ilustrasi: @alanwari
Judul di atas sesungguhnya adalah tatanan sintaksis yang pernah dibuat oleh Raymond Carver atas cerpennya yang berjudul What we talk about, when we talk about love? (Apa yang kita bicarakan, ketika kita membicarakan tentang cinta?, yang lalu kami ganti kata love/cinta-nya dengan kata Bogor). Ketika Kawan sekalian membaca judul semacam itu, pasti yang terbayang adalah suatu cerita yang penuh dengan deskripsi, tentu saja dalam hal ini adalah cinta.
Namun, lebih jelasnya judul yang kami kutip dari cerpen Carver itu mengisahkan tentang empat orang yang sedang minum-minum cantik di suatu senja, dan saat itu mereka membicarakan soal hubungan asmara mereka. Juga, mereka membicarakan tentang segala hal mengenai cinta. Mulai dari cinta sejati, cinta-cintaan, wujud cinta, dan yang paling utama adalah perspektif mereka tentang cinta, tentu yang dipengaruhi oleh pengalaman cintanya di masa lalu. Selain itu, cerita itu juga memuat apa yang mereka harapkan tentang cinta di masa depan.
Sedangkan judul yang kami buat hendak mengacu pada serangkaian ajakan untuk Kawan sekalian menuliskan Surat-surat untuk Bogor melalui kerangka cinta itu sendiri. Sebab, menurut hemat kami, dengan melalui cinta, kita bisa membicarakan tentang Bogor dari perspektif yang cukup meluas sesuai metode masing-masing, sesuai apa yang termaknai dalam diri mengenai cinta itu sendiri.
Persoalan cinta di sinilah yang hendak kami tuju, agar dapat mendobrak suatu bahasan menyangkut Bogor: bisa dari wahana cinta akan biografisnya, geografisnya, persoalan ekonominya, psikologi dan sosialnya, politiknya, kulturnya, manusianya, atau apa pun saja sesuai dengan pengalaman serta harapan-impian kita tentang Bogor ke depannya, tentu melalui sudut, gerak, jarak-jangkauan pandangan kita masing-masing.
Atau bisa dibilang ini serupa spirit “Symposium”. Tapi perlu dicatat terlebih dahulu bahwa arti harfiah dari kata ‘symposium’ di sini merupakan “pesta minum-minum bersama untuk merayakan sesuatu”, meminjam kutipan Plato dalam buku “Symposium”-nya, yang menceritakan tentang pesta minum bersama untuk merayakan seorang sastrawan bernama Agathon.
Di antara para peserta yang menyampaikan pandangan-pandangannya mengenai “cinta”, ada satu orang yang pidatonya menarik perhatian para hadirin, seorang yang bernama Aristophanes. Hampir semua peserta memang berbicara dan pada umumnya menganggap bahwa persoalan “cinta” adalah “Dewa Agung”.
Si Aristhophanes itu menceritakan sebuah dongeng bahwa semula, manusia itu berbentuk bulat dengan empat tangan dan empat kaki. Tetapi kemudian dewa Zeus membelahnya menjadi dua. Karena itu, “Cinta” adalah suatu hasrat kerinduan dari masing-masing belahan badan tersebut untuk “re-uni” dengan belahan roh. Lalu, apa hubungan semua itu dengan Bogor?
Baiklah kami rasa cukup pengantar studi kasusnya. Mari simpan sejenak nuansa cerpen Carver dan mitologi olahan Plato di atas untuk sekadar berpikir ke depan: “apakah kita sebagai masyarakat Bogor bisa “re-uni” dalam menghimpun olahan catatan cinta bersama untuk Bogor, yang puncaknya akan kita hidangkan tepat pada momentum Hari Jadi Bogor?
Sebab, dalam rangka Hari Jadi Bogor (HJB) yang ke-542 nanti (3 Juni 2024), Halimun Salaka mencoba membuka ruang untuk kita bersama-sama membicarakan Bogor dalam catatannya masing-masing, lebih khusus tentang pengalaman-kenangan kita terhadap Bogor serta harapan-impian kita menyangkut Bogor. Catatan itu akan kami tampung di website halimunsalaka.com dimulai dari tanggal, 3 Mei 2024 sampai tanggal 30 Juni 2024.
Mengenai kerangka isi tulisan itu bisa diwujudkan dalam bentuk nuansa cinta dalam gunjingan, cinta dalam kerinduan, cinta dalam pembangunan, cinta dalam cita-cita, cinta dalam hinaan, cinta dalam sejarah-budayanya, bahkan tanda “cinta” apa saja atas perjalanan panjang Bogor, atau ketika membersamai Bogor, yang jelas sekali lagi, puncaknya akan terhimpun (entah output-nya akan berbentuk buku cetak atau digital, masihlah dalam proses perumusan bersama) tepat pada ulang tahun Bogor tercinta kita ini.
Ajakan di atas tentu tak asal hadir begitu saja dalam benak kami. Prosesinya tereaksi ketika, kami melihat pengarsipan Bogor yang sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, carilah dengan seksama sejak peringatan HJB dimulai — sampai sejauh ini sudah dan akan bernomor ke-542, adakah arsip pembahasan (catatan bersama) dari tahun ke tahun tentang peringatan HJB itu dari pemerintah khususnya, dan umumnya masyarakat kita terkait Bogor dari peristiwa dan fenomena yang tengah dihadapi serta dilaluinya?
Entahlah. Kami belum dapat menemukan jawabannya. Atau jangan-jangan memang tak ada kerja pengarsipan bersama serupa itu dari pihak pemerintahan dan masyarakat kita? Lepas ada atau tidaknya kemelut pengarsipan itu, kami rasa sudah waktunya kita memulai apa yang luput dari perjalanan panjang kita merumuskan Bogor, sudah waktunya kita (setiap tahunnya, tepat di setiap peringatan HJB) menuliskan kenangan, peristiwa, dan impian kita menyangkut Bogor.
Dan kami rasa persoalan demikian, arsip berupa catatan khususnya, umumnya persoalan harapan, kritik, dan bahkan mungkin curahan hati sebagai pengisi ruang “Bogor” akan memperkuat suatu perayaan menjadi bentuk refleksi. Prosesi demikianlah yang mengantarkan ide program ini akhirnya muncul. Barang tentu ini menjadi manifestasi penting dan menjadi sarana atau media bersuara-bicara dalam rangka memeriahkan HJB itu sendiri.
Namun, perlu juga kawan-kawan sendiri pahami bahwa, kami Halimun Salaka, tentu tidak bisa melakukannya sendirian. Gema suara kami adalah suara kecil yang mungkin tak terdengar, juga mungkin Kawan-kawan merasa juga demikian. Maka, dengan segala kerendahan hati dan optimisme yang tinggi, kami mengajak Kawan-kawan semua untuk bersama-sama menyuarakan dan membicarakan tentang Bogor kita tercinta.
Bentukan baru ini mungkin akan lebih bermakna secara reflektif bagi pembaca, atau mungkin bagi siapa pun termasuk pemerintah dan masyarakat Bogor. Kami percaya bahwa suara-suara sayup dari setiap wilayah tempat kita berdiam dan beraktivitas, jika dilakukan secara bersama-sama, masif, dan dengan tekad kuat, akan menghasilkan gema-riuh yang membuahkan sifat-sifat reflektif dan evaluatif pembelajaran bersama.
Suara dan pembicaraan ini diharapkan benar-benar menjadi suara rakyat, lahir dari pengalaman dan pengetahuan kita selama mendiami Bogor itu sendiri. Yupsss! Mengenai informasi lanjutan, sedang kami kerjakan surat undangan untuk Kawan sekalian, agar terselenggara riungan silaturahmi kita bersama terlebih-dahulu, yang muatannya tentu akan membahas secara rinci-mendalam terkait surat-surat untuk Bogor tersebut akan seperti apa dan bagaimana.
Akhir kata, kita kembali pada judul catatan ini bahwa, “Apa yang kita bicarakan ketika kita membicarakan tentang Bogor?” bisa menjadi mula dari hal-hal yang bisa kita ungkapkan secara bebas, sopan, dan kritis untuk kita sendiri sebagai bagian dari Bogor itu sendiri.
Salam Padamu, Saudaraku!
…
Tertanda,
Musyawarah Kuncen Redaksi
Halimun Salaka
Pada suatu waktu menziarahi Bogor: ruang hidup telah kembali ke akar dan kembali ke sumber!
komentar (0)