Bukan Tentang Hari Ini, Tapi Tentang Besok Kita Mau Apa?

Bukan Tentang Hari Ini, Tapi Tentang Besok Kita Mau Apa?

*Catatan Setelah Ikut Diskusi Salakansss

“Yang penting bukan di hari ini. Tapi di hari besok, setelahnya mau apa.”

Kalimat ini muncul dari tengah-tengah ruang diskusi di Kopitography, Ciampea. Sebuah tempat yang akrab untuk ngopi, tapi di hari itu—31 Mei 2025—menjadi ruang berpikir, bertukar napas dan akal, karena di malam itu berlangsung diskusi Silih-Wangian, sebuah program dari Salakans—kolektif akar rumput dari Halimun Salaka. Temanya jelas dan mendesak: “Ngomongkeun Ekosistem Barudaks di Bogor Barat.”

Satu-satu nama diperkenalkan. Bukan seperti tamu undangan yang dikawal protokoler. Tapi seperti teman lama yang kembali setelah digilas kesibukan. Ada Romi dari Perpuskita Parungpanjang, yang sejak dulu tekun membuka ruang literasi di tengah debu tambang dan derasnya truk proyek. Ada Wildan dari Bilik Jasinga, yang tak lelah merawat seni dan budaya lewat karinding dengan pendekatan yang tak melulu tradisi. Baginya, kesenian hidup ketika ia relevan dan ngigelan zaman—mengikuti perkembangan zaman, tanpa harus kehilangan akar.

Ada juga Yuri dari Mitra Bumi, yang bicara ekologi bukan dari seminar akademik, tapi dari tanah, dari lembah, dari sungai, dari suara-suara yang tak didengar. Mereka meriset, menanam, mengolah, dan makan hasil tanamannya sendiri. Bagi mereka, kedaulatan pangan bukan slogan, tapi praktik sehari-hari: dari kebun, ke dapur, ke meja makan. Lalu ada Wijdan dari Kopitography, tuan rumah yang tahu betul bahwa kopi bisa jadi pengikat lintas kolektif, dan melalui secangkir kopi bisa jadi pintu pembicaraan yang lebih besar: tentang ruang, tentang komunitas, tentang cinta pada tempat tinggal.

Diskusi ini dimoderatori oleh Egi dari Salakans sendiri, yang dengan tenang memandu gelombang pembicaraan agar percakapan tak sekadar mengalir, tapi juga mengendap.

Setelah masing-masing memperkenalkan diri dan latar kolektifnya, tentu aku merasa itu hanya seperti pengantar biasa. Tapi lama-lama aku merasa sedang mendengar manifes hidup. Mereka bicara tentang harapan dan juga luka: tentang mimpi membangun ruang belajar. Tentang sulitnya bertahan di tengah ketidakpastian legalitas. Tentang betapa jauhnya pemerintah dari denyut komunitas.

Dan lalu, obrolan jadi lebih panas. Bukan karena debat, tapi karena kejujuran.

Audiens mulai bertanya. “Lalu setelah ini mau apa?” kata Farhan dari perkempulang warga Cirangkong. Pertanyaan itu seperti bom waktu. Karena benar, diskusi seperti ini sering berhenti di hari-H. Padahal yang lebih penting adalah hari besok.

Lalu mulai muncul suara-suara Mufakat. Bukan mufakat palsu khas Pemda yang datang dari atas. Tapi dari tekad-tekad yang tumbuh dari bawah: bagaimana membangun ekosistem kolektif Bogor Barat yang hidup: Saling dukung. Saling tahu. Dan saling ingat. Mufakat ini penting, sebab kita tahu: pemerintah tidak peduli. Bahkan Dewan Kesenian pun sering jadi alat, bukan kawan. Disparbud? Kabekraf? Hanya hadir saat mau ngambil foto dan bikin laporan.

Di Antara Gerimis dan Belokan Tajam

Diskusi menyentuh satu isu struktural: pemekaran Bogor Barat. Sebuah rencana yang katanya mau bikin pelayanan lebih dekat, tapi nyatanya justru memperpanjang jarak keterlibatan. Siapa yang menentukan bentuk dan arah daerah baru ini? Apakah komunitas dilibatkan? Atau cuma jadi penonton proyek politik dan modal?

Isu legalitas juga mengemuka. Komunitas di akar rumput selalu ditanya izin. Tapi siapa yang kasih izin untuk kita hidup? Siapa yang dapat melegalisasi ide-ide liar untuk bertumbuh dan memberontak?

Kang Dim dari Jasinga lalu menyambung, “Bogor ini sering tekor asal kesohor.” Kalimat yang membuatku diam cukup lama.

Dan aku tidak setuju. Sebab bagaimana bisa kita masih percaya Bogor tekor asal kesohor, padahal materialisme yang ada, kita tahu, bahwa Parungpanjang dikorbankan untuk tambang andesit. Pegunungan digerus demi pembangunan Ibukota. Harga wisata melonjak. Warga lokal malah terpinggir dan hanya disisakan kemacetan demi kemacetan. Lalu komunitas tidak dapat ruang. Kolektif dianggap gangguan.

Dan di momen ini, aku yang awalnya cuma datang pengen mendengarkan, gak tahan lagi. Kupingku panas, lidahku gatal. Aku angkat suara.

“Sebenernya kita gak butuh negara untuk bikin ekosistem ini hidup. Mereka yang butuh kita. Tanpa kita, mereka gak punya warna lokal untuk ditampilkan ke dunia luar. Kita hidup karena saling bantu. Bukan karena ditolong.

Dan selama kita saling percaya dan berjejaring, kita bisa hidup tanpa legalitas mereka. Kolektif gak butuh izin untuk peduli. Komunitas gak perlu SK untuk berdaya.

Kita udah cukup. Dan kalau ada yang harus kita bangun, itu bukan lobi ke pemda, tapi solidaritas horizontal antar kita.”

Hening sejenak. Lalu beberapa anggukan. Lalu senyum. Beberapa orang meminum apa yang mereka pesan. Dan setelah itu diskusi menjadi berbelok arah. Bukan jadi panas. Tapi jadi lebih jujur. Yang tadinya ragu ngomong, jadi ikut menyambung. Yang tadinya hanya nanya, jadi ikut mengusulkan.

Tapi di luar perubahan suasana itu, satu hal yang sangat aku sepakati adalah apa yang disampaikan Wildan dari Bilik Jasinga:

“Sebagaimanapun Kabupaten Bogor punya tempat rekreasi dan alam yang dibutuhkan orang Jakarta, itu bukan kekhususan. Kota-kota lain juga punya. Yang kita perlu cari adalah identitas dan potensi”

Dan aku mengerti apa yang ada dalam isi kepala Wildan. Sebab selayaknya daerah yang sudah ditanam modal, itu hanya menunggu waktu untuk diseragamkan jadi pasar besar. Dan segala apa yang kita bilang dengan kekhususan kita. Potensi kita. Di hadapan kuasa dan modal hanya akan jadi etalase kota. Diperas, dijual, ditinggal.

Dan di sinilah pentingnya riset. Pentingnya sejarah. Pentingnya menemukan identitas lokal yang bukan cuma warisan, tapi juga relevan dan ngigelan zaman—berjalan bersama zaman, tanpa harus tenggelam.

Karena tanpa identitas yang dipahami dan dirawat oleh warganya sendiri. Kita akan terus jadi obyek yang dijual. Bukan subjek yang berdaulat dan punya pilihan.

Malam Makin Malam, Tapi Tak Ada yang Pulang

Sesi formal ditutup. Tapi seperti semua diskusi yang hidup, penutup bukanlah akhir. Justru ketika moderator menutup, diskusi sungguhan dimulai.

Kami pindah posisi. Memindahkan bangku-bangku untuk bisa lebih duduk dengan tanpa jarak. Kopi ditambah. Rokok dinyalakan. Dan malam itu ditemani nada-nada intim dari Holdingmine, menyisipkan melodi di antara jeda percakapan.

Obrolan jadi lebih hangat. Lebih dari sekadar ide. Kami mulai saling tahu kondisi masing-masing. Siapa yang kesulitan dana. Siapa yang butuh relawan. Siapa yang punya dokumentasi, Siapa yang bisa bantu. Semua bukan dari skema. Bukan dari proposal. Tapi dari ikatan: Silih wangian. Silih rawat. Silih jagakeun.

Karena kadang, yang kita butuhkan bukan sistem besar, tapi rasa percaya satu sama lain. Bahwa kita bisa hidup tanpa mereka yang mengaku penguasa. Bahwa kita bisa jaga hidup kita sendiri. Bahwa kita bisa menciptakan kebudayaan yang tak sekadar disahkan di festival, tapi tumbuh dari kehidupan.

Dan dari Romi, Wildan, Yuri, Wijdan, dan Egi. Dari kita semua. Yang berani bilang tidak pada penggusuran ide dan perampasan ruang. Dan untuk barudaks Jasinga, Parungpanjang, Halimun, Ciampea, tulisan ini dibuat untuk disalin. Disebar. Dibacakan. Sebab kita percaya bahwa kolektif bukan sekadar nama. Tapi cara bertahan. Cara hidup. Dan cara menang dengan saling menjaga.