Sekitar Hari Jadi Bogor

dok. Hanjuangbodas (lukisan Simbah Eman)


Hari jadi, dalam kaitan apapun juga, menyangkut masalah identitas. Suatu Pemerintahan Daerah yang berkedudukan otonom merupakan suatu “pribadi” dalam jaringan pemerintahan negara kita. Dalam kedudukan otonom itu ia harus membedakan dirinya dari otonom yang lain, ibarat anggota suatu keluarga memiliki nama dan pribadi masing-masing. Nama dan pribadi itulah identitasnya. Salah satu identitas Bogor yang cukup dominan di Jawa Barat ialah latar belakang sejarahnya karena di Bogor inilah terletak Ibukota Pajajaran dan Siliwangi pernah hidup dan memerintah. Dua serangkai ini, Pajajaran dan Siliwangi, merupakan salah satu kebanggaan masyarakat Jawa Barat. Tak perlu diperinci, lembaga atau tempat megah apa saja yang mengambil salah satu daripadanya sebagai nama. Yang penting, kedua-duanya ada di Bogor.

Wajar sekali bila Pemerintah Daerah Kotamadya dan Kabupaten Bogor sepakat mengambil titik awal identitasnya dari dua serangkai Pajajaran-Siliwangi ini. Alasannya sudah dipaparkan di muka (catatan: sila pembaca baca sendiri buku Sejarah Bogor selengkap-lengkapnya). Masyarakat menganggap dua serangkai itu sebagai wakil segala nilai terbaik masa silam Jawa Barat. Kehadiran dua serangkai itu pada lahan yang kemudian bernama Bogor memang merupakan hadiah sejarah yang patut kita nikmati.

Telah diungkapkan bahwa zaman Pajajaran dimulai dengan pemerintahan Sri Baduga Maharaja yang dikenal masyarakat dengan nama Prabu Siliwangi. Sri Baduga mulai memerintah tahun 1482 dan Berlangsung 39 tahun lamanya. Sejak dia memerintah Pakuan dijadikan Ibukota kerajaan menggantikan Kawali. Peristiwa Pakuan dijadikan pusat pemerintahan itulah yang dijadikan pangkal tolak perhitungan. Hubungan antara Bogor dengan peristiwa itu sebenarnya tidak terlalu sulit dicari karena sejak lama disadari oleh orang-orang tua. Etje Madjid sudah lama mencetuskan lirik: “Pajajaran tilas Siliwangi, wawangina kasilih jenengan, kiwari dayeuhna Bogor. “Tokoh seni awal abad ke-20 ini telah mengambil kesimpulan bahwa dayeuh Bogor adalah pengganti dayeuh Pajajaran.

Pengambilan angka tahun 1482 berpijak pada telaah sejarah karena sumber yang ada akan menampilkan angka tahun tersebut sebagai awal masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja. Tetapi masalah bulan dan tanggal harus dicari secara khusus sebab sumber sejarah yang ada tidak menyebut-nyebut kedua hal itu. Di sini alur telah ditembuskan kepada cerita tradisional yang terdapat di dalam pantun Bogor. Pantun ini pernah dituturkan oleh Ki Buyut Rambeng dan Pak Cilong yang dicatat di Rumpin oleh keluarga ayah almarhum R. Moechtar Kala.

Dalam lakon Ngahiyangna Pajajaran, dikisahkan bahwa dahulu, di Ibukota Pajajaran selalu diadakan upacara Gurubumi dan Kuwerabakti tiap tahun. Dalam upacara itu hadir para pembesar dan Raja-raja daerah. Waktu upacara dimulai 49 hari setelah penutupan musim panen dan berlangsung selama 9 hari kemudian ditutup dengan upacara Kuwerabakti pada malam bulan purnama. Berita pantun ini memiliki penopang beberapa kenyataan lain Kropak 406 memberitakan bahwa Raja- raja di daerah harus datang menghadap ke Pakuan tiap tahun. Di antara barang- barang antaran ternyata ada anjing panggerek (anjing pemburu). Jadi, waktu yang 9 hari itu digunakan pula untuk berburu. Tentang berburu ini, Tome Pires menyebutkan, The king is a great sport-man and hunter” (Raja adalah olahragawan dan pemburu yang ulung).

Kenyataan lain ialah di daerah pakidulan (bagian selatan Banten dan Sukabumi) upacara sejenis Guru-Bumi masih biasa dilakukan. Tentang Kuwerabakti para sesepuh di Sirna-resmi mengemukakan bahwa hal itu hanya dilakukan di dayeuh. Walaupun desa itu terletak di kecamatan Cisolok, Sukabumi, yang disebutnya dayeuh datam hal ini justru Bogor karena upacara Kuwerbakti dahulu hanya dilakukan di Ibukota Pajajaran. Kaum Adat Sirna-resmi adalah keturunan para pengungsi dari Pakuan waktu kota ini diserang Banten.

Jadi, keterangan pantun Bogor dalam hal ini tidak berdiri sendirian karena ada sumber atau kenyataan lain yang mendukungnya. Dari uraian yang terdahulu terdapat gambaran bahwa latar belakang kebudayaan masyarakat Pajajaran ialah pertanian ladang. Di Jawa Barat, masyarakat ladang murni hanya tinggal masyarakat “Baduy” di Kanekes (Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak). Dalam hal ini yang dapat di-amati ialah siklus pertaniannya karena kedua macam upacara yang disebutkan diatas menyangkut musim panen.

Kalender pertanian masyarakat “Baduy” sejalan dengan prana-tamangsa yang pada masa lalu juga digunakan oleh masyarakat tani di seluruh Pulau Jawa dan Bali. Perbedaan usia bulan memang ada, tetapi jumlah hari dalam setahun sama yaitu 365 hari. Kedua kalender itu pun berpedoman kepada bentang wuluku yang di daerah Pakidulan, Kanekes dan Kiarapandak (Cigudeg) masih disebut menurut istilah Sunda: bentang kidang. Gugus bintang ini terletak pada rasi Orion. Kadang-kadang juga digunakan gugus-bintang tetangganya yaitu bintang kereti (kartika atau pleyades) yang terdapat pada rasi Taurus.

Walaupun demikian, pengamatan astronomi tradisional ini bertujuan untuk mengamati musim, sebab baik di ladang mau pun di sawah musim tanam padi harus pada musim labulı (Sunda: dangdangrat), yaitu musim hujan awal yang jatuh pada minggu ketiga bulan September. Musim panenjatuh pada bulan Maret, karena usia padi rata-rata 5 bulan 10 hari, kecuali padi jenis hawara dengan usia tanam lebih pendek. Kalender “Baduy” di-awali dengan Kaset atau Sapar.

Upacara musim panen di Kanekes hanya diadakan di Kajeroan yaitu upacara Kawalu. Upacara pergantian tahun (ngalaksa) diadakan 3 hari sebelum pergantian tahun. Upacara kawalu jatuh pada bulan Maret, upacara ngalaksa diadakan pada bulan Katiga (pranatamangsa: Sada) yang jatuh pada bulan Juni.

Pantun Bogor menyebutkan bahwa upacara GuruBumi diadakan 49 hari setelah penutupan musim panen. Jangka waktu itu penting, karena para Raja daerah harus melaksanakan upacara penutupan musim panen di daerahnya masing-masing sebelum mereka mengikuti upacara di ibukota. Seperti terjadi di Kanekes sampai sekarang, upacara-upacara di daerah itu akan jatuh di sekitar bulan Maret.

Upacara di ibukota akan dilangsungkan 49 hari sesudahnya yang tepatnya dimulai 9 hari sebelum malam purnama yang akan jatuh antara minggu kedua Mei dengan minggu ketiga Juni. Untuktahun 1482, upacara Kuwerabakti dilangsungkan pada tanggal 2 malam 3 bulan Juni. Tanggal 3 juni 1482 itulah secara resmi kegiatan upacara selama 9 hari di ibukota berakhir.

Yang kita perhitungkan dalam hal ini ialah: Pakuan mulai berfungsi kembali sebagai pusat pemerintahan. Dan wajar sekali bila peristiwa itu dirayakan dan disyukuri sambil sekali gus tentu “diumumkan” kepada para Raja daerah bahwa sejak saat itu pusat pemerintahan berkedudukan di Pakuan.

Waktu penetapan “Hari Jadi” itu belum ditemukan sumber-sumber lain yang dapat mempermudah perhitungan. Naskah-naskah Wangsakerta baru ditemukan pada tahun 1977 kira-kira 6 tahun kemudian.

Sekarang setelah naskah-naskah tersebut ditemukan dapat diadakan perbandingan. Pertama, terdapat kecocokan bahwa Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi naik tahta kerajaan dalam tahun 1404 Saka atau 482 Masehi. Yang kedua, diberitakan dalam Kretabhumi 1/2 bahwa Cirebon melepaskan diri dari Pajajaran pada tanggal 12 bagian terang Bulan Caitra tahun 1404 Saka. Bulan Caitra jatuh antara 13 Maret dengan 11 April.

Diberitakan bahwa waktu itu Sri Baduga baru dinobatkan dan beberapa hari menempati kedatuan Sri Bima. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa penobatan. Sri Baduga Maharaja menjadi Susuhunan Pajajaran terjadi pada bulan Maret/April tahun 1482. Perayaan besar dan peresmian Pakuan menjadi pusat pemerintahan tentu dilangsungkan dalam peristiwa upacara Guru Bumi dan Kuwerabakti terdekat. Untuk tahun 1482 upacara dimulai tanggal 25 Mei dan ditutup 9 hari kemudian.

Dalam hal ini, naskah Wangsakerta yang mengandung nilai sejarah jauh lebih tinggi di atas naskah-naskah tradisional masih menempatkan penobatan Sri Baduga Maharaja sebelum tanggal 3 Juni 1482 sehingga upacara Kuwerabakti yang dijadikan titik perhitungan tidak terlampaui.

Penulis: Saleh Danasasmita

***

Catatan: tulisan ini kami ambil dari “lampiran” Buku Sejarah Bogor olahan Saleh Danasasmita. Tujuan menerbitkan tulisan ini tentu bukan tanpa sebab, kami rasa arsip tulisan Simbah Saleh ini perlu disebar-luaskan sebagai wahana pembelajaran bersama, terkhusus kelindan dengan program Surat-surat untuk Bogor yang sedang kami jalani bersama-sama.