dok. AI
Setelah membahas Geografis dan Administratif, kali ini pada edisi ketiga (Mengintip Bogor Barat) kita memasuki bahasan mengenai potensi Sumber Daya Manusia (SDM) di wilayah calon DOB Kabupaten Bogor Barat. Edisi ketiga mengenai potensi sumber daya manusia ini, kami rasa, amat sangat penting untuk kita bahas-ulas secara bersama, baik tingkatan tiap individunya, komunitas/kelompoknya, maupun tinjauannya secara menyeluruh. Sebab, kemakmuran dan kesejahteraan suatu wilayah, entah itu ruang lingkup kebudayaan secara luas, atau khususnya aspek taraf pendidikan, tenaga kerja, ekonomi, politik, sumber daya alam, dan sebagainya—akan bertumpu pada sumber daya manusianya yang baik, mandiri, cerdas, inovatif-kreatif, serta memiliki nilai kegotongroyongan dalam membangun suatu wilayah tersebut. Dengan begitu, perencanaan dan persiapan pemekaran DOB Kabupaten Bogor Barat bukan hanya fokus pada pembangunan fisik saja, melainkan mesti merancang-membangun mentalitas manusianya: baik itu menyangkut taraf pendidikan, tenaga kerja, ekonomi, politik, sumber daya alam, dan seterusnya, mestilah sejajar dengan persoalan pentingnya aspek geografis dan pemetaan administratif, dan tentu saja harus mendapat tempat kajian-persoalannya secara bersama-sama.
Pada persoalan dan duduk-perkaranya, sumber daya manusia dalam metode dan tinjauan apapun bentuknya, akan selalu berkelindan dengan istilah manajemen, lumrahnya menjadi Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Sebagaimana jika kita meminjam apa yang dikemukakan Randall S. Schuler dkk. mengenai apa dan bagaimana manajemen sumber daya manusia, akan mengarah pada pengakuan tentang bagaimana pentingnya tenaga kerja keorganisasian sebagai sumber daya manusia yang pada dasarnya selalu memberikan kontribusi bagi tujuan-tujuan suatu organisasi dan penggunaan beberapa fungsi dalam berbagai kegiatan—untuk memastikan bahwa SDM tersebut digunakan secara efektif dan adil bagi kepentingan individu, organisasi, maupun masyarakat (dikutip dari Priyono: Pengantar Manajemen. 2007).
Hal itu sejalan jika kita meninjau serta meminjam konsep pemikiran Ibnu Khaldun, dalam mengelola serta meneroka apa itu sumber daya manusia, bagaimana memanajemen sumber daya manusia yang baik, akan membawa kita melihat pada suatu gambaran bagaimana soal tipologi pelayan (masyarakat) berkenaan dengan pegawai atau aparatur sipil negara yang mempunyai relevansi dengan manajemen SDM masa kini, khususnya dalam kategori pengadaan pegawai dan pengangkatan dalam jabatan serta seleksi di dalamnya. Etika jabatan yang berkenaan dengan pegawai atau aparatur sipil negara itu yang mempunyai hubungan relevansi dengan manajemen SDM masa kini dalam kategori disiplin jabatan atau kepegawaian (dikutip dari Wisber Wiryanto: Pemikiran Ibnu Khaldun dalam Manajemen Sumber Daya Manusia – Jurnal Ilmu Administrasi. 2017).
Ketika kita mengelaborasi apa yang menjadi konsep pemikiran Schuler dkk. dan juga Ibnu Khaldun, lalu sedikit memperlebar kerangka struktur pengolahan sumber daya manusianya, maka pada dasarnya sumber daya manusia itu mesti mengarah kepada hal-hal yang sistematis, strategis, dan berguna bagi khalayak individu, kelompok, maupun masyarakatnya. Sebagai manusia yang bukan berasal dari kontrak pengurusan SDM, seyogyanya kita bisa melihat bagaimana sistem pengelolaan dari penampakan-penampakan elemen yang terkait dengan tata kelola langsung antara pemerintah (yang mengelola) dengan masyarakat (yang dikelola). Batasan-batasan pengelolaan kualitas SDM, selain pada bagaimana aktivitas peningkatan kualitasnya, juga pada bagaimana hasil pengelolaan tersebut secara mandiri dapat berimbas pada kehidupan masyarakat itu sendiri. Katakanlah tata kelola sumber daya manusia itu pada dasarnya bergerak-berkerja untuk penyaluran ke berbagai bidang kerja dan harapan kesejahteraan hidup masyarakat.
Pemerintah dengan sistem yang berada di dalamnya, khususnya mengenai potensi dan pengelolaan sumber daya manusia, tentu memiliki standar-standar penilaian terhadap hasil capaian serta pengelolaannya. Hal itu bisa kita bahas bagaimana tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang menjadi salah satu tolok ukur sejauh mana tingkat keberhasilan (atau efektivitas) program pengembangan SDM yang telah dilakukan. Maka, sebelum melihat hal tersebut kita bisa mulai dari melihat bagaimana program pendidikan (beserta keberhasilannya) sebagai pemantik pembahasan, sebagai wahana perenungan bersama.
Seperti yang telah dibahas pada edisi Administratif sebelumnya, indikator-indikator yang menghasilkan angka-angka bukti nyata keberhasilan program pendidikan telah dibahas lumayan banyak. Katakanlah, sarana pendidikan, Angka Partisipasi Murni, dan Angka Partisipasi Sekolah yang cukup tinggi di Kabupaten Bogor. Artinya, keseriusan terhadap pembangunan SDM tersebut telah tergambar pandangannya oleh kita dan cukup memuaskan. Meskipun, di berbagai sisi, tak bisa dipungkiri, akan selalu ada kekurangan dan permasalahan yang harus dihadapi. Dengan begitu, bukti tentang upaya pembangunan SDM dengan memusatkan perhatian kepada bidang pendidikan ini akankah membuahkan hasil yang juga sejalan dengan harapan kesejahteraan masyarakat, dalam hal ekonomi dan lapangan kerja, misalnya. Jawaban itu, kami rasa, dapat tercerahkan ketika kita membahas apa dan bagaimana potensi tenaga kerja terlebih-dahulu di wilayah Kabupaten Bogor umumnya, khususnya di wilayah calon DOB Kabupaten Bogor Barat.
Potensi Sumber Daya Tenaga Kerja (Calon DOB Kabupaten Bogor Barat)
Kabupaten Bogor sebagai salah satu kota Commuter atau orang-orang sering menyebutnya sebagai kota penyanggah ibu kota, memiliki salah satu tujuan tempat tinggal orang yang bekerja di ibu kota. Besarnya biaya hidup di (mantan?) Ibu Kota Jakarta itu membuat orang-orang yang berasal dari mana pun memilih untuk tidak tinggal di sana dan memilih kota “satelit” di sekitarannya sebagai hunian. Namun, yang akan dibahas bukanlah sekelumit hal tersebut, melainkan bagaimana kenyataan orang-orang Bogor sendiri yang banyak memilih dirinya menjadi seorang Commuter membawa kita pada tanda tanya besar juga. Apakah Bogor tidak mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka? Tentu jawabannya tidak bisa kita bilang “mampu kok,” juga tidak bisa kita bilang “tidak mampu”.
Sebelum hal itu dikaji secara serius, matang, dan tentu mendalam. Mari kita tengok komposisi penduduk Kabupaten Bogor sekaligus meninjau buku tahunan Kabupaten Bogor Dalam Angka 2024 olahan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, yang mencatat dominasi penduduk usia kerja di Kabupaten Bogor meliputi umur 15-64 tahun mencapai 70,79 persen. Dengan luas wilayah Kabupaten Bogor sebesar 2.991,78 km², rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Bogor sebesar 1.881 jiwa per km². Dari 40 kecamatan di Kabupaten Bogor misalnya, tingkat kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Bojonggede yang mencapai jumlah 10.493 jiwa per km², sedangkan terendah ada di kecamatan Tanjungsari dengan tingkat kepadatan penduduk yang berjumlah 401 jiwa per km².
Dilihat dari sisi ketenagakerjaan, seperti dalam kajian Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, lebih dari setengah pendudukan Kabupaten Bogor yang bekerja adalah seorang laki-laki. Hal serupa juga terjadi pada penduduk Kabupaten Bogor yang jenis kegiatan selama seminggu terakhirnya adalah pengangguran terbuka. Kemudian dari segi pendidikan tertinggi yang ditamatkan, lebih dari seperempat angkatan kerja di Kabupaten Bogor merupakan lulusan SMA/sederajat. Secara data yang diperoleh dari BPS Kabupaten Bogor itu, angka tingkat partisipasi angkatan kerja di Kabupaten Bogor sendiri, pada tahun 2023, memiliki angka yang lumayan besar yaitu 64,22. Hal itu menunjukan adanya peningkatan dari dua tahun sebelumnya yang hanya berkisar pada 62,55 (2021) dan 63,75 (2022). Dari angka tersebut telah bisa kita ketahui bahwa 64,22% dari jumlah penduduk usia kerja di Kabupaten Bogor telah aktif secara ekonomi, dalam hal ini bekerja. Selain itu, juga menjelaskan bahwa masih ada sekitar 35,78% di antara mereka yang masih belum aktif bekerja. Duduk perkara itu menunjukan bahwa angka kesempatan kerja (mungkin juga berkaitan dengan adanya lapangan pekerjaan) yang tersedia bagi penduduk usia kerja di Kabupaten Bogor masih cukup besar. Pertanyaannya, apakah sejumlah 35,78% tersebut merupakan pengangguran?
Data di atas menjelaskan bahwa tidak semua orang dalam usia angkatan kerja aktif bekerja. Mungkin, di antara mereka yang sudah memasuki usia angkatan kerja memilih untuk tidak bekerja karena masih menempuh jenjang pendidikan seperti SMA dan perguruan tinggi. Hal ini harus diperjelas karena ternyata, data yang diperoleh jumlah tingkat pengangguran terbuka di tahun 2023 hanya sebanyak 231.688 orang (Antara News, 2024, baca: Pemkab Bogor Bangun Balai Latihan Kerja di Tajurhalang atasi Masalah Pengangguran) atau data persentase dari BPS hanya sebesar 8,47% dari jumlah usia angkatan kerja yang berjumlah sekitar dua jutaan orang. Angka inilah yang digunakan untuk menyatakan secara ril berapa banyak tenaga kerja yang tidak terserap oleh pasar kerja menurut hitungan statistik. Angka tersebut jelas mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang berada di kisaran 10,64%. Meskipun secara data, pada tahun 2024 ini, menurut laporan dari Radar Bogor (baca: Waduh! Angka PHK di Kabupaten Bogor Meningkat, Disnaker Beberkan Datanya, 8 Agustus 2024) menyatakan sampai Juli 2024 terdapat 3.479 orang yang menjadi korban PHK. Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 2.585 orang.
Dari data tersebutlah kita bisa melihat bagaimana keberadaan angka tenaga kerja umum yang berada di Kabupaten Bogor beserta besaran persentase angkatan kerja yang belum terserap ke bursa pasar kerja dan besarnya potensi PHK di tengah-tengahnya. Menurut Antara News, bahwa Kabupaten Bogor sedang berupaya untuk menekan angka pengangguran terbuka dengan membangun fasilitas Balai Latihan Kerja (Bogor Career Center) di Tajurhalang. Jika kita melihat hal tersebut, apa dan bagaimana yang dihadapi DOB Kabupaten Bogor Barat mengenai potensi kerja dan penganggurannya? Sejujurnya, data pasti yang dimiliki 14 kecamatan yang termasuk wilayah calon DOB Kabupaten Bogor perlu pengkajian ulang dan keterbatasan itu ada pada tulisan ini. Namun, sejauh dari pemetaan angka pencari kerja terdaftar yang dimiliki, siapa pun bisa melihat angka pencari kerja di 14 kecamatan DOB Kabupaten Bogor Barat sebanyak 2.097 dari total pencari kerja terdaftar di Kabupaten Bogor tahun 2023 sebanyak 21.327. Artinya, pencari kerja terdaftar di DOB Kabupaten Bogor Barat sebesar 9,83%. Jumlah ini kalah jauh oleh angka pencari kerja dari wilayah calon DOB Kabupaten Bogor Timur: Gunung Putri sebesar 16,71%, Cileungsi sebesar 14,22%, jika hal itu kita lihat dari jumlah bandingan keseluruhan wilayah di Kabupaten Bogor.
Harus diingat juga, bahwa angka tersebut bukan perbandingan pengangguran terdaftar, tapi pencari kerja terdaftar. Maka hal itu tidak bisa menjadi representasi jumlah pengangguran sepenuhnya. Bahkan, hal ini bisa saja menunjukan bahwa banyak dari usia kerja di 14 kecamatan DOB Kabupaten Bogor Barat belum terdaftar sebagai pencari kerja. Faktor yang menyebabkannya mungkin berasal dari pengetahuan mereka tentang pendataan (pendaftaran tenaga kerja yang biasa dilakukan di Disnaker) ini, atau juga bisa pada persoalan kesiapan persyaratan pencari kerja yang tidak dimiliki, misalkan ijazah yang biasa diminta oleh perusahaan-perusahaan minimal setingkat SMA/SMK. Mengapa kecurigaan bisa mengarah pada tingkat pendidikan? Jika kita ingat bahwa angka partisipasi sekolah dan angka partisipasi murni jenjang usia pendidikan SMA/SMK di Kabupaten Bogor masih dirasa belum optimal, dan bisa saja sebagian dari angka usia sekolah SMA/SMK yang belum menempuh jenjang tersebut banyak berada di 14 kecamatan yang dimaksud. Jelas, jika ini benar, maka persoalan mempersiapkan SDM di DOB Kabupaten Bogor Barat nantinya akan menjadi pekerjaan rumah yang besar dan harus segera diselesaikan. Apalagi, faktanya, DOB Kabupaten Bogor Barat juga memiliki beberapa kampus perguruan tinggi (tempat kuliah) yang bisa mendukung peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Jalan keluar serta saran tersebut sangat bisa membantu jika pemerintah bisa mengambil peluang ini untuk meningkatkan SDM-nya.
Potensi kerja di DOB Kabupaten Bogor Barat memang tidak seperti di daerah lain. Katakanlah di bagian Timur Kabupaten Bogor yang banyak terdapat perusahaan-perusahaan dan pabrik-manufaktur yang membuat masyarakat di sana berorientasi untuk memperoleh pekerjaan dari sana, sedangkan DOB Kabupaten Bogor Barat tidak memiliki banyak perusahaan dan pabrik yang berdiri di wilayahnya. Masyarakat di Barat Kabupaten Bogor ini cenderung masih banyak yang bekerja di ladang, pertanian, berdagang, dan usaha jasa lainnya. Nantinya, mungkin akan berpindah orientasi seperti di timur jika mulai banyak perusahaan dan pabrik yang melirik potensi pembangunan DOB Kabupaten Bogor Barat. Tinggal bagaimana pemerintah yang berkuasa nantinya menarik investor-investor untuk bisa mendirikan pabrik dan perusahaannya di wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat. Sungguh pekerjaan rumah yang berat, karena hal itu mesti memperhitungkan RTRW, dan keberlangsungan lingkungan agar ekosistem alam tetap terjaga, aman, dan nyaman.
Terakhir, mungkin kita bisa bahas tentang kehadiran langsung pemerintah dengan potensi menarik pekerja potensial untuk masuk dan mengabdi di dunia pemerintahan. Tidak menutup kemungkinan, para ASN yang akan mengabdikan dirinya di pemerintahan bisa diserap dari angkatan usia potensial pekerja dengan berbagai latar belakang pendidikan yang beragam. Selain mendapat “limpahan” ASN dari Kabupaten Bogor, tentu penyediaan atau pembukaan bagi masyarakat yang akan mengabdikan dirinya di pemerintahan akan terbuka lebar, sebagai bentuk nyata kehadiran dan keberadaan pemerintahan yang baru. Bayangkan saja, Jumlah Pegawai Negeri Sipil menurut Jabatan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor, terhitung data pada bulan desember tahun 2023 berjumlah: Laki-laki 6.038. Perempuan 7.511= Total 13.549. (sumber: Badan Kepegawaian Negara (BKN)/National Civil Service Agency). Dari angka tersebut hanya sekian persen yang data kepegawaiannya akan dikelola oleh pemerintahan DOB Kabupaten Bogor Barat nantinya. Sementara pengembangan daerah akan terus berlangsung, kebutuhan tenaga pemerintahan pun akan terus meningkat. Ini pun akan menjadi potensi kerja bagi masyarakatnya.
Alhasil, jika direncanakan dengan baik tentang persoalan pengelolaan dan peningkatan kualitas SDM (di bidang pendidikan dan pelatihan, misalnya) dalam kaitannya dengan tenaga kerja sebagai salah satu faktor pendongkrak ekonomi masyarakatnya, DOB Kabupaten Bogor Barat seharusnya akan memiliki banyak pilihan untuk menyelesaikannya. Misalkan saja, sebagai salah satu tanggung jawab tata kelola pemerintahan dan manajemen SDM di tengah masyarakat, harus dapat menarik para pengusaha untuk berinvestasi di DOB Kabupaten Bogor Barat untuk membangun infrastruktur (jalan, sarana transportasi publik, wilayah industri, pasar, perumahan, atau wilayah ekonomi khusus) yang baik untuk meningkatkan perputaran roda ekonomi masyarakat. Atau barangkali DOB Kabupaten Bogor Barat ingin mendaftar sebagai kota Commuter seperti Kota Bogor, Bekasi, Depok, dan Tangerang, guna dapat menjadi wahana transportasi para tenaga kerja di dalam maupun di luar wilayah DOB Kabupaten Bogor Barat itu sendiri? Atau bisa juga solusi lain hadir di tengah-tengah pembangunan yang akan masif nantinya, semisal menonjolkan sisi agribisnis, ekonomi kreatif, dan usaha pariwisata-budaya dan sejarah sebagai ciri khasnya. Tentu saja hal itu memerlukan anggaran yang tidak sedikit dan kesiapan mengambil risiko secara matang dan mendalam tentang peluang serta potensi strategis yang dimiliki wilayah Bogor bagian Barat.
Indeks Pembangunan Manusia dan Kesejahteraan Masyarakat (Calon DOB Kabupaten Bogor Barat)
Setelah membahas tentang potensi tenaga kerja dan segala bentuk persoalannya, selanjutnya kita bisa melihat terkait SDM dengan membahas bagaimana Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang terdata/termanifestasi. Dengan luas wilayah yang luas dan jumlah penduduk yang sangat banyak, Kabupaten Bogor tentunya memiliki persoalan kompleks dan serius terkait IPM ini. Peran serta pemerintah tentu sangat besar karena IPM menjadi indikator untuk mengukur keberhasilan kinerja pemerintah dalam upaya membangun kualitas hidup manusia/masyarakatnya. Dengan begitu, masyarakat dapat melihat keberhasilan pengelolaan IPM dalam statistik yang memengaruhi peringkat pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya di suatu wilayah.
Untuk Kabupaten Bogor, Indeks pembangunan manusia (IPM) Kabupaten Bogor pada tahun 2017 menempati urutan ke 205 dari total 500 kabupaten di seluruh Indonesia dengan angka 69,13. IPM Kabupaten Bogor naik sekitar 0,96, setelah pada 2018 ada pada angka 69,69, dan kembali naik lagi pada 2019 menjadi 70,65. Di Provinsi Jawa Barat sendiri, IPM Kabupaten Bogor menempati posisi ke 11 yaitu sebesar 72,25 dan masuk dalam kategori pembangunan manusia yang tinggi. IPM Kabupaten Bogor berada di atas IPM Provinsi Jawa Barat sebesar 70.05 dan IPM Nasional yaitu 71,12. Kenaikan itu sejalan dengan meningkatnya beberapa indikator lain yang menunjang IPM, di antaranya Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Harapan Lama Sekolah (HLS), Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) hingga pengeluaran per-kapita atau daya beli.
Jika melihat keberhasilan dari Kabupaten Bogor mendongkrak angka IPM-nya selama 5-7 tahun terakhir tersebut, hal itu tentu didorong dengan meningkatnya AHH, HLS, dan RLS yang menjadi indikator utama. Angka Harapan Hidup (AHH) misalnya, pemerintah Kabupaten Bogor mengklaim bahwa pada tahun 2023 mendapatkan besaran angka 74,65 (tahun?) menurut angka statistik BPS Kabupaten Bogor. Besaran angka tersebut menjelaskan terdapat peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya seperti pada tahun 2022 hanya kisaran 71,65, yang bahkan pada sepuluh tahun sebelumnya berada di titik 70,47 tahun. Keberhasilan ini tentu didukung oleh program-program kemasyarakatan yang dicanangkan oleh pemerintah. Salah satu indikatornya, mungkin dari bagaimana keberlangsungan program PKH (Program Keluarga Harapan), pengentasan Stunting, peningkatan pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, peningkatan daya beli dan per-kapita, serta program-program pelayanan yang menyentuh langsung pada masyarakat di desa-desa.
Kemudian, jika kita melihat angka Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) (tahun 2023) di Kabupaten Bogor yang berada pada angka masing-masing 12,64 tahun untuk HLS dan 8,37 tahun untuk RLS. Artinya, bagi penduduk usia 7 tahun ke atas masih memiliki harapan bersekolah sampai dirinya lulus dari jenjang SMA (12 tahun) dan sedikit dari mereka bisa memiliki kemungkinan (meski kecil) untuk melanjutkan harapan pendidikannya ke jenjang kuliah. Juga, rata-rata lama sekolah dari penduduk yang sudah memasuki di atas fase sekolah masih di kisaran 8,37 tahun yang berarti tidak sampai tamat SMP (9 tahun). Jika dibandingkan, maka dengan besarnya angka HLS, diharapkan juga ke depannya RLS mengalami peningkatan, dan penduduk dapat menempuh pendidikan sampai minimal jenjang SMA, sebagai goro-goro program pemerintah pusat tentang wajib belajar 9 tahun.
Sebenarnya, jika menelaah secara runut bahwa angka IPM itu akan dipengaruhi 3 (tiga) dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta hidup yang layak. Sedikit menggembirakan, Kabupaten Bogor—dalam hal itu, sedang perlahan merangkak menuju arah yang cukup baik. Dari segi per-kapita saja, BPS Kabupaten Bogor mencatat bahwa Kabupaten Bogor memperoleh angka 11.153 ribu rupiah per-anggota keluarga. Hal ini menunjukan bahwa daya beli masyarakat di Kabupaten Bogor lumayan cukup besar dibandingkan daerah-daerah lain di Jawa Barat, bahkan Indonesia. Sejalan dengan itu, mantan Plt. Bupati Bogor, Iwan Setiawan pernah mengatakan bahwa saat ini sudah nol desa tertinggal, 90 desa berkembang, 231 desa maju dan 95 desa mandiri. Iwan mengklaim bahwa program Samisade merupakan program yang dapat mendorong desa membangun fasilitas dasar yang baik dan setara, serta semakin mandiri dan sejahtera. (Baca: Hari Jadi ke-541, Capaian Keberhasilan Kabupaten Bogor Semakin Baik, Jabarprov.go.id, 2023).
Setelah membahas secara luas indeks potensi Sumber Daya Manusia yang dimiliki wilayah Kabupaten Bogor, baik kelebihan maupun kekurangannya, maka tergambar suatu kemungkinan sekaligus gerbang pembuka untuk memasuki apa yang sedang dihadapi serta yang akan dilalui calon DOB Kabupaten Bogor Barat dalam proses pemekarannya. Pertanyaannya, dari studi kasus di keseluruhan wilayah Kabupaten Bogor itu, jika kita adopsi ke wilayah calon DOB Kabupaten Bogor Barat saja, apa dan bagaimana persoalan indeks pembangunan manusia dan kesejahteraan masyarakatnya, seperti umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak?
Sekali lagi, hal itu perlu kajian yang serius untuk memperoleh data dari 14 kecamatan sebagai upaya mengetahui sejauh mana IPM dengan segala indikatornya yang dimiliki DOB Kabupaten Bogor Barat. Tentu, jangkauan itu memerlukan waktu yang panjang dan keterbukaan data yang besar (dari pihak pemerintah khususnya). Setidaknya, dengan data tentang Kabupaten Bogor di atas yang kami peroleh, kita bisa mengandaikan bahwa perolehan nilai-nilai IPM dan indikatornya yang dimiliki 14 kecamatan, tidak akan jauh berbeda. Jika kita asumsikan bahwa DOB Kabupaten Bogor Barat memiliki angka yang lebih rendah atau lebih tinggi, pasti tidak akan jauh dari angka yang dimiliki Kabupaten Bogor. Tentu, dengan keterbatasan data tersebut, kita masih bisa membahas aspek lain, seperti kenyataan-kenyataan yang pernah terjadi, sedang terjadi, dan kemungkinan yang akan dihadapi masyarakat (calon DOB Kabupaten Bogor Barat) sebagai gambaran indeks pembangunan manusia di wilayah bagian Barat Kabupaten Bogor dalam bentuk non-statistik.
Pertama, terkait persoalan Angka Harapan Hidup (AHH) yang dipengaruhi oleh angka kematian, angka penderita stunting dan gizi buruk, serta bidang kesehatan. Pada kenyataannya, menurut Opendata.bogorkab.go.id, tahun 2023 dari 14 kecamatan calon DOB Kabupaten Bogor berjumlah 233 pasien yang terdata menderita gizi buruk dan pada tahun 2022 angka kematian bayi sejumlah 54 bayi. Namun, hal tersebut berbeda dengan laporan yang terdapat di media seperti radarbogor.jawapos.com yang melaporkan adanya jumlah 502 balita mengalami stunting di Kecamatan Pamijahan (baca: Ratusan Balita di Pamijahan Alami Stunting, Pj Bupati: Paling Tinggi di Kabupaten Bogor, 2024). Belum lagi laporan dari media yang sama tentang balita penderita stunting di Kecamatan Rumpin mencapai angka 61 balita. Perhatian pemerintah dirasa harus mulai sedari dini untuk mengatasi hal ini, contohnya memberikan perhatian gizi pada ibu hamil. Pasalnya, dua dari 25 ibu hamil di Rumpin mengalami kekurangan gizi dan berpotensi menurun pada bayi yang akan dilahirkannya. Studi kasus ini harus dihadapi oleh masyarakat (Pamijahan dan Rumpin khususnya) dengan fakta bahwa jumlah pasien terlapor di data pemerintah kadang memiliki perbedaan dengan apa yang dialami masyarakat. Contoh itu, tentu saja akan membuka potret-gambaran untuk kecamatan lainnya, entah hal itu akan membawa ke persoalan yang lebih baik atau bahkan lebih buruk dari apa yang dialami Kecamatan Pamijahan dan Rumpin.
Kedua, terkait menyoal angka potensi Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) yang dipengaruhi oleh angka putus sekolah, taraf atau tingkat pendidikan masyarakat, dan juga jelas ketersediaan layanan pendidikan yang bisa dimanfaatkan masyarakat. Dalam kaitannya dengan potensi ketersediaan layanan pendidikan di Kabupaten Bogor Barat, kita sudah bahas pada bagian (administratif) sebelumnya. Kali ini, coba kita bahas angka putus sekolah yang diperoleh dari data Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor tahun 2024 di 14 kecamatan (calon DOB Kabupaten Bogor) sejumlah 57 siswa SMP telah putus sekolah dari total 121 SMP siswa putus sekolah se-Kabupaten Bogor. Untuk siswa SD, pada tahun 2024 ini terdata sudah ada 99 siswa di 14 kecamatan tersebut yang bersekolah dan harus putus sekolah. Melihat data tersebut, artinya, potensi putus sekolah di DOB Kabupaten Bogor Barat masih ada dan membayangi peningkatan kualitas masa depan sumber daya manusianya, terutama dalam bidang pendidikan.
Angka putus sekolah di atas tentu tidak menjadi representasi langsung hasil HLS dan RLS di DOB Kabupaten Bogor Barat nantinya. Perhitungan HLS dan RLS juga mesti mencakup semua penduduk usia sekolah dan perhitungan penduduk usia fase di atas usia sekolah yang telah mengenyam pendidikan sampai taraf tertentu. Yang dijelaskan terkait angka putus sekolah, harus dilengkapi dengan jumlah angka taraf pendidikan penduduk di usia sekolah maupun di atas usia sekolah. Asumsinya, jika melihat data di atas, ada kemungkinan setiap tahunnya terdapat penduduk yang berpotensi tidak melanjutkan pendidikannya dengan berbagai alasan, salah satunya persoalan ekonomi di keluarganya dan (kurangnya) kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan. Jika demikian, semakin banyak siswa yang putus sekolah dan tidak melanjutkan, akan memperkecil angka HLS dan RLS. Padahal, angka HLS dan RLS, jika dihitung lebih detail sesuai rumusnya, akan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan peran penting bidang pendidikan untuk mendongkrak nilai angka IPM. Tentunya, ini harus menjadi perhatian yang serius dan khusus bagi pemerintah calon DOB Kabupaten Bogor Barat ke depannya dalam membangun serta mengembangkan indeks pembangunan manusianya—juga agar tercapai kesejahteraannya secara bersama.
Refleksi Pembacaan Halimun Salaka
Setelah menempuh hulu-hilir pada duduk perkara potensi sumber daya manusia, sudah waktunya memasuki rumusan refleksi pembacaan kami sebagaimana biasanya—seperti dalam dua edisi Geografis dan Administratif sebelumnya. Dengan keterbatasan dan kompleksitas pekerjaan-rumah terkait tantangan manajemen sumber daya manusia di wilayah calon DOB Kabupaten Bogor Barat—yang sudah menunggu di depan mata persoalannya—untuk sesegera mungkin dituntaskan kajian serta perencanaannya secara utuh dan matang. Hal itu akan membawa kita pada dimensi bagaimana taraf pendidikan serta kesiapan nalar pendidikan masyarakat yang merupakan satu tantangan besar pertama dalam membangun ekosistem sumber daya manusia yang baik—untuk membangun tenaga kerja dan menjalankan tata kelola pemerintahan DOB Kabupaten Bogor Barat, dan lalu prosesi itu akan sampai pada harapan bersama tentang peningkatan kesejahteraan sekaligus kesadaran masyarakat itu sendiri dalam membangun wilayah barunya yang mandiri.
Memang, refleksi yang kami uraikan tersebut tidak semudah seperti kita membalikkan tangan. Justru ketidakmudahan itulah yang mesti kita kaji bersama persoalannya agar menempuh suatu kesimpulan menjadi kemudahan dalam prosesnya. Aspek pendidikan tentang sarana, fasilitas, maupun taraf pendidikan misalnya, bukan hanya persoalan tugas kajian (statistik) Badan Pusat Statistik mengenai Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Sekolah saja, melainkan tugas kita bersama (masyarakat) untuk menyadari tentang pentingnya pendidikan dalam membangun suatu wilayah.
Mau tidak mau bahwa taraf pendidikan masyarakat memang akan menentukan kualitas SDM yang terdapat di suatu wilayah. Hal ini tentu akan memengaruhi tingkat ekonomi dan kemandirian masyarakat dalam berkehidupan. Jelas, peran serta pemerintah akan menjadi tonggak utama untuk menyelamatkan masyarakat dari jurang kebodohan, baik dengan cara menyadarkan masyarakat terkait pentingnya pendidikan, menyediakan fasilitas pendidikan yang adil, merata, dan berkeadilan, juga menjamin setiap penduduk memperoleh akses pendidikan yang terbaik. Harapannya tentu agar masyarakat bisa lebih mendorong dirinya sendiri menuju arah kesejahteraan.
Selain itu, bidang ketersediaan lapangan kerja juga akan menjadi faktor pendukung. Semakin maju peradaban, bidang pekerjaan terus bergerak dan mengalami perubahan. Masyarakat harus dituntun beriringan dengan pergerakan potensi ketersediaan lapangan pekerjaan. Proyeksi dan kajian tentang ketersiapan-ketersediaan lapangan pekerjaan juga harus menjadi prioritas sebagai sarana penyaluran hasil pendidikan yang telah ditempuh masyarakat. Atau bahkan pemerintah harus terus menggalakan potensi-potensi perekonomian setiap wilayahnya untuk terus mempersiapkan masyarakat ke dalam dunia pekerjaan nantinya. Tentu ini memerlukan tata kelola pemerintahan yang baik untuk mencapainya, sekaligus juga mempersiapkan layanan pekerjaan ketika capaian sumber daya manusianya sudah cukup baik dan merata nalar-taraf pendidikannya. Jangan sampai ketersediaan dan kesiapan lapangan kerja itu yang malah menjadi berkurang.
Itulah mengapa peran serta pemerintah dalam upaya mengelola SDM di tengah-tengah masyarakatnya harus nyata, terasa, dan seimbang. Meskipun semuanya akan dievaluasi berdasarkan proyeksi nilai IPM dan semua indikatornya, namun pemerintah harus menyadari bahwa bukan itulah yang menjadi tujuan utama. Tujuan utama harus tetap berada pada upaya menyejahterakan masyarakat secara nyata, ketimbang mengejar angka IPM untuk menunjukan kepada daerah lain dan pemerintah pusat tentang gambaran SDM dan IPM di wilayahnya. Dengan catatan, hal itu akan tercapai ketika semua stakeholder pemerintahan yang nanti bertugas memiliki satu tujuan yang sama akan hal itu.
Jika tata kelola ini sudah menunjukan progres yang positif, tentu hasil yang akan diperoleh juga akan baik. Taraf pendidikan akan meningkat, lapangan pekerjaan banyak tersedia, masyarakat hidup sehat, tentram dan bahagia, rasa aman dan nyaman dirasakan seluruh masyarakat, kemudian kemandirian masyarakat tercapai, akhirnya akan menunjukan kepada lorong cerah masyarakat madani yang diimpikan. Tentu inilah yang ingin dicapai oleh masyarakat di 14 kecamatan dengan kehadiran pemerintahan calon DOB Kabupaten Bogor Barat. Taraf kesejahteraan masyarakat yang selama ini dirasakan masyarakat bersama Kabupaten Bogor, tentunya akan menjadi tolok-bandingan, ketika nanti DOB Kabupaten Bogor Barat hadir secara resmi. Siapa pun tentu menginginkan perubahan yang lebih baik. Jika kesejahteraan cenderung tidak meningkat, atau bahkan cenderung menurun, bisa dibayangkan betapa menyesalnya masyarakat terhadap dirinya sendiri.
Sebelum ditutup, kita harus menyadari bahwa semua persoalan SDM ini tentu merupakan siklus berputar yang tak memiliki ujung awal dan akhirannya. Apakah masyarakat harus disejahterakan dahulu agar bisa mandiri secara pemikiran, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, ekonomi dan seterusnya, atau semua aspek tadi harus digiatkan terlebih-dahulu untuk mencapai kesejahteraan itu sendiri? Kami rasa, jawabannya akan seperti huruf “O”, artinya mulailah dari mana pun—dengan atau tanpa sudut-sudut yang menghantarkan pada kemandekan bekerja. Namun, yang harus dilakukan dan juga diperhatikan, di tengah huruf “O” itu, titik tengahnya harus berupa penilikan sekaligus langkah yang diputuskan berdasar niat yang baik dengan energi yang positif, juga dibekali pemikiran serta rencana yang matang. Hal itu agar terlihat lebih “berisi” dan tidak “kosong”.
Dari pengandaian huruf “O” itulah, setelah kita berputar-putar dari masalah ke masalah, dari langkah penyelesaian ke langkah penyelesaian lainnya, selanjutnya akan kami bahas keterkaitan ekonomi dan budaya pemekaran Kabupaten Bogor Barat sebagai putaran selanjutnya—sebagai puncak kelanjutan perenungan bersama.***
Pada suatu waktu menziarahi Bogor: ruang hidup telah kembali ke akar dan kembali ke sumber!