Kebudayaan Bermula dari Pinggiran

dok. AI


Kehadiran “kementerian kebudayaan” yang saat ini dilegitimasi oleh pemerintahan era Presiden Prabowo, seharusnya dapat melihat perusakan lingkungan-alam dan perampasan tanah-hutan seperti yang terjadi di Kalimantan, Papua, dan sejumlah daerah lainnya. Di sana ada hutan adat agar kita menjaga dan memelihara asas-asas tatanan hidupnya sendiri. Juga ada pemangku adat yang mengatur dan mengelola otonomi desa-desa serta tatanan masyarakatnya. Itu artinya kebijakan-kebijakan pemerintah mestinya tunduk, atau paling tidak, harus mempertimbangkan tradisi (kearifan lokal) kebijaksanaan-kebijaksanaan pemangku adat.

Tetapi faktanya, ketidakadilan dan ketimpangan sosial makin terjadi di mana-mana. Hutan yang sumber daya alamnya memiliki banyak potensi, tapi ini semua akan/sedang lenyap dibinasakan oleh kepentingan kekuasaan plus perusahaan kapitalistik. Mereka sering memperlakukan alam serta lingkungan hidup secara sembrono, tidak bertanggung-jawab, dan tidak pernah berwawasan kesinambungan. Potensi alam, bagi mereka, baru akan bernilai bila diperlakukan secara ekonomi, politik, industrialistik, dan bukan secara ekologis maupun pemanfaatan hutan. Ini sebabnya pula kebutuhan pangan kita menjadi lebih banyak impornya daripada mengolah hasil pertanian-pertaniannya sendiri. Ironi memang.

Oleh karena itu, dengan terwujudnya impian lama budayawan dan seniman mengenai kementerian khusus kebudayaan, seharusnya kementerian ini peka dalam melihat dan memahami keadaan aktual yang menimpa masyarakat adat serta pedesaan. Sekarang pergaulan hidupnya dengan alam dirusak karena/oleh kepentingan kekuasaan. Lalu, bagaimana memperjuangkan penegakan hak masyarakat hukum adat yang dilindungi oleh lembaga pengadilan yang dapat berlaku seadil-adilnya. Bagaimana akan kita jaga warisan kepercayaan adat itu sebagai warisan budaya, sedangkan sistem nilainya, kebatinannya, asas-asas tatanan hidupnya, dan kedaulatannya dirampas dari kehidupan mereka. Mungkinkah kebudayaan sudah keluar dari cara pandang demikian, sehingga ini bukan bagian dari tugas kementerian kebudayaan?

Ataukah terbentuknya kementerian kebudayaan tersendiri ini akibat dari kegagalan sebelumnya, dengan kata lain, karena “kemdikbud” plus “kemendikbudristek” sebelumnya itu tidak matang. Mungkin karena belum mengolah pendidikan di bidang sosiologi, antropologi, maupun psikologi, yang semua ini merupakan perlengkapan untuk memahami kandungan dan muatan dalam kebudayaan. Apalagi kita sama tahu bahwa nama kementerian sebelumnya itu “kementerian pendidikan dan kebudayaan”, di mana kebudayaan seharusnya berada “di awal” tetapi malah “di akhir” setelah pendidikan. Tapi apakah karena kekeliruan ini maka lahirlah bidang khusus kebudayaan? Apakah karena anggaran pendidikan dan kebudayaan sebelumnya terlalu kecil, sedangkan keduanya sama membutuhkan anggaran besar untuk mengurai permasalahan “kabel listrik yang kacau di jalan pendidikan maupun kebudayaan”? Tapi, yang jelas, kementerian kebudayaan ini pekerjaan rumit dan problematis.

Barangkali karena kebudayaan seringkali dipahami sebagai segala kegiatan/aktivitas manusia yang terkucil, terpinggirkan, tertekan, terhimpit, tersingkir, tertindas, plus terhinakan, dan tentu saja, di antaranya juga ada aktivitas lain yang dominan seperti ekonomi, politik, dan teknologi. Sehingga kalau aktivitas-aktivitas yang terpelosok dan tertinggal ini mulai bergerak, mulai dianggap suatu kebanggaan, apalagi kalau sampai mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa, timbul ke permukaan nasional maupun internasional, lalu kita mulai berbicara, sebagaimana mantan Presiden Jokowi pernah menyatakan, bahwa “DNA” Indonesia itu adalah seni dan budaya. Yang kemudian ditambahkan oleh Menteri Kebudayaan dengan berkata, “keberagaman budaya Indonesia adalah yang terkaya di dunia, Indonesia layaknya menjadi Ibu Kota Budaya Dunia”. Sementara, Ibu Kota Negara kita sendiri belum tuntas, belum jelas arahnya, jadi pindah ke sana atau menetap di sini saja. Maka, tahan dulu semua ungkapan muluk ini, alangkah lebih baik jika kementerian kebudayaan segera menginsyafi hal-hal yang sukar dijangkau dan dipercayai, kemudian menyadari bahwa sebetulnya tak ada kebudayaan yang berlangsung di pusat, dalam konteks Ibu Kota, katakanlah Jakarta. Tak ada cara-cara hidup dan cara-cara berpikir yang bisa dianggap sebagai kebudayaan. Semua budaya selalu berangkat dari pinggiran dengan terseok-seok dan terlunta-lunta.

Apa yang disebut sebagai kebudayaan pusat, tampaknya belum bisa mewakili suatu kota, sehingga belum termasuk pula ke dalam kategori kebudayaan itu. Berbeda halnya dengan kebudayaan tradisional maupun kebudayaan lokal, keduanya hadir dan mengalir dalam kegiatan dan pengalaman hidup sehari-hari, yang kemudian diterima-pahami sebagai bagian dari kebudayaan. Inilah pentingnya untuk kita melihat perkembangan kesenian dan kebudayaan yang selalu bermula dari pinggiran dan bukan dari pusat. Sebab, yang dari pusat ini biasanya kalau tidak dekaden, ya degradasi, lalu dirombak total oleh orang-orang pinggiran. Sehingga ada masyarakat dan kebudayaan yang masih primitif, ada yang sudah modern, ada yang maju, ada yang tertinggal, ada yang terbelakang, ada yang sudah berkembang, ada yang sedang berkembang, ada yang belum berkembang, dan ditambah pula, ada masyarakat dengan pola sosial dan budaya yang religius, estetis dan filosofis. Kalau hal-hal ini luput dari pandangan kementerian kebudayaan kita, bagaimana caranya kita mengerti dan memahami kebudayaan itu sendiri. Bagaimana caranya kementerian kebudayaan mengartikulasikan kebudayaan pusat ke berbagai daerah-daerah setempat? Bagaimana pola kementerian kebudayaan mengasuh ratusan, atau mungkin ribuan, suku bangsa dalam budaya tanah dan budaya air? Akankah kementerian kebudayaan dapat menjalankan salah satu fungsinya untuk mengembalikan lagi kedaulatan desa, kedaulatan kepulauan, dan kedaulatan masyarakat adat?

Memang ini bukanlah pekerjaan yang pakai sistem kebut semalaman. Melainkan langkah awal untuk mulai menelusuri, mengetahui dan memahami gejala budaya dalam konstelasi Indonesia sepenuh-penuhnya yang disebut sebagai negara majemuk, heterogenitas dan homogenitas. Selain butuh merancang strategi kebudayaan, saya kira juga perlu semacam nalar budaya: kita sedang mengalami apa, sedang menghadapi apa, gejalanya bagaimana, dampaknya seberapa besar, bagaimana dengan nasib otonomi daerah-daerah dan desa-desa, hal-hal apa saja yang sangat diperlukan dan seberapa banyak keperluan materi yang dibutuhkan. Dan seterusnya, tergantung pada bagaimana kementerian kebudayaan dalam merunut masalah, sehingga masalahnya menjadi konkrit. Ditambah lagi sepertinya kita memang perlu meninjau ulang infrastruktur kebudayaan yang lebih banyak dibangun secara materi, tapi pembangunan/kebangkitan rohaninya dibiarkan stagnan dalam keadaan stone. Bahkan, setiap pembangunan infrastrukturnya tidak pernah mempertimbangkan kedaerahan atau hutan adat yang sangat kultural dan spiritual, sebab orientasinya kapital, laba, pasar—yang jelas-jelas tak ada muatan budaya sama sekali.

Di era serba-net ini, kita digempur habis-habisan oleh sensasi visual dan sensasi citraan. Sebagian lain lari mengejar atau dikejar-kejar karena modernitas, yang didapat malah budaya epigonistik dan mengekor kebudayaan luar. Sehingga perubahan kebudayaan yang beririsin erat dengan perkembangan teknologi selalu senantiasa capaiannya materi—yang dikemas secara budaya konsumtif. Sebab, teknologinya telah melayani dan mewujudkan sejauh apapun jangkauan imajinasi manusianya yang berkisar di antara dunia benda dan pikiran. Segala yang tak terbayangkan dapat terjadi, segala yang tercerai-berai dapat disatukan, segala yang bertentangan dapat disandingkan, segala yang tidak mungkin menjadi mungkin. Lalu lintas media sosial telah menciptakan situasi dan kondisi yang mana sebelumnya, kita “mengalami langsung” beralih menjadi “mengalami segala sesuatu yang lain”, yang jauh berbeda, yang ajaib lebih dari kenyataan dan pengalaman hidup keseharian. Kemudian ini menjadi suatu kebutuhan, dorongan yang terus-menerus merangsang sekaligus mengikat.

Karena itu semua tidak kita hadapi dengan budaya atau tradisi dialog, melainkan malah kita sikapi monolog. Kita terlempar jauh dari budaya dialog dan lebih mendekatkan ke budaya monolog. Yang kemudian budaya inilah kemungkinan-kemungkinan yang membentuk kepribadian manusianya. Semua yang populer kita telan. Semua yang kontemporer kita kunyah. Semua yang tiba-tiba kita konsumsi. Ini bukan inovasi kebudayaan, melainkan kebudayaan kaget, kebudayaan terkejut. Kondisi semacam ini bisa berdampak seperti pisau bermata dua: di satu sisi, kekhawatiran kebudayaan, dan di sisi lain, penyelewengan/penyimpangan kebudayaan. Yang terakhir ini pula akibatnya kita selalu melihat masyarakat dan kebudayaan modern dengan pengembangan dan akumulasi modal ekonomi, sehingga mengabaikan modal simbolik dan modal kultural. Melihat kesenian berdasarkan seni untuk seni, seni untuk pariwasata, seni untuk industri, dan bukan untuk kehidupan budaya.

Padahal, kebudayaan adalah satu kemungkinan untuk memperbaiki kualitas hidup manusia. Maka inilah saatnya kita, berharap atau menagih, dengan pertanyaan apakah kementerian kebudayaan mampu bersinergi? Yang seniman plus budayawan senantiasa memelihara serta merekonstruksi cara-cara hidup dan cara-cara berpikir. Sedangkan, kementerian kebudayaan tidak melulu tentang mengurusi atau membikin proyek-proyek industri seni, apalagi proyek-proyek pengolahan seni yang terkadang tak berwawasan budaya. Kementerian kebudayaan juga bukanlah salah-satu cara penanggungan budaya dalam dimensi politik, dimensi ekonomi, dan dimensi industri. Intinya, bidang kebudayaan tidak hanya mengelola kesenian, melainkan juga sistem nilai, pendidikan, pola-pola komunikasi lintas budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seterusnya. Pemajuan kebudayaan tidak selalu terukur dengan materi, melainkan juga harus terarah pada batin. Pada rohani. Pada kepribadian. Pada apa yang sesungguh-sungguhnya hakikat kebudayaan itu sendiri.

17 November 2024