Di Persimpangan: Jalan Bercabang Menziarahi Sejarah-Budaya Bogor

Dok. Tangtu Institut, RRI, TTF


Penyelesaian

Mulanya saya risau-resah karena banyak sekali perbedaan pendekatan antara Kota Bogor dan Kabupaten Bogor dalam pengkajian dan kepraktisan menyangkut kesejarahan dan kebudayaan sebelum dan sesudah Bogor ini tercipta. Namun lama-lama ternyata ini menjadi hal menarik juga untuk dieksplorasi dan dipropagandai, daripada di-sesali sebagai suatu wahana depresi mendalam kita sebagai anak-cucu pewaris.

Kita lihat dengan seksama, Kota Bogor dengan statusnya sebagai hunian bekas Kota Pakuan Pajajaran dan bekas tinggalan masa Kolonial, hari ini telah berkembang pesat dan memiliki banyak infrastruktur modern. Sedangkan Kabupaten Bogor sebagai hunian yang menyimpan tinggalan masa Megalitik, masa Tarumanagara, dan juga Pakuan Pajajaran, hari ini juga telah berkembang pesat dan juga memiliki infrastruktur modern. Pertanyaannya, sejauh mana kedua masyarakat Kota dan Kabupaten yang hari ini dipisahkan dalam batasan administratif itu menggali kesejarahan dan kebudayaannya secara bersama-sama sebagai masyarakat Bogor?

Pada tulisan-catatan sebelumnya (sila baca di halumunsalaka.com) saya selalu mengatakan bahwa, masyarakat Bogor kekeringan sumber-referensi tentang kehidupan leluhurnya, kekurangan para pengkaji dan lebih banyak yang menjadi praktisi. Buku Sejarah Bogor (1983) olahan Saleh Danasasmita masih menjadi tonggak bagaimana cara sekaligus langkah untuk meruang-mewaktu menyusuri kejadian sebelum dan sesudah Bogor ini tercipta.

Sumber itulah yang sampai saat ini telah melahirkan pemaknaan dan penegasan ulang tentang Pakuan Pajajaran, Prabu Siliwangi, Prasasti Batu-Tulis, Cisadane, Ciliwung, Cipakancilan, Cianten, Kebun Raya, Hari Jadi Bogor, dan masih banyak yang lainnya. Dan anehnya sampai saat ini pula belum ada yang mampu meneruskan sumber yang telah dibuka jalannya oleh Saleh Danasasmita itu. Pertanyaan selanjutnya, sejauh mana kedua masyarakat yang hari ini dipisahkan dalam batasan administratif itu bersama-sama menggali-meneruskan sumber yang telah dibuka jalannya oleh Saleh Danasasmita?

Latar Samping

Pendahuluan di atas adalah penyelesaian yang tak bertepi, dan berlangsung riuh sejak lama di dalam diri saya. Namun, ketika Pemerintah Kota Bogor sudah membuat Galeri Bumi Parawira, ketika Tangtu Institut muncul ke permukaan, dan ketika saya melihat lengkap buku dan bagaimana proses kreatif Mochammad Rizky Candiaz dalam karyanya yang berjudul, Babad Pajajaran: Rempah Konflik & Prasasti, yang diluncur-terbitkan untuk umum pada hari minggu, 23 Juni 2024 di Auditorium Perpustakaan Kota Bogor, ada angin segar yang cukup menyejukan kita sebagai masyarakat Bogor. Yapsss, sudah pasti pertanyaan yang timbul ialah, memangnya apa yang diolah oleh Galeri Bumi Parawira dan Candiaz dalam buku Babad Pajajaran: Rempah Konflik & Prasasti-nya itu? Apakah melengkapi sekaligus meneruskan kekurangan data-sumber penelitian yang sudah Saleh Danasasmita buka jalannya?

Dengan tegas saya akan mengatakan bahwa, pertama, Galeri Bumi Parawira hadir sebagai wahana edukasi sejarah-budaya Bogor yang cukup menarik (sayangnya hanya terpusat dan fokus pada administratif Kota), yang diproses melalui riset yang menggembirakan, lepas dari kemelut mitos yang biasanya masih banyak menyelimuti para sepuh Bogor. Kedua, Candiaz dalam olahan karyanya berjudul Babad Pajajaran: Rempah Konflik & Prasasti, juga cukup melengkapi dan dapat mempropagandai kesejarahan kabut dan kebudayaan hujan yang telah lama terjadi di Bogor, walaupun kenyataannya belum sampai pada proses meneruskan data-sumber lengkap yang telah Saleh buka jalannya.

Setidaknya kerja-kratif Candiaz telah menyibak kabut dan hujan melalui tawaran visualisasi-gambaran yang cukup mengesankan, bagaimana gambaran hunian Kota Pakuan Pajajaran yang sering digaibkan para sepuh, bagaimana istana-keraton yang banyak di-idam-khayalkan bentuknya, bagaimana prosesi-klimaksnya gambaran hubungan bilateral perdagangan dan pertahanan antara Portugis dan Pajajaran, dan bagaimana suasana kehancuran Pelabuhan Kalapa dan Banten oleh Cirebon-Demak-Banten: lagi dan lagi dalam bentuk visualisasi-gambaran yang sangat ciamik, yang prosesinya cukup mendalam dengan mengait-hubungkan sumber-sumber yang telah Saleh buka jalannya, dilengkapi sumber Naskah Sunda Kuna, sumber catatan-foto asing, observasi lokasi dari Galuh – Sunda, dan seterusnya, dan sebagainya.

Angin segar itulah, saya rasa, adalah kado istimewa untuk Hari Jadi Bogor tahun ini (2024), yang sejak lama terhitung — mungkin dari tahun terbitnya Buku Sejarah Bogor (1983) belum ada lagi wahana karya yang menarik perhatian dan menggegerkan masyarakat Bogor yang selalu adem-ayem ini. Apalagi sosok yang memberi kadonya terbilang muda, wah, ini saya bayangkan serupa cerita paradoksal Kabayan (baca: Merefleksikan Pengkaryaan Bogor Lewat Cerita Si Kabayan) yang menggedor kesombong-angkuhan si Abah yang hanya menganggap Kabayan seorang anak kecil yang bodoh, pemalas, dan lain sebagainya.

Melalui Candiaz, saya sampai pada suatu perumusan bahwa, sudah saatnya kita (anak-cucu Bogor) bersama-sama menjadi Kabayan dalam merumuskan kesejarahan dan kebudayaan Kota kita sendiri. Menjadi Kabayan dalam arti positif tentunya, memiliki nilai kreativitas, keliaran berpikir, dan berani bertindak: berkarya.

Rumusan Kemudahan

Sebab, dewasa ini kita sedang berada di persimpangan jalan hidup. Bayangkan saja, kita sedang berada di persimpangan, dihadapkan dengan beberapa jalan, lalu arah mana yang mesti ditempuh mengenai proses memaknai sejarah-budaya kita masing-masing: kanan, kiri, atau tengah, misalnya? Jika ketiga jalan itu adalah cara untuk mendobrak wahana kesejarahan yang berkabut – kebudayaan yang serupa hujan di Bogor dewasa ini, prosesi menempuh perjalanan makna dan karya yang seperti apa yang akan kita tempuh? Jika jalan tengah adalah perjalanan makna yang dilakukan Candiaz dengan memvisualisasikan cerita sejarah Pakuan Pajajaran, jalan kanan dan kiri itu perjalanan pengkaryaan yang seperti apa dan bagaimana untuk kita tempuh bersama?

Melalui rentetan siasat pertanyaan simbolis di atas, saya rasa, sudah tiba saatnya menyelimuti-menggerogoti pembaca sekalian (masyarakat Bogor khususnya) dewasa ini – dan menjadi duduk-perkara-masalah untuk diselesaikan bersama. Saya pribadi, sebelum bertemu Candiaz, sejak tahun 2018 mulai menempuh pemaknaan jalan puisi dalam mendobrak kabut dan hujan dari Bogor itu sendiri. Namun dalam perjalanannya, puisi yang saya tempuh meluas ke rimba sunyi dan samudera diri: saya sewaktu-waktu tiba di waktu sejarah, di ruang budaya, dihadapkan dengan: mau tak mau mesti membaca makna Bogor masa lalu, menceritakan kejadian-peristiwanya dalam laku puisi.

Namun, jalan puisi tak dapat membendung semua geliat dalam diri saya. Akhirnya saya menempuh pencarian carita pantun yang cukup gaib dan entah mengapa masih disakralkan oleh para sepuh Bogor. Motif kesakralan itulah yang menggelitik diri saya untuk terus mencari utuh seri lengkap carita pantun yang menurut beberapa sumber merupakan hasil tuturan Aki Buyut Bajurambeng, agar dapat merefleksikannya dalam kerja dekontruksi, kritik, dan alih-bahasa ke bahasa Indonesia, agar dapat dikonsumsi secara nasional.

Lama berteman dengan waktu, melacurkan diri bertemu para sepuh Bogor dari ujung ke ujung, akhirnya saya mendapatkan salinan carita pantun itu, walaupun baru beberapa naskah salinan saja yang saya dapatkan: berjudul, Ngadegna Dayeuh Nagara Pajajaran/Pakujajar Beukah Kembang, Kujang di Hanjuang Siang, Dadap Malang Sisi Cimandiri, Raja Pandita Barat Maya di Rancahmaya I-II, dan Ronggeng Tujuh Kalasirna.

Dari beberapa judul yang saya dapat itu, masih banyak judul yang masih belum saya temui-dapatkan, antara lain: Rakean Kalang Sunda Makalangan, Pakujajar di Lawanggintung, Pajajaran Seren Papan, Curug Sipadaweruh, Tunggul Kawung Bijil Sirung, Perang Sunda Panglokatan, Lawang Saketeng ka Lebak Cawene, Ngahiangna Pajajaran, Rakean Mulang ka Kahiangan. Sejauh pencarian data-sumber yang sudah saya tempuh sampai hari ini, judul-judul itulah yang terhimpun dan sudah disalin oleh Mochtar Kala, dan diturunkan pada Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, sebagai tokoh utama yang memasarkan produk naskah pantun Bogor.

Menariknya, pantun Bogor selalu bertambah-berlangsung gaib, selain Pa Cilong yang belum saya temukan seri lengkap salinan naskah hasil tuturannya, saya mendapatkan nama yang bersumber pada seorang kebangsaan Inggris bernama Jonathan Rigg, ketika ia menyusun Kamus Sunda-Inggris-nya di Jasinga, ia ternyata dibantu oleh seorang juru-pantun bernama Ki Gembang. Namun sialnya, Rigg tak menjelaskan siapa Ki Gembang itu secara detail, dan lagi-lagi sialnya saya belum mendapat jawaban dari para sepuh setempat terkait siapa Ki Gembang itu, dan apa saja karyanya. Begitulah Bogor, Saudaraku, selalu saja pengkaryaannya berada di tengah kabut dan hujan, sulit ditelusuri lengkap rentetan ceritanya, pengkaryaannya, apalagi tokoh-tokohnya.

Sekali lagi, Saudaraku, jalan apa yang akan kita tempuh bersama? Jika jalan tengah adalah kerja kreatif visual sebagaimana telah dilakukan Candiaz, jalan kiri merupakan kerja kreatif sastra yang saya tempuh, jalan kanan bukankah masih kosong-melongpong? Apakah tak ada yang tertarik menempuh kerja kreatif dari musik, teater, misalnya? Dan seterusnya – dan sebagainya.

Metode Pengajaran

Lepas dari geliat hujan dan kabut itu, Saudaraku. Persoalan sejarah dan budaya, dua bidang-keilmuan yang sering kali masih dianggap hanya milik para ahli, sejarawan untuk sejarah, dan budayawan untuk budaya, cukup menarik pula untuk kita telanjangi. Sebab, pemandangan ini terlalu sempit dan tak mencerminkan kompleksitas serta relevansi keduanya dalam kehidupan sehari-hari serta masyarakat secara luas, terkhusus di Bogor hari ini, jika hanya sejarawan dan budayawanlah yang memegang kunci kendalinya. Saya merumuskan bahwa, sejarah dan budaya pada dasarnya tak terbatas pada ranah para ahli saja, sebaliknya, sejarah-budaya itu adalah warisan kolektif yang dimiliki dan diperkaya oleh seluruh umat manusia, dan untuk dimaknai juga oleh semua manusia.

Kita lihat saja, sejarah dalam definisi umum, dianggap sebagai catatan peristiwa masa lalu yang diinterpretasikan oleh sejarawan. Namun, hal ini tak mengecualikan kontribusi atau kepemilikan sejarah oleh individu lain di luar disiplin sejarah. Setiap orang memiliki sejarah pribadi: misal sejarah keluarga, sejarah desa-kota, atau katakanlah sejarah komunitas yang tak kalah pentingnya untuk dipelajari dan dipahami. Misalnya, kenangan pribadi tentang peristiwa penting, tradisi keluarga, atau narasi lokal, bukankah semuanya itu merupakan bagian dari sejarah yang berharga untuk disampaikan dan diwariskan.

Secara luas dan mendalam, sejarah memang merupakan cermin masa lalu yang membentuk identitas kita saat ini. Ia yang mengajar kita tentang kesalahan yang telah dilakukan, keberhasilan yang telah dicapai, dan nilai-nilai yang telah kita anut dalam perjalanan hidup ini. Dengan memahami sejarah dalam konteks yang lebih luas, kita dapat memperkaya perspektif kita terhadap dunia, belajar dari pengalaman orang lain, dan menghargai keberagaman warisan budaya yang ada di sekitar kita.

Sejalan dengan itu, maka budaya juga tak hanya milik budayawan. Budaya adalah ekspresi kreatif, nilai-nilai, tradisi, dan cara hidup suatu kelompok manusia. Setiap individu, tanpa memandang apa dan bagaimana profesi atau latar belakangnya, siapapun ia dan bagaimanapun ia, tetap saja merupakan pemegang dan pembentuk budaya dari perjalanan hidupnya sendiri, lebih luas lingkungannya sendiri. Melalui bahasa, musik, rupa, tarian, adat istiadat, dan sebagainya, misal praktik sehari-hari, setiap orang ikut serta dalam membangun dan mempertahankan warisan budaya yang berharga.

Menolak pandangan sempit tentang kepemilikan budaya oleh para ahli, kita menyadari bahwa budaya adalah sumber kekayaan yang terus berkembang dan berubah. Pengalaman orang lain, pribadi, dan seterusnya, dalam mempraktikkan tradisi keluarga misalnya, atau kesenangan dalam menikmati seni rupa, sastra, musik, adalah bagian dari memelihara budaya kita sendiri. Budaya tidak hanya melekat pada sejumlah kecil bidang keahlian: ia hidup di setiap tindakan kita sehari-hari, dalam setiap cerita yang kita tulis-ceritakan, bahkan dalam cara kita berinteraksi dengan orang lain.

Itulah mengapa saya tekankan, pendapat umum untuk mengasosiasikan sejarah dan budaya secara eksklusif untuk para ahli, saya rasa telah menciptakan pemisahan yang tak sehat antara kerja intelektualisme dan nilai kehidupan manusia, dan dewasa ini semua itu sudah usang untuk kita takuti. Kita tahu, dalam realitasnya, sejarah dan budaya adalah harta kolektif yang setiap orang wajib berkontribusi untuk menghargainya, memahaminya, mengulas-kritiknya, bahkan mendekontruksi serta mentransformasikannya dalam bentuk pengkaryaan apapun. Dengan memperluas definisi kepemilikan ini, kita tak hanya memperkaya pemahaman kita tentang masa lalu dan nilai-nilai leluhur kita, tetapi juga memperkaya kualitas hidup kita sebagai individu yang hidup dalam masyarakat luas: fenomenologi dunia yang semakin terhubung atas kesadaran.

Kekosongan

Pemahaman yang umum di atas, tentang kepemilikan sejarah dan budaya oleh para ahli semakin terbantahkan dan mulai didobrak oleh kita (anak-cucu masa kini), yang aktif terlibat dalam proses transformasi dan dekonstruksi melalui karya-karya kreatif kita masing-masing. Mereka tidak hanya mengambil peran sebagai konsumen, tetapi juga sebagai produsen yang aktif dalam merespons, merekonstruksi, dan menjalin wahana interpretasi atas sejarah dan budaya itu sendiri.

Untuk contoh kali ini, maka akan saya hadirkan kembali pada proses kreatif Candiaz dalam menyusun dan menuntaskan bukunya yang berjudul, Babad Pajajaran: Rempah Konflik & Prasasti. Secara singkat, Candiaz menggunakan media-visual-lustrasi untuk mengubah cara kita memandang sejarah dan menikmati sejarah. Ia mengambil cerita sejarah yang lampau pada masa Pakuan Pajajaran yang cukup banyak digaib-sakralkan orang mengenai huniannya, tokoh-tokohnya, dan tentu banyaknya cerita-cerita berbagai versinya itu sebagai pijakan bahan pendobraknya.

Melalui Candiaz, muatan geliatnya dapat kita resapi bagaimana mempertanyakan perspektif dominan atas sejarah-budaya, menggali cerita alternatif dari sudut pandang yang sebelumnya terabaikan, atau mengeksplorasi bagaimana sejarah-budaya dapat diinterpretasikan ulang dengan memasukkan elemen-elemen visual sebagai kerja kreatifnya. Karyanya itu tentu tak hanya memperkaya wacana sejarah, tetapi juga menantang cara kita memahami pencarian atas kebenaran dalam konstruksi cerita sejarah. Dengan wahana visua, Ia telah mengajak kita untuk berpikir kritis tentang bagaimana sejarah direkam, dipersembahkan, dan diwariskan kepada generasi selanjutnya dengan cara yang berbeda dari kerangka yang ada.

Apakah ini waktunya kita bersama-sama menciptakan wahana baru atau merevitalisasi sejarah-budaya yang sudah ada melalui disiplin karya masing-masing? Saya rasa, memang sudah waktunya mengadopsi dan mengadaptasi elemen-elemen sejarah-budaya dari berbagai disiplin karya untuk menciptakan identitas kita sendiri yang unik dan inklusif. Proses ini tidak hanya melibatkan karya seni sebagai konsumen, tetapi juga sebagai produsen yang aktif dalam membentuk dan merefleksikan sejarah-budaya yang kita anut.

Apalagi dalam era di mana teknologi memungkinkan akses lebih besar terhadap informasi dan ekspresi kreatif, sudah waktunya tak ada lagi terbatas dalam peran sebagai penonton atau penerima passif dari sejarah dan budaya. Lagi dan lagi kita bisa mengambil inisiatif untuk mentransformasi, mendekonstruksi, dan merekonstruksi kedua raksasa (sejarah-budaya) ini melalui berbagai medium ekspresi karya. Tindakan ini tentu tak hanya memperkaya pemahaman kita tentang sejarah dan budaya, tetapi juga membuka jalan untuk dialog yang lebih beragam, inklusif, dan berkelanjutan tentang warisan manusia, lebih khusus anak-cucu kita di masa mendatang.

Permulaan

Dengan demikian, menolak pandangan bahwa sejarah hanya milik sejarawan dan budaya hanya milik budayawan adalah langkah pertama untuk membangun pemahaman yang lebih dalam dan inklusif tentang warisan manusia yang kaya dan beragam, terkhusus di dalam kabut dan hujan yang menyelimuti Bogor ini.

Itulah mengapa, sudah waktunya kita sebagai anak-cucu Bogor dewasa ini menunjukkan bahwa kepemilikan atas sejarah dan budaya bukanlah hak eksklusif dari para ahli sejarah dan para praktisi budaya, tetapi sebuah tanggung-jawab bersama untuk memelihara, memahami, memaknai, mendekontruksi-transformasi, dan menceritakan kembali narasi kita sebagai anak-cucu yang hidup dalam zaman yang terus berubah dan berkembang: berziarah dan menjadi penyaksi atas kehidupan kecil Kota kita ini.