cover buku Prometheus Pinball
Ketika menjelajah rentetan waktu dalam puisi, Afrizal Malna menjelaskan bahwa arsip tak punya usia, arsip akan selalu kelihatan baru dan memperbaharui masa kini kita (manusia). Sebab, lanjutnya, arsip serupa nahkoda dalam kegelapan biografis-geografis, mencari daratan-daratan yang bisa disinggahi. Daratan yang bisa disinggahi itu saya bayangkan merupakan sastra itu sendiri sebagai pulau-pulau pengetahuan yang harus dijamah oleh pembaca. Uraian itu pula yang mengingatkan saya kepada seorang Kawan (Abuya dari Rumah Tumbuh Muthmainah), yang juga pernah mengemukakan pandangannya mengenai sastra, begini: sastra dapat kita bayangkan serupa pulau-pulau: pulau pertama adalah prosa yang meliputi cerita pendek, novel, naskah drama, dan seterusnya yang banyak dihuni para pembaca. Pulau kedua esai atau catatan-catatan kesusastraan-kebudayaan yang lebih sedikit penghuninya dibandingkan pulau pertama. Pulau ketiga adalah puisi yang sedikit dan bahkan mungkin seperti pulau tak berpenghuni.
Dalam buku puisi Prometheus Pinball buah tangan Afrizal Malna, kita bisa menerka-merasa bahwa Jakarta menjadi (sebuah pulau) Kota acuan penjelajahan Malna sebagai tempat kelahiran, perkembangan usia, dan sekelumit arsip memori-kenangannya. Hal itu dijadikannya sebagai bahan sketsa-penggambaran wajah lama arsip-peristiwa Jakarta yang harus diperbaharui menjadi Jakarta masa kini (sila: cek buku puisi Afrizal Malna yang berjudul Prometheus Pinball). Tapi mengapa Malna lebih memilih judul Prometheus Pinball dalam bukunya, dibandingkan nama Jakarta sendiri, atau katakanlah misal nama-nama yang menyangkut-erat dengan Kota Jakarta sebagai kota kelahirannya itu? Mari kita koyak-koyak dalam praduga-prakira!
Kota Serupa Mitologi Titan
Kita pasti akan langsung tertuju pada Mitologi Yunani atau anak-anak Titan ketika mencari makna kata Prometheus, dan cerita-cerita aneh-bin-ajaibnya dengan Zeus, atau tetek-bengek moral-spiritual-religiositasnya, bukan? Lalu kita akan tertuju pada permainan arkade di mana permainan berlangsung unik dalam sebuah arena kecil miring dengan bola-bola logam, perak, bahkan emas, ketika mencari makna kata Pinball, atau katakanlah mesin-pinball, bukan?
Jauh sebelum itu, apa hubungan memori-kenangan Jakarta dengan istilah Prometheus Pinball? Apakah Prometheus di sini Malna mencomot dari mitos tokoh-Titan yang dengan kecerdasan dan keahliannya, dia mencuri api Zeus dan memberikannya kepada khalayak manusia. Apakah sejalan dengan itu, Malna ingin menyerupai Prometheus itu sendiri karena mencuri arsip-memori-ingatan-kenangan Jakarta dan disebar-luaskan kepada khalayak ramai menjadi bentuk buku puisi?
Ada satu momen kebiasaan serta pegangan Malna dalam merumuskan apa itu kata, frasa, kalimat dan sebagainya dalam tubuh bahasa-indonesia (terkhusus puisi). Dan mungkin bisa kita curigai hal mustahil itu dengan meninjau semua rentetan karya puisinya, bahwa Malna memang lihai dan senang mengacak-ngacak dan mengelabui kata-kata yang sudah kokoh di kamus-bahasa-indonesia kita, dan sekarang tengah merangkul fenomena-arsip gambaran silam laku si Prometheus yang mengelabui Zeus saat meletakkan dua persembahan korban di Olimpia, dari daging kerbau yang disembunyikan dalam perut sapi. Sedangkan Malna memakai cara itu untuk mengelabui rumitnya fenomena-arsip Kota Jakarta, lebih luasnya Indonesia pada buku puisi Prometheus Pinball dengan gayanya dan disebar-edar-luaskan ke khalayak ramai pembaca.
Kemungkinan kedua, Prometheus mengelabui Zeus dengan tulang kerbau yang dibungkus secara rapi dalam lemak yang mengkilat. Sedangkan cara itu Malna lakoni dengan mengelabui kita pembaca dengan menyembunyikan nama Jakarta dalam judul bukunya, namun dari semua isi muatan puisinya adalah tak lain dan tak bukan berangkat dari peristiwa-kenangan Kota kelahirannya, sejarah dan peristiwanya itu sendiri, terkhusus sekelumit Jakarta dalam putaran waktu, lagi-lagi meluas ke Indonesia.
Siapa sangka, dengan keunikan pemikiran Malna dalam buku Prometheus Pinball tersebut, anggapan saya ialah tengah memadukan individualme diri Afrizal Malna sendiri dengan tokoh Mitologi Yunani, si Prometheus itu, dan mengembangkannya dengan persoalan biografis-geografis Jakarta dan separuh fenomena Indonesia kecil yang ada pada tubuh mantan Ibu-kota itu.
Dalam catatan buku puisinya itu Malna malahan memperjelas dan mengatakan, bahwa penulisan Prometheus Pinball adalah sedikit biografinya, sedikit persoalan Kota Jakarta, dan sedikit perjalanan garis waktu. Dan perasaan curiga saya menyangkut garis waktu itulah, Malna hinggap pada arsip-arsip tentang Jakarta, arsip-arsip Indonesia, dan memilih tokoh Mitologi Yunani — si Prometheus yang dengan kecerdasan mengelabui dan memperbaharui fenomena pemaknaan hidup-kehidupan.
1957: (dari) dna waktu (sampai) 1997: jurnalisme tubuh muatan
Di tengah-tengah kedua sub-bab awal dan akhir di atas, ada proposal daging mentah 1967, ada institut budaya pop 1977, dan ada indeks rehabilitasi ingatan 1987 pada isi muatan buku puisi Prometheus Pinball. Malna mengubah tahun, judul-judul, dalam geliat Kota Jakarta yang disulapnya menjadi puisi atau katakanlah menyulap kegaduhan Jakarta dan persoalannya menjadi kata, rima-irama, juga serangkaian fenomena unik-ajaib yang pada mulanya hanya arsip-ingatan yang kaku dalam jejak-peristiwanya.
Bagaimana tidak, Malna mengisahkan bagaimana kelahirannya dan prosesnya tumbuh-berkembang dalam umur dan waktu pada kurun-waktu tahun 1957. Hal tersebut ditandai dengan secarik filosofi (puisi yang berjudul: ular tangga) yang mendasar sebagai permainan lintas usia. Menurutnya mungkin kita bisa belajar satu hal dari ular tangga: ialah Menulis tidak boleh dari bawah. Itulah puisi pertamanya yang menyebalkan pikiran kita sebagai pembaca. Namun, apa tujuan Malna menghadirkan puisi pendek itu? Menggabungkan gambar permainan ular tangga, sedikit potret hitamnya, dan sebaris kalimat Menulis tidak boleh dari bawah? Apakah yang dia maksud adalah jika bahasa indonesia ditulis dari kiri buku dan bahasa arab ditulis dari kanan buku, hal tersebut membawa kesimpulan bahwa dalam menulis kita harus mulai dari kanan atau kiri, terserah, asalkan tidak boleh dari bawah, agar tak sampai menemui kerumitan ular tangga?
Sedikit curiga saya mengenai puisi pertama yang berisi sebuah gambar permainan ular tangga dan berisi sedikit kata-kata: menulis tidak boleh dari bawah itu merupakan proses pembelajaran Malna sendiri ketika menjalani proses kreatif dalam menulis sering mengacu pada filosofi ular tangga, yang mana ia lebih menyenangi dan memilih hal-hal yang tidak populer di hidup ini dan ingin mempopulerkannya dengan caranya sendiri. Dari puisi-puisinya misal, adakah kita mendapatkan struktur kata-frasa-kalimat yang populer dan benar-benar gampang diserap? Tidak. Adakah dalam puisinya muatan isi-maknanya sejalan dengan pemikiran pembaca pada umumnya? Tidak. Apakah puisi bagi Malna bernuansa mendayu-merayu nan indah sebagaimana para pendahulunya? Jelas tidak. Kita tidak akan menemukan itu semua pada puisi Afrizal Malna, selain teror mental bahasa yang rumit ditangkap basah.
Simaklah misal kutipan puisi yang berjudul “dna waktu” ini: tubuh kapal telah dilepas dari dermaga, seperti badak bercula satu dilepas dari tatapanmu. Pluit berbunyi. Tanjung Priok, dermaga dengan dinding-dinding beton menghadang laut. 143 tahun yang lalu. Dibangun pada masa pemerintahan Johan Wilhelm Van Lansberge di Batavia.
Ketika kita membaca kutipan puisi tersebut, apakah kita akan mengira bahwa Malna sedang menggarap puisi tentang kapal dan laut di ujung Jakarta? Atau tentang Tanjung Priok dan sedikit sejarah perdagangan bangsa-bangsa di ujung Jakarta? Atau mungkin kita mengira bahwa itu bukanlah puisi, sebab rumit dan aneh bahasanya?
Kota dan Badai Digitalisasi Bahasa
Prakira saya, Malna memandang Kota serupa badai digitalisasi bahasa yang dewasa ini memang tengah menyelimuti perjalanan hidup kita. Hal tersebut bisa ditinjau ketika malna memakai istilah permainan arkade di mana permainan berlangsung unik dalam sebuah arena kecil miring dengan oleh bola-bola logam, ketika kita mencoba mencari makna kata mesin-pinball.
Filosofi permainan arkade itu hadir dalam kutipan puisi berikut ini, berjudul “Ilusi Pinball”: Daftar indeks. Mencari data dan arsip. Menghapus dirinya dari kategori. Sebuah mesin waktu 1997. Menatap 110 desa yang rusak di ardabil, iran, oleh gempa sekitar 3.000 orang tewas. Perpustakaan kongres amerika membuat web sejarah hari ini. menerbitkan 52.000 buku fiksi dan non-fiksi. Daftar indeks tak tahu artinya fiksi atau abadilah dalam keabadian.
Apa yang hendak disampaikan Malna pada puisi yang berjudul ilusi pinball tersebut? Mengapa ia seperti hanya mengutip istilah-istilah, atau kata-kata kaku yang terdengar biasa-biasa saja dalam mata-telinga kita, seperti istilah daftar indeks, mencari data dan arsip? Lalu kenapa pula Malna merumitkan isinya menjadi sebuah mesin waktu, tahun-tahun yang meloncatkan peristiwa dunia?
Atau jangan-jangan Malna memaknai kata Prometheus Pinball sendiri sebagai bahasa pemograman: dunia digital komputer yang dewasa ini menjadi dasar menyimpan semua data sebagai deretan waktu, di mana aliran nilai stempel waktu yang termasuk dalam sebuah metrik, kumpulan dimensi berlabel, deretan waktu tersimpan, menjadi Prometheus yang dapat menghasilkan deret waktu turunan sementara sebagai hasil kueri. Ah, Rumit!
Apakah Malna memilih kata Prometheus itu karena dia ingin Prometheus si Mitologi Yunani itu dapat menulis sampel yang diserapnya ke URL secara jarak jauh dalam format standar di komputer? Kita tidak tahu. Namun kecurigaan itu perlu dicatat dalam tinjauan pembacaan bersama. Lalu apakah Malna ingin Prometheus dapat menerima sampel dari server Prometheus si Mitologi Yunani dalam format indeks sejarah dunia. Apakah Malna juga ingin Prometheus dapat membaca kembali sampel data dari AI, URL Google atau mesin pencarian hari ini, yang semua arsip-peristiwa-ingatan bisa dijangkau semua fenomena Kota dan bahkan lintas Dunia?
Entahlah, kenapa Malna senang hal-hal yang rumit itu. Dan rasanya kita sebagai pembaca memang akan selalu mengira-mencari-mendobrak apa yang hendak seorang penyair catat-rumus-sampaikan dalam tulisannya, termasuk jenis puisi yang selalu menyelimuti dimensi-gelap-terang rahasia kepenyairannya. Dan begitulah, menurut hemat saya, Afrizal Malna dalam membangun, merumuskan, dan menuntaskan isi buku puisi Prometheus Pinball itu bisa kita curigai tengah memadukan nilai-nilai cerita Mitologi Yunani dan mencampur-adukan dengan bahasa digitalisasi pemograman atau bahasa komputer yang rumit, sesekali menengok masa-lalu kelahirannya dan perkembangan hidupnya sendiri di sebuah Kota bernama Jakarta. Jakarta yang menampung semua jenis manusia yang datang dari berbagai Desa-Kota dalam tubuh Indonesia.
Maka diberilah judul Prometheus Pinball, maka diambilah data-arsip-peristiwa Jakarta, maka dicatatlah semuanya dalam bentuk puisi, dan maka-dari-itu-lah ia mampu meninjau daftar indeks, pencarian arsip, sebuah mesin waktu, fiksi dan non-fiksi, proposal daging mentah, institut budaya pop, juga indeks rehabilitasi ingatan, yang kesemuanya itu pada akhirnya berada dalam tubuh Jakarta dan sisa-sisa kenangannya, yang dicuri dari mesin pencarian teknologi terkini, berita hari ini, dan juga kemajuan perkembangan-pembangunan biografisnya dewasa ini: mengacak-ngacak dunia lampau yang gelap keberadaannya di hadapan manusia modern sekarang, dan dihidangkannya dalam bentuk yang baru. Buku Puisi: Prometheus Pinball, diterbitkan Reading Sideways Press tahun 2020, dengan ketebalan 306 halaman.***
Manusia yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan kata, pembacaan fenomena-peristiwa, dan penulisan yang tak pernah selesai menunggu sampai di mana dan akan bagaimana permainan labirin kehidupan ini selesai.