Jangan Berhenti! Tanam Benih-Benih Revolusi, Bukan Fomofobia

Dok. Kevin Pramudya Utama


Fenomena sosial politik yang terjadi belakangan ini menggambarkan betapa tidak kuatnya masyarakat di negara demokrasi — di tengah permainan para oligarki. Bagaimana tidak, wakil rakyat yang kita pilih bersama itu, mencoba merangsek aturan tertinggi di negara Indonesia dengan upaya penganuliaran atau ‘pura-pura’ tidak tahu adanya putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) No. 60/PUU-XXII/2024.

Fenomena ‘melacuri’ aturan demi kepentingan beberapa kelompok yang membuat rakyat naik pitam itu sebetulnya bukan kemarin saja terjadi. Aturan-aturan, di rezim Joko Widodo selalu mendapatkan kritik dari masyarakat, seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, dan aturan dan kebijakan lainnya yang membuat stabilitas politik seringkali bergejolak.

Terlebih, di akhir masa jabatannya, pemerintah sempat melakukan percobaan ‘membolehkannya’ jabatan presiden hingga tiga periode, namun gagal. Tapi, dia tidak kalah akal dengan cara menyimpan bibit penerusnya menjadi Wakil Presiden hasil perubahan kebijakan Mahkamah Konstitusi yang saat itu dipegang kendali oleh pamanya Gibran Rakabuming, wakil presiden yang akhirnya terpilih mendampingi Prabowo Subianto.

Mungkin, dari sejumlah kebijakan kontroversi itu, ada di antara kita yang terbawa emosi hingga turun ke jalan. Pergerakan itu bisa jadi karena terpengaruh penggiringan opini atau bisa jadi karena berbenturan dengan hati nurani. Namun, apapun itu, tidak ada salah kita bergerak berdasarkan kebenaran menurut asumsi kita masing-masing.

Reformasi belum selesai

Jauh sebelum masa reformasi dengan dijatuhkannya jabatan Soeharto sebagai presiden secara politis, pimpinan bangsa ini memang selalu dehidrasi kepada jabatan. Jokowi yang ‘ingin’ menambah jabatannya tidak lebih buruk daripada Presiden Soekarno yang ingin menjadi Presiden seumur hidup — hingga wakilnya Bung Hatta pergi karena haus kekuasaan yang dimilikinya.

Perubahan sistem demokrasi di Indonesia juga nyatanya sudah sedari dulu dilakukan perbaikan-perbaikan yang belum ada ujung kebaikannya sampai dewasa ini. Mulai dari demokrasi parlementer atau liberal, kemudian mengalami peralihan ke demokrasi terpimpin karena ‘nafsu’ Soekarno yang mengalami desakan dari berbagai daerah. Sehingga Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959.

Saat itu, Soekarno menjadi ‘Raja Jawa’ yang melemahkan sistem kepartaian, melemahkan kontrol DPR. Ya, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu; semua partai-partey tunduk, semua politisi patuh. Sentralisasi kekuasaan kentara meski pakai ‘mulut’ orang lain.

Kemudian, muncul demokrasi Pancasila atau orde baru sekaligus pergantian Soekarno ke Soeharto dengan isu politis yang ia bawa. Lagi-lagi, Soeharto merasakan kenikmatan yang sama saat menjadi seorang presiden hingga lima periode. Sejumlah isu terus didorong untuk melengserkan Soeharto dari jabatannya.

Pecah reformasi, muncul demokrasi transisi dengan sistem pemerintahan presidential. Di mana aksi atau reformasi yang didapat yang saat ini dirasakan di antaranya desentralisasi kekuasaan dengan model otonomi daerah, kebebasan pers dan dibentuknya komisi-komisi independen seperti KPK, yang kemarin ‘dilemahkan’ saat periode Joko Widodo.

Dari empat rangkaian sejarah perjalanan demokrasi itu, nyatanya kita harus menyadari bahwa rakyat akan selalu menjadi korban atas penyimpangan dan kepentingan para penguasa yang kadang memang terasa begitu anyingsss. Reformasi kita belum selesai jika masih ada rakyat yang turun menuntut keadilan, jika masih banyak rakyat yang kelaparan, dan jika masih banyak pentungan polisi/aparat keamanan negara lainnya yang sengaja membenturkan pada kepala rakyatnya dengan dahil keamanan negara dan bangsa.

Pendidikan Politik

Pendidikan politik adalah salah satu jalan keluar agar kita tidak lagi terjebak dalam pemberangusan para pemilik kekuasaan. Sebelum demokrasi modern ada, Filsuf Yunani Kuno, sebut saja misal si Socrates, pernah bilang bahwa, sistem demokrasi adalah sistem buruk jika tidak adanya pemahaman politik yang setara antar masyarakat. Artinya, masyarakat yang tidak terdidik secara politik, akan lebih mudah di-monopoli oleh kelompok yang memiliki intelektualitas yang lebih tinggi, atau kalau saat ini di-monopoli oleh orang-orang yang memiliki kekuatan tinggi di pemerintahan.

Mudahnya, dalam sistem demokrasi, rakyat yang memahami pentingnya politik dan rakyat yang hanya ingin mengambil untung tak seberapa dalam kontestasi pemilihan Presiden hingga kepala daerah, memiliki hak suara yang sama dalam menentukan sosok pemimpin. Tentu, bagi sebagian negarawan, sistem tersebut sangat tidak adil karena masih ada jutaan masyarakat yang masih bisa dibeli suaranya oleh rupiah di tengah ratusan masyarakat yang mementingkan kualitas seorang pemimpin.

Penyelenggara Pemilu hanya mengukur partisi masyarakat terhadap politik berdasarkan persentase masyarakat yang ikut terlibat dalam pemilihan, namun tidak melihat kenapa masyarakat itu ingin memilih. Bisa saja, para orang tua yang buta terhadap politik, memaksakan dirinya memilih sosok yang tak tahu siapa dia karena mendapatkan ‘sogokan’. Bisa juga para pemuda memilih karena popularitas sosok pemimpin yang ia lihat di media sosial tanpa mengetahui latar belakangnya. Dan bisa juga kemungkinan-kemungkinan lain, yang akhirnya mereka ‘terpaksa’ untuk ikut andil dalam setiap pemilihan.

Mungkin, kita merasakan fenomena serupa seperti yang dijelaskan sebelumnya. Jika benar, maka kitalah yang ditunjuk sebagai ‘Role Model’ atau pembuat pembaharuan yang mampu mencegah dan mengedukasi orang atau kelompok-kelompok kita. Sebab, apatis terhadap politik sama dengan pembiaran kita terhadap upaya memperpanjang monopoli penguasa atas kekuasaannya yang pada kenyataannya itu selalu menghujam-menerjang kemiskinan-kesengsaraan kehidupan rakyatnya.

Sejarah Revolusi negara-negara besar kebanyakan dimulai dari gerahnya masyarakat tertindas atas perbuatan para pemimpinnya. Mereka berkumpul, mencampur-padukan kerasahan-keresahan, meramu ide-ide kesejahteraan bersama, hingga mampu menggoyangkan dan mengambil-alih kursi kekuasaan. Sebagaimana Rendra pernah berkata dalam sajaknya bahwa, ‘perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata,’ dan saya lanjutkan, adalah juga pelaksanaan menabur benih revolusi-revolusi dalam diri, sekalipun diri ini kecil dan tak berdaya.

Benih-benih revolusi mesti dipupuk dengan tidak dibarengi pengrusakan fasilitas negara yang tak berdasar. Sebab kita tahu, banyak orang menunggu di tikungan setiap revolusi menggema, revolusi tak ubahnya seperti bunglon yang hanya akan merubah warna kekuasaan lama pada kekuasaan baru. Dan yang terpenting, pemberian pemahaman soal pentingnya bernegara dan pentingnya berpolitik untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sehingga, akhirnya kita tidak FOMO terhadap isu dan kebijakan yang berkembang di negara ini. Mari lawan penindasan dengan cara pendoktrinan tentang keadilan, kesejahteraan, dan kesetaraan.

Saya rasa, begitu dulu saja.***