Hujan Orang Mati dan Sorrow Sense of Life

dok. Cover Hujan Orang Mati (MLB)


Bahwa Majelis Lidah Berduri adalah salah satu kelompok musik terbandel di Indonesia, sehingga tak diperlukan kontroversi genit, panjang-pendek. Mengingat keterlibatannya gombyos “mandi keringat” di dunia seni secara perasaan dan pikiran selaku musisi, teaterawan (sastrawan/penyair?), dan atau pekerja seni lintas disiplin, ia keluar masuk teater, merambahi sastra, menempuh puisi, sesekali mampir ke rupa maupun sebagai sekumpulan orang semalam suntuk diskusi, serta hal-hal lain yang memang berserakan, sebagaimana dijalaninya hampir selama lebih dari dua dasawarsa—semenjak transformasi dari nama Melancholich Bitch—yang lalu, dan yang akan datang.

Album Hujan Orang Mati (HOM) hadir, barangkali, untuk menandai peristirahatan Melancholich Bitch dan permulaan Majelis Lidah Berduri ke dalam masa artistik sebagai musisi, meski selalu merasa berulangkali gagal menjadi band, tapi tak akan hentikan musik. Sekaligus diharapkan baginya, mungkin, untuk berbagi temuan perjalanan album ini demi membangun percakapan lebih lebar, yang terbuka pada kemungkinan-kemungkinan percakapan dan penafsiran atas album ini kemudian, seperti kembalinya gairah kehidupan kreativitas dalam gairah keakraban dan kekerabatan. Tentunya dengan tetap “nguri-uri” musikalitas yang sedemikian ritmis, mengena, terarah pada kita.

Terarah pada kebudayaan yang mempunyai sense of life (rasa hayat) tersendiri. Rasa hayat ialah cita rasa-cita pikir tentang hidup, sebagaimana hidup dialami langsung oleh masyarakat, manusia. Bagi orang Jawa ada semacam rasa hayat duka, tetapi bukan sekedar ungkapan belasungkawa maupun upacara kematian, melainkan suatu perasaan bahwa hidup ini adalah mungkin sebuah duka, bersama kegembiraan-kegembiraan yang patut disyukuri. Plus prihatin bahwa percepatan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini terlalu kencang sehingga hidup ini terasa mengkhawatirkan, tak terpahamkan, tak kunjung dimengerti, dan seperti sebuah pendulum yang tak diam. Kadang kita terbentur/dibenturkan-benturkan di antaranya. Kadang kita tertekan, terhimpit, dan tak berdaya di hadapan hidup. Kaki ini terlalu capek untuk mengejar atau menghindar, atau “dunia semakin lebar, daun kelor kami segitu-gitu saja,” tulis Melbi dalam suratnya.

HOM mengusung kematian, dan ini adalah tema agung. Di Jawa ada “mulih” (pulang ke asal-Nya), sekaligus ada tiga derajat kematian dalam pemahaman masyarakatnya, yaitu “mati utomo” atau kematian yang dihormati, “mati lumrah” atau kematian yang disebabkan oleh usia/sakit, dan “mati nista” atau kematian yang disebabkan oleh bunuh diri maupun kecelakaan. Barangkali kalau secara modern, “mati ngenes” atau kematian yang dibiarkan secara pelahan-lahan tanpa disadari, dan atau kematian yang lebih luas jangkauan spektrum pemaknaannya. Misalnya, dalam arti lain, kematian sebagai awal dari kehidupan sejati. Atau, bisa kita maknai seperti dalam falsafah Jawa sangkan paraning dumadi, yakni menapak ke asal-usul dan tujuan hidup manusia. Sebagaimana Melbi berusaha mendekonstruksi/memaknai ulang ungkapan “hidup segan mati tak mau” malih menjelma “takut mati dengan berani”—demikian pula berarti berani hidup. Dengan prinsip berani, “wani urip gak wedi mati, wedi mati ojo urip, wedi urip matek o ae,” mereka terus bergerak, mencari-cari pengertian jalan keluar dari idiom lama ini.

HOM bertolak dari pengalaman perkabungan mereka, sendiri maupun bersama, setelah ditinggal orang-orang terkasih, plus orang-orang tersayang satu per satu, sampai berlipat-lipat, beribu bahkan berjuta jiwa terutama di sekitar masa pandemi global yang lalu. HOM adalah album dari “ruang duka personal dan menyusun ritus duka sosial.” Apa-apa yang telah melewati operasi personal menjadi kesadaran untuk/bagi operasi sosial; bedah politik, seni, dan kehidupan sehari-hari. Seperti panduan pengalaman emosional puitis nan mendalam, yang terdengar sampai pada kita sebagai refleksi tentang kehidupan dan kematian. Hal ini terpantul dalam lagu Nasib Sekumpulan Blandar, “bercakap tentang ketakutan dan kematian yang asing.” Wabah Covid-19 telah merenggut korban jiwa sekian banyak dan kita kadang/sering dihantui oleh wabah itu, yang datang tiba-tiba, dan mematikan sewaktu-waktu. Alangkah tak berdaya menyelimuti hidup ini, sebab wabah yang terjadi berada di luar kontrol. Perasaan sorrow sense of life pasti muncul ketika itu.

Tapi hari ini, saat ini, sekarang duka pun berubah. Megaproyek “food estate” di Papua maupun di Kalimantan menggusur/mengusir masyarakat adat secara paksa. Alam di-pack dalam kaleng-kaleng eksploitasi. Hutan dibabat dari tanah-tanah, laut dikeruk dari perairan, dan proyek-proyek strategis nasional seperti mewabah. Kemiskinan dan ketimpangan sosial-ekonomi mengepung kita dari segala arah. Fenomena ini merupakan duka-duka baru yang terus/sedang bermunculan. Di lain sisi, ada duka yang telah mendominasi yaitu oligarki, korupsi, penindasan dan kesewenang-wenangan. Sorrow sense of life timbul dalam bentuk modern ketika mendengarkan lagu-lagu dalam HOM, Majelis Lidah Berduri.

Kematian Yang Merenggut

Barangkali pintu masuknya ialah duka. Berikut lagu-lagu tentang ditinggal pergi orang-orang terkasih (Hujan Orang Mati 1: Asam Lambung, Hujan Orang Mati 2: Lungkrah, Hujan Orang Mati 3: Takut Mati dengan Berani) menunjukkan bahwa perasaan belum tuntas sepenuhnya, duka tak kunjung rampung ditunaikan, dan kematian begitu dekat, pasti. Setiap kematian pasti ada kehidupan lain. Misalnya, kematian yang karena direnggut/dirampas akan selalu lebih hidup dan dihidupi. Mungkin inilah yang ingin diungkapkan lagu-lagu ini. Suara yang keluar dari rasa takut mati dengan berani. Demikian lirik bernyawa telah menghidupkan suara-suara yang hancur-lebur, bangkit kembali. Hadir dengan karakter suara-suara potensial dan menggairahkan secara emosional.

Lagu “Janjian di Samarra (Cinta Mati)”, juga menunjukkan rasa takut mati dengan berani akibat konflik bersenjata. Pertempuran demi pertempuran, serangan demi serangan, ledakan demi ledakan, yang tidak hanya menewaskan sekian banyak orang, tetapi juga menyebabkan kerusakan dan penghancuran secara signifikan. Ia seperti menyeruak rasa duka, maka kita harus temukan sendiri letak rasa hayat duka ini: bagaimana lika-likunya, seperti apa tragedinya?

Kematian Yang Mengintai

Lagu “Kabar Dari Penyusup (Negara Dalam Keadaan Kuncitara)”, mengingatkan kita tentang wabah Covid-19, dengan mempertanyakan tatanan new normal, apakah “mengantarkan kita sampai di tujuan semula(?)” atau “dikembalikan paksa ke keadaan semula(?)”. Sedangkan dalam pemaknaan lain tentang penyusup, entah kematian yang mengintai maupun pemerintah yang mengintai, adalah mungkin kematian yang disebabkan oleh negara. Hal ini menyatakan bahwa ada banyak gugusan duka-lara yang memanggil dengan panggilan tersayang, suaranya lirih dan merintih. Lalu, kita bisa mengaktivasi kemampuan untuk cuek, karena tidak peduli kadang juga diperlukan bagi kehidupan. Tidak peduli adalah jalan mencapai harmoni, karena ini berarti kita bisa menyesuaikan diri dengan duka sekitarnya. Tetapi duka masih akan terus berkata, mencari suara sebagai bentuk harmoni—yang bukan dalam diam, melainkan dengan meneroka suara yang datang dari waktu dan tempat yang jauh. Waktu dan tempat yang sedang terperangkap oleh duka, maka pada sekarang kita nyanyikan suara-suara pembebasan atau amarah membabi buta atau terus saja mencerca!

Lagu dari musikalisasi puisi Chairil Anwar, “Aku Berkisar Antara Mereka”, menyiratkan betapa kematian berkisar antara kita, kematian terus mengintai kita dari segala arah, dan “sungguhpun ajal macam rupa jadi tetangga.” Ada kepedihan yang menggigit di sini, yang didapat dari kenyataan-kenyataan duka tak tepermanai: “kualami kelam malam dan mereka dalam diriku pula”. Gigi-gigi masa tengah mencabik-cabik seluruh jeroan diri kita, sedangkan taring kekuasaannya dengan tajam menggerogoti hampir seluruh alam. Derita bertambah sebanyak-banyaknya duka pula. Tapi belum sebanyak kita pakai mata mereka ikut pergi mengalami penghancuran lahan pertanian dan perampasan lahan hidup. Untungnya, Melbi telah mencoba pakai suara mereka untuk mencibir, meronta, dan menawar obat pereda sakit atas berbagai duka yang teralami bersama. Kedukaan nasib seakan-akan terhibur dengan hubungan antar lagu dan manusia—yang dengan segala keterbatasannya, ingin ikut memperjuangkan keindahan hidup.

Kematian Yang Gelagat

Lagu “Pagar”, mengungkapkan kematian akibat perjuangan secara fisik. Hidup dari tanah, untuk tanah, demi mempertahankan tanah yang dirampas, yang direbut, yang direnggut oleh ekskavator kekuasaan. Ada seorang Ibu, atau seseorang lain, sedang berjuang mati-matian membela tanahnya masing-masing, di mana-mana. Makanya pagar di sini, bukan sekedar penanda suatu wilayah, yang membatasi atau mencegah orang lain masuk, melainkan juga menyoal tentang harkat dan martabat kemanusiaan. Ibu yang beribu-ribu jumlahnya itu tidak ingin biar, pasrah, dan dikalahkan begitu saja. Ibu melawan tidak semata-mata demi menjaga tanah, tapi demi kehormatan manusia. Walaupun kematian yang gelagat ini senantiasa mendekatinya, ia tak mati-mati. Oleh karena itu, lagu ini seolah-olah hendak memberi peringatan pada kekuasaan yang selalu menyambut dengan gembira “ketidakberdayaan” Ibu, atau sebagian lain dari kita, untuk mempertahankan tanah itu.

Lagu dari puisi Gunawan Maryanto, “Nasib Sekumpulan Blandar”, mengungkapkan tentang wong cilik, tetapi dengan nasib yang lebih duka. Kedinginan ketika mereka tergusur dari tanah penghidupannya, terusir dari rumah sendiri—yang dihancurkan secara kesewenang-wenangan. Nasib mereka tak ubahnya sekumpulan blandar, rebah di atas tanah, sebagai manusia kehilangan rumah dan atau sebagai manusia terdampak kematian yang gelagat ini: “dari rumah rumah yang rubuh dan penghuni-penghuni yang mati”. Kedinginan ini juga menyiratkan rasa duka, ia berasal dari dua percakapan yaitu, “bercakap tentang ketakutan dan kematian yang asing.” Meski dengan nada dasar duka, lagu ini terasa makin sarat emosional, laiknya protes sosial yang setajamnya, selembutnya.

Lagu lain, “Surat Kepercayaan Gelagat”, serupa percakapan dan penafsiran ulang (kritik atas kritik?) atas pernyataan sikap “Surat Kepercayaan Gelanggang”—yang tak lain merupakan pokok pikiran dari sejumlah tokoh sastrawan Indonesia ’45, lalu Melbi menyitirnya ke dalam bentuk maupun versi terkini, yakni semacam surat pemberontakan “sepanjang badan yang ditempa badai”. Dalam penemuan HOM, yang pokok ditemui adalah rasa hayat duka, dan yang menjadi sentrum adalah manusia. Segala hal dari dunia yang pecah, dari dunia yang hampir meledak, pelan-pelan kembali dalam bentuk suara Melbi, isyarat. Lagu ini operasi sosial dalam ukuran nilai, gelagatnya menentang segala usaha yang mendangkalkan dan mengerdilkan kemanusiaan.

Selaras pula dengan empat lagu (Manifestasi Pagi, Manifestasi Siang, Manifestasi Sore, Manifestasi Malam) tentang revolusi apa yang sedang kau siapkan ini? Revolusi duka? Revolusi kematian? Revolusi kebudayaan? Revolusi kemanusiaan? Dan seperti apakah revolusi bagimu sekarang?

Begitulah, HOM menautkan kita pada yang berjarak, pada yang terpecah, pada yang terpisah, pada yang berantakan, pada yang teraniaya, pada yang dihinakan, dan pada apa-apa yang dapat memupuk rasa hayat duka. Sebab kata Leo Tolstoy, “jika kamu merasakan sakit, kamu masih hidup. Tapi jika kamu merasakan sakit orang lain, kamu manusia”. Rasa-rasanya HOM bukan sekedar album, apalagi musik. Ia seperti denyut kebudayaan dengan cita pikir-cita rasa seni musik, teater, dan ragam seni lainnya. Mantera-mantera ciptaannya memicu unsur sugesti, yang kalau diucapkan setiap hari, tenaga akan bangkit. Mendengarkan HOM laiknya sedang olah pernapasan dan atau olah meditasi. Tiap pola repetitifnya ada getaran-getaran medan lagu itu sendiri. Kadang tebersit seperti lagu-lagu penghiburan duka saat “upacara pemakaman kebesaran” bagi wong cilik. Kadang menyetrum seperti lagu-lagu mars perjuangan, yang menabuh genderang perang, yang menabalkan kata jadi isyarat, gelagat. Dan bergelimang simbolik. Karena itu, didengar santai boleh, didengar serius ya silakan. Manasuka-belilah!

Pamulang-Bogor, 19 November 2024