Trilogi Deru Campur Debu: Cileungsi, Gunung Putri, dan Kelapa Nunggal

Gambar: Peta Kab.Bogor


Akhir-akhir ini, terhitung sudah menginjak waktu tiga-bulan lebih, setiap minggunya saya melewati jalan yang melintasi Kabupaten Bogor bagian Timur: Cileungsi, Gunung Putri, dan Kelapa Nunggal, pulang dari Bekasi menuju Kabupaten Bogor bagian Barat – lebih tepatnya hunian saya di Pamijahan, ataupun sebaliknya—dari Pamijahan berangkat menuju ke Bekasi. Akhir-akhir ini pula-lah, saya merasa tak habis pikir bahkan tak terbayangkan bagaimana Saudara kita yang bermukim di tiga Kecamatan (Cileungsi, Gunung Putri, dan Kelapa Nunggal) itu, bagaimana keadaan dan kondisi-situasi kehidupan hari-harinya.

Maksud saya, mengenai fenomena deru campur debu – yang menurut hemat saya sangat mengkhawatirkan untuk kesehatan dan ketenangan perasaan bahkan pikiran, lebih khususnya mengenai hoream-raripuh pemandangan lajur truk-truk raksasa (transformers: si optimus-prime) itu hilir-mudik dari pagi sampai malam hari. Tak kunjung usai – dan tak terkendali.

Sayangnya, deru campur debu yang saya maksud bukan kumpulan puisi Chairil Anwar, eeeh bukan sama sekali. Ini benar-benar berwujud-rupa butiran debu dari gemuruh truk-truk yang menyebabkan badai debu pasir, material kapur, bau muatan sampah, dan sebagainya, di jalan raya itu saling mempertunjukkan kegiatan setiap waktunya. Saya berani bersaksi, melewati lajur-jalan penghubung ketiga kecamatan itu dalam beberapa menitan saja, tenggorokan saya langsung sedikit kesat-sesak sekaligus kering, padahal saya sudah menggunakan masker berlapis.

Gambaran tersebut tentu langsung mengingatkan kita semua pada situasi apa yang dialami-rasakan Saudara kita juga yang bermukim di Kecamatan Parungpanjang (baca: Parung Panjang Kasabaan – Pesan Panjang Kemudian). Berbekal fenomena itulah, saya juga tiba-tiba teringat tentang sebuah lagu yang ditulis oleh seorang Kawan, Yuda Bakti Permana, yang berjudul Kelapa-Nunggal, dan yang selalu dinyanyikan grup-band bernama Pengantar Pesan. Sambil mengendarai vebi (vespa-biru, maksudnya eheuheu), saya bernyanyi dalam hati, dan sekaligus sedih juga di dalam hati:

Hijau Desaku pohon apapun tumbuh/ Semak belukar penuh madu/ Tebing yang tinggi berdiri gagah/ Sepoi angin dinginkan kepala

Bilik-bilik bambu berdiri teduh/ Ternak berlarian kawan sepermainan

Hayu Hayu urang, hayu ngadekeut/ Ulah sieun ulah eraan/ Mari bersama usir yang serakah/ Lawan usir dan menang

Sungaiku jernih diterbangi ikan/ Pohon rindang tinggi menjulang/ Sawah dan ladang penuh dengan pangan/ Jalak dan kerbau tersenyum riang.

Lagu yang berisi lirik-lirik perlawanan yang indah itu, sangat lekat dengan gaya bahasa metafor sekaligus ironi, bukan? Terciptanya lagu itu ketika terjadi konflik lahan dan hunian di Kelapa Nunggal (kalau saya tak luput, kurun waktu yang berbarengan dengan konflik Kendeng), menyebabkan para masyarakat dan kelompok (act-tipis) tertentu turut aksi membela hak tentang ruang hidupnya.

Namun, kita ketahui bersama, segala sesuatu yang menentang kekuasaan pemerintah, elit politik khususnya, apalagi cukong-cukong pemodal, hasilnya kita sebagai rakyat kecil (budak-angon) tak akan menang dan mau tak mau sering merelakan kekalahan. Segala bentuk penggurusan dan pembangunan pasti akan tetap berjalan, sekalipun itu berdampak buruk bagi masyarakat sekitar. Menariknya, selalu ada dalih tentang moderninasi, ekonomi terbarukan, guna perputaran pajak, kemudahan transportasi, layananan hidup masa kini, dan sebagainya – dan seterusnya.

Mendendangkan lagu itu, sambil melewati jalan yang menghubungkan Cileungsi, Gunung Putri, dan Kelapa-Nunggal, saya membayangkan bagaimana suasana ketiga hunian-tempat itu pada masa lalu, sebelum maraknya industri-pabrik dan tambang yang mungkin masih seperti Kecamatan saya di Pamijahan hari ini, sedikitnya (walaupun mulai mengalami krisis akan iklimnya) masih rimbun dan terjaga muatan ekosistemnya, seperti lirik lagu di atas yang menguraikan, Hijau Desaku pohon apapun tumbuh/ Semak belukar penuh madu/ Tebing yang tinggi berdiri gagah/ Sepoi angin dinginkan kepala. Serta, Sungaiku jernih diterbangi ikan/ Pohon rindang tinggi menjulang/ Sawah dan ladang  penuh dengan pangan/ Jalak dan kerbau tersenyum riang.

Trilogi Deru Campur Debu

Berbekal fenomena di atas, sanggupkah kita manusia yang mendiami Bogor Raya, yang mempunyai julukan Kota Hujan dan Bumi Tegar Beriman atau semboyan Prayoga, Tohaga, Sayaga, bijak dalam memandang sesuatu yang semrawut rariweuh untuk dibicarakan apalagi diurusi ini? Secara pribadi, saya tentu tak menolak segala bentuk pembangunan apapun atau perubahan serta bentuk revitalisasi ruang hidup apapun, sangat tidak menolak. Tapi tidak menolak belum tentu selalu setuju 100%. Ada titik-tolak yang menjadi keberangkatan tulisan saya ini, ialah mengacu pada ketidak-seimbangan perhatian pihak pemerintah, para cukong, atau yang lainnya itu, mengenai kelayakan hidup-kehidupan masyarakatnya sendiri.

Contohnya sudah jelas, kita pasti akan bosan mendengarnya, tentang kelalaian pemerintah dan cukong-cukong itu, menyebabkan peristiwa (di Kabupaten Bogor bagian Barat) di Parungpanjang dari sejak lahir-maraknya tambang – sampai dewasa ini, masih dihantam badai debu dan hantu kematian oleh kecelakaan lalu-lintas truk tambang, yang sialnya akan terus dan akan selalu diprotes sampai kiamat kubro dan sugro mungkin, jika masih terjadinya korban jiwa, dan belum terealisasinya jalur khusus tambangnya.

Contoh lainnya juga jelas, ketika saya akhir-akhir ini sering melewati trilogi tempat industri-pabrik (Kabupaten Bogor bagian Timur): Cileungsi, Gunung Putri, dan Kelapa Nunggal. Sepemandangan saya dan apa yang saya alami-rasakan, sama persis dengan apa saya alami juga ketika sesekali melewati jalan di Parungpanjang, sama-sama akan dihantam badai debu dan juga rentan dengan kecelakaan maut oleh kelalaian truk-truk. Walaupun persoalan trilogi deru campur debu penyoal kecelakaan maut tak terlalu ramai seperti Parungpanjang, namun itu juga tentu perlu menjadi catatan bersama. Tingkat kesehatan dan kenyamanan hidup masyarakat mestinya diurusi serius oleh para pembantu rakyat: yaitu para wakil-wakil rakyat yang mendiami gedung pemerintahan Kabupaten Bogor.

Nah, ketidak-seimbangan perhatian itulah, usaha yang mesti pemerintah kita urusi secara serius. Jika trilogi tempat itu memang diharus-wajibkan menjadi ruang industri-pabrik sekaligus tambang, mestinya ada usaha untuk merawat lingkungan dan kehidupan masyarakatnya. Sebab, sepengetahuan saya, dari Parungpanjang maupun trilogi tempat itu: dari Cileungsi, Gunung Putri, dan Kelapa Nunggal, belum diwujudkan jalan khusus untuk lajur truk-truk: entah truk pabrik, truk tambang, maupun truk pengangkut sampah jekardah, ditambah belum patuhnya jam operasional kegiatan truk-truk pengangkut-pembawa material bumi dan sampah-sampahnya.

Padahal, pada tanggal 23 agustus 2023, Pemkab Bogor berjanji akan mengevaluasi polusi udara yang berada di Kabupaten Bogor bagian Timur (lebih khusus Cileungsi), sebagaimana diberitakan detik.com: sejumlah wilayah di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, masuk kategori tinggi polusi udara. Kondisi paling tercemar polusi udara ada di Kecamatan Cileungsi dan Cibinong. Menanggapi fenomena tersebut, Pemerintah Kabupaten Bogor bergerak. Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor, Burhanuddin, mengatakan pihaknya akan melakukan evaluasi.

Eits! Namun pada kenyataannya hari ini, tak ada yang beda dari polusi, badai debu, bahkan kegiatan lajur truk pengangkut sampah dari mantan Ibukota. Artinya apa, Saudaraku? Berarti evaluasinya hanya angin lalu di pikiran, tak sampai pada laku eksekusi.

Hal itu diberitakan pula oleh Radarbogor (agustus-2023), yang memberitakan bahwa, Kecamatan Cileungsi di Kabupaten Bogor masuk ke dalam lima besar kualitas udara terburuk di Indonesia berdasarkan website IQ Air. Berdasarkan data tersebut, urutan pertama udara dengan kualitas terburuk disematkan kepada mempawah, Kalimantan barat, kedua Tanggerang, Banten, ketiga Pontianak, Kalimantan barat dan Cileungsi Kabupaten Bogor, Jawa Barat masuk pada peringkat ke empat dengan nilai US AQI l, 166.

Kasus yang sama juga dialami masyarakat Gunung Putri, berdasarkan pantauan DeskJabar.pikiran-rakyat.com, salah satu jalan yang rusak parah dan banyak dikeluhkan warga, adalah jalan Cikeas di Kecamatan Gunung Putri. Ironisnya jalan Cikeas tersebut sudah rusak parah sejak lama, dan tak kunjung diperbaiki, jika musim kemarau menimbulkan debu yang menggangu pernapasan, dan pada musim hujan seperti kubangan kerbau yang digenangi air.

Dan terakhir kasus Kelapa Nunggal, yang diberitakan oleh RRI.co.id (febuari-2024), tentang masyarakat di wilayah Kecamatan Klapanunggal dan sekitarnya mengeluh dengan kondisi udara yang kurang bersahabat. Selain polusi udara yang kurang baik, infrastruktur di wilayah itu pun mengalami kerusakan di mana-mana akibat kendaraan tonase tinggi melintas di jalur tersebut. Salah satu warga di Desa Bantarjati, Misbah mengaku serba salah menjadi warga di wilayah industri karena udaranya tidak sebaik di wilayah lainnya.

“Kalau sedang musim panas, debu menjadi pemandangan sehari-hari dan mengganggu pernapasan. Kalau musim hujan, jalan licin dan berlumpur,” ungkap Misban kepada wartawan belum lama ini. Sependapat dikatakan Emis warga kampung Cibugis, Desa Klapanunggal. Menurutnya, jalanan di sepanjang Kecamatan Klapanunggal berdebu bila saat musim panas, begitu juga sebaliknya jika musim hujan jalanan berlumpur.

Dengan sumber berbagai media itu, dan apa yang saya alami ketika melewati tiga tempat itu, rasanya memang Barat (Parungpanjang) dan Timur (Cileungsi, Gunung Putri, Kelapa Nunggal) sama-sama mengkhawatirkan, dan perlu ditangani secara serius kenyamanan hidup masyarakatnya. Pemkab tercintahhh mesti ambil sikap atas fenomena-peristiwa yang tak kunjung usai itu.

Dan sialnya, akhir-akhir ini, masyarakat Parungpanjang masih terus disengsarakan, ketika amarah para transporter memuncak hingga memblokade jalan yang membuat masyarakat Parungpanjang dipaksa untuk tidak bisa melewati jalan tersebut. Bahkan, seorang yang sakit harus menggunakan sepeda motor untuk diantarkan ke rumah sakit (baca: Relasi Penguasa-Pengusaha Tak Tahu Untung, Rakyat Parungpanjang kembali Digulung Kekhawatiran, Tak Pernah Usai).

Serupa superhero kesiangan untuk para pengusaha, Pj Bupati Bogor Asmawa Tosepu kembali membolehkan truk tambang melintasi jalur utama masyarakat di siang hari. Padahal, wacana penutupan itu pernah dilakukan juga saat Iwan Setiawan menjabat Bupati Bogor beberapa bulan lalu. Bahkan sempat diberlakukan penutupan jalur tambang di siang hari. Begitulah berita yang disampaikan seorang Kawan dalam catatannya.

Saya langsung teringat sebuah puisi (Doa untuk Indonesia) olahan Abdul Hadi WM, begini kutipannya: Tuhanku, mengapa kaubiarkan ular-ular yang lapar ini/ Melata di bumi merusaki hutan-hutan/ Dan kebun-kebunmu yang indah permai/ Mengapa kaubiarkan mereka.

Setelah saya renungkan fenomena-peristiwa ketika melewati lajur-ja;ur trilogi tempat deru campur debu tersebut, saya tiba-tiba ingin menuliskan perjalanan sajaknya. Sebagai penutup catatan kecil ini, baiklah saya hadirkan secara utuh:

Deru Campur Debu

1)

namaku Surya tanpa Kencana:

lahir ketika uang mengendalikan

alam dan lingkungan. Begitulah pesan

ayah dan ibuku dalam surat wasiatnya

aku hidup sebagai yatim sejarah

dan piatu kebudayaan:

setelah dewasa, kucari-cari titik koordinat

tempatku dilahirkan. Menurut surat wasiat

ayah dan ibu, aku lahir di pinggir trotoar

tepat di depan warung Bi Saonah-

*

—pada waktu Ibu mengandungku

9 bulan, ayah memboncengnya

dengan motor Astrea menyusuri

sepanjang jalan Cileungsi, Gunung Putri,

dan Kelapa Nunggal

berbarengan saat badai butiran debu berhamburan

oleh deru truk-truk pabrik pembawa material tambang

menakuti para pekerja yang berangkat ke Kota

hilir-mudik setiap harinya: begitulah suasana

ketika aku lahir.

2)

Sampai saat ini, tak kutemukan warung

Bi Saonah di sekitar jalan Cileungsi, selain pabrik.

Tak kutemukan juga warung Bi Saonah

di sekitar jalan Gunung Putri, selain pabrik.

Dan masih tak kutemukan letak warung Bi Saonah

di sekitar jalan Kepala Nunggal,

lagi-lagi selain pabrik.

“Oiii, apakah warung Bi Saonah digusur dan digantikan oleh pabrik?”

Tanyaku sambil teriak pada satpol PP, yang beramai-ramai konvoi dengan sirinenya.

3)

Aku hampir putus asa mencari letak

koordinat tempatku dilahirkan.

Akhirnya, kucari-cari arsip tentang kotaku

di perpustakaan waktu: Kutemukan

naskah kuna Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian,

kubaca cerita Pakuan Pajajaran,

kumaknai Bogor pada masa silam:

—bukan buitenzorg, bukan kota hujan,

bukan bumi tegar beriman.

Melainkan Tunggul Kawung yang kehilangan akarnya,

kehilangan ekosistem atas hidupnya.

Ayah, Ibu,

aku benar-benar putus asa.***