Tak Ada Yang Indah Dari Kegilaan

Gambar: RS dr. Marzoeki Mahdi


Dalam rentetan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tengah dilangsungkan, yang dimulai 25 November – 10 Desember oleh aktivis perempuan di berbagai belahan dunia, satu Cogil (cowok-gila) di Bogor malah melakukan kekerasan terhadap perempuan, yang gilanya bahkan sampai meninggal.

Setelah kejadian tragis ini mencuat ke media sosial, publik ramai memperbincangkan. Saya pribadi bahkan membahas ini dengan teman-teman saya, sesama laki-laki saat pulang kondangan sabtu kemarin, membicarkan bagaimana dan mencari pemahaman seorang lelaki sampai hati membunuh perempuan yang adalah seorang pacarnya sendiri. Simpulan kami sesama laki-laki, seragam. Bukankah laki-lakinya sangat bangsyat, pecundang dan sampai bisa membunuh karena kesetanan.

Sebenarnya pemahan ini tidak terlalu memuaskan saya.  Karena tidak ada perspektif perempuan, saya pun lalu mengajak perempuan dekat saya untuk membahas ini semalaman di ruang chatting. Sekalian pendekatan.

Dari chatting ini, saya bisa mendapatkan pemahaman tambahan, bahwa rasa sayang, ke-insecuran, dan ketakutan yang dirasakan bersamaan, bisa menjadi bensin untuk seseorang gelap-mata sampai membikin hilang nyawa orang yang disayang. Benarkah demikian?

Sebenarnya ada banyak kesimpang-siuran dalam kronologis yang beredar, ada flaying victim yang sengaja diskenariokan oleh pelaku yang diketahui seorang bernama Rahmat Agil. Beberapa cerita, seperti korban yang loncat dari motor, terluka parah dan ditingalkan sendiri di ruko kosong sampai meregang nyawa sendirian.

Ada juga yang memberitakan, bahwa korban sudah disekap dengan bantal di Reddorz, lalu disimpan di ruko kosong dan dibiarkan meninggal. Ada juga yang memang mengatakan sudah dibuat meninggal saat di Reddorz dan disimpan di ruko kosong untuk menghilangkan jejak pembunuhan.

Dari banyak versi cerita dan komentar, ada yang menarik minat saya. Yang bilang, kenapa si korban tidak dibawa ke rumah sakit aja. Dan kebetulan ruko kosong yang dijadikan tempat menyimpan korban, berada di Jl. Semeru Bogor Selatan, yang selemparan batu dari ruko tersebut, terdapat dua RS besar. Pertama RSUD Bogor, kedua RS dr. Marzoeki Mahdi, yang jaraknya bersentuhan.

Alih-alih hanya menyayangkan kenapa korban tidak dibawa ke rumah sakit, saya membayangkan, bagaimana kiranya si pelaku menyelamatkan pacarnya ke RSUD Bogor saja, lalu setelah menyelamatkan nyawa sang pacar, si pelaku mengantar dirinya sendiri ke RS Marzoeki Mahdi yang notabene adalah rumah sakit jiwa.

Sebab hal yang dapat saya pahami dari tindakannya membikin nyawa yang dia sayangi melayang, hanya karena dia biadab dan punya gangguan mental. Tak lain, tak bukan, seorang yang gila.

Melihat lokasi kejadian, saya rasa ini bukan suatu kebetulan. Apalagi dengan mengetahui bahwa RS dr. Marzoeki Mahdi adalah rumah sakit jiwa yang pertama di bangun di Indonesia. Bukan suatu kebetulan jika Bogor dan sekitaran Jl.Semeru yang dipilihnya. Begitu juga menyimpan korban di ruko kosong semeru, sebab pasti ada alasan yang berdasar dari si pelaku menyimpan korban. Ada semacam kepanikan, gangguan mental dan kekosongan yang tergambarkan bahkan sejak dulu, dan tak bisa dilepaskan dari satu kenyataan kehidupan sosial kita sekarang.

RS Marzoeki Mahdi Bogor, RSJ Pertama-Tertua di Indonesia

Penyakit gangguan jiwa terbilang masih asing pada zaman kolonial Hindia-Belanda dan mulai mendapat perhatian pemerintah pada media abad ke-19. Bermula ketika Geerlof Wassink, seorang kepala medis Hindia-Belanda mendapat titah pemerintah untuk menggelar sensus kesehatan mental.

Saat itu, sebagian besar orang-orang yang dianggap mengalami gangguan mental memiliki kebiasaan sering nenggak arak, berprilaku maniak, dan depresi berat. Melihat kondisi sekarang dan beberapa kejadian, rasanya indikasi kegilaan tidak banyak berkembang.

Hasil sensus Wassink pada tahun 1862 mencatat ada 586 penduduk di pulau Jawa masuk ke dalam kategori ‘Gila dan Berbahaya’.

Menindaklanjut sensus, pemerintah lantas mencanangkan pembuatan rumah sakit jiwa. Sebelum ada rumah sakit jiwa, orang-orang yang dianggap mengalami gangguan mental ditangani oleh tentara. Seiring dengan adanya perkembangan ilmu jiwa, mulai ada keyakinan bahwa penyakit jiwa dapat disembuhkan jika diberi perhatian dan perawatan yang layak.

Akhirnya, dua dokter Belanda, F.H. Bauer, seorang psikiater dan  W.M Smit, seorang dokter Angkatan Laut Belanda dikirim untuk melakukan studi banding tentang standar perawatan rumah sakit jiwa di beberapa negara Eropa.

Melalui surat rekomendasi kepada Inspektur Urusan Asylum di Belanda, September 1865, niatan pembuatan rumah sakit mental diajukan dan diteruskan kepada Ratu Wilhelmina. Tiga bulan berselang restu Ratu keluar.

Setibanya Bauer dan Smit di Batavia (kini Jakarta) pada 1867, dengan membawa hasil studi bandingnya, mereka langsung mencari lokasi untuk pembangunan rumah sakit jiwa yang ideal. Buitenzorg (kini Bogor) lantas menjadi pilihan utama. Mengapa Bogor yang dipilih?

Denny Thong dalam Memanusiakan Manusia: Menata Jiwa Membangun Bangsa, menuliskan Bogor dipilih, karena sejuk dan hijau serta strategis, dekat dengan jalan raya pos dan jalur kereta api. Jarak tempuh dari pusat Ibukota kolonial di Weltervreden tidak terlalu jauh, ketimbang kota lain seperti Surabaya dan Semarang yang sempat ditinjau sebagai pembanding.

Akhirnya pada 1 Juli Tahun 1882, Rumah Sakit Jiwa tersebut diresmikan dengan nama asli Krankzinnigengestich te Buitenzorg. Para penghuni pertama sebagian besar laki-laki, pasien pindahan rumah sakit militer dan China. Rumah sakit ini berkapasitas 400 tempat tidur. Saat itu jumlah pekerjanya 35 orang Eropa dan 95 pegawai bumiputra dan keturunan China. Seorang dokter bernama Sumeru menjadi satu-satunya dokter kejiwaan pribumi di rumah sakit ini.

Itu juga sejarah kenapa sepanjang jalan di sana, dinamakan Jl. Dr Semeru, dan pada saat peringatan 120 tahun, 1 Juli 2002 RSJ ini resmi selametan nama menjadi Rumah Sakit Jiwa Dr. H Marzoeki Mahdi untuk mengenang dokter pejuang Marzoeki Mahdi yang sempat menjadi direktur dan menjadi inspektur saat rumah sakit ini jadi hak milik Indonesia.

Setelah anggapan penyakit jiwa merupakan aib yang menganggu bagi pemerintahan Belanda, RSJ yang dibangun dengan niat hanya untuk keluarga Eropa yang terkena gangguan jiwa, akhirnya beberapa tahun kemudian, orang pribumi dibolehkan menjadi pasien di RSJ. Semua ini hanya untuk memperlihatkan bahwa yang bisa terkena gangguan jiwa bukan cuman orang Belanda.

Paruh akhir abad ke-19 isu kesehatan mental dan keamanan menjadi perhatian khusus pemerintah. Lantaran banyak para pendatang yang sewaktu-waktu dapat dibunuh oleh penderita gangguan jiwa yang terlantar, atau buruh yang mengamuk lantaran selalu dipaksa bekerja.

“Di Hindia-Belanda, seperti di negeri jajahan lain, pintu masuk utama ke RSJ untuk rakyat Pribumi memang melalui pengadilan dan penjara,” tulis Hans Pols dalam artikel “The Pscyhiatris as Administrator: The Career Of W.F. Theunissen ini the Dutch East Indies.

Kegilaan Memang Nyata di Sekitar Kita

Kegilaan pun menjadi barang dagangan dalam politik. Buku “Madness and Civilization”, karya Michel Foucault yang terbit pertama tahun 1961, secara gamblang menjelaskan bagaimana perubahan wacana “kegilaan” yang berbeda di era pra-modern dan era modernitas tersebut. Seperti dijelaskan dalam pengantar bukunya, Foucault bertolak dari penelusuran sejarah para patologi atau psikiatri yang menjelaskan perjalanan sejarah tentang kegilaan hingga mencapai kemajuan yang gemilang di era modernitas.

Mengenai kegilaan, Foucault menyebutkan bahwasanya kegilaan atau ketidakwajaran ditentukan oleh episteme yang membentuknya. Melalui telaahannya, kekuasaan atau pihak dominasi –yang nantinya menentukan pergerakan sosial– bukanlah terletak pada pemerintahan, atau sekelompok orang yang bertindak untuk mengelola sosialnya. Melainkan pada episteme/pengetahuan yang mengakar pada masyarakatnya.

Suatu aturan akan muncul, dan barometer terhadap segala hal akan ada dengan sendirinya. Apakah ini wajar? Ataukah tidak? Apakah dia normal? Atau jangan-jangan dia gila? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul ketika episteme terbentuk dan mengakar dalam masyarakat. Sebuah logika dan nalar yang menentukan bagaimana seharusnya sosial berjalan.

Sekarang mari kita lihat sosial kita, baik melalui sosial media, atau dunia nyata, meski episteme kegilaan yang lama masih sama, tapi jiwa individu-individu masyarkatnya lah yang berubah pesat. Dengan memendam masalah mentalnya. depresinya. seperti ada kegilaan kecil yang terus tumbuh.

Dari data indeks kesehatan mental di Indonesia, sampai pada 2023, terdapat 9.162.886 kasus depresi dengan prevalensi 3,7 persen. Secara garis besar, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia memprediksikan 1 dari 5 orang Indonesia memiliki potensi gangguan jiwa. Pada kalangan mahasiswa, 6,9% mempunyai niatan untuk bunuh diri dan 3% lainnya pernah melakukan percobaan bunuh diri.

Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan masyarakat muda berusia 15-24 tahun memiliki persentase depresi sebesar 6,2%. Yang paling mengkhawatirkan setiap tahun, penduduk Indonesia bisa bertambah hingga 3 juta jiwa. Berarti, dan otomatis kemungkinan penduduk yang mengalami depresi akan lebih besar lagi.

Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk kita yang mencapai 250 juta jiwa, jumlah yang rentan mengalami masalah gangguan jiwa mencapai 20 persen dari populasi penduduk di Indonesia. Angka tersebut setara dengan 15,5 juta remaja.

Jenis gangguan mental yang banyak diderita remaja adalah gangguan kecemasan (gabungan fobia sosial dan gangguan cemas menyeluruh) 3,7%, gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), hingga gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) dengan angka masing-masing 0,5%. Wows, bukan?

Jika episteme masyarakat dan sistem sosial kita lambat dalam menyesuaikan. Serta pemegang kuasa tidak ambil peran untuk intervensi dalam menjamin pelayanan kesehatan mental dan membikin masyarakat aware dengan episteme kesehatan mental. Bisa jadi beberapa tahun ke depan sosial kita akan mempertontonkan kegilaan yang lebih massal.

Ironisnya, Indonesia hanya memiliki 1.053 orang psikiater dan sekitar 2.500 psikolog klinis. Standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), seorang dokter seharusnya melayani 30 ribu penduduk. Dan Indonesia baru memiliki sumber daya yang teramat sedikit untuk menangani masalah mental.

Inilah permasalahannya, sejalan dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental, ikut tumbuh juga kesadaran yang malah mengglorifikasi, jika tidak mau dikatakan meromantitasi, gangguan mental.

Itulah mengapa, seperti ada yang membanggakan identitas, “Cegil” (cewek-gila), “Cogil” (cowok-gila). Mengagumi ketidakstabilan, atau beautifully painfull, disamping sekarang sudah banyak yang menormalisasi menangis ditempat umum, sebagaimana banyak terjadi di tempat konser, sampai-sampai dua event musik kampus di Bogor, yang rutin diadakan tiap tahun, kompak meromantisasi kesedihan.

Mulai Fisib Face yang mengangkat tema, “Rayakanlah Perih”, dan Maroon Day, dengan mengangkat tema, “Melodi Bertaut Nadi”. Bukankah sangat ganjil sekali jika hal-hal tersebut malah dirayakan.

Anggapan bahwa gangguan mental adalah sesuatu yang indah, dapat menjadikan gangguan mental menjadi sesuatu yang ingin dimiliki. Dan menanggapnya sebagai hal yang luar biasa sebagai pelarian. Sehingga banyak orang yang sedang kalah pada kehidupan nada tendensi ingin self harm bahkan bunuh diri, merasa yakin bahwa itu legal, dan itu jalan yang benar.

Jika tren ini yang menjadi mainstream, seperti apa nasib sosial kita nantinya? Komunikasi semacam apa yang mampu membangun kesadaran-kebersamaan? Jika Kota-kota hancur tidaklah masalah, perekonomian runtuh masih bisa dibangun ulang. Tetapi jika sosialnya yang rusak, nilai-nilai moral serta spirit di dalamnya, bukankah itu menjadi seperti kutukan kemanusiaan?!***