Perihal Harapan Tentang Rumah Harapan

Perihal Harapan Tentang Rumah Harapan

Ilustrasi: (Refleksi Buku Puisi Rumah Harapan)


Kurang-lebih seratus tahun lalu, Shklovski pernah mengatakan bahwa sastra adalah pengasingan atau defamiliarisasi, atau dengan kata lain bahwa sastra mempunyai kemampuan untuk menampilkan kenyataan dengan cara yang baru, sehingga sifat otomatik dalam pengamatan dan pencerapan kita didobrak. Shklovski mengatakan begitu ketika sastra menggunakan gaya bahasa yang menonjol dan  “menyimpang” dari yang biasa digunakan dan disampaikan dengan cara atau teknik yang baru. Maka dari itu, pendiri Obshchestvo-izucheniya Poeticheskogo Yazyka (OPOYAZ) itu menyimpulkan bahwa komponen terpenting dari sastra adalah bahasa (baca: stilistika) yang independen, di samping konten sosialnya.

Begitulah kira-kira yang ada dipikiran saya ketika suatu hari, seorang mahasiswi meminta saya mejadi pembicara sebuah diskusi untuk membedah puisi-puisi karya siswa. Request-nya membahas kreativitas berbahasa di era globalisasi pada sekumpulan puisi tersebut. Seketika saya langsung ingat Shklovski dan quotes-quotes-nya yang tadi. Padahal, akhir-akhir ini, saya sedang berusaha memahami Spivak dengan Death of a Dicipline-nya. Sumpah! Itu seperti kalian sedang berusaha mendaki gunung secara perlahan dan hati-hati, namun diminta turun cepat-cepat dengan selamat teruntuk membahas puisi-puisi tersebut. Ngos-ngosan!

Sekumpulan puisi berjudul Rumah Harapan (2023) disodorkan via WA dalam bentuk digital pdf. Saya takjub bukan main musabab pada buku yang diterbitkan penerbit Lindan Bestari itu termuat 127 puisi dari 127 siswa dari 6 sekolah berbeda. Sekolah-sekolah tersebut, antara lain: SMAN 1 Ciomas, SMAN 3 Bogor, SMAN 6 Bogor, SMA Taruna Terpadu 1, SMA Taruna Andigham dan SMK Darmawan. Luar biasa! Kemudian, ketika dibaca, saya lebih tercengang dengan isinya. Benar-benar puisi semua! Hehe. Canda, puisi.

Menurut catatan di kata pengantar buku, judul Rumah Harapan  pada buku ini dipilih dari dua puisi dengan judul Rumah karya Aprilia Dinda dan Harapan karya Ade Naila Fitri. Saya jadi penasaran apa sih rumah dan apa sih harapan bagi remaja yang katanya—di zaman sekarang—gampang anxiety dan selalu overthinking?

Apa sih Rumah?

Overall, saya salut dengan seluruh siswa yang dengan cakap “bermain” dengan bahasa (baca:kata) yang kemudian dirangkainya jadi puisi. Penggunaan gaya bahasa metafora, personifikasi, hiperbola, dan lain-lain sangatlah menggugah selera pembaca. Juga, sedikit banyak, lewat gaya bahasa dalam puisi-puisi itu sangat tumpah ruah berbagai “curhatan” mereka dengan berbagai tema dan kegelisahan: cinta, kebangsaan, politik, keluarga, pertemanan, pendidikan, dan lain-lain. Sungguh! Betapa saya membayangkan wajah-wajah polos mereka dengan berbagai permasalahan yang mereka sisipkan lewat puisi-puisinya.

Tak lama, setelah banyak membaca karya-karya mereka, kok jadi iba, yah?. Se-anxiety dan se-overthinking itu mereka dengan berbagai gaya bahasanya pada banyak puisi! Kemudian, yang tergambar akhirnya wajah-wajah polos dengan mata sembap habis menangis, alis yang menekuk, mata yang merah karena marah, dan tangan mereka mengepal namun tak mampu menonjok dan mengalahkan dunia dengan baju kemeja putih dan celana abu yang mereka kenakan.

…/Tuhan, mengapa takdir membawaku tinggal dalam rumah/berjeruji besi ini?/Hatiku kini bagai coretan kertas, tak ada satu pun yang dapat/menghapusnya/Semesta terus memaksaku tuk bahagia meski bagaskara telah/bersinar berulang kali/Kapankah cerita ini akan berakhir! Tuhan aku sudah lelah/tolong biarkan aku bahagia//…(Rumah Berduplikat Penjara, Regina Nazalia Syahrani, hal. 26)

Wow! Sungguh sangat deep sekali, kan? Yang mencengangkan sebenarnya yaitu si aku lirik menggambarkan sebuah rumah dengan metafora “jeruji besi” untuk mengatakan suatu rumah yang tak membahagiakan, memenjara kebahagiaannya. Apa lagi di puisi tersebut, digambarkan pula bahwa …rumah itu tempat berpulang dan tempat yang tenang. Si aku lirik beranggapan bahwa rumah adalah kuburan sekaligus! Semuram itu aku lirik menggambarkan rumah sebagai tempatnya dikurung sendirian sampai mati dan mencapai ketenangan sejati. Glek!

 //Kuinjak halaman rumah/penuh helai kering/gugur bersama penghuninya/tak lagi terawatt//…//hanya aku penghuni rumah ini/lainnya di antah berantah/terbayang pelukan ibu dan bapak/walau lengkara dipersatukan/… (Satu-satunya, Aku, Dyandhra Azkarana, hal. 133)

…//Aku sangat lelah dan lemah/banyak uang tetapi,/tidak dengan kasih sayang/seperti kaca yang retak di tepi// (Rumah, Aprilia Dinda, hal. 79)

Lagi-lagi, aku lirik menghujamkan predikat muram pada sesuatu yang disebutnya sebagai “rumah”. Tak lain, rumah baginya adalah suatu yang membuat mereka lelah dan lemah karena …konflik yang tidak pernah terfikir/keributan yang terus mengalir. Rumah yang seharusnya mengandung kasih sayang yang datang dari keluarga, terutama orang tuanya, namun sama sekali tak didapatkannya. Padahal, si aku lirik membutuhkannya untuk membuatnya lebih kuat. Di rumah, si aku butuh kehangatan dan pelukan dari orang tuanya: ayah dan ibunya, seperti halnya si aku lirik mengagungkan, menyayangi mereka.

…//Bu, sedihmu adalah hancurku/keluhmu adalah runtuhnya duniaku/…//kau kasihi, kau cintai, kau lindungi/senyuman manisku seakan penawar kuat bagimu/jangan kau hentikan nafasmu/… ( Sebuah Tubuh, Nur Dwi Fitri Yanti, hal. 46)

//Ayah…/ayah, kau adalah tempatku untuk berlindung/…//ayah aku tidak menangis lagi/aku tidak takut lagi/petuahmu menjadi kekuatan dalam kehidupanku/aku merindukan pelukmu// (Dirimu Masih Ada di Kepala, Athaya Haura Wijaya, hal. 51)

Gambaran orang tua: ayah dan ibu, bagi si aku sebegitu agungnya. Rumah yang benar mereka rasakan seharusnya yang penuh dengan kasih sayang dari ayah dan ibu. Bagi setiap aku lirik, ayah dan ibu adalah cinta pertama mereka alias dua orang yang seharusnya juga mencintai mereka, menjadi panutan mereka, menjadi contoh mereka, dan tentunya menjadi guru pertama bagi mereka.

…//Ayah…/Kau ajarkan tentang makna kehidupan/jerih payahmu selalu kuingat/pengorbananmu selalu kukenangkan/ketangguhanmu menjadi sosok yang kuat//…(Cinta Pertamaku, Talitha Zakiah Raissa, hal. 61)

//Bu, kehadiranmu sangat selalu diinginkan di setiap langkahku/tanpa kehadiranmu di setiap langkahku, seperti sayap yang rapuh separuh/banyaknya jasa dan rima yang engkau berikan pada kami/tetapi anakmu akan selalu berusaha agar bisa membanggakan engkau//… (Hari Ibu, Essi Neilani, hal. 98)

Bayangkan, sepolos itu si aku lirik berharap kehadiran sosok orang tua yang mengisi “rumah”-nya. Sementara, pengertian “rumah” sendiri masih mereka cari disela kesibukan mereka menemukan identitas dirinya sebagai manusia. Ungkapan-ungkapan mereka secara “metafor” tentang rumah, kadang berbanding terbalik dengan “metafor” tentang bahagianya memilliki “rumah” dengan sosok orang tua yang mereka inginkan. Orang tua seharusnya mendampingi mereka tumbuh dengan sejuta harapan masa depannya. Bukan malah menjadi “jeruji besi” yang mengurungnya dan memenjarakannya di “rumah” yang menjauhkannya dari bahagia dan harapan. Lalu…

Apa sih Harapan?

Simple sebenarnya: harapan kan keinginan yang ingin diwujudkan jadi kenyataan. Iya gak sih? Tapi apa yang sebenarnya yang ingin diwujudkan? Tentunya banyak sekali. Bagi setiap orang jumlah harapan yang dimilikinya pasti beribu-ribu bahkan berjuta-juta. Namun bagi Ade Naila Fitri dalam puisi Harapan  (hal. 141):

Aku meraung pada kehidupan/hingga kugenggam erat tali/yang membawaku utuh kembali/beharap tak akan rapuh lagi//aku meraung pada kehidupan/terjatuh pun aku berdiri/berjalan pun aku berlari/hingga harapan itu kembali//

Suatu gambaran bahwa si aku lirik adalah orang yang rapuh dan butuh seutas “tali” agar bisa utuh kembali. Namun, di perjalanan kehidupannya, usaha-usahanya menjalani hari disadarinya hanya sebatas mencari harapan yang hilang. Kerapuhan sebenarnya yang dialami si aku lirik yaitu hilangnya harapan yang sebenarnya bisa digunakannya untuk membentuk “tali” agar dia tidak rapuh dan tetap utuh. Kecerdikan yang luar biasa yang ditampilkannya dengan pusaran permainan kata yang sebenarnya hanya ingin mengatakan bahwa harapannya adalah bisa menggapai harapan itu sendiri alias si aku adalah sosok yang berharap dapat menemukan harapannya lagi. Amazing!

Lain dengan itu, ada pula yang menganggap bahwa harapan adalah doa. Artinya, harapan itu sesuatu yang diucapkan dan kemudian diikhtiarkan dengan langkah-langkah nyata. Juga, harapan berasal dari suatu kekuatan motivasi dan dorongan yang sebenarnya membuat seseorang dapat menjadi lebih siap dan memiliki daya juang yang hebat.

//Ina datang membawa harapan/indurasmi datang bawakan renungan/indahnya harapan/indah lagi jikalau kugapai untukmu//nanah di kaki bukan alasan/nestapa kalbu bukan alasan./niatlah yang bawa kesuksesan/nirmala depan ayah bunda//… (Menuju Harapan, M. Wildan Keniansyah, hal. 124)

Atau mungkin, harapan dan berharap merupakan suatu Titik Henti seperti yang dikatakan oleh Salsabila Azzahra (hal. 119). Yang dengan piawainya, penulis membuat si aku lirik menjadi sosok yang sedang berada pada suatu kondisi putus asa. Secara sinis, si aku lirik memandang suatu penantian atas cinta dan kasih sayang yang benar-benar dengan sadar tak akan pernah didapatkannya. Artinya, harapan bagi si aku lirik hanya jembatan untuknya menyatakan apa yang sudah dia tahu hasilnya: nihil.

…//diriku telah berputus asa/mendamba cinta yang tak akan pernah kudapati/sejak selamanya menjadi tak berarti/kukubur diriku dalam genang-genang pilu//…(Titik Henti, Salsabila Azzahara, hal. 119)

Si aku llirik rela mengubur dirinya dalam segenap kepiluan yang dihasilkannya dari mendamba cinta sejak lama. Harapan mendapatkan cinta pupus dan hanya menyisakan perasaan yang tak berarti. Hingga mungkin, kata Menyerah (hal. 114) adalah suatu cara jalan keluar bagi mereka yang telah putus harapan.

//aku kini harus menyerah/sudah kucoba bertahan namun tak kuasa/karenanya aku harus menyerah/besar harapanku untuk dapat bertahan/namun hari tak juga dapat menerima/aku kini harus menyerah/…(Menyerah, Damar Dyandra, hal. 114)

Padahal, ada juga yang beranggapan bahwa menyerah bukanlah satu-satunya jalan keluar ketika suatu harapan sudah kemungkinan kecil didapatkan. Bisa jadi bermimpi dan berusaha mencapai masa depan bisa jadi jawaban sekaligus pemantik yang sangat baik. Segala kepedihan, kehancuran, putus asa, bisa saja dirangkum dalam suatu bungkus harapan yang dibawa kemana pun, termasuk ketika sedang berjalan Meraih Mimpi Masa Depan (hal. 67)

…//aku berharap kelak nanti/saat semua telah terwujud/aku bisa menyebutkan/semua impianku tercapai dengan susah payah//dan kini aku mengerti/bahwa meraih miimpi tak mudah/namun akan jauh lebih sulit lagi/jika aku tak mencoba untuk memulainya// (Meraih Mimpi Masa Depan, Asyifa Nayla Rizkia, hal. 67)

Harapan juga berarti mimpi. Sebagaimana harapan yang akan menjadi motivasi, mimpi bisa jadi ujung pencarian jati diri. Perjuangan dalam meraih mimpi juga memang tak mudah. Perjuangan melupakan masa lalu, kepedihan, hambatan dan cobaan, semuanya menjadi dinamika yang menarik, dan justru kesungguhan dan tekadku/menjadi pendorong utama/untuk mewujudkan impian/yang terpatri dalam cintaku yang rindu.

Se-anxiety dan Se-overthinking itu?

Pada akhirnya, seusai membaca keseluruhan puisi karya siswa-siswa tersebut, kita bisa saja menemukan hal-hal menarik. Pemilihan judul buku itu sangatlah tepat, menurut saya. Persoalannya puisi-puisi yang termaktub secara garis besar merupakan kegelisahan soal kehidupan yang dialami dalam keseharian, tentang persoalan di keluarga, persoalan remaja dengan dirinya, dan juga mengandung harapan-harapan yang begitu luar biasa.

Secara stilistika, bisa juga didapati bahwa pemilihan gaya bahasa pada puisi-puisi mereka sangatlah luar biasa. Walau demikian, banyak juga yang terkesan puisi menjadi tempatnya curhat tanpa ada permainan kata dan bahasa yang di-defamiliarisasi-kan. Jika disebutkan apakah puisi-puisi tersebut sudah mengandung kriteria puisi menurut Shklovski? Saya rasa tak perlu dijawab. Apa gunanya?

Suatu prestasi bagi saya melihat begitu beraninya siswa-siswa melibatkan emosi dan perasaan mereka dengan sejujur-jujurnya dalam bentuk puisi. Sedikit banyaknya unsur stilistika dalam karya mereka adalah upaya luar biasa yang mereka hasilkan dari proses berpikir dan di-mix dengan perasaan mereka yang meluap-luap.

Dalam beberapa puisi, kita bisa melihat banyak di antara mereka memang mengalami tren anxiety attack atau gangguan kecemasan berlebih. Bagaimana mereka memandang dunia dengan pesimistis, mengambil putus asa sebagai jalan keluar permasalahan yang belum tentu benar-benar menekan mereka sedemikian rupa. Mungkin, kengerian, kemuraman, dan ke-gelap-an beberapa karya merupakan hasil olah overthinking mereka terhadap suatu permasalahan. Pada akhirnya mengalami gangguan kecemasan yang seharusnya tidak perlu ada.

Di beberapa kasus, dalam puisi yang lain, ada juga puisi yang benar-benar melibatkan kepercayaan diri. Sangat positif dalam memandang dunia, dengan keyakinan bahwa kehadiran mereka sejalan dengan takdir Tuhan yang melindunginya. Sangat baik, saya rasa. Artinya, beberapa yang terlihat seperti mengalami anxiety attack dan overthinking bisa saja mereka hanya terbawa tren, atau juga sugesti yang dipikirkan sendiri. Atau barangkali, mereka benar-benar mengalaminya dengan sungguh-sungguh, kemudian dengan puisi mereka bisa berlega hati karena perasaan itu bisa ditumpahkan. Seperti kata Ulan Dwi Putriyani:

//Kata adalah nada cara paling sederhana/menggambarkanmu lewat sebuah aliran sungai deras/yang sejuk/membawa ketenangan bagiku saat memandang dan mendengarmu//…(Mencarimu dalam Puisiku, Ulan Dwi Putriyani, hal. 94)

Harapan besar, tak ada lagi remaja yang mengalami depresi, anxiety attack, overthinking, dan gelaja gangguan psikologi lainnya. Solusinya, seperti para penulis hebat di buku Rumah Harapan ini, yaitu dengan cara menuliskan perasaan, pikiran, dan emosinya dalam bentuk puisi. Karena puisi bukan hanya persoalan kata, bahasa, stilistika, tapi juga persoalan manusia dan batas diri sendiri yang juga bisa dilampauinya.

“Of course, the literary is not blueprint to be followed in unmediated social action. But if as teachers of literature we teach reading, literature can be our teacher as well as our object of investigation.”

-Gayatri C. Spivak, Crossing Borders.