Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuna Menurut Berita Pantun & Babad

dok. AI


Agama Sunda

Sampai dewasa ini saya belum menemukan pendapat para ahli yang berani memastikan, apa agama orang sunda pada masa Sunda Kuna. Walaupun berita sejarah memberikan indikasi anasir Hindu dan Budha nampak dominan. Secara ekstrim saya berpendapat, agama orang Sunda kuna, sebut saja zaman Pajajaran, adalah “Agama Sunda”. Saya percaya beberapa berita yang sudah ditemukan mayoritas telah memberikan kejelasan-kejelasan. Contohnya naskah lontar kropak-406, Carita Parahyangan (CP) yang menunjukkan adanya para wiku “nu ngawakan Jati Sunda”. Yakni para pendeta yang menganut dan mengamalkan “agama lokal” seraya memelihara “kabuyutan parahiyangan”.

Indikasi dari sisa pranata religi semacam itu, kini masih tetap hidup di lingkungan masyarakat “Urang Rawayan” (Baduy), yang disebut agama “Sunda Wiwitan”. Sisa dari Kabuyutan Jati Sunda atau Parahiyang, adalah Mandala Kanekes, tempat hunian mereka. Sebab pemeliharaan mandala atau kabuyutan “Jati Sunda”, dengan penuh kesetiaan mereka laksanakan hingga kini, yang kini lazim mereka sebut Sasaka Domas, Sasaka Pusaka Buana atau disebut juga Sasaka Pada Ageung.

Kesaksian lain secara primordial saya merujuk kepada berita serial Pantun Bogor versi Aki Uyut Baju Rambeng. Dalam “pantun gede”(pantun sakral) episode “Curug Si Pada Weruh”, diceritakan bahwa, saacan Urang Hindi ngaraton di Kadu Hejo ogeh, Karuhun urang mah geus baroga agama, anu disarebut agama sunda tea. (Sebelum orang Hindi bertahta di Kadu Hejo pun, Leluhur kita telah memiliki agama, yakni yang disebut agama sunda).

Secara hipotesis, yang dimaksud “Urang Hindi” di sini, adalah tokoh Dewa Warman. Sebagaimana diberitakan Pustaka Wangsakerta, ia dipungut mantu oleh Aki Tirem alias Aki Luhur Mulya, dikawinkan kepada puterinya, Pohaci Larasati, kemudian diangkat jadi Raja di Salakanagara yang beribu kota di Rajatapura (130168 M) menggantikan dirinya. Nama tempát Kadu Hejo, sejalan dengan berita Pantun berlokasi di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten, sampai sekarang masih bernama demikian. Pada tahun 1972 Ayah Sacin (alm), ahli sastra bambu dan mantan Panengen (penasehat Puun) Baduy Tangtu Cikeusik menjelaskan, bahwa zaman para “prahajian” Pakuan Pajajaran, agama mereka “Agama Sunda Pajajaran”. Sampai sekarang masih mereka agungkan, terpatri dalam ikrar yang mereka namakan “Sadat Sunda” (Sahadat Sunda): “Pun, Sadu sadat sunda, tuan katata tuan katepi, selam larang teu ka sorang, tuan urang (h)aji pakuan.

Sahadat Sunda ini, setahun sekali mereka ucapkan pada kegiatan upacara muja di Babalayan Pamujan “Sasaka Pada Ageung” (Pemujaan Urang Baduy) beralih kepada pengertian kata “Sunda” sebagai nama suatu agama. Dalam mitos Ngadegna Nagara Sunda berita Pantun Bogor episode Pakujajar Beukah Kembang. Sunda berarti suci atau bagian yang menyempurnakan (“harti sunda teh suci, wareh nu nyampurnakeun”). Tanah Sunda pada awalnya disebut Buana Sunda. Nama yang diberikan oleh Sanghyang Wenang. Sebab, ketika tanah ini masih berupa hamparan kosong banyak didatangi orang untuk “nyundakeun diri” (bertapa menyucikan diri): “di dinya ta hade jasa pieun panyundaan nyundakeun diri, pieun nyampurnakeun raga eujeung sukma, abeh bisa ngarasa paeh sajero hirup. ngarasa hirup saharı paeh” (di sana bagus sekali untuk menyucikan diri, untuk menyempurnakan raga dan sukma, agar mampu merasakan mati selama hidup, merasa hidup sambil dalam keadaan mati).

Kian hari buana sunda kian padat oleh para petapa yang nyudakeun diri. Karenanya, seiring berjalannya waktu mereka menyandang sebutan “wang sunda” (manusia suci). Nama mewujud suatu komunitas, “etnik sunda” telah dimaklumi, agama sunda sudah ada semenjak Dewawarman bertahta di Salakanagara (130-168 M). Dihitung sampai sekarang, eksistensinya sudah kurang lebih 19 abad bahkan mungkin lebih. Kitab Suci sebagai pegangannya disebut Sambawa, Sambada dan Winasa, tiga kitab yang ditulis oleh “Prabu Resi Wisnu Brata”.

“Pikukuhan Agama Sunda Pajajaran dituliskeun dina Layang Sambawa, Sambada, Winasa anu dituliskeun ku Parabu Reusi Wisnu Brata. Nya inyana anu tukang tapa ti ngongora Inyana anu saenyana ngagalurkeun jadi kabehan pada ngari Agama anu kiwari disebut Agama Sunda Pajajaran tea, Agama anu hanteu ngabeda-bedakeun boro- horo ngagogoreng ngahaharuwan agama sejen. Lantaran euweuh agama anu hanteu hade. Anu hanteu hade mah lain agama, tapi metakeun agama, jeung laku lampah arinyana anu arembung bae ngarti hartina Ahad teh Nunggal nu ngan Sahiji-sahijina, ngan sahiji bae.

(Ajaran-ajaran agama sunda Pajajaran dituliskan dalam Kitab Suci Sambawa Sambada Winasa yang dituliskan oleh Prabu Resi Wisnu Brata. Dialah yang suka bertapa dari semenjak muda. Dia pulalah yang mengajak semua jadi mengerti agama yang sekarang disebut Agama Sunda Pajajaran. Yakni agama yang tidak membeda-bedakan bahkan juga tidak menjelek-jelekan memusuhi agama lain. Sebab tidak ada agama yang jelek. Yang jelek itu bukan agama, tapi cara mengamalkan agama, dan kelakuan mereka yang tidak mau mengerti kepada makna “ahad” itu berarti tunggal yang benar-benar hanya satu, hanya “satu-satu-nya”).

Secara hipotesis tokoh Prabu Resi Wisnu Brata menurut cerita Pantun, adalah “Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu” (1175 1297 M) berdasarkan catatan sejarah Pustaka Wangsakerta. Sebab salah satu di antara raja-raja Sunda yang berperangai arif bijaksana sebagai Resi dan gencar menyiarkan agama kala itu, hanya raja ini. Mungkin sebelum 3 buah kitab suci tadi ia tulis, entitas agama sunda selama kurang lebih I millenium, masih bersifat agama tidak resmi. Baru semenjak Kerajaan Sunda dibawah pemerintahannya agama sunda disahkan oleh negara (penelitian lebih lanjut sangat diperlukan). Nampaknya kala itu pula, agama Hindu ataupun Budha mulai memudar Sekurang-kurangnya telah luluh dengan agama sunda. Sehingga berbagai Kitab Suci Agama Hindu-Budha sudah kurang diberlakukan lagi secara khusus.

Dalam Pantun (sakral) Bogor episode “Tunggul Kawung Bijil Sirung” diceritakan, penyebar agama sunda pertama adalah seorang tokoh yang menyandang julukan “Mundi ing Laya Hadi Kusuman” setelah ia mendapatkan Layang Salaka Domas dari Jagat Jabaning Langit”. Secara harfiah Layang Salaka Domas berarti “Kitab Suci Delapan Ratus Ayat” (The Holy Scripture of Eight Hundred Verses). Yang berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup dari semenjak lahir (sambawa), dewasa sampai tua (sambada) dan kematian serta kehidupan di alam hyang (winasa). Bagaimana bunyi tiap ayat dalam ketiga kitab suci tadi, “Urang Rawayan” (Baduy) pun tetap merahasiakannya, atau mungkin, memang mereka sudah tidak mengetahuinya lagi.

Pada zamannya Siliwangi masih bertahta di Pakuan Pajajaran, isi ketiga kitab suci tadi selalu dibaca pada malam yang sunyi, hening, penuh ketenteraman. Yaitu pada púncak upacara Kuwera Bakti di Balay Pamunjungan Kihara Hyang, beratapkan langit bebas diterangi cahaya “damar sewu” berbaur dengan cahaya bulan purnama sedang mengembang, dipimpin oleh Brahmesta Pendeta Agung negara. Keesokan harinya ketiganya diarak di dalam “Jampana Niskala Wastu” berkeliling di halaman Balay Pamunjungan lalu ke kompleks Pakuan.

Kembali kepada tokoh Mundi ing Laya Hadi Kusumah. Siapa ia sebenarnya? Tak ada satupun cerita pantun atau cerita babad yang menjelaskannya. Tersebutnya tokoh “Mundinglaya Dikusumah putra Prabu Siliwangi dirasa tidak memungkinkan, sebab zamannya terlalu muda.

Mundi ing Laya Hadi Kusumah, suatu nama bermakna filosofis: “Seseorang yang telah mampu mengusung tinggi tentang kematian, setara indahnya bunga”, konotasi dari “Seseorang yang telah mampu menguasai hawa nafsunya seraya meninggalkan hal ihwal keduniawian”, identik dengan “Utusan Sang Khalik”.

Bisanya masuk ke Jagat Jabaning Langit, suatu jagat di luar alam semesta, bersimpuh keharibaan Sang Hyang Tunggal, tentu figur ini bukan manusia sembarangan. Jagat Jabaning Langit adalah “Mandala Agung”, dalam istilah Urang Baduy disebut “Buana Nyungcung”, sama dengan “Sidratul Muntaha dalam istilah Al-Quran. Tempat bersemayamnya Sang Rumuhung, Nu Maha Agung, Sang Hyang Tunggal. Dari pengistilahan nama-nama dzat Sang Maha Pencipta seperti di atas, memberikan indikasi bahwa orang Sunda semenjak masa nirleka pun sudah menganut faham Monotheisme (Satu Tuhan) yakni Tuhan sebagaimana digambarkan dalam Pantun Bogor: “Nya Inyana nu muhung di ayana, aya tanpa rupa aya tanpa waruga, hanteu koambes-ambeu acan, tapi wasa maha kawasa di sagala karep inyana.

Dalam mantra yang disebut “Sahadat Pajajaran”, disebutkan sifat-sifatnya, jika dipersamakan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, kira-kira sedikit mirip dengan Surat Al Ikhlas, berbunyi, “Hyang Tunggal tatwa panganjali, Nguwandawa di jagat kabeh alam sakabeh. halonggiya di saniskara, hung tatiya ahung Sang Hyang Agung yang Maha Esa” (dialah yang sebenarnya sang “Penyembahan”, tiada beranak tiada bersaudara, mempunyai teman pun tidak di Jagat dan di Alam ini, Yang paling unggul disegala-gala-nya. Hung, nah itulah Sang Benar Sejati, Ahung!)

Hanya kepadanya orang sunda menyembah dan minta perlindungan, sebab hanya Inyana-lah yang memiliki kebenaran sejati dan hakiki. Dalam keadaan “Tunggal-nya”, “Sang Hyang Rumuhung Nu Ngeresakeun” dibantu oleh para “Sang Hyang”, Hyang”, seperti Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wening. Sang Hyang Guru Hyang Tunggal (Guriang Tunggal), Sang Hyang Kala. Sang Hyang Guru Bumi, Sang Hyang Ambu Sri Rumbiyang Jati, Sunan Ambu dan para Sang Hyang lainnya, sesuai tugas dan wewenangnya masing-masing di Jagat dan Alam seisinya.

Sang Hyang yang menempa kepasrahan dalam perjalanan kehidupan manusia adalah Sang Hyang Kala, lazım disebut Dewa Papasten (dewa kepastian) yang menguasai kewenangan “Sang Waktu”. Orang sunda-nyunda demikian yakin perjalanan hidupnya dikendalikan oleh ketentuan waktu yang diistilahkan “papasten” tadi. Seperti ucapan Sang Hyang Lengser kepada Prabu Siliwangi, yang gagal menyeberang ke Nusa Larang karena diterpa badai dan tofan: “Dengekeun Gusti! Saha anu bisa ngabendung gunturna waktu, saha anu bisa nyahatkeun talaga lara, saha anu bisa mungpang ka papasten” (Dengarkan Gusti! Siapa yang mampu membendung membanjirnya waktu, siapa yang bisa mengeringkan telaga kesusahan, siapa yang bisa melawan kepastian).

Di sini tersirat bahwa segala langkah dan upaya, tak akan bisa tercapai apabila belum waktu-nya, yang dalam bahasa sunda lama disebut “uga”. Dalam konteks sebagai masyarakat ladang. Sanghyang yang diagungkan oleh orang sunda ialah Sanghyang Ambu Sri Rumbiyang Jati (sebagai Dewi Kesuburan Padi dan tanam-tanaman) dan Sanghyang Ayah Kuwera Guru Bumi atau disebut pula Batara Patanjala (Dewa kesuburan dan kesejahteraan)

Kedua, Sanghyang suami istri ini, sebagai pangbayu hirup hurip manusia sunda. Karenanya dijadikan inti puja dalam kegiatan-kegiatan upacara besar semacam “Lebaran”, baik upacara tahunan Seren Tahun Guru Bumi maupun winduan Upacara Tutug Galur Kuwera Bakti di Pakuan. Waktu kegiatannya berupa pesta akbar setiap selesainya panen padi di ladang.

Kita maklumi, sekarang pun hal demikian masih berlaku di lingkungan masyarakat adat Baduy, Pancer Pangawinan, Naga, Dukuh, Sumedang Larang, Cigugur, bahkan warga masyarakat Kampung Budaya Sindang Barang.

Agama Sunda memberikan ajaran tentang proses hidup manusia sejak lahir, hidup, mati dan menitis secara reinkarnasi. Menghadapi proses ini manusia sunda dihadapkan kepada dua jagat yang disebut jagat jadi carita dan jagat kari carita (dunia fana dan alam baka). Di jagat kari carita, terdapat mandala dan buana karma atau jagat pancaka Mandala tersebut terdiri dari 9 tingkat, berikut di antaranya:

  1. Mandala Kasungka. 2. Mandala Parmana. 3. Mandala Karma. 4. Mandala Rasa. 5. Mandala Seba. 6. Mandala Suda. 7. Mandala Jati. 8. Mandala Samar. 9. Mandala Agung.

Setiap roh orang mati, harus masuk dulu ke Mandala Kasungka “mandala paling bawah.” Jika semasa hidupnya tidak-baik, harus pindah dulu ke Kawah Panggodogan di Buana Karma, untuk mendapatkan ujian-ujian. Bagi yang masa hidupnya baik-baik, bisa secara langsung naik sampai ke mandala yang lebih tinggi.

Mandala keenam, Mandala Suda, berupa tempat berkumpulnya para “Karuhun” yang telah bebas untuk pulang pergi ke dunia fana. la boleh berwujud lagi, tapi kalau berbicara hanya melalui perasaan. Atau sebaliknya, boleh bersuara biasa tapi mesti tanpa wujud.

Dari Mandala Suda naik lagi ke “Alam Kasucian” yaitu ke Jati Mandala. Di mandala ini terdapat dua paseban: Paseban Pangauban tempat para Karuhun yang sudah bebas untuk kembali lagi ke dunia fana menjenguk yang masih hidup, seraya boleh berwujud dan berbicara seperti biasa. Sebelah atasnya terdapat Papanggung Bale Agung, di sana berkumpul para Karuhun yang sedang menunggu giliran untuk nitis

Sebelah atas Jati Mandala ada Mandala Samar. Di Mandala ini yang tinggal para Karuhun yang sudah memiliki jadwal nitis. Mereka sudah tidak perlu lagi naik tahapan mandala, sebab mereka sudah pada habis giliran, untuk kemudian lebur menyatu dengan dzat semesata alam.

Ada tiga tempat sejajar di atas Mandala Samar. Yang ada di tengah, tempat bersemayamnya Sanghyang Guriyang Tunggal. Sebelah kirinya persemayaman Sang Hyang Wenang, yang kanan Sang Hyang Wening. Ditengah atas ketiganya tempat bersemayamnya Sang Hyang Kala.

Sedangkan yang paling atas sendiri Mandala Agung, jarak dari Mandala Samar kira-kira dua puluh sembilan setengah zaman (dua puluh salapan satengah jaman), atau istilah Urang Kanekes (Baduy) hanya berjarak sagorolong jeruk minis (segelinding jeruk nipis). Mandala inilah yang juga disebut Jagat Jabaning Langit tempat bersemayamnya “Sang Hyang Tunggal”, “anu minggal bae di sakabeh alam sakabeh jagat” (Tuhan Yang Maha Kuasa, yang “Maha Esa” di seluruh alam dan seluruh Jagat). Suatu Jagat tanpa ruang tanpa waktu, tanpa terang tanpa gelap, tanpa jarak tanpa batas.

Sarana Peribadatan

Sarana sebagai tempat peribadatan Agama Sunda zamannya Pajajaran ada tiga macam yang termasuk inti:

1). Balay Pamunjungan, berupa bukit Punden Berundak 12 undakan, yang dibahagian puncaknya dan di 2 tingkat di bawahnya terdapat Arca-arca sebanyak 800 buah, yang lajim disebut “Arca Domas”. Konon, Balay Pamunjungan yang paling mewah dan megah di Pakuan Pajajaran, pada zamannya Prabu Siliwangi. Yakni yang disebut Balay Pamunjungan Kihara Hyang berlokasi di “Leuweung Songgom” (hutan songgom) kira-kira wilayah Kampung Bantar Kemang sekarang. Selain lapangan di bawahnya sangat luas juga di puncak bukit yang disebut balay, dipadati oleh arca-arca Emas seutuhnya sebanyak 400 buah. Arca lain yang 400 lagi dari batu, terdapat di tingkat kedua ketiga yang disebut Babalayan.

Punden semacam ini terdapat hanya di Pakuan (pusat kerajaan), sebagai sarana upacara peribadatan “munjung” kepada Hyang Maha Agung baik dalam Seren Taun Guru Bumi (tahunan) maupun Seren Taun Tutug Galur (Kuwera Bakti) delapan tahunan. Bahkan kegiatan-kegiatan upacara kecil lainnya. Sebagai pimpinan keagamaannya disebut Brahmesta yang dibantu oleh para Ganidri, Marakangsa, Puun Meuray, Puun Sarı, para Puun dan para Pangwereg Punjung sebagai tempat mandi sucinya, telaga yang terdapat di sungai Cihaliwung, yakni yang disebut Talaga Rena Mahawijaya atau lebih dikenal dengan sebutan Leuter Sipatahunan.

Secara hipotesis Telaga dan Balay Pamunjungan Kihara Hyang (Gugunungan-ngabalay bukit sebagai balay) ini dibuat oleh Sri Baduga Maharaja sebagaimana tertera dalam prasasti Batutulis Bogor, “ya siya nu nyiyan sakakala gugunungan ngabalay, nyiyan samida, nyiyan sanghyang talaga rena mahawijaya.” Karya Siliwangi ini mungkin merupakan pengganti telaga Sanghyang Rancamaya yang sudah ditimbuni oleh Sang Haluwesi adik Prabu Susuk Tunggal karena di sana ada sosok gaib yang jahat selalu muncul.

Sebagaimana CP memberitakan Sanghyang Haluwesi, Nu nyacuran Sang Hyang Rancamaya, Myina ti sanghyang rancamaya: Ngaran kula ta Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hyang banaspati. Yang menurut Pantun “Disaeurna Talaga Rancahmaya gaib jahat itu tiap tahun selalu meminta “pumatarameun” (kurban) tujuh pasang manusia muda-mudi yang disebut Sekar manah.

Berita tersebut mengisyaratkan, bahwa pada zamannya Prabu Susuk Tunggal (1382-1482 M) mertuanya Prabu Siliwangi, Telaga Sanghyang Rancamaya sudah tidak difungsikan lagi termasuk Pasir Badigul atau menurut Rajah Pakuan disebut Sanghyang Padungkukan, sebagai Balay Pamunjungannya. Tentu saja penelitian lebih lanjut masih perlu dilaksanakan.

2). Babalayan Pamujaan, ini pun berupa punden yang terdapat di Kabupatian- kabupatian Luar Dayeuh atau Kapuunan-kapuunan. Undakan pada punden macam ini hanya sebanyak 9 atau 7 undak dan tidak terdapat arca-arca, yang ada hanya kumpulan batu-batu besar pada fiap tingkat undakannya. Fungsinya sebagai tempat upacara “muja” baik kepada para Sanghyang maupun kepada para Karuhun, yang dipimpin oleh Pandita atau Puun dan Kokolot.

3). Saung Sajen (Pancak Saji), berupa bangunan khusus untuk menyimpan sesaji dalam upacara “nyajen”, terbuat semacam rumah panggung mini tanpa kamar-kamar, tapi ada semacam altar untuk penyimpanan sesaji. Bangunan ini terdapat di lingkungan pemukiman baik dekat Keraton, Rumah Puun, Rumah Bupati ataupun rumah warga.

Di samping sarana tersebut, masih ada tempat-tempat “sajen” yang tersebar di tempat-tempat yang dianggap memiliki daya gaib atau keramat seperti didepan gua, dibawah pohon besar, dihulu sungai, tengah hutan, dan sebagainya. Tempat-tempat semacam itu sebagian besar senantiasa ditandai oleh adanya “batu-batu besar dan “batu-datar” sebagai wahana penyatuan diri antara manusia dengan sang gaib yang dihormatinya.

Tujuan demi terselenggaranya keselarasan hidup antar sesama makhluk dan unsur alam lainnya sesama ciptaan Sang Hyang Keresa. Sebab dalam ajaran agama sunda, makhluk manusia yang sudah “nyunda”, mesti menyadarı, bahwa yang di-istilahkan, “utek tongo walang taga, manusa buta detia, luksut jukut rungkun kayu, keusik karihkil cadas batu, cinyusu talaga sagara, bumi langit jagat mahpar, angin leutik angin puyuh, bentang rapang bulan ngempray. Sang herang ngenge nongtoreng. Eta kabeh ciptaan Sang Hiyang Tunggal. Keur inyana mah kabeh geh sarua euweuh bedana.” (satwa terkecil sampai yang paling besar, manusia-raksasa dan detia, lumut- rumput-perdu sampai kekayuan, pasir-kerikil-cadas sampai bebatuan, mata air-telaga sampai lautan, bumi-langit sampai semesta alam, angin semilir sampai angin tofan. bintang bertaburan-Bulan terang, Matahari terik. Itu semua ciptaan Sanghyang Tunggal. Bagi-Nya kesemuanya itu sama tidak ada perbedaannya)

Beranjak dari faham inilah, maka bagi manusia sunda alam itu bukan untuk ditaklukan, tetapi harus disahabati, diakrabi, bahkan dihormati. Implementasinya, melalui pranata “puja-puji-saji” lewat mandala suci sarana peribadatan tadi.

Sarana peribadatan agama sunda yang disebut-sebut Pantun Bogor diantaranya Balay Pamunjungan Rancamaya-Pasir Badigul pendetanya Resi Tugu Perbangsa, Balay Pamunjungan Kihara Hyang-Sipatahunan, pendetanya (Bramesta Tunda Pura), Babalayan Pamujan Mandalawangi-Talaga Wana, pendetanya Resi Handeulawangi, Babalayan Pamujan Genter Bumi-Cisakawayana Resi Tutug Windu, Balay Pamunjungan Mandala Parakanjati (SBR)-Sanghyang Tampian Dalem, pendetanya Sanghyang Resi Kumarajati, dan sebagainya.

Dambaan utama orang sunda setelah meninggal, bukan untuk mencari surga, tetapi menghendaki bisa kembali ke “Kahiyangan” (Mandala Agung) sebagaimana asalnya, tanpa mesti melewati dulu mandala-mandala di bawahnya. Sebab ketika lahir datang dari mandala “Hyang” tanpa rencana, kembali pun melalui proses “Ngahiyang”” tanpa mesti direncanakan menginginkan surga. Hal inilah yang dalam pengistilahan sunda disebut “mulih ka jati mulang ka asal.”

Sarana peribadatan Sunda Kuno yang tidak bernuansa Hindu-Budha, jika ditilik dari aspek historis nasional, memiliki nilai-nilai spiritual yang mandiri. Dalam hal ini, jika semua pusat pemerintahan masa silam di Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan berdiri megahnya Candi-candi, di pusat-pusat Kerajaan Sunda Pajajaran, Galuh, Talaga, Singaparna juga Kawali, yang jadi penanda kebesarannya adalah “tradisi megalitiknya” bercirikan batu-batu besar. Inilah suatu bukti bahwa orang sunda telah memiliki agama lokal yang cukup mapan.

Sindang Barang Pusat Kegiatan Agama Sunda

Di dalam Rajah Demung Kalagan (Pantun Ki Kamal, 1969), nama Sindang Barang sudah disebut-sebut sebagai mantra pembuka dan penutup cerita, ulah Sindang Barang geusan tata pangkat diganti deui, sang pamunah sang darma jati, tanah lemah tutup humi, tutup buana dat mulusna (jangan sindang barang sebagai tempat awal jagama sundaj diganti lagi, yang menyucikan (pendetaļ sang darma jati, tanah tempat penaung dunia, pengayom alam kesempurnaan).

Kata-kata dalam rajah tersebut mengindikasikan bahwa Sindang Barang dikategorikan “tempat suci” bahkan dianggap sebagai penaung dunia dan pengayom dari segala kesempurnaan. Disebutkan pula penata kesuciannya bernama Sang Darma Jati. Hal ini sejalan dengan berita pantun-gede Ki Buyut, seri pantun Tunggul Kawung Bijil Sirung, yang menceritakan bahwa: “Babalayan Sanghyang Parakan Jati, Mandala suci Pamujan Kadatuan Sindang Barang saluareun dayeuh pakuan. Saha tah anu ngeuyeukna? Nya inyana Pandita Agung anu ngaran inyana Sang Kumara Jati tea. Nya inyana oge anu ngabebenah Sanghyang Talaga Tampian Dalem salebakeunana.” (Babalayan Sanghyang Parakanjati, Mandala suci Pemujaan Kadatuan Sindang Barang sebelah luar ibukota pakuan. Siapa yang mengurusinya? Dialah Pendeta Agung yang namanya Sang Kumara Jati, Dialah juga yang memperindah Sanghyang Talaga Tampian Dalem, di sebelah bawahnya).

Berita ini memperjelas, bahwa entitas Sindang Barang benar sebagai tempat suci, memiliki sarana peribadatan Balay Pamujan inti Sanghyang Parakan Jati dan Sanghyang Talaga Tampian Dalem. (Pendeta) Kumara Jati atau Darma Jati orangnya pasti itu-itu juga. Mandala tersebut sebagai tempat peribadatan agama sunda wilayah Kadatuan Luar Dayeuh Pakuan, Kadatuan Sura Bima Sindang Barang.

Perkiraan sementara lokasi telaga ada di lahan luas sebelah bawahnya Kampung Budaya Sindang Barang sekarang, yaitu di Cilegok. Hal ini bisa diasumsikan bahwa bekas Kabuyutan agama sunda Mandala Parakan Jati masa lalu adalah Kampung Budaya Sindang Barang (Cimenteng) sekarang.

Masih menurut Ki Buyut Juru Pantun, seorang raja Pajajaran bernama Prabu Rakean Heulang Dewata, dikisahkan “dipendem” (dimakamkan) dekat Hyang Talaga Tampian Dalem (parek ka Sang Hyang Talaga Tampian Dalem”). Jika tokoh ini identik dengan salah seorang Raja Pajajaran menurut berita sejarah, ia pasti Ratu Dewatabuana (1535-1543 M). Sebab ia pun diberitakan dipusarakan di “sawah” tampian dalem. Secara hipotesis tempatnya itu-itu juga. Pusara (kuburan) dimaksud perkiraan sementara sebuah Kuburan-kuno panjang 5 meter yang juga berlokasi di Cilegok, sampai sekarang kuburan kuno itu belum dikenal oleh siapapun (Maki, 2008).

Berita lain menceritakan Prabu Wisnu Brata memerintah Kerajaan Sunda berpusat di Pakuan “Sanghyang Saka Bumi di kaki Gunung Sanghyang Purwa (Gunung Gede). Di sana ia mendirikan Balay Pamunjungan Arca Domas” di kaki “Giri Parangguh (Gunung Pangrango) dengan Brahmesta (pendeta agung) pemimpinnya bernama Sang Jati Jatra.

Pada akhir pemerintahannya, Wisnu Brata menyerahkan tahta kerajaan kepada keponakannya bernama Prabu Kafang Carita, Raja ini lalu pindah ke Pakuan Pajajaran dan mendirikan Balay Pamunjungan Kihara Hyang di tutugan Ardi Munda Mandala sebelah timur Arda Welah. Di sini mungkin ada kekeliruan yang diberitakan Juru Pantun. Yakni antara lokasi Ardi Munda Mandala atau Arda Welah yang kini dikenal dengan nama Gunung Salak, dengan lokasi Kihara Hyang. Pada lakon Pantun yang sama, Kihara Hyang disebutkan ada di “Leuweung Songgom” di seberang-timur Pakuan, sebelah atasnya Sungai Cihaliwung (sekitar kampung Bantar Kemang sekarang).

Dalam lakon Pakujajar di Lawang Gintung versi Jonggol disebutkan “Pamujan di Leuweung Songgom di mumunjul Kihara Hyang, pamujan batu anu tujuh, anu ngundak tilu tumpangan Kedua cerita tadi memberitakan Balay Kihara Hyang adanya di Leuweung Songgom bukan di ujung kaki Gunung Salak sumber lain, Pantun Tunggul Kawung Bijil Sirung; “Prabu Kalang Carita nyieun Pamujan-Agung di mumunggang Giri Dwi Munda Mandala, sajajaran eujeung Taman, disebutna Mandala Sanghyang Parakan Jati, satonggoheun Talaga Sanghyang Tumpian Dalem, nyela bumi ti Kuta Babaton.” (Prabu Kalang Carita mendirikan Pamujan Agung di kaki lereng Giri Dwi Munda Mandala, berdampingan berjajar dengan Taman, dinamainya Mandala Sanghyang Parakan Jati, sebelah atasnya Sanghyang Tampian Dalem, menyilang dari Kuta Babaton).

Disebutkan pula Mandala Parakan Jati “sajajaran eujeung Taman “dan “nyela bumi i Kuta Babaton”. Nampaknya, Taman dimaksud bukan Taman Milakancana di Pakuan, tapi Taman di kompleks Sindang Barang dalam berita sejarah, Prabu Ragasuci (1297-1303 M) putra Prabu Guru Darmasiksa disebutkan pula “sang mokteng Taman” (dipusarakan di Taman). Ini berupa penanda, bahwa Prabu Kalangcarita mungkin identik dengan Prabu Ragasuci. Kalaupun tidak, mungkin mereka berdua masih pertalian saudara, taman yang dijadikan pusaranya tidak akan jauh dari Kabuyutan yang didirikan olehnya atau saudaranya, yaitu di seputar wilayah Kadatuan Surabima (Sindang Barang).

Dugaan sementara, lokasi pusara tersebut ada di kompleks Punden Sanghyang Rucita di Pasir Eurih. Nama Kuta Babaton atau Kuta Wawaton (benteng bebatuan), ini menunjukan identitas kampung Kota-Batu sekarang, yang berdekatan dengan Kampung Sindang Barang. Dengan demikian sudah terjawab, bahwa Balay Pamunjungan di kaki Gunung Salak adalah Mandala Parakan Jati, bukan Kihara Hyang.

Dimuka diutarakan, bahwa Balay Ki Hara Hyang didirikan jaman Prabu Siliwangi abad 15-16 M, sebagai pengganti Sanghyang Padungkukan dan Rancamaya yang sudah ditinggalkan karena angker Prabu Kalang Carita keponakan Wisnu Brata Prabu Darma Siksa memerintah pada abad ke-13 M. Terdapat tenggang waktu kurang lebih 2 abad diantara kedua raja tsb. Semakin jelas, sesuatu hal yang tidak mungkin bersamaan.

Melihat kenyataan di lapangan sekarang, Kampung Sindang Barang sarat dengan tinggalan-tinggalan kuno berbentuk tradisi megalitikum “Non Hindu-Budha”. Hal ini sebagai indikası, bahwa semenjak Pakuan Pajajaran mulai didirikan abad ke-7 oleh Tarus Bawa, Sindang Barang mungkin sudah berfungsi sebagai Kabuyutan Jatisunda sebagai kelanjutan dari Kabuyutan.

Arca Domas yang di Gunung Sanghyang Purwa (Gunung Gede), Kabuyutan Gunung Padang di Cianjur Selatan dan Kabuyutan Kuta Gegelang di Gunung Bunder. Disamping itu, sebelum ada Kabuyutan Mandala Kihara Hyang karya Siliwangi, upacara-upacara besar agama sunda Pajajaran seperti Tala Kinariyan, Tata Duriya, Bakti Astula, Bakti Arakana, Guru Bumi, Kuwera Bakti termasuk upacara- upacara kecil lainnya, terpusat di Kabuyutan Mandala Parakan Jati (Sindang Barang). selain di Kapuunan-Kapuunan di luar lingkungan Kadaton.

Hal ini sekaligus membuktikan, bahwa agama yang dianut warga Pajajaran sudah bukan “aqidah” Hindu- Budha lagi, namun agama yang disebut “Agama Sunda”. Kalaupun adanya warna-warna ke-Hindu-Budhaan, hanya sebatas kepada aspek-aspek budaya kulit luarnya. Bisa diistilahkan “Nıncak Parahu Dua”, aqidah agama, agama sunda, sedangkan sistem budaya, budaya campuran sunda-hindu-budha.

Dalam hal ini mengapa Putri Padmawati (Kentring Manik Mayang Sunda) memilih tinggal di Kadaton Surabima di Sindang Barang, tidak di Pakuan. Konon demi lebih memantapkan keyakinannya kepada agama sunda. Sebab nenek moyangnya berasal dari “Nusa Bima” bukan asli Pajajaran (Partini Sardjono, 1991). Karenanya Kedatonnya oleh ayahandanya, Prabu Panjı Haliwungan (Susuk Tunggal) dinamai Sura Bima Putranya pun, Prabu Guru Gantangan yang menurut catatan sejarah disebut Prabu Surawisesa (1521-1533 M), lahir di Sindang Barang juga, selagi kecilnya ia diasuh dan dididik oleh uanya Rakean Panji Wirajaya Sang Amuk Murugul di Kadaton Surabima Barulah ketika Siliwangi wafat, ia terpilih untuk menggantikannya memegang tampuk pimpinan sebagai Raja Pajajaran ke-2 di Pakuan.

Kesimpulan dan Saran

Ki Sunda pada masa silam (zaman kuna) memiliki sistem religi yang “khas Sunda”, la adalah “Agama Sunda”; sebagai jatidiri, sebagai budaya dan sebagai jiwa-pribadi, yang “nyunda majajaran. Eksistensi Agama Hindu-Budha kurang berkembang pesat, sebab secara hipotesis agama sunda sudah ada semenjak zaman purba. Kalaupun Hindu-Budha seperti dominan, hal ini hanya sebatas institusi budaya pelengkap dari entitas anutan agama sunda yang sudah mengakar. Karenanya, tradisi keagamaan Sunda Kuno zamannya Pajajaran, masih lekat (inherent) dengan tradisi megalitik sebagai identitasnya.

Kampung Sindang Barang Desa Pasir Eurih Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor, termasuk seputar Gunung Salak, merupakan situs “Kabuyutan Jatisunda terbesar di wilayah Pajajaran Bogor. Yang sampai sekarang meskipun secara sembunyi-sembunyi masyarakat Baduy dari Banten Selatan (Provinsi Banten) masih-selalu mengunjunginya.

Disarankan, mengingat eksistensi Kampung Sindang Barang bernilai sejarah tinggi, seyogyanya mendapat perlindungan Pemerintah sesuai Undang-Undang Pemerintah No. 5 Tahun 1992. Tentang Perlindungan Benda Cagar Budaya. Bagi siapapun, pihak mana pun yang akan mengganggu keutuhan situs-situs tinggalan Sunda kuno, di wilayah Bogor. Khususnya di seputar Kampung Sindang Barang dan Gunung Salak, agar dicegalı bahkan ditindak tegas jika melanggar, sesuai hukum yang berlaku.

Hung, rahayu suasti astu nirmala seda malilang. Pun..!

***

Tulisan ini pernah disampaikan pada Gotrasawala (Seminar) “Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindang Barang ” Tanggal 19-20 April 2008 di Kampung Budaya Sindang Barang Kabupaten Bogor. Dan kami menerbitkan tulisan ini guna menjadi wahana pembelajaran bersama, lebih khusus agar terjalin, kritik-saran maupun tinjauan kajian lanjutan.

Penulis: Anis Djatisunda

komentar (4)