagai manusia yang ditakdirkan lahir dan hidup di Bogor, saya mengharapkan bisa membacanya, atau jika memang tidak boleh mencatat-ulang serta mengarsipkannya, setidaknya saya sudah diperbolehkan membacanya. Atau kalaupun tidak boleh membaca dari naskahnya, di-dongeng-kan juga tidak apa-apa, kalau memang dalam sarat warisan kebudayaannya sedemikian sakralnya.
Namun, yang amat sangat disayangkan, tentulah tentang persoalan: bagaimana anak-cucu dewasa ini ingin mengetahui-mempelajari sejarah-budaya dari jalan panjang Bogor, jika selalu dihadapkan dengan mitologi yang pada masa modern ini kita sebagai anak-cucunya kurang begitu mengerti persoalan gaib, kurang begitu senang dengan kegaiban itu sendiri. Bukankah sangat wajar, jika anak-cucu dewasa ini malah meninggalkan nilai sejarah-budaya itu sendiri, jika persoalannya selalu di-hadapkan dengan kerumitan yang demikian?
Lama berteman dengan waktu dan pencarian, akhirnya saya mendapat informasi lanjutan dalam (MUDRA) Jurnal Seni Budaya – Volume 36, Nomor 3, September 2021, dengan judul, (baca: “Pantun Pajajaran Bogor Dalam Upacara Adat Bakti Purnamasari: Kajian Nilai-nilai Teladan Sosial Etnis Sunda”), menjelaskan tentang upacara ritual malam bakti Purnamasari yang mengacu pada naskah pantun Bogor. Dalam jurnal itu dikatakan pantun Bogor diwariskan oleh Ki Anis Djatisunda pada Edy Yusuf (Ki Kalong Hideung) bersama pengurus Kabuyutan Giri Tresna Wangi (berlokasi di Sukabumi).
Dalam jurnal itu, penjelasannya sesuai bahwa, pantun Bogor dituturkan oleh Aki Buyut Baju Rambeng yang pada saat itu, ternyata masih sempat disalin oleh Anis Djatisunda dan Saleh Danasasmita dari koleksi Raden Moechtar Kala atau Ki Rakean Minda Kalangan pada tahun 1969-1971. Terdapat sepuluh judul lakon yang sempat tersalin antara lain, Kalang Sunda Makalangan, Pakujajar Beukah Kembang, Pakujajar di Lawanggintung, Kujang di Hanjuang Siang, Dadap Malang Cimandiri, Pajajaran Seren Papak, Curug Sipadaweruh, Tunggul Kawung Bijil Sirung, Lawang Saketeng ka Lebak Cawene, dan Ronggeng Tujuh Kalasirna.
Sejalan dengan itu, masih banyak lakon yang belum disalin baik dalam bentuk aksara latin ataupun yang di-dongengkan oleh Aki Buyut Baju Rambeng. Masih ada juga yang utuh ditulis dalam aksara sunda kuno pada daun langkap dan awi-surat, dengan total keseluruhan kurang dari dua puluh lalakon, menurutnya saat ini masih disimpan di dalam Gua Gunung(?), dan tidak akan bisa ditemukan jika bukan pewarisnya. Se-sakral itu-kah, para sepuhku? Eheuheu!
Para peneliti dalam jurnal itu mewawancarai Edy Yusuf, menghasilkan uraian tentang, di dalam naskah pantun Pajajaran Bogor atau pantun Bogor itu membahas fenomena sosial, budaya, ideologi, politik, pertahanan keamanan serta agama atau sistem kepercayaan kehidupan masyarakat Pakuan Pajajaran. Lagi dan lagi jurnal dan penelitian itu hanya sampai pada uraian tersebut, dan lebih memfokuskan penelitiannya pada tata-cara upacara adat bakti Purnamasari, bukan pada cerita pantun Bogor dan isinya itu sendiri.
Mendapat informasi itu, tentu saya cukup gembira, dan masih ada harapan untuk pergi ke Sukabumi, menanyakan langsung benar atau tidaknya informasi yang saya dapatkan. Walaupun agak terkejut, mengapa warisannya terlempar jauh ke Sukabumi? Mengapa tidak diwariskan pada masyarakat yang bertempat-tinggal di Bogor atau katakanlah para budayawan-sejarawan Bogor? Apakah masyarakat Bogor sendiri tidak memenuhi syarat sebagai manusia Sunda yang ”Nyunda, Nyiliwangi, dan Majajaran”? Atau bagaimana saya menjawab pertanyaan saya sendiri ini?
Setelah berpesta dengan pertanyaan, saya menemukan makalah yang jauh lebih menarik berjudul, (baca: Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuna Menurut Berita Pantun & Babad), tertera ditulis dan disampaikan oleh Ki Anis Djatisunda pada gotrasawala (simposium/seminar) bertajuk “Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang “, pada tanggal 19-20 April 2008, di Kampung Budaya Sindang-Barang Kabupaten Bogor. Menemukan makalah itu setidaknya sedikit tersiram pesta pertanyaan saya yang tidak kunjung usai menghantui, seperti apa isi naskah pantun Bogor, walaupun dalam makalah itu hanya sedikit kutipan-kutipan saja. Dan tentulah tidak habis pikiran saya mencurigai apa dan bagaimana sebenarnya fenomena cara mewariskan naskah-naskah cerita pantun Bogor itu.
Di dalam makalah Ki Anis, saya menemukan beberapa kutipan yang bertalian dengan beberapa judul dan isi pantun Bogor. Ki Anis menjelaskan dalam pantun Bogor Gede versi Aki Uyut Baju Rambeng (pantun sakral, katanya) episode “Curug Si Pada Weruh”, diceritakan bahwa saacan Urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, Karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama sunda tea. (Sebelum orang Hindi bertahta di Kadu Hejo pun, Leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama sunda). Membaca kutipan itu, agaknya sudah biasa, jika diadu-kaitkan dengan masyarakat Kanekes-Baduy yang juga mempercayai mitologi yang demikian.
Lalu, Ki Anis menguraikan pada tahun 1972 Ayah Sacin (alm), ahli sastra bambu dan mantan Panengen (penasehat Puun) Kanekes-Baduy Tangtu Cikeusik menjelaskan, bahwa zaman para “prahajian” Pakuan Pajajaran, agama mereka adalah “Agama Sunda Pajajaran”. Sampai sekarang ini memang masih mereka agungkan, terpatri dalam ikrar yang mereka namakan sebagai “Sadat Sunda” (Sahadat Sunda?), sebagaimana kutipan berikut: “Pun, Sadu sadat sunda, tuan katata tuan katepi, selam larang teu ka sorang, tuan urang (h)aji pakuan. Sahadat Sunda itu, terhitung setahun sekali mereka ucapkan pada kegiatan upacara di Babalayan Pamujan “Sasaka Pada Ageung” (Pemujaan Urang Baduy) beralih pada pengertian kata “Sunda” sebagai nama suatu agama.
Dalam mitologi Ngadegna Nagara Sunda berita Pantun Bogor episode Pakujajar Beukah Kembang (sakral lagi katanya), Ki Anis mengatakan Sunda berarti suci atau bahagia yang menyempurnakan (“harti sunda teh suci, wareh nu nyampurnakeun”). Tanah Sunda pada awalnya disebut Buana Sunda. Nama yang diberikan oleh Sanghyang Wenang. Sebab, ketika tanah ini masih berupa hamparan kosong banyak didatangi orang untuk “nyundakeun diri” (bertapa menyucikan diri) “di dinya ta hade jasa pieun panyundaan nyundakeun diri pikeun nyampurnakeun raga eujeung sukma, aheh bisa ngarasa paeh sajero hirup. ngarasa hirup saharı paeh” (di sana bagus sekali untuk menyucikan diri, untuk menyempurnakan raga dan sukma, agar mampu merasakan mati selama hidup, merasa hidup sambil dalam keadaan mati). Wowsss!
Tambah menarik, Ki Anis menyebut Kitab Suci manusia Sunda sebagai pegangannya disebut Sambawa, Sambada dan Winasa, tiga kitab yang ditulis oleh “Prabu Resi Wisnu Brata”, berikut kutipannya: “Pikukuhan Agama Sunda Pajajaran dituliskeun dina Layang Sambawa, Sambada, Winasa anu dituliskeun ku Parabu Reusi Wisnu Brata. Nya inyana anu tukang tapa ti ngongora Inyana anu saenyana ngagalurkeun jadi kabehan pada ngari Agama anu kiwari disebut Agama Sunda Pajajaran tea, Agama anu hanteu ngabeda-bedakeun boro- horo ngagogoreng ngahaharuwan agama sejen. Lantaran euweuh agama anu hanteu hade. Anu hanteu hade mah lain agama, tapi metakeun agama, jeung laku lampah arinyana anu arembung bae ngarti hartina Ahad teh Nunggal nu ngan Sahiji-sahijina, ngan sahiji bae (Ajaran-ajaran agama sunda Pajajaran dituliskan dalam Kitab Suci Sambawa Sambada Winasa yang dituliskan oleh Prabu Resi Wisnu Brata. Dia-lah yang suka bertapa dari semenjak muda. Dia pula-lah yang mengajak semua jadi mengerti agama yang sekarang disebut Agama Sunda Pajajaran. Ialah agama yang tidak membeda-bedakan bahkan juga tidak menjelek-jelekan memusuhi agama lain. Sebab tidak ada agama yang jelek. Yang jelek itu bukan agama, tapi cara mengamalkan agama, dan kelakuan mereka yang tidak mau mengerti kepada makna “ahad” itu berarti tunggal yang benar-benar hanya satu, hanya “satu-satu-nya).
Dalam pantun (sakral lagi, katanya) Bogor episode “Tunggul Kawung Bijil Sirung” diceritakan, penyebar agama sunda pertama adalah seorang tokoh yang menyandang julukan “Mundi ing Laya Hadi Kusumah” setelah ia mendapatkan Layang Salaka Domas dari “Jagat Jabaning Langit”. Secara harfiah dijelaskan bahwa, Layang Salaka Domas berarti “Kitab Suci Delapan Ratus Ayat”, yang berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup dari semenjak lahir (sambawa), dewasa sampai tua (sambada) dan kematian serta kehidupan di alam hyang (winasa). Bagaimana bunyi tiap ayat dalam ketiga kitab suci tadi, “Urang Rawayan” (Baduy) pun tetap merahasiakannya, atau mungkin, memang mereka sudah tidak mengetahuinya lagi(?). Entahlah.
Mundi ing Laya Hadi Kusumah, suatu nama yang bermakna filosofis, begini kata Ki Anis: “seseorang yang telah mampu mengusung tinggi tentang kematian, setara indahnya bunga”, konotasi dari “seseorang yang telah mampu menguasai hawa-nafsunya seraya meninggalkan hal ihwal keduniawian”, identik dengan “Utusan Sang Khalik yang bisanya masuk ke Jagat Jabaning Langit, suatu jagat di luar alam semesta, bersimpuh keharibaan Sang Hyang Tunggal, tentu figur ini bukan manusia sembarangan. Jagat Jabaning Langit adalah “Mandala Agung”, dalam istilah Urang Baduy disebut “Buana Nyungcung”, tentu itu akan sama seperti “Sidratul Muntaha” dalam istilah islam dalam Al-Quran.
Agaknya persoalan di atas sudah cukup membuka gambaran mengapa naskah lengkap pantun Bogor sangat sulit kita temukan, apalagi mendapatkan salinan naskahnya. Dengan demikian, dapatlah kita simpulkan sementara bahwa, naskah pantun Bogor setelah diwariskan Aki Buyut Baju Rambeng pada Mochtar Kala, dan Mochtar Kala mewariskannya pada Ki Anis Djatisunda serta Saleh Danasasmita, dan-lalu Ki Anis mewariskannya pada Edy Yusuf dan Kabuyutan Giri Tresna Wangi. Namun tentulah akan timbul pertanyaan, jika Ki Anis mewariskannya pada Edy, Saleh Danasasmita mewarisinya naskah-cerita pantun Bogornya pada siapa? Bukankah Ki Anis dan Saleh Danasasmita yang memiliki salinan naskah pantun Bogor itu?
Sangat diwajarkan bukan, jika akan selalu timbul-berkembang pesta pertanyaan: mengapa naskah pantun Bogor itu tidak diwariskan pada anak-cucu yang lahir dan bertempat di Bogor saja? Apakah anak-cucu yang lahir dan bertempat tinggal di Bogor tidak memenuhi kriteria sebagai manusia Sunda yang ”Nyunda, Nyiliwangi, dan Majajaran”, sebagaimana harapan Ki Anis? Bagaimana kita anak-cucu masyarakat Bogor menyusuri kemelut-rahasia naskah-cerita pantun Bogor itu? Lalu, akan seperti apa kita menjawab pesta pertanyaan demikian, Saudaraku?
Metodologi Wahana Kesejarahan dalam Pantun Bogor
Ayena mah ulah pandjang untar nu diarah, ulah Mandang gendang mawa wirama, ulah sungapanana nu didjungdjung, tapi urang teang tampianana, bari mundaj ka muharana (dalam Dadap Malang Sisi Cimandiri, bait ke-4 – hal.3). Beginilah saya memaknainya secara bebas: sekarang sudah waktunya, jangan menunggu yang mengarahkan, jangan mendengar ritme gendang serupa musik, jangan terlena dan terlalu menjunjung gerak sungai, kita harus tenang menerima dan bergegas berangkat menuju muaranya.
Kutipan pantun Bogor di ataslah, bekal pencarian yang dapat kita jadikan modal-rujukan tentang menyusuri sejarah-budaya Bogor, terkhusus sekelumit kesusastraan pantun Bogor yang gaib ditemukan wujud salinan naskahnya. Bukankah sudah waktunya, sebagai anak-cucu dari sejarah-budaya Bogor, kita merumuskan sendiri perjalanan panjang dan penelitian hidup kita yang terlampau muda serupa bibit ini bersama Bogor?
Ketika mitologi budaya lama terkubur dan metodologi sejarah telah lama hilang, kesaksian dan pelaksanaan pencarian dari anak-cucu-lah yang sanggup dan diperkenankan mengobrak-abrik kegelapan biografis-geografis dari pusaran masa Bogor itu sendiri. Kita harus menerima minimnya bahan-referensi dan arahan langsung dari para sepuh yang sengaja mendidik anak-cucunya untuk tidak manja, agar terbiasa menderita menyusuri pemaknaan masa silamnya, dan tentulah di muara sungai nanti, di antara sungai Ciliwung, Cisadane, dan Cipakancilan, jika memang kita dianggapnya keliru, mereka para sepuh sangat mungkin akan tiba membimbing kita bersama dan menerangkan jalan seperti apa yang mesti di-tempuh-lalui.
Walaupun pada kenyataannya para sepuh tidak akan datang membimbing, kita bimbing sendiri jalan hidup kita, sudah waktunya jangan menunggu yang mengarahkan, jangan mendengar ritme gendang serupa musik, jangan terlena dan terlalu menjunjung gerak sungai, kita harus tenang menerima dan bergegas berangkat menuju muaranya. Sebagaimana pesan dari pantun Bogor yang berjudul, Dadap Malang Sisi Cimandiri.
Kalau boleh saya bergurau, dan kembali menjawab pertanyaan saya sendiri di atas tentang Saleh mewariskan naskah pantun Bogor pada siapa, guaraun saya merujuk pada, ketika Ki Anis mewariskan naskah pantun Bogor pada Edy di Sukabumi, maka Saleh Danasasmita mewariskan pantun Bogor dalam muatan isi buku Sejarah Bogor yang dihadiahkan khusus pada masyarakat Bogor itu sendiri. Eits, bukankah di dalam buku Sejarah Bogor itu tidak ada catatan isi teks-naskah dan transkripsi-terjemahan tentang pantun Bogor? Inilah letak kecurigaan saya. Saleh Danasasmita belum menunaikan tugasnya secara penuh, dan takdir sudah memanggilnya ke ribaan Tuhan, Allah SWT.
Walaupun belumlah lengkap dan menyeluruh, olahan Saleh Danasasmita dalam buku Sejarah Bogor sudah amat sangat membantu kita, ia rela semasa hidupnya di Bogor membabat serta merapikan jalan menuju hutan sejarah bernama Bogor ini, bahkan ia sendiri yang merevisi kekeliruan penelitian asing seperti Scipio, Kroom, De Haan, dan sebagainya. Saleh juga telah memberi jalan yang amat sangat berjasa, ketika pemerintah Kota dan Kabupaten bingung merumuskan hari jadi Bogor, ia sendiri yang langsung terjun mencari dan menyusuri kehidupan silam Pajajaran, dan menemukan tanggal, bulan, serta tahun penobatan-perayaan Raja Pakuan Pajajaran (Prabu Siliwangi), lalu dihatur-sembahkan pada Pemerintah Bogor untuk ditimbang-ulang sebagai hari jadi Bogor, 3 Juni 1482, yang akhirnya diresmikan pada tahun 1973.
Syahdan. Sebagai anak-cucu dewasa ini, kita mungkin bisa menelusuri jejak-arsip pantun Bogor itu dalam dua jalan. Pertama, mengunjungi kediaman Edy Yusuf (Ki Kalong Hideung) sekaligus Kabuyutan Giri Tresna Wangi-nya di Sukabumi. Kedua, mencari hunian keluarga atau anak-cucu dari Saleh Danasasmita, untuk memastikan apakah naskah pantun Bogor masih ada di lemari-meja arsipnya, atau sudah diwariskan pada seseorang. Kedua jalan tersebut mulus atau berliku, pastilah akan memberikan jalan lain, agar kita bisa menemukan titik-terang lebih lanjut.
Sebab, jika kita tidak menelusuri kedua jalan tersebut, akan mustahil menemukan titik-terang. Sudah tidak ada informasi lebih lanjut pula terkait warisan pantun Bogor itu sendiri, dan sudah bukan waktunya berharap pada pemerintah yang rentan dalam pengarsipan, bahkan seperduluran yang bertempat-tinggal di Jasinga sendiri, sebagaimana Aki Buyut Baju Rambeng menetap di sana semasa hidupnya, tidak ada informasi yang tahu di mana arsip naskah pantun Bogor itu ada. Atau katakanlah, saya bahkan belum menemukan informasi dari seperduluran Jasinga terkait adakah naskah pantun Bogor di sana.
Iyaps! Saya juga mengerti, agar saya tidak di-cap-tunjuki sebagai orang yang tengils sok-tahu, maka ada kemungkinan lain tentunya, bisa saja seperduluran Jasinga mengetahui dan bahkan memiliki salinan naskahnya, namun tidak berkenan memberitahu pada siapapun yang tidak memiliki sarat ”Nyunda, Nyiliwangi, dan Majajaran”, seperti bebenguk saya ini. Sebab lagi dan lagi kita dihadapkan dengan peristiwa: di Bogor sendiri mitologi lebih unggul dibandingkan metodologi.
Itulah mengapa, mitologi lebih di-sukai oleh ilmu-pengetahuan Barat dan peneliti asing, sedangkan kita malah lebih senang menggunakan metodologi dan meninggalkan mitologi. Alasannya tentulah sederhana, sebagaimana contoh menyusuri naskah cerita pantun Bogor di atas, kita sangat sulit mendapatkan wujud naskahnya, disebabkan mitologi yang di-pegang sesepuh kita terlalu menyekat pembelajaran kita sendiri, bahkan ke semua anak-cucunya sendiri. Saya mengerti, hal itu tidak terkecuali, hanya orang-orang terpilih saja, dan yang dekat dengan si pewaris, yang mungkin berhak dan dapat mendobrak penyekat jalan dari mitologi ajaib itu sendiri.
Selebihnya akan saya lanjutkan nanti, ketika mendapat informasi lebih-lanjut, dan jika saya akhirnya mendapat salinan naskah pantun Bogor. Kalaupun tidak mendapatkan informasi dan tidak mendapat salinan naskahnya, bahkan tidak dapat membaca salinan lengkapnya, maka catatan akan tetap saya lanjutkan, dengan mem-propaganda-i kembali, mengapa se-sulit itu dan mengapa se-sulit ini. Ah, hapunten pisan iyeu mah, sepuh.
Pamijahan-Bogor,
16 Desember 2023
Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.
komentar (0)