Sabtu malam, 31 Mei 2025. Kota Bogor belum mandi, tapi awan sudah menggumpal. Hujan pun turun berserakan, seperti perasaan yang sejak lama tak diungkapkan. Seperti sarkasme Tuhan atas kota yang sibuk membersihkan diri dari rakyatnya sendiri. Dan di situlah kami, dengan kepala-kepala basah, berkumpul di Taman Corat-Coret—tempat yang namanya saja sudah cukup menjelaskan bahwa ini bukan taman bersih. Bukan taman protokol. Bukan taman yang disukai pejabat.
Di tempat seperti inilah kami hadir. PRL.Core—Pemuda Ramah Lingkungan—bersama Pasar Gratis Bogor, Lapak Baca Bogor, Bogor Calling, dan teman-teman dari Trapped Show dan Stoic Farm, turun bukan untuk membuat revolusi, tapi menghidupkan sesuatu yang telah lama mati dalam kota: Bersua. Menebar tikar. Menyusun pakaian. Membagi makan malam. Memutar suara dari ujung laptop ke speaker rakitan.

Bukan untuk memamerkan kebaikan, tapi untuk menunjukkan bahwa hidup bisa berlangsung tanpa bayar. Tanpa berpikir cuan. Tanpa harus tunduk pada tangan-tangan kapital.
Kami Tidak Sedang Membuat Acara
Mari kita jujur: kota ini lebih suka taman yang kosong ketimbang penuh anak muda yang baca buku. Lebih senang skatepark yang rapi daripada yang ramai. Sebab kota ini dirancang sebagai etalase, bukan halaman rumah. Tak boleh ada jejak. Tak boleh ada serikat. Tak boleh ada marah dan resah yang saling terikat.
Itulah kenapa polisi datang malam itu. Bukan karena kita rusuh. Tapi karena kita ada. Kita hadir tanpa izin. Tanpa jatah. Tanpa kontrak. Kita menyebut ini okupasi ruang. Dan bagi kota yang lebih percaya pada tata tertib ketimbang rasa hidup, kehadiran semacam itu lebih berbahaya daripada kriminalitas.
Mereka bilang: jam malam.
Kami bilang: ini ruang publik, bukan ruang sidang.
Tapi tetap saja: yang gratis harus bubar. Yang hidup harus pindah. Kota ini rupanya trauma pada manusia. Ia lebih akrab dengan lampu taman dan LED besar sepanjang jalan. Ruang publik, meski terdengar inklusif, seringkali hanya terbuka untuk aktivitas yang dianggap aman, steril, dan sesuai jam operasional.
“Setiap kota punya wajah ganda,” tulis sosiolog kota David Harvey dalam Rebel Cities (2012) “Satu sisi dibangun oleh negara dan pasar, sisi lain dibentuk oleh mereka yang berani menantang batasnya.”
Dan malam itu, PRL.Core dan kawan-kawan memilih menjadi penantang. Kami tahu bahwa membagi makanan dan pakaian di taman kota mungkin tidak tercantum dalam RPJMD atau visi misi wali kota. Tapi kami juga tahu, kota ini telah lama kehilangan ruang. Terlalu banyak orang yang tak lagi punya tempat—tempat untuk hidup dengan layak. Untuk mengekspresikan diri tanpa takut. Bahkan sekadar untuk duduk diam tanpa harus membeli kopi.
Kami melihat sendiri bagaimana ruang-ruang publik makin disulap jadi ruang jual-beli. Taman menjadi showroom. Trotoar menjadi etalase. Ruang terbuka hanya dianggap berhasil jika bersih dari manusia yang tak mampu berbelanja. Padahal, bukankah kota seharusnya dibangun bukan demi estetik, tapi demi hidup yang setara?
Mengapa Okupasi?
Bagi kami okupasi adalah hak, bukan pelanggaran. Sebuah cara untuk mengambil kembali kota yang terlalu lama dijalankan dengan ketakutan: takut gelandangan. Takut kebisingan. Takut ketidakteraturan. Maka ketika para keparat datang malam itu dan menyarankan agar acara dihentikan karena alasan “jam malam,” bukan amarah yang kami hadirkan, tapi siasat.
Kami lipat tikar. Kemas pakaian. Dan geser speaker. Kami bergerak. Dari Taman Corat-Coret ke Skatepark Sempur. Karena bagi kami, okupasi tak melekat pada titik koordinat. Ia tentang keberlanjutan hidup yang tak pernah direstui kekuasaan.
Sejarah okupasi bukan hal baru. Di berbagai belahan dunia, okupasi ruang publik telah menjadi bentuk perlawanan yang senyap namun bermakna. Dari taman-taman yang diduduki para mahasiswa Mei 1968 di Paris, hingga Occupy Wall Street di Zuccotti Park, semua lahir dari keresahan yang sama, bahwa ruang telah dijajah oleh sistem yang hanya peduli pada laba, dan tidak lagi mengenal kata “kebutuhan bersama.”
Dalam konteks lokal, okupasi ini menyampaikan sesuatu yang lebih dalam. Kota Bogor, yang dulunya dikenal sebagai Buitenzorg—“tanpa kekhawatiran”—kini menjelma jadi kota dengan banyak larangan. Kota yang nyaman untuk wisata. tapi kerap tak ramah bagi warganya sendiri.
Dari kenyataan itulah kami bergerak. Kami—Prl, Pasar Gratis Bogor, Lapak Baca Bogor, Bogor Calling—tidak bercita-cita menjadi organisasi. Kami malah menolak menjadi satu-satunya. Yang kami inginkan justru sebaliknya. Agar metode ini menjamur. Menular. Menjadi virus yang tak bisa dibasmi dengan razia. Patroli. Atau spanduk-spanduk larangan.
Kami terinspirasi dari gerakan-gerakan akar rumput yang tumbuh liar. Yang tak minta dana. Tak tunggu SK. Tak butuh viral. Kami sadar apa yang kami lakukan ini kecil. Tapi dalam dunia yang memonopoli segala yang vital, sekecil apapun bentuk hidup bersama itu adalah ancaman nyata bagi tatanan.
Dan itu cukup. Karena seperti yang kami percaya sejak awal: kami tidak mencari massa besar, tapi jaringan. Sebab kami tidak ingin menjadi besar. Kami ingin menjadi banyak. Karena yang membuat rezim takut bukan satu organisasi besar, tapi seribu kelompok kecil yang tak bisa dipetakan. Tak bisa dipetakan. Dan mustahil diadu-dombakan.
Dan jika kota ini tetap memusuhi kami, maka kami akan terus datang. Bukan untuk melawan, tapi untuk membuat kota ini sadar: yang gratis itu bukan ancaman. Yang liar itu bukan kriminal. Yang hidup itu tak bisa disterilkan.