dok. halimunsalaka: Galeri Bumiparawira
“Puisi adalah puncak pencapaian derita penyair.”
– Octavio Paz
Sepengalaman saya yang mungkin belum seberapa: puisi telah menempati posisi “penting” dalam geliat sastra di Pamulang. Penting yang saya maksud adalah adanya tanda-tanda yang makin apresiatif bahwa giat puisi hari ini mengalami suatu fase dari sekedar pembacaan puisi yang bersifat seremonial belaka, lalu seakan terarah pada workshop kepenulisan, pergulatan antar penyair yang dramatik di medan diskusi, serta berbagai eksperimen dan bentuk pemanggungan puisi yang dimungkinkan secara kreativitas. Adapun di lain sisinya, puisi-puisi yang ditulis, memang belum tampak utuh dari proses kerja—sastra kreatif yang lebih tekun dan matang, demikian mungkin disebabkan oleh dua hal: pertama, belum adanya kemantapan sikap terhadap kata plus ikhtiar pencarian-menemukan bahasanya sendiri, dan kedua, dengan hati terbuka amatan saya yang sangat terbatas ini bisa jadi keliru karena merasa buram dan penuh kabut saat memandang.
Biarpun demikian, saya percaya kecenderungan puisi ditulis akan terus menggali kedalaman, baik dari segi spiritual-religius maupun pola-gaya pengucapan kepenyairannya, khazanah estetikanya sendiri dan berbagai cara memandang dunia serta memberi makna kehidupan di sekelilingnya, baik yang teralami-dialami maupun disaksikan, baik yang kelihatan maupun yang gaib, baik yang kontekstual maupun yang terlibat, baik yang remeh-temeh maupun yang luhur; dan yang terpenting ialah dapat terasakan suasana dinamik dari pergulatan yang penuh tantangan maupun yang bergelut dengan penghayatan habis-habisan, yang lalu kemudian puisinya diperkenalkan kepada masyarakat sastra dan kehidupan puisi: tentang apa yang diberikan kepada kita sekarang?
Sekarang ini tampaknya puisi yang bertolak dari pencarian jati-diri kepenyairan telah menjadi lahan basah buat digarap sampai menemukan aksentuasi, gaya ucap dan bahasa kepenyairannya sendiri. Tak jarang puisi kadang-kadang tampil “mengingatkan” karena merasa seakan sangat menyedihkan. Tak sekali puisi juga kadang-kadang hadir “mengungkapkan” karena telah menerima begitu banyak penderitaan. Di situlah puisi dengan segala krisisnya telah membangkitkan keprihatinan yang meluas serta gairah yang mendalam bahwa penguasa belum bersepakat membakar sajak-sajak, sebab tak terpahami olehnya walaupun telah sedemikian gamblang.
Sebagaimana bunyi sajak Wiji Thukul: “Apa yang berharga dari puisiku/kalau orang sakit mati di rumah/karena rumah sakit yang mahal?/Apa yang berharga dari puisiku/yang kutulis makan waktu berbulan-bulan/Apa yang bisa kuberikan dalam kemiskinan yang menjiret kami?” Dan sekarang kita harus menanggapi persoalan sendiri bahwa masih ada dan akan selalu ada kesempatan dalam puisi buat bikin hidup yang lebih berharga, hidup yang dapat memberi makna dan hidup yang menggoreskan arti berulang-kali. Seperti halnya dalam perkawinan harus ada kompatibilitas yang mesti dipahami satu sama lain. Dan urusan puisi ialah menikahkan semua hal yang terpecah-pecah, terputus-putus, dan terpenggal-penggal. Seharusnya dalam semua hal juga begitu.
Cobalah selidiki hati masing-masing, kemudian berilah jawaban apa yang berharga dari puisi? Sedangkan menyair, bagi Sutardji, adalah “suatu pekerjaan yang serius, namun penyair tidak harus menyair sampai mati. Dia boleh meninggalkan kepenyairannya kapan saja.” Jelaslah bahwa menyair merupakan suatu pekerjaan yang berat dengan segala tantangan dan permintaan zaman (di samping kesiapan dengan daya tangguh tahan kemelaratan maupun penderitaan) mengandung harkat yang luhur, sebab dalam hidup semacam itu tidak ada tempat bagi pikiran-pikiran yang dangkal.
Seorang yang menulis puisi untuk itu telah dianugerahi hasrat senantiasa bergerak, berjalan, mengalami dan terlibat. Sebagaimana orang yang sangat sibuk akan selalu mendapatkan waktu untuk berbuat sesuatu. Sebaliknya pula, orang-orang yang luar biasa banyak waktu luang-kosong-menganggur tidak mempunyai waktu untuk berbuat sesuatu apa. Sampai-sampai merasa tidak ada waktu, tetapi belum jelas apa yang dimaksud kebanyakan orang tentang tidak ada waktu itu? Tidak adakah waktu karena kita hanya “menunggu” kembali? Bukankah hidup kita “mengisi” waktu yang diperoleh dari pekerjaan, dari menulis, dari rutinitas keseharian, dari latihan teater, dari keluarga, dari percintaan, atau dari persahabatan, tetapi seringkali justru kita malah mengambil waktu dari kesenangan yang sebenarnya tidak dapat membuat kita senang, seperti dari omong-kosong di kerumunan, dari pepesan kosong sejumlah pertemuan, dari vakansi-healing time-darmawisata yang kadangkala lebih sangsi apakah benar dapat memberikan kegembiraan, serta dari perjalanan-perjalanan yang tidak jelas juntrungannya sama sekali?
Niat itu penting. Sekarang kita ke titik mula puisi, lalu menimbang agar bisa mempersyarati diri apa niat puisi kita di antara niat kebudayaan, niat sosial, niat menyenangkan orang, niat menemani orang, dan seterusnya. Kalau niat puisinya kebudayaan, maka itu berarti melayani untuk kemasyarakatan yang lebih luas; hari ini orang-orang butuh puisi apa dan puisi seperti apa yang disenangi?
Sementara kita tahu, ada berbagai macam jenis puisi: puisi kesusastraan, puisi kesenian, puisi kebudayaan, puisi peradaban, dan puisi kehidupan. Sebagai contoh, apabila kita berkesadaran kebudayaan, maka otomatis pula timbul kesadaran sosial dan kesadaran masyarakat, untuk itu kita harus menguasai kesenian, wawasan estetika, memandang dunia dari segala jurusan, dan lain-lain. Jadi tetap kesadarannya nomor satu. Sebagaimana dalam dunia kepenulisan ini kita mau jadi novelis, penyair, atau cerpenis. Sebab kalau itu salah, pijakan kita keliru, maka kita tidak akan berkembang, sulit bertumbuh. Percuma jago mengarang novel, tapi tidak bisa apa-apa di lapangan puisi, karena tidak menyadari tulisannya ini akan dijadikan novel ataukah puisi? Itu sama seperti orang jago main bola, tapi bego ketika berada dan bermain di lapangan voli.
Sebelum beranjak ke apa yang harus dilakukan oleh seorang penyair untuk itu puisi dengan kedalaman hati terbuka kesempatan, kelengkapan dan keutuhan dalam memandang kehidupan. Meskipun seandainya kita bukan penyair, karena memang banyak hal yang juga tak kuasa dituliskan dengan dan dalam puisi. Maka, seperti dalam sajak Octavio Paz, “puisi pun ada/Dan cinta terwujud/Bahkan jika aku tak lahir/Puisi harus ada/Sebab apa yang puisi persiapkan/adalah suatu keharusan cinta.” Cintalah yang dapat memberikan isyarat, tanda-tanda zaman. Kelak.
12 Januari 2024
Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.
komentar (0)