Dari Filsafat Ilmu – Tumbuh Pengetahuan Sastra

dok. AI


Milan Kundera menyetir pepatah lama Yahudi, “Saat manusia berpikir, Tuhan tertawa.” (dikutip dalam buku Art Of Novel).

Setelah Danarto dan Budi Darma, menurut saya Eko Triono adalah penulis badung atau katakanlah bandel dalam artian selalu membuat parade lelucon setiap karya ceritanya, dibalut satire aduhay. Eko Triono sebagai pengarang prosa, seperti sengaja membuat parodi-parodi unik untuk menghadirkan kembali peristiwa dan kejadian yang hadir-mengalir dalam realitas masyarakat. Sebagaimana konflik fenomena yang terjadi dalam buku cerita terbarunya berjudul, berapa harga nyawa hari ini? dan cerita-cerita lainnya, mengacu pada peristiwa gejolak elemen masyarakat-sosial, fenomena agama, politik, kesehatan, budaya, seni, lingkungan, dan lain sebagainya.

Sebagaimana dalam beberapa isi cerita dalam bukunya, terjadi gejolak psikologis pasien dan dokter di rumah sakit, peperangan batin cerita mengacu pada ulasan mengenai dokter dan pasien yang sama-sama tengah dirawat, dan kita dibenturkan dengan pertanyaan: nyawa siapakah yang pantas diselamatkan di antara pasien dan dokter itu? (dalam cerita yang berjudul, berapa harga nyawa hari ini?).

Selanjutnya kekhawatir bahasa-ibu yang seiring waktu musnah ketika anak-anaknya sudah pandai berbahasa internasional (cerita Bahasa Ibu). Sepasang suami-istri yang rindu kehidupan lampau nenek-moyangnya, hidup di pegunungan dengan metode-metodologi kembali ke ribaan alam (cerita pemburu). Dan tentu masih banyak yang lainnya, Eko Triono mengupas kehidupan masyarakat dalam rekam jejak dunia realitas, impian, dan angan-angan.

Sebelumnya Eko Triono sudah menerbitkan buku kumpulan ceritanya yang berjudul agama apa yang pantas bagi pohon-pohon? (2016) menjadi nominasi lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 dan Pemenang penghargaan Sastra Balai Bahasa DIY 2017. Kumpulan cerpen eksperimennya, kamu sedang membaca tulisan ini (2017). Kumpulan cerpen humor, republik rakyat lucu (2018) termasuk dalam 10 besar kusala sastra khatulistiwa 2019. Noveletnya tentang cinta, seberapa candu cinta itu? (2019). Novelnya, Para Penjahat dan Kesunyiannya Masing-masing (2018) menjadi pemenang III Unnes International Novel Writing Contest 2017.

Dan cerita pendek terbarunya ialah berjudul, berapa harga nyawa hari ini? (2022) yang diterbitkan Shira media, dengan tebal 162 halaman yang berisikan 23 judul cerita yang menampung beragam judul serta beragam tema cerita di dalamnya.  Antara lain: Bahasa Ibu, Pemburu, ketika para binatang tertular virus aneh, dari manusia, tiba-tiba saya teringat pada U, pertemuan dan perpisahan terbaik, zhyang ziyi, terapi, coba tebak siapa aku?, permainan, siapa yang menipu mereka?, keluar dan masuk neraka, penyair baba, gang semangat, penasaran  sama ceritanya, cara membekukan kenangan katanya, kesaksian nyata, bukan sulap bukan sihir, algoritma kesedihan, gong li kehidupan pertama dan kedua, pertanyaan penting, yang terancam manusia, berapa harga nyawa hari ini?, dan- perhatikan paragraf terakhir.

Awalnya, sebelum saya membuka buku (berapa harga nyawa hari ini – karya Eko Triono itu) dan menyelam-membacanya, saya beranggapan, pasti muatan ceritanya akan mengacu pada fenomena perang, di mana nyawa akan gampang terenggut dan terbuang. Namun, setelah membacanya, alhasil praduga saya keliru. Sastra amat sangat menipu. Nyawa yang diterangkan dalam cerita (yang menjadi judul bukunya: berapa harga nyawa hari ini?) adalah berlatar rumah sakit yang mengacu pada konflik bagaimana nasib pasien dan takdir dokter dalam sebuah pertunjukkan cerita. Ajaib!

Namun amat sederhana rupanya jika ditinjau dari realitas hidup kita hari ini, yang mana sering terjadi prosesi silang-sengketa tersebut. Dan seringnya yang menjadi pemenang tentulah dokter. Sebab ungkapan umum kita pasti mengacu pada istilah lebih baik satu nyawa dokter diselamatkan daripada sepuluh pasien, karena bisa menyembuhkan seratus pasien yang akan datang. Dengan modal hal tersebut, pastilah akan menarik jika kita tinjau dengan moralitas Immanuel Kant.

Dari semua cerita yang berada dalam buku (yang dimotori dengan judul, berapa harga nyawa hari ini), saya beranggapan, bahwa Eko Triono memakai kerja kreatifnya yang berhubungan dengan prinsip moralitas yang sangat mungkin berhubungan dalam rumusan Immanuel Kant dalam pemikirannya. Sebab menurut Kant, pembuktian kenyataan moralitas tidak bersifat teoretis, melainkan praktis. Etika bukan teori abstrak, melainkan refleksi atas suatu pengalaman yang tidak dapat disangkal, yaitu kesadaran moral: kesadaran adanya kewajiban mutlak. Suatu fakta empiris dapat dibuktikan lepas dari kesadaran kita, tapi fakta moralitas hanya ada dalam kesadaran kita.

Dari situlah Kant bicara tentang “fakta akal budi”, yang dalam bahasa biasa disebut suara hati atau hati nurani. Dan Eko Triono mengusung jalan tersebut dalam karyanya (berapa harga nyawa hari ini? dan cerita-cerita lainnya), sebagaimana pernah Kant rumuskan dalam filsafat-moralnya. Eko Triono membikin jalan baru dalam ceritanya yang mengambil judul-judul hampir kebanyakan diawali dengan pertanyaan, studi pemikiran yang biasanya disebut-sebut jalan filsafat, bertanya dan mempertanyakan kembali, merumuskan dan menyusuri.

Kant berpikir, hati nurani tidak dapat dibuktikan. Kita hanya dapat menunjuk kepadanya dan menguraikan segi-segi yang nyata ada dalam kesadaran kita. Dari sinilah Kant sampai pada kesadaran adanya kemutlakan, adanya paham kebaikan tanpa batas, yang implikasinya lalu dijelaskan secara deduktif. Kalau orang mau menyangkal suara hati nurani, bisa saja. Tidak ada kemungkinan untuk memaksa mengakuinya. Tapi kita bisa bertanya apakah ia dapat menyangkalnya tanpa masuk ke dalam kontradiksi? Nah, sejalan dengan itu, Eko Triono membikin cerita (bahasa ibu) yang mengusung persoalannya, begini: “Pada hari selasa, bulan januari, tiga tahun kemudian anaknya sudah lulus kuliah dan mengabarkan diterima bekerja di Kamus Besar.” “Kamus Besar itu pabrik apa? Tanya bahasa ibu dalam sambungan telepon.” “Pabrik kata-kata, Bu. Anaknya menjawab dalam siasat agar bisa dimengerti oleh ibunya, yang dianggap tidak akrab dengan istilah sulit.”

Apakah mungkin seseorang yang memberikan kesaksian palsu mengenai pekerjaannya yang dibayangkannya akan bertolak-belakang dengan sosial-masyarakatnya? Kant menjawab bahwa itu mungkin. Dari sini ia menarik kesimpulan bahwa orang itu sadar bahwa ia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu yang merupakan kewajiban mutlak. Jadi, meski kita akan memahami kalau orang itu memberikan kesaksian palsu, kita tetap menilai kesaksian palsu itu sebagai ketidakadilan moral.

Dengan demikian, kebebasan kehendak merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal karena terimplikasi langsung dalam kesadaran moral. Kenyataan semacam itu oleh Kant disebut “postulat”, suatu yang tidak dapat dibuktikan secara teoretis, tapi yang kenyataannya tidak dapat disangkal pula karena suatu realitas tidak mungkin kalau postulat itu tidak nyata-nyata ada. Kenyataan kesadaran moral mengimplikasikan bahwa kita betul-betul berkehendak bebas; dapat mengambil dan tindakan lepas dari segala macam dorongan, emosi dan sebagainya. Ini pula yang menurut hemat saya berhubungan dengan proses kreatif Eko Triono (dalam cerita pemburu), begini: “Dia (Harimau yang turun dari hutan ke peternakannya) tidak akan menghabiskan semuanya (hewan peliharaan). Dia akan berhenti ketika kenyang. Lihat saja (di cctv) dia tidak bawa kantung belanjaan kan? Tn. Reza meledek istrinya, kemudian mengambil teropong malam buat mengintip perilaku hewan liar yang selama ini dia nantikan dan ingin sekali anaknya nanti juga masih bisa melihatnya secara langsung.”

Moralitas menurut Kant mengimplikasikan dua postulat lagi, yaitu “imoralitas jiwa” dan “eksistensi Allah”. Kenyataan moralitas hanyalah mungkin apabila diandaikan bahwa jiwa manusia tidak dapat mati dan apabila Allah betul-betul ada. Kant memberikan argumentasi: nilai tertinggi bagi manusia adalah penyatuan kebahagiaan dengan moralitas. Tapi, dalam kehidupan ini moralitas tidak menjamin kebahagiaan, padahal kesadaran moral itu suatu realitas dan sekaligus juga rasional, dalam arti disadari sebagai janji nilai tertinggi itu hanya dapat dipenuhi dalam hidup sesudah hidup ini.

Jika kita menyangkal bahwa jiwa tidak mati dalam kematian, kesadaran moral akan kehilangan rasionalitasnya. Orang yang hidup secara bermoral berhak untuk menjadi bahagia. Tapi, kebahagiaan itu tidak dapat dijamin sendiri dan bukan merupakan hasil otomatis hidup bermoral. Karena itu, agar  hak yang dirasakan itu tidak percuma, perlu adanya pengada yang maha kuasa dan suci. Karena dialah yang hanya dapat menjamin kebahagiaan. Berhubungan dengan (kant) itu, Eko Triono juga mengupas persoalan yang serupa (dalam cerita coba tebak, siapakah aku?): “Tampaknya tokoh aku di sini bukan manusia. Bisa jadi sebuah benda nyata atau hal yang tak nyata).” “Perhatikan baik-baik, siapakah aku? Ketika prasaja telah dimakamkan di sisi bukit kelam, ketika orang-orang kembali dari melayat, ketika anak-anak kurus penuh seriawan kembali memarut singkong memeras airnya buat minum, ketika ayam-ayam mengoreh rempih-remuh reranting dan daun jati cari semut dan ulat, aku tetap kosong dan berkata tak ada tangki hari ini.”

Dari sepenggal kutipan beberapa cerita di atas, buku berapa harga nyawa hari ini karya Eko Triono telah membikin fenomena unik menyangkut pertanyaan, apa dan bagaimana sastra itu? Atau seni apa itu? Jika kita hendak mengacu pada sebuah buku yang dikumpulkan Michael Hauskeller yang meninjau posisi estetika dari Platon sampai Danto.

Dan tetap saja, menurut saya, Eko Triono telah menanam benih filsafat ilmu yang menumbuhkan pengetahuan sastra, seperti hasil dari buku-buku dan karya-karya sebelumnya. Kalau tak percaya, silakan bertemu dan selamilah langsung buah-tangan cerita-cerita hasil olahan Eko Triono tersebut, sungguh, ada rahasia yang teramat rahasia di dalamnya mengenai benih filsafat bisa menumbuhkan sastra.***