Tak terasa, Hans, kita kembali memasuki pergantian tahun. Sebuah fenomena yang berulang-ulang di mana perjalanan-perenungan menjadi serangkaian yang berkelindan-erat dari geliat hidup seseorang. Kemarin lalu pada pergantian tahun 2023 ke tahun 2024 kita sudah memulai bahasan mengenai kerja-kerja apa saja yang akan Halimun Salaka tempuh-jalani di tahun 2024—yang kini telah habis-berganti menjadi tahun 2025. Dengan demikian, bagaimana prosesi kerja Halimun Salaka yang sudah Kuncen Redaksi tempuh selama setahun (2024) kemarin? Apakah semuanya tercapai, ataukah ada yang menemui kegagalan?
Kuncen Redaksi: Pada pergantian tahun 2023 ke 2024 yang lalu, kami mencoba merefleksikan perjalanan Halimun Salaka yang baru mencapai usia 7 bulan. Waktu yang terhitung belia untuk bisa dikatakan “hidup” bila menilik pada laku-kehidupan manusia secara menyeluruh. Mungkin bolehlah kami cukupkan waktu yang sedikit itu untuk sekadar dijadikan wahana permenungan bersama, khususnya bagi kami sendiri yang menjadi sendi-sendi dalam perpanjangan gerak Halimun Salaka. Bila narasi ini ditarik lagi pada satu tahun ke belakang, kami menggambarkan Halimun Salaka sebagai bayi yang baru belajar melangkah. Tentu hal tersebut adalah hasil dari pengalaman berproses yang belum seberapa. Hasil dari permenungan yang tak seberapa itu, yang mengais kumpulan rencana, ternyata (pada kenyataannya) hanya bisa kami jadikan bekal bahan baku guna membikin rancangan jalan yang akan dijadikan pijakan dalam gerak-tempuh Halimun Salaka ke depan.
Kami menyadari betul rencana-rencana yang sebelumnya akan kami tempuh (pada agenda-program 2024) menghadapi banyak tantangan, seperti mencatat sekaligus pengarsipan tokoh-tokoh yang terdapat di dalam nama jalan, di atas makam pahlawan (Bogor), dengan mendata-ulang serta mengungkap kembali biografis tokoh tersebut secara utuh-berurutan itu, akhirnya kami alami sebagai “kemandekan” dalam prosesnya—agar bisa terus kami usahakan walaupun menjadi agenda jangka panjang—dan untuk tak sampai pada istilah “kegagalan.” Namun, dari keriuhan kemandekan rencana fokus awal itu, nyatanya ada beberapa hal yang bisa kami kerjakan pada tahun 2024 dalam memproyeksikan rencana-rencana awal yang mandek itu sendiri. Sebut saja “Serial Ramadhan Berbuka Puisi”, “Surat-surat untuk Bogor”, “Mengintip Bogor Barat” yang sebelumnya tak pernah kami bayangkan sama-sekali (pada rencana tahun 2024) akan menjadi jalan (agenda) yang kami lalui bersama Halimun Salaka.
Sebentar, Hans. Ini cukup menarik. Dari satu rencana katakanlah katalogisasi nama jalan dan tokoh di Bogor yang mandek—untuk tak mau dibilang gagal itu—malahan timbul-berkembang agenda Berbuka Puisi, Surat-surat untuk Bogor, dan Mengintip Bogor Barat yang kiranya tercapai. Coba jelaskan bagaimana prosesi tiga agenda itu timbul, dan mengapa akhirnya tiga agenda itu menjadi jalan yang ditempuh Halimun Salaka pada tahun 2024 kemarin?
Kuncen Redaksi: Perlu kami sampaikan terlebih-dahulu bahwa, kegagalan merupakan akhir dari penghabisan kehidupan, maka dari itu mengapa kami memilih kata mandek dan tak memilih kata gagal dalam menempuh pembelajaran ini. Kiranya hal itu perlu dipahami bersama agar terjalin daya kesabaran-kesadaran dalam menempuh prosesi pemaknaan hidup. Dan perlu kami sampaikan, kemandekannya hanya ada pada agenda-program katalogisasi nama jalan dan tokoh saja, sebab ada sedikit capaian pencatatan peristiwa-kejadian Bogor dari pusaran masanya itu cukup berjalan lancar, dari cerita-cerita Tarumanagara, Pakuan Pajajaran, masa Kolonialisme, sekutu Jepang, dan masa perjuangan kemerdekaan mulai kami cicil, walaupun memang belum seberapa dari kesemestaan cerita panjang Bogor itu sendiri.
Lalu, mengenai terciptanya tiga agenda yang sebelumnya tak pernah kami bayangkan itu pada dasarnya—prosesinya begitu mengalir, ia (agenda berbuka puisi) datang dan hinggap dalam olahan pikiran kami ketika bulan memberi tanda bahwa sinarnya akan memasuki keheningan ramadhan. Bayangan kami tiba-tiba dirasuki persoalan (berbuka) puisi sewaktu memproses kata keheningan dan ramadhan. Singkat cerita, Berbuka Puisi terilhami ketika kami membayangkan dari sekian banyak proses menyantap menu hidangan sewaktu berbuka puasa nanti, kami tergerak untuk ikut menyediakan ruang yang menampung hidangan berupa puisi sebagai teman menyantap takjil. Ditambah, kita ketahui bersama, dunia spiritual-religius sering menghampiri kita pada Bulan Ramadhan: tadarusan, sholawatan, hanca-quran, dan seterusnya. Pembayangan itulah yang entah seperti menuntun kami untuk menyediakan rubrik (serial ramadhan) Berbuka Puisi.
Setelah ramadhan undur diri dan menjeda kembali perjalanannya, sinar bulan kembali memberi tanda pada kami bahwa Bogor akan memasuki refleksi perjalanannya atau katakanlah akan memasuki hari jadi kelahirannya (di bulan juni). Menimbang hal itu kami lalu melihat pengarsipan Bogor yang sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, carilah dengan seksama sejak peringatan Hari Jadi Bogor (HJB) dimulai—sampai sejauh ini sudah dan akan bernomor ke-542—belum (untuk dikatakan sangat kurang) ada arsip pembahasan (catatan bersama) dari tahun ke tahun tentang peringatan HJB itu dari pemerintah khususnya, dan umumnya masyarakatnya terkait Bogor dari peristiwa dan fenomena yang tengah dihadapi serta dilaluinya. Oleh sebab itu, melalui Surat-surat untuk Bogor ini kami berupaya mengolah arsip berupa catatan khususnya, umumnya persoalan harapan, kritik-saran, dan sangat mungkin curahan hati sebagai pengisi ruang “Bogor” agar dapat memperkuat suatu perayaan menjadi bentuk refleksi. Prosesi demikianlah yang mengantarkan ide agenda-program ini akhirnya muncul. Barang tentu ini menjadi manifestasi penting dan menjadi sarana atau media bersuara-bicara dalam rangka memeriahkan HJB itu sendiri.
Selanjutnya, Mengintip Bogor Barat. Persoalan edisi Mengintip Bogor Barat timbul ketika kami yang ditakdirkan lahir dan menetap di Bogor bagian Barat sekaligus sebagai masyarakat bagian darinya tergerak untuk belajar mencatat apa dan bagaimana memaknai segala huru-hara fenomena-peristiwa pemekaran DOB Kabupaten Bogor Barat tersebut secara terbuka, dengan mengajak masyarakat Bogor sekalian yang ingin ikut berpartisipasi menuliskan pandangannya, aspirasinya, tanggapannya, atau bahkan bisa memberikan konsep mengenai apa dan bagaimana sebaiknya wajah Bogor Barat pasca sah menjadi Kabupaten baru. Sebab, kami meninjau bahwa untuk mengatasi permasalahan DOB ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif atau katakanlah riungan diskusi publik secara terbuka dan berkelanjutan dari para elit politik, budayawan, seniman, sejarawan, pegiat alam-lingkungan, serta berbagai elemen masyarakat lainnya tentang seberapa penting pemekaran, untuk apa ada pemekaran, apa dan bagaimana menjalankan pemekaran itu dengan sebaik-baiknya tanpa merugikan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat setempat dan alam-lingkungannya. Masyarakat umum Bogor Barat (bukan hanya masyarakat pihak elit politik tertentu) juga layak dilibatkan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, sehingga aspirasi mereka dapat terakomodasi dengan baik.
Kiranya begitulah ketiga konsep agenda-program itu timbul, yang semula tak pernah kami bayangkan akan menjadi perjalanan kami di tahun 2024. Lalu, kami sampai pada perumusan bahwa agenda Berbuka Puisi dan Surat-surat untuk Bogor akan kami jalani secara berseri-berkelanjutan (semacam agenda-program unggulan) tiap tahunnya ketika menginjak bulan ramadhan dan menjelang Hari Jadi Bogor.
Baiklah, Hans, itu sudah cukup menjawab. Sekarang kita bahas apa dan bagaimana menurut Kuncen Redaksi tulisan-tulisan yang ditampung Halimun Salaka di tahun 2024? Maksudnya, adakah yang paling berkesan bagi Kuncen Redaksi dari tulisan-tulisan yang sudah diterbitkan tersebut?
Kuncen Redaksi: Jika sanggup mengulas semuanya tentu kami akan memilih semua tulisan yang sudah diterbitkan Halimun Salaka. Sebab, semua tulisan yang ditampung-terbitkan Halimun Salaka memiliki pesannya sendiri dan juga kesannya sendiri khususnya bagi pembelajaran kami. Namun jika semuanya kami ulas dan catatkan di sini tentu sangat merepotkan dan cukup panjang untuk ukuran refleksi, ditambah kesanggupan kami kiranya belum mampu mencatatkan semua itu. Maka, kami mencoba merangkum semua tulisan yang sudah diterbitkan di Halimun Salaka pada tahun 2024 itu dengan tiga tulisan pilihan yang sudah kami rumuskan, ditambah ketiga tulisan itu masuk kategori pembaca terbanyak di website halimunsalaka.com.
Pertama, tulisan berjudul Berkisar Kehidupan Puisi olahan Syahruljud Maulana. Di dalam tulisannya itu, kita dapat belajar memusat dan memperluas kembali apa makna puisi, apa makna hidup, apa makna penyair, dan apa makna fenomenologi memandang karya di samping perjalanan hidup. Syah menguraikan, bagaimana seorang yang menulis puisi itu telah dianugerahi hasrat senantiasa bergerak, berjalan, mengalami dan terlibat. Ia juga menawarkan pandangan ke titik mula puisi, dengan menimbang bagaimana mempersyarati diri dan meninjau apa niat puisi di antara niat kebudayaan, niat sosial, niat menyenangkan orang, niat menemani orang, dan seterusnya. Setelah itu, kita juga ditawarkan bagaimana berbagai macam jenis puisi: dari puisi kesusastraan, puisi kesenian, puisi kebudayaan, puisi peradaban, dan puisi kehidupan, lalu menimbang jika kita memiliki berkesadaran puisi atas kebudayaan, maka otomatis pula timbul kesadaran sosial dan kesadaran masyarakat, untuk itu kita harus menguasai kesenian, wawasan estetika, memandang dunia dari segala jurusan, dan lain-lain.
Dengan meninjau tulisan Berkisar Kehidupan Puisi, kami rasa, nuansa kehidupan puisi itu sendiri bisa kita tarik ke persoalan diri kita masing-masing, masalah hidup kita masing-masing, dan sangat mungkin pencarian hidup kita masing-masing. Sebabnya, entah mengapa, kami melihat puisi bukan sekadar jenis karya yang terhimpun dalam kategori karya sastra, lebih jauh dari itu kami bayangkan puisi sebagai wahana perjalanan-perenungan apa dan siapa saja, terlepas ia manusia berjenis apa—kehidupan puisi secara universal serasa menawarkan, menuntun, bahkan menjembatani atas penempuhan hidup itu sendiri: sebagaimana nilai dan cara kitab suci membimbing, kiranya puisi lebih dekat dengan dimensi spiritualitas-moralitas, penempuhan dialektika-logika, dan seterusnya, yang berada di dalam kitab suci itu sendiri. Dan jika membaca tulisan Syah, kiranya bisa diperluas ke hal-hal yang kami uraikan tersebut. Sangat mungkin juga untuk meninjau ulang apa guna puisi di dalam hidup kita dewasa ini yang serba cepat dan kian berjarak. Bahkan bisa kita telusuri ulang apa hakikat puisi, sastra, dan kesenian di lapangan hidup dewasa ini: di dalam sejarah, di dalam kebudayaan, di dalam pencarian-kemungkinan hidup, dan atau sesuka pembaca juga boleh.
Kedua, tulisan berjudul Jika Diserojakan Menjadi Wali Kota Bogor, Eh Memangnya Boleh? olahan Fahriza Nugraha. Fahriza dalam tulisan tersebut membayangkan dirinya jika menjadi Walikota Bogor, dengan tinjauan-bahasannya bagaimana Kota Bogor selain menjadi gelanggang sejarah yang mengais berbagai kenangan-peristiwa di dalamnya, tengah menjadi arena fenomena-konflik perkembangan-kemajuan yang kini berlangsung. Sebagaimana ia membahas mengenai takdir Kota Bogor sebagai kota peristirahatan dan sejarah, tapi para penghuninya bahkan dari masa ke masa selalu tidak mengindahkan hal itu. Ia menelusuri juga bagaimana Walikota sebagai sosok penggerak pun malahan sibuk mengurus program-program kekinian yang entah untuk siapa—atau hanya ingin memanjakan dan mengenyangkan perut para investor dan pelaku bisnis besar yang memiliki saham di Kota Bogor, ditambah banyaknya konflik cagar-budaya yang telah diruntuhkan demi keuntungan sepihak.
“Jika diserojakan menjadi wali kota Bogor”, ia sebetulnya sedang memberi kritik terhadap Wali Kota dengan cara mengandaikan dirinya yang kelak jadi Walikota yang asyik lagi kreatif. Bagaimana tidak, dengan jargonnya “Bogor Menyender” ia tengah melakukan akselerasi kritis terhadap jargon yang sudah tersemat pada Kota dengan jargon “Bogor Berlari” yang ia anggap malah lari dari persoalan-persoalan kota itu sendiri.
Membaca kembali tulisan Fahriza Nugraha menjadi salah satu pilihan wahana permenungan di awal tahun ini. Pembaca diajak masuk ke dalam kehidupan sebagai pemimpin di samping menjalani hidup sebagai masyarakat pada umumnya, yang mestinya mulai dilayani dengan se-asyik-asyiknya, sehormat-hormatnya. Sebab kamu Bogor, silakan Berlari, tapi jangan lupakan kami yang toto tentrem karta raharja “menyender” di balik pengharapan.
Ketiga, tulisan berjudul Menziarahi Tan Malaka, Si Idealis yang Sampai Mati Kesepian olahan Tenu Permana. Di dalam tulisannya, Tenu membahas perjalanannya untuk “bertemu” dengan Tan Malaka. Betul, dia mendatangi atau menziarahi makam Tan Malaka yang terletak di Kediri. Menurutnya, makam itu benar-benar merepresentasikan kehidupan Tan Malaka; sepi, terasing, dan jauh dari pusat perhatian. Dalam pengembaraannya, gejolak Tenu dituliskan dengan sangat jujur dan tanpa pretensi melebih-lebihkan kekagumannya pada sang idola. Betul! Tenu, dilihat dari tulisannya, memang mengidolakan Tan Malaka dan cukup sadar untuk mempelajari dan mengilhami warisan Tan Malaka untuk dirinya dan mungkin pergerakannya. Pada tulisan itu, Tenu seperti menginginkan pembaca untuk menjadi lebih penasaran tentang Tan Malaka yang menurut buku yang dibaca Tenu, kematian Tan Malaka tidak dikabarkan dan dirahasiakan selama bertahun-tahun.
Dengan membaca tulisan dari Tenu tersebut, para pembaca dibawa pada pemikiran terkait ada apa, kenapa, dan bagaimana peristiwa “eksekusi” Tan Malaka yang dilakukan seorang prajurit atas perintah Letda Soekotjo. Meskipun jelas disebutkan dalam buku tersebut bahwa benar tentang kejadian pengeksekusian Tan Malaka, namun pembaca dibawa pada pertanyaan bagaimana kondisi eksekusi saat itu? Apakah sama dengan eksekusi yang dialami Che Guevara, yakni saat Che melontarkan kata-kata terakhir yang masih terngiang sampai hari ini, jauh dari masa kematiannya: “Tembak! Anda hanya akan membunuh seorang pria!” Apakah kejadian eksekusi saat Tan Malaka ditembak oleh prajurit bernama Suradi Tekebek itu, Tan Malaka melontarkan sesuatu? Yang pasti menurut Tenu, kematian Tan Malaka yang sangat dirahasiakan–konon atasan tentara waktu itu tidak mengetahui peristiwa ini sehingga tidak ada pelaporan kematiannya di tubuh tentara, tidak diiringi oleh tangisan ribuan orang ketika mengiringi kematian Satre. Dan memang, yang dirindukan sebenarnya adalah manusia-manusia yang perjuangan dan pemikirannya untuk bangsa ini mirip seperti revolusionernya Tan Malaka terhadap bangsa Indonesia, meskipun dia akhirnya mati di tangan orang-orang yang diperjuangkannya. Mungkinkah, pembaca adalah salah-satu orangnya?
Lalu, bagaimana agenda-program Halimun Salaka di tahun 2025 ini, Hans? Apakah akan bertambah atau akan melanjutkan yang mandek dan yang sudah dilakukan pada tahun sebelumnya?
Kuncen Redaksi: Tentu, kami sudah merumuskan agenda-program Halimun Salaka pada tahun 2025 ini. Kami membagi dua kategori: pertama, proyek jangka panjang. Kedua, proyek jangka pendek berkelanjutan. Proyek jangka panjang meliputi agenda-program Katalogisasi Nama Jalan & Tokoh (yang berkaitan dengan Bogor dan yang sempat mandek) dan Katalogisasi Perjalanan Sejarah Surat-Kabar di Bogor. Lalu, Proyek jangka pendek berkelanjutan meliputi: Berbuka Puisi, Cerita Bersambung Tim Redaksi, Surat-surat untuk Bogor, dan Konservasi Halimun Salaka (seri diskusi rutin menyoal: sastra, budaya, dan sejarah).
Terkait hal ini, jangan berpikir bahwa proyek-proyek di atas adalah proyek yang akan kami laksanakan. Kami justru menginginkan bahwa proyek-proyek yang kami canangkan dan kejar di tahun ini adalah semacam tema untuk bisa digarap oleh siapa pun, bersama kami. Jelas, bahwa kami akan melaksanakannya, dengan atau tanpa pendanaan atau donasi dari siapa pun. Sejauh kami masih bisa melakukannya dengan didukung oleh teman-teman pembaca sekalian, yang selalu setia menunggu tulisan dari kami, proyek-proyek itu tetap akan kami laksanakan, walaupun akan cukup lama dan sangat mungkin jauh lebih lama dari pembaca harapkan.
Jika ditanya di bagian apa teman-teman pembaca bisa berkontribusi? Kami akan jawab di bagian mana saja, di proyek yang mana saja, terbuka dan bisa dijangkau siapa pun. Tentu saja, teman-teman pembaca jangan mengharapkan imbalan atau honorarium untuk saat ini. Semua kerja kami semua tergolong ibadah atau lillahi ta’ala di jalan literasi dan bahan bacaan, yang mana kami sering (dan senang) menyebutnya: proyek kenabian. Namun, kadang-kadang ketika kami punya sedikit banyak rezeki, melalui salah-satu agenda sayembara atau semacamnya—kami menyediakan apresiasi bagi para penulis yang ikut dan tentu yang terpilih pada agenda sayembara tersebut. Intinya, teman-teman pembaca bisa berkontak-ria dengan kami di email redaksihalimunsalaka@gmail.com atau di Instagram halimunsalakadotcom untuk informasi lebih lanjut terkait keikutsertaan dengan proyek yang akan kami jalani tahun 2025 ini.
Sebagai penutup, Hans, silakan berikan kesan-pesan tahun 2024 kemarin sekaligus ucapan terima-kasih kepada Kawan Hans yang lain, yang sudah berkenan ikut berkontribusi, membantu, mengkritik, memberi kesan, dan membersamai Halimun Salaka dalam perjalanannya di tahun 2024!
Kuncen Redaksi: Singkat saja, bahwa kami dari segenap redaksi platform literasi Halimun Salaka mengucapkan selamat tahun baru 2025. Dengan segenap kerendahan hati kami juga berterima kasih kepada seluruh elemen yang selalu mendukung kegiatan dan eksistensi kami: para pembaca budiman yang setia, para kontributor yang kece, para komunitas mitra, kawan-kawan seperjuangan yang selalu dalam asap rokok dan seteguk kopinya selalu memberikan ide dan gagasan bagi keberlangsungan Halimun Salaka sampai saat ini. Kami juga menyadari bahwa Halimun Salaka bukanlah media resmi (baca: tercatat di Dewan Pers), kami hanya semacam platform literasi yang menyediakan bahan-bahan bacaan bagi kawan-kawan yang membutuhkan. Suara-suara yang ada di sini kadang tidak berarti, tidak didengar, bahkan mungkin sering diacuhkan oleh siapa pun. Namun, dengan besar hati bahkan besar kepala, kami yakin bahwa ruang-ruang yang mempublikasi kritik, saran, karya, dan ide/gagasan harus tetap ada bagi siapa pun. Kadang, orang-orang kesulitan jika ingin bersuara dan mengabarkan suatu ide/gagasan berbentuk tulisan. Kami adalah platform literasi yang bisa kawan-kawan manfaatkan, mulai dari memuat karya kritik, catatan budaya-sejarah, sastra, fotografi, esai peristiwa, dan lain sebagainya, bahkan sampai menjadi mitra diskusi, partner kegiatan, dan teman ngopi.
Harapan kami di tahun 2025 jelas tidak jauh dengan tahun 2024 yang penuh berkah, silaturahmi, dan meninggalkan jejak-jejak baik bagi kawan-kawan pembaca Bogor, juga bagi pembaca umum. Kami harap yang selama ini membersamai kami, semoga akan terus menjadi teman, pengingat, pengkritik, bahkan lawan debat atau bertukar pikiran. Bahkan, kami mengharapkan bahwa kawan-kawan bisa mengenalkan kami atau mengenalkan temannya pada kami agar silaturahmi semakin luas, lawan debat semakin banyak, dan kita tumbuh bersama dengan sehat secara jasmani-rohani dan akal-pikiran. Selanjutnya, di akhir tulisan ini dan di awal tahun 2025 ini, kami mengucapkan bahwa awal baru telah dimulai seiring kedatangan tahun baru yang kami prediksi dan proyeksikan akan penuh dengan tantangan, rintangan, dan keseruan. Semoga saja.***