Wayah: Refleksi Musik-Tradisi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kebudayaan

dok. halimunsalaka.com


1)

Kemarin, pada hari Sabtu, tanggal 21 Desember 2024, saya menonton pertunjukan Kumpulan Bunyi Sunya yang mengais tajuk: Wayah, tepatnya di Aula FKIP Universitas Pakuan, Kota Bogor. Sebelum menghadiri dan menonton pertunjukan itu, saya sudah membaca terlebih-dahulu catatan dramaturgi yang dituliskan oleh Akbar tentang apa dan mengapa pertunjukan Kumpulan Bunyi Sunya (selanjutnya akan disebut Bunyi Sunya) mengais tajuk Wayah itu sendiri. Secara definitif serta maksud dan tujuannya, Akbar mencatat bahwa, Wayah (versi bahasa sunda?) mengacu pada istilah-konsepsi waktu (dalam bahasa indonesia) yang dalam pengertian tertentu bisa dimaknai sebagai temporalitas atau kewaktuan. Dari wayah atau waktu sebagai temporalitas itulah kemudian membawa Bunyi Sunya dalam menawarkan komposisi suara yang muncul dari keresahan terhadap kehidupan sikologi-sosial di wilayah Citayam, Kabupaten Bogor. Padat cerita, Bunyi Sunya menghadirkan tawaran komposisi berdasarkan realitas noise di wilayah Citayam, membentuk nasib suara dan bebunyian melalui Gambang Keromong yang hari ini mengarah ke jurang kepunahan, karena dipengaruhi oleh lingkungan bunyi dari luar yang lalu saling bersaing melalui dominasi suara itu—tengah membawa Gambang Keromong hadir serta tidak lagi otentik: terdistorsi dan terdekonstruksi (sebagaimana musik-tradisi lainnya).

Ketika meneroka uraian di atas, tentu kita semua akan menyadari satu hal, bahwa pertunjukan Bunyi Sunya hendak dan bahkan berniat merespons persoalan musik-tradisi secara luas, khususnya musik Gambang Keromong yang lekat di kehidupan masyarakat Citayam—dengan nuansa budaya kebetawiannya itu kini kian sulit bertahan di era masyarakat kekinian. Kesulitan itu ditambah pula ketika Gambang Keromong (masyarakat Citayam yang lekat dengan kebetawian itu) harus bersaing-berhadapan dengan musik bernuansa budaya kesundaan di teritorial-wilayah naungan kesundaan (Bogor khususnya, Jawa-Barat umumnya) itu sendiri. Maka, problematika serta polemik yang dirasakan masyarakat Citayam, khususnya para pegiat musik Gambang Keromong yang dipropagandai Bunyi Sunya, tentu akan berkutat pada persoalan sulitnya regenerasi para pegiat, pemain, penyuka, dan seterusnya, ditambah pula kesulitannya karena ditakdirkan hidup-menetap di sebuah wilayah naungan yang mayoritas berkesenian khas sunda. Jelas, hal itu akan berbeda dengan apa yang  dialami pegiat Gambang Keromong yang ada di wilayah Jakarta (yang mayoritas mengamini kebetawiannya). Pertanyaannya, akan bagaimana pertunjukan Bunyi Sunya yang mengais problematika-polemik-persoalan tersebut?

2)

Sesampainya di Aula FKIP dan sebelum pertunjukannya dimulai, konsep pemanggungan yang dipakai Bunyi Sunya bernuansa Teater Arena, artinya sentralitas panggung, penampil, dan penonton lebih dekat-melebur dibandingkan konsep pemanggungan umumnya yang mengais jarak antara panggung, penampil, dan penonton. Saya juga melihat bahwa, di tengah-tengah penonton yang melingkar sudah terdapat sebuah ranjang-pasien rumah sakit tanpa kasur, di atasnya tertera seperangkat bonang, gong, dan alat lainnya disusun menyerupai seorang manusia (pasien) yang tengah terbaring (sakit?), ditambah bunga-bungaan bertaburan di lantai dan juga di atas ranjangnya (menambah suasana duka-derita). Melihat itu bayangan saya langsung tertuju pada sebuah latar rumah sakit bernama: Rumah Sakit Kebudayaan, yang di dalam salah-satu kamar instalasi gawat daruratnya sedang terbaring pasien kesenian bernama Gambang Keromong (dan tentu bayangan saya juga mengarah ke banyak kesenian lainnya yang tengah dirawat di sana).

Pertunjukan dimulai dengan sebuah narasi dari seorang narator yang mengemukakan kegalau-gelisah-gundahan masyarakat Citayam, khususnya pegiat musik Gambang Keromong, persis sekali sebagaimana spirit uraian sebelumnya yang dikemukakan Akbar dalam catatan dramaturginya, bahwa musik-tradisi Gambang Keromong di Citayam tengah memasuki jurang kepunahan, sulitnya pencarian regenerasi, berhadapan dengan wilayah teritorial musik-tradisi budaya kesundaan, kurangnya perhatian pemerintah, dan seterusnya—dan sebagainya. Setelah itu, barulah para pemain Bunyi Sunya (dengan total 6 pemain) memasuki arena. Satu persatu dari mereka ada yang memainkan bonang dan gong di atas ranjang-pasien yang sudah disiapkan, mereka memainkannya secara bertahap, teratur, dan mencapai puncak iramanya, lalu diharmonisasikan oleh seorang pemain yang memainkan suling dan seorang lagi memainkan gerak makna penderitaan di beberapa bagian dengan berjalan menginjak bonang sebagai pijakan, sesekali menyeret langkahnya. Mereka, para pemain itu, memakai pakaian khas betawi: peci merah, baju hitam, dan celana panjang merah.

Sependek ingatan-pengamatan saya, awal pertunjukan tersebut langsung membawa saya pada suatu pandangan lain, tentang mereka para pemain Bunyi Sunya, seperti seorang dokter yang tengah merawat dan hendak menyembuhkan seorang pasien yang terbaring, tentu pasien ini adalah musik Gambang Keromong secara khusus, umumnya musik tradisi lainnya. Tak lama pertunjukan itu berlangsung dengan capaian irama bunyi-bunyian dan gerak para pemain yang memainkan bonang, gong, dan suling, adegan beralih ke sebuah peristiwa peziarahan batin para pemain Bunyi Sunya. Mereka, para pemain, tiba-tiba menghentikan permainan musiknya. Para pemain secara berbarengan masuk ke bawah-kolong ranjang-pasien. Di bawah ranjang pasien tergantung sebuah tali yang di ujungnya terdapat sebuah kertas berbentuk daun bertuliskan nama-nama (para pemain dan pegiat Gambang Keromong?). Mereka para pemain satu persatu berbisik menyebutkan nama-nama yang ada di kertas bergantung tersebut. Sayang sekali, saya lupa detailnya nama-nama apa saja yang tergantung dan disebutkan. Sebagai gantinya, anggap saja nama itu adalah Oen Hok, Kin Tjong, Jabar, Inan, Janian, Jaip, Jampang, dan sebagainya.

Lama mereka bergantian dan berbarengan berbisik menyebutkan nama-nama pemain terdahulu yang tergantung di tali bawah ranjang, para pemain lalu kembali berdiri dan mengambil senter-lampu dengan menerangi seluruh pojok ruangan, sesekali menerangi penonton sambil berkata dengan istilah-istilah dalam bahasa Betawi: ada yang bila ora, saban, bujug buset, bonyok, ance-ancer, antepin, abongan, dan sebagainya. Hal itu mengingatkan saya pada situasi-kondisi masyarakat Citayam, Bojong Gede, Cilebut, yang lekat dengan pencampuran bahasa Sunda dan Betawi dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian, Bunyi Sunya hendak menawarkan peristiwa psikologis-sosiologis masyarakat Citayam secara khusus, umumnya kelindan musik Gambang Keromong khas Betawi yang hidup-berkembang di tatar Pasundan, yang bisa kita maknai sebagai kritik, sebagai kesan, sebagai pesan, ataupun bisa juga sebagai keseluruhan, tergantung pada apa yang pembaca inginkan.

Pertunjukan lalu mengarah ke pergantian artistik pemain memakai peci berwarna hitam dan memakai sarung, serta adanya adegan musik dangdut (di latar berbeda), sebagai distorsi-dekonstruksi sebagaimana diceritakan Akbar, ada pada peristiwa-adegan setelah istilah-istilah bahasa Betawi diucapkan para pemain. Secara sarkas, Bunyi Sunya hendak menyampaikan bahwa musik-tradisi Gambang Keromong pada akhirnya tergantikan oleh musik dangdut, atau mau tak mau mesti meleburkan diri bersamanya. Adegan bernuansa dangdut, kita tahu bersama, adalah adegan kegembiraan bermusik di balik kesedihan lirik-lirik di dalamnya, atau dengan bahasa lain, hanya di musik dangdutlah cerita kesedihan bisa membikin orang bergoyang-goyang dan melupakan makna isi lirik-lagunya, peristiwanya, dan lain sebagainya. Rasanya itulah pengandaian yang bisa mencerminkan situasi-keadaan Gambang Keromong hari ini ketika dihadapkan dengan musik dangdut, atau bahkan musik kontemporer dewasa ini (hal itu juga berlaku untuk musik-tradisi lainnya).

Setelah problematika adegan peristiwa itulah, pertunjukan Bunyi Sunya lalu sampai pada puncaknya. Refleksi pertunjukannya mengarah pada adegan para pemain yang berbareng mendorong ranjang-kasur-pasien (yang berisikan musik Gambang Keromong) itu ke arah sumber cahaya berwarna merah dan biru untuk sampai pada lorong kegelap-gulitaan. Puncak pertunjukan penutup itu membawa pandangan saya pada sejenis pemaknaan keberangkatan menuju kepunahan, kematian, bahkan ketiadaan (musik Gambang Keromong secara khusus, umumnya musik-tradisi lainnya). Bagaimana, apakah catatan saya ini bisa membawa pembaca ke arah gambaran-bayangan mengenai (adegan) isi pertunjukannya? Bagaimana, kira-kira apakah Bunyi Sunya (sebagai dokter) bisa menyelamatkan (pasien) Gambang Keromong, atau justru pada akhirnya Bunyi Sunya meminta maaf dan undur diri sudah tak bisa menyelamatkan pasien yang bernama Gambang Keromong?

Tentu, jawabannya ada pada masing-masing para pemain Bunyi Sunya itu sendiri. Namun, yang jelas-terasa, perlu saya katakan bahwa, pertunjukan Wayah olahan Kelompok Bunyi Sunya telah berhasil mempropagandai bagaimana situasi-kondisi kenyataan musik-tradisi yang suka tak-suka tengah menuju jurang kepunahannya secara luas: melalui problematika Gambang Keromong—Bunyi Sunya berhasil menembus kepedihan-kesedihan pegiat musik-tradisi lainnya yang ada di seluruh penjuru Indonesia.

3)

Tibalah untuk merenungkan apa dan bagaimana situasi kondisi musik-tradisi di Tanah-Air tercinta kita ini, dengan pertanyaan pertama, apakah hanya Gambang Keromong yang tengah memasuki jurang kepunahan?

Sedangkal pengetahuan saya, Gambang Keromong hanya satu dari sekian banyak musik-tradisi kita yang menuju ke jurang kepunahan, baik persoalannya regenerasi, penyuka dan pegiat, maupun perawatannya secara menyeluruh. Agaknya, jika tak ada misi penyelamatan dan perawatan, kita sudah terlanjur akan kehilangan jejak-jejak dari kebudayaan, dalam hal ini musik-tradisi, yang pernah menjadi identitas bangsa, khususnya suku-ras yang dinaungi Indonesia. Pertanyaan kedua, perlukah kita menjabarkan musik-tradisi apa saja yang menuju jurang kepunahan di Tanah-Air kita?

Saya kira, baiknya itu dijawab oleh pembaca masing-masing. Sebabnya, pastilah jawaban itu pada akhirnya menjadi bumerang yang mengarah ke diri kita sendiri, misalnya apakah dari sekian banyak musik-tradisi itu tak ada usaha penyelamatannya masing-masing. Maka, saya hanya akan menjabarkan satu, itu juga berasal dan selalu hinggap mengganggu di pikiran saya, sekaligus dekat dengan dimensi emosional saya sendiri, ialah tentang fenomena Angklung Gubrag. Angklung Gubrag menjadi ciri khas musik-tradisi di wilayah Kabupaten Bogor bagian Barat, meliputi hunian saya di Pamijahan, juga mulai menghilang dari peredaran kesenian di Bogor (dan tengah masuk ke jurang kepunahan). Kiranya bukan disebabkan hanya persoalan dominasi musik modern dan global yang telah menggeser perhatian masyarakat kita, melainkan sebab-akibat musik-tradisi kita sudah terlanjur dianggap kuno dan tidak relevan dengan hidup dewasa ini. Padahal, jika meneroka lebih jauh, jauh di dalamnya terdapat kekayaan budaya dan sejarah yang tak ternilai. Dan sialnya kita menyadarinya bersama, bahwa kepunahan musik-tradisi berarti kehilangan warisan leluhur dan identitas kita sebagai suatu bangsa. Pertanyaan ketiga, apakah tak ada usaha saya sendiri untuk menjadi dokter, (sebagaimana cara Bunyi Sunya) terhadap pasien bernama Angklung Gubrag?

Tentu saya hendak mengarah-tertuju ke arah sana. Namun, sebagai manusia biasa, bahkan masih anak kecil kemarin-sore, saya kira ini bukan urusan perorangan dan sangat perlu untuk memberikan kesempatan kepada pihak pemerintah terkait terlebih-dahulu, sekaligus ini adalah usaha untuk mengetes, eh, maksud saya memeriksa apakah pihak pemerintah acuh-abai atau tengah berusaha untuk misi penyelamatan. Gambang Keromong dan masyarakat Citayam tak usah bersedih hati sendirian, atau karena praduga di-anak-tiri-kan pemerintah Kabupaten Bogor (budaya Sunda luasnya) karena mangais kebetawian, sebab musik-tradisi sunda sendiri kenyataannya juga tak mendapatkan fasilitas atau misi penyelamatannya secara khusus: bisa kita lihat bagaimana musik-tradisi karinding-celempung, kecapi-suling, Angklung Gubrag, dan seterusnya hari ini, bukankah mereka sama-sama tengah memasuki jurang kepunahannya?

Itulah mengapa faktor lain yang dapat menyebabkan kepunahan musik-tradisi juga bisa dipersoalkan karena kurangnya perhatian-dukungan pemerintah. Agaknya, untuk menyelamatkan musik-tradisi (walaupun bahasan seperti ini sudah berjuta-kali diucapkan manusia yang memandang kebudayaan), perlu dilakukan banyak upaya pelestarian yang serius, fokus, dan tentu berkelanjutan. Pendidikan budaya-kesenian yang mengais tradisi-warisan sudah semestinya ditingkatkan, festival dan pertunjukan musik-tradisi harus lebih sering digelar-edarkan, dan dukungan pemerintah harus diperkuat ke ranah kelompok musik-tradisi, pegiat, bahkan maestro di tiap bidang itu sendiri. Dengan begitu, persoalan kolaborasi lintas bidang, disiplin ilmu, dinas pemerintahan, dan seterusnya, untuk memperbarui-mempertahankan musik-tradisi adalah opsi dari sekian banyak dasar misi penyelamatan.

Mungkin, nanti pada akhirnya kita tak perlu mempersoalkan apakah musik-tradisi sebagai warisan budaya, sebagai sumber inspirasi karya, sebagai kebanggaan bersama, sebagai konsep penempuhan menghadapi masa depan, dan seterusnya—dan sebagainya itu, saya kira tak perlu lagi kita persoalkan, ketika kita sudah merawat apa yang mesti dirawat dan dikembangkan secara tegas, juga atas kesepakatan bersama. Dan pada akhirnya juga kita tak akan mempersoalkan secara berulang-ulang tentang tugas siapa dan salah siapa. Sampai di sini, adakah pembaca malahan jadi kesal sendiri?***