dok. AI
Sebenarnya sudah sering saya rewel terhadap rencana pemerintah—yang akan datang—terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen ini. Sebagai pekerja informal, lebih tepatnya pedagang buku, saya mengalami apa itu PPN dan selalu rungsing dibuatnya. Plus sebagai rakyat kelas menengah ke bawah kian ndlosor, saya terdampak-ditimpa oleh dan atau demi target pertumbuhan ekonomi, tetapi kesenjangan ekonominya dibiarkan lebih timpang. Hal ini tentu kontradiktif bagi pertumbuhan ekonomi, malahan justru akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat yang tengah berjuang dengan 1001 cara mengatasi kesulitan ekonomi.
Sejak jualan buku online di “toko-ijo”, saya uring-uringan setiap ada mekanisme terbaru untuk seller, sebab itu berarti lebih banyak menguntungkan buyer. Pertama, kegembiraan buyer lebih penting daripada menjaga stabilitas seller. Kedua, kebangkitan daya beli konsumen lebih utama daripada mengurus kesejahteraan pedagang. Ketiga, setiap ada kebijakan atau mekanisme baru selalu mengacu pada buyer daripada seller. Inilah gambaran rata-rata ilmu finansial marketplace-marketplace yang didukung penuh oleh seperangkat teknologi, tapi tidak mengerti konstelasi sosiologi manajemen dan tidak memahami kesetaraan multidimensi antropologi budaya finansial.
Ekonomi saya adalah ekonomi bergerak. Ora obah ora mamah. Tidak posting buku tidak ada pemasukan. Laporan pendapatan harian saya, ada atau tidak, sedikit atau banyak, selalu saya cukup-cukupin, tambah-tambahin dengan rasa syukur tak jemu-jemu. Bahkan, sering saya mark-up sendiri agar menjadi kenikmatan hidup. Menjadi wajarlah apabila saya, plus sebagian pedagang buku lain, selalu rekoso dalam kulakan, karena siap atau tidak siap modal harus disiapkan, demi hunting berburu buku, lalu membelinya, membersihkan kembali, dan posting: tinggal pesan, packing, kirim kemudian. Sederhana memang kalau di media sosial, seperti Instagram maupun Facebook.
Tetapi menjadi lain bila ditinjau dari “toko-ijo”, ini maksudnya sebuah platform e-commerce yang semestinya berlaku untuk menjembatani antara seller dan buyer. Sekaligus sebagai sarana jual-beli di tengah warga-net. Namun, pada kenyataannya, ia menelan, menghisap, dan menilep pendapatan dari seluruh seller. Sementara, ia tidak tahu betapa capeknya udar-ider seharian dalam mencari buku, setelah itu posting pakai kuota sendiri, dan dengan terpaksa pula saya menaikkan harga jual sedikit lebih tinggi untuk menyesuaikan potongan-potongan dari biaya layanan atau PPN. Margin sudah tipis, disedot habis-habisan pula. Beginilah cara kerja kapitalisme modern yang umum, bebas, dan terselubung.
Dari jualan di “toko-ijo”, saya mengalami sekian banyak diporoti dan dipalak setiap-kali produk terjual, tapi tanpa tedeng aling-aling saya telah menuruti semua mekanisme terbarunya, semisal: biaya layanan semula 4 persen, naik menjadi 6 setengah persen, naik lagi menjadi 8 persen, naik terus sampai 10 persen, dan nanti akan naik lebih tinggi menjadi 12 persen. Ditambah lagi soal kuota produk semakin dibatasi, jadi kalau melebihi batas maka tidak bisa menambah produk baru, alias tidak bisa posting buku. Sekarang semua pesanan baru yang masuk sudah secara otomatis diterima, tanpa perlu seperti dulu melakukan klik “terima pesanan.” Dan harus “siap dikirim” selambat-lambatnya dalam tempo 24 jam semenjak pesanan diterima, sehingga kalau telat dari waktu yang telah ditentukan ini, maka pesanan akan batal otomatis dan feedback toko juga menurun drastis.
Kalau dilihat dari skema rincian penghasilan, sebermula total penjualannya sekian, lalu dipotong biaya layanan (keanggotaan toko), dipotong biaya promo, dipotong biaya layanan bebas ongkir, dipotong subsidi toko-ijo, dipotong kupon pemberian toko, dan ini semua menjadi rangkaian PPN: “pemotongan-pemotongan nilai” yang total akhirnya baru akan diterima sebagai penghasilan saya. Biaya layanan ini adalah biaya yang dikenakan pada setiap pesanan yang diselesaikan, berdasarkan persentase yang berbeda untuk setiap sub-kategori produk terjual. Biarpun demikian saya masih beryukur, karena pada akhirnya, dan mula-mula hidup saya lebih banyak dibiayai “doa” dan dibekali “bismillah” yang turah-turah.
Bahkan, seluruh tagihan bulanan kita, baik online maupun offline, wajib termasuk pajak sebesar, katakanlah sekian. Misalnya kalau online, membayar tagihan bulanan gmail, beserta pajaknya. Sedangkan kalau offline, segala hal kebutuhan rumah tangga atau konsumsi hidup keseharian kita tak satupun luput dari biaya PPN. Apapun yang dibelanjakan oleh masyarakat, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, harus mematuhi dan menuruti aturan PPN-nya. Inilah mengapa kenaikan pajak perlu dikaji ulang. Sudah terlalu banyak menarik pajak, tapi ternyata tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat. Melainkan cuma percuma.
Sementara, para penjaja makanan maupun jajanan, tidak berani menaikkan harga jual setiap porsinya. Karena khawatir pelanggan akan pindah ke lain tempat dan sepi pengunjung. Meski harga bahan baku-bahan pokoknya kian melambung tinggi, maka mungkin dengan legowo atau ketidaktegaan hatinya, sehingga lauk-pauk dan porsi sedikitpun tak bisa dikurangi. Inilah kenapa kenaikan PPN, meski hanya 1 persen perlu pertimbangan. Dan sekarang rakyat ramai-ramai menolak. Lebih baik terlambat, daripada tidak. Sebab, seharusnya ilmu ekonomi modern atau ilmu pendapatan Negara, mampu melihat potret sosial yang dibidik dengan keluasan lingkar pandang. Melihat konteks dengan berbagai faktor dan variabel konteks lainnya. Sejauh ini mereka selalu melihat dengan kaca mata generalisasi, alhasil potensi mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya bagi masyarakat. Pun tidak bisa membedakan mana pedagang kecil mana pengusaha besar. Masak kalah canggih dengan pertamina yang telah menerapkan soal pengguna BBM pertalite maupun solar dengan ketentuan syarat-cara beli berdasar taraf ekonomi hidupnya.
Bagaimana akan bisa meyakinkan rakyat bahwa kenaikan PPN ini untuk peningkatan pendapatan Negara, pembiayaan infrastruktur, pengurangan ketergantungan pada hutang Negara, peningkatan program sosial, efek jangka panjang untuk ekonomi, menciptakan lapangan pekerjaan, apalagi sebagai bentuk partisipasi rakyat pada program-program dan proyek-proyek pemerintah, sedangkan pemerintahannya tidak pernah mendengarkan aspirasi rakyat, sehingga otomatis pula capaian-capaian dan target-target untuk mensejahterakan rakyat yang lebih berkelanjutan ini menjadi tidak pernah terwujudkan. Harapan tinggal harapan. Sekedar angin lalu.
Bukan kita enggan membayar pajak, melainkan karena kenaikan PPN terasa berat bagi masyarakat. PPN mungkin dapat meringankan Negara, tapi pada saat yang bersamaan, juga menambah beban rakyat. Lihatlah, kesengsaraan rakyat terjadi disekitarnya, dalam menjalani kehidupan ekonomi yang timpang dan sulit ini. Karena saya sama dengan rakyat kecil yang melekat dengan kesulitan, maka seharusnya pemerintah tidak hendak membawa kita ke dalam kesulitan lebih sulit lagi. Melalui tulisan inilah petisi saya. Masih ada waktu buat pemerintah membatalkan kenaikan tarif PPN. Masih banyak waktu buat rakyat menertawakan nasib dan lika-liku hidup sendiri. Sebelum pada akhirnya, bahasa rakyat yang mungkin dapat mereka pahami adalah amarah dan menuntut, yang kita terjemahkan sebagai kasih-sayang kemesraan yang bernama kemanusiaan.
25 November 2024
Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.