Gambar: Dok.Halimunsalaka
Tidak perlu memiliki banyak pengetahuan, sebab hanya sedikit ketelitian dan nurani kita sudah bisa melihat suatu ketidakadilan (kehidupan). Jika ingin iseng untuk membuktikan pernyataan itu, silakan lihat (klik) konten pada beberapa hyperlink berikut ini: Konten 1 – Konten 2 – Konten 3.
Jika kalian sudah menonton konten tersebut, dan jika kalian merasa tidak ada yang keliru, licik atau menutup setengah kebenaran, tidak masalah. Tidak ada yang salah dengan nurani kalian. Karena memang dengan tujuan itulah konten yang barusan kalian lihat itu dibuat dan difabrikasi oleh para cheerleader pemerintahan wali kota konten Bima Arya.
Tujuannya hanya satu, membuat kita semua percaya bahwa pasar tradisional, dalam hal ini Plaza Bogor dan Pasar Bogor itu ada dalam kondisi yang tidak terurus, becek, dengan sampah yang berserakan, banyak tikus, dan intalasi listriknya yang membahayakan. Sebenarnya saya sepakat pasar memang tidak seharusnya sesemrawut itu. Pasar harus membuat aman dan nyaman baik pedagang maupun pembeli. Eitss!
Tetapi dari konten-konten tersebut ada satu kontras yang jelas, video itu memotret pasar hanya sebagai hitam-putih semata. Mempertarungkan kebineran, antara kotor dan bersih, tradisional dan modern, maju dan terbelakang, dan jauhnya para cheerleader dengan konten-kontennya itu merepresentasikan pemerintahan kota Bogor sebagai pahlawan yang memberi pertolongan dan pedagang Pasar Bogor yang dicap menjadi segala biang permasalahan.
Memang Lebih Mudah Untuk Menyalahkan Kelompok Rentan
Mari kita buka-bukaan, dalam imajinasi kita yang miskin, kita pasti akan mengarahkan moncong senjata kita ke para pedagang yang sudah membikin kawasan Pasar Bogor “becek”, “jorok”, “biang macet”, dan “rawan kejahatan”, karena membuka kios-kios tak sesuai aturan dan menjalar ke jalan-jalan. Namun, jangan lupa, kawasan Pasar Bogor itu sudah punya penanggungjawabnya, yakni Perumda Pasar Pakuan Jaya. Badan bentukan Pemkot inilah yang tugasnya memastikan bahwa kawasan Pasar Bogor itu terjaga kebersihannya, terjaga keamanannya, dan sesuai seperti fungsinya. Karena selain sudah diberi anggaran oleh Pemkot Bogor yang dananya berasal dari pajak kita, para pedagang pun membayar iuran dan sewa untuk memastikan kenyaman dan kebersihan Pasar.
Tetapi kita tahu, suatu badan pemerintahan se-kaku birokrasinya, saking kakunya jadi setidak-berjalan itu juga dalam menjalankan fungsinya. Maka tak heran kawasan pasar selalu jadi perebutan para preman, ormas, dan sebagainya. Itulah mengapa, dalam hal ini, para pedagang menjadi punya tanggungan iuran tambahan: untuk keamanan. Keamanan dari siapa? Ya, dari para preman, ormas, dan sebagainya itu.
Bukan kebetulan, saya rasa. Bukan kebetulan jika konten para cheerleaders yang digerakkan sangat sesuai pesanan itu, memiliki pengambilan gambar dengan cara, gaya dan solusi yang sama. Jika tidak puas dengan tiga konten yang saya sodorkan diawal, silakan ketik saja di pencarian instagram kalian, dengan #PasarBogorKotaBersih, atau dengan #PasarTraddisionalNaikKelas, dan lihat konten-konten apa yang kan muncul. Atau jika kurang puas, coba buka profilenya dan lihat bio profilenya. Sontak kalian akan bilang “cair nih”. Sebab dalam konten-konten para cheerleader itu ada kepandiran ikonik yang hendak menutup ketidakadilan yang dialami para pedagang Pasar Bogor.
Dengan konten itu, seolah-olah para pedagang inilah yang kekeuh tidak mau direlokasi, padahal memang belum ada kepastian untuk relokasi yang ditawarkan. Dan jangan lupa, para pedagang Pasar Bogor itu bertahan karena mereka percaya bahwa kawasan Pasar Bogor terpisah dengan Plaza Bogor yang hendak dibeautifikasi menjadi Park and Ride. Toh para para pedagang Pasar Bogor juga harus kita lihat sebagai warga kota, yang punya hak untuk bersuara, berkumpul dan berserikat bersama.
Bertahannya para pedagang Pasar Bogor harus kita lihat sebagai bentuk commonality yang tulus diantara mereka. Ruang yang muncul dari keinginan bersama, berbagi bahasa dan perasaan yang sama untuk mendefinisikan ulang bentuk hubungan sosial dengan sekaligus melawan privatisasi dan ruang kota yang harus selalu serba sewa. Maka untuk alasan ini, saya berani tegak berada dipihak para pedagang Pasar Bogor yang masih kekeuh bertahan.
Kill The Massenger
Apa yang dinamakan “pemerintahan” dasarnya memang sama, entah nasional entah tingkat kota, bahkan desa, semuanya bersifat pengecut yang memang harus dibubarkan. Sebab, setelah Pemkot Bogor mengerahkan para cheerleaders-nya untuk mengkontrakan narasi mengenai Pasar Bogor sesuai keingingannya. Pemkot Bogor juga secara invisible hand mengerahkan strategi killing the messenger.
Karena penggaung utama tentang Pasar Bogor yakni @tendensibunuhdiri, Dia pun diteror dan diancam oleh beberapa orang di sosial media. Yang paling mengerikan si pengancam sudah menargetkan anggota tubuh si tendensibunuhdiri yang menjadi pembawa pesan. Mudah untuk menebaknya ini akan mengarah ke-mana. Karena pesan yang dibawa oleh tendensibunuhdiri melalui sosial medianya—dan diluaskan lagi oleh akun @infobogor—tidak disenangi oleh penguasa (Pemkot Bogor).
So, saat seorang penguasa dan cheerleadernya tak suka atas pesan yang dibawa, cara paling mudah memang dengan membunuh pembawa pesannya, alih-alih membuka ruang diskusi untuk penyelesaian masalah. Kill the messenger adalah sebuah trik kuno yang sudah ada dari zaman Romawi Kuno. Kill the messenger adalah reaksi atas ketidaknyamanan dan ketidaksukaan atas sebuah informasi yang diucapkan oleh pembawa informasi. Kill the messenger adalah senjata bagi pihak Pemkot Bogor untuk mengelak dari kritik. Karena tak bisa menjawab isi kritik, counterattack yang dilakukan adalah dengan menghabisi si penyampai kritik. Dan mungkin memang hanya ini kemampuan pemerintahan kota kita.
Saya rasa bukan kebetulan juga para cheerleader dalam membuat kontennya, menggambarkan para pedagang Pasar Bogor sebagai warga kota yang keras kepala yang tidak mau diberi kemajuan. Ini juga adalah bentuk kill the messenger dengan varian berbeda dengan tujuan untuk menghancurkan simpati publik kepada para pedagang yang sedang mempertahkan hak asasinya.
Dengan embel-embel bisa mendapatkan peningkatan pemasukan, segala sejarah dan kehidupan yang sudah para pedagang ciptakan dipaksa ditinggalkan untuk perelokasian. Jelas bukan kebetulan juga solusi yang diberikan adalah pasar Sukasari yang menjadi antitesa Pasar Bogor yang digambarkan sebagai pasar bersih, nyaman dan teratur. Karena sekali lagi para cheerleader itu ingin mencengkokkan setiap program pemerintah sebagai juru selamat warga.
Sekali Lagi Dan Perlu Diingat: Ruang Kota Adalah Arena Pertarungan Makna
Tentu dalam hal ini saya insyaf, bahwa kelas menengah ke atas, dengan segala previlese-nya tentu mengutamakan ruang pasar yang bersih, nyaman, dan teratur. Namun, patut diingat, khusus untuk sebagian warga kelas menengah ke bawah dan para pedagang kecil di pasar, keterkaitannya dengan tempat jualannya lebih dari sekadar mata pencaharian. Kehidupan mereka sudah mengakar menyeluruh. Hal inilah yang menyebabkan perelokasian yang belum jelas kepastiannya tak bisa dirasionalisasi oleh para pedagang.
Pendapatan mereka sebelumnya memang tidak terlalu mendatangkan kemewehan seperti para pedagang di Pasar Sukasari atau Pasar Jambu Dua, misalkan. Kendati demikian, mereka dapat memberikan kedudukan sekaligus keamanan sosial yang lebih baik kepada keluarganya. Ketimbang harus bertaruh peruntungan di tempat baru dengan tidak adanya kepastian apakah mereka bisa kembali berjualan lagi atau tidak. Karena dalam wawancara yang dilakukan oleh @tendensibunuhdiri dengan para pedagang, setelah relokasi dilakukan para pedagang dicampakkan. Sebab tujuan utamanya memang bukan perbaikan kehidupan tapi toh hanya memindahkan. Sialnya yang harus dipindahkan ini manusia dengan sumber penghidupannya.
Ini persoalannya. Karena jika kita mengiyakan persoalan Pasar Bogor hanya sebatas Pasar yang tradisional yang akan beralih menjadi modern dengan kondisi pasar yang lebih bersih, nyaman dan teratur tentu itu yang menjadi tujuan modal simbolik Pemkot Bogor dan Perumda Pasar Pakuan Jaya dalam mengkomodifikasi kawasan Pasar Bogor. Lagipula, siapa yang dapat menjamin pasar-pasar baru itu dapat bertahan lama kebersihan dan kenyamanannya? Meminjam bahasa Bourdieu, Pemkot Bogor tengah melakukan apa yang dinamakannya dengan distinction yang implikasinya membuat para pedagang yang bertahan di Pasar Bogor sebagai kaum paria karena kesadaran publik ditangkap sudah memberikan lampu hijau untuk membangun dan mendisneyfikasi kota.
Setelah mendapatkan legitimasi warga, Pemkot Bogor punya modal klaim kultural untuk mengkooptasi tanah untuk disewa atau diperjual-belikan ke develov swasta atau memonopoli ruang-ruang yang dianggap tidak produktif untuk menciptakan branding kota Bogor, serta untuk akumulasi modal bisnis yang lebih menguntungkan. Puncak adalah salah satu contoh kongkritnya.
Atas nama keunikan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor memonopoli tanah-tanah di Puncak, kemudian mengembangkan serangkaian hotel-hotel mewah, vila-vila, dan taman-taman swasta serta tempat rekreasi hiburan yang sangat mahal, yang tak perlu-lah saya menyebutnya satu persatu. Intinya Puncak disulap menjadi Disney yang penuh hiburan dengan klaim bahwa tempat seperti Puncak tidak dapat ditemui di wilayah lain. Dengan disneyfikasi kawasan Puncak beserta monumen-monumen baru yang sifatnya “kontemporer”, sekadar estetik dan trendy, yang diciptakan untuk jadi altar baru, pengingat kawasan Puncak otomatis akan membuat memori kolektif warga Puncak amnesia terhadap budaya dan sejarahnya yang telah lama dihidupinya. Dan hal ini tentu tidak kita inginkan terjadi di kota kita Bogor tercintahhh.
Untuk itu, kita perlu kembali membangun kesadaran kita tentang kota. Mempertanyakan kembali langkah-langkah Pemkot Bogor dalam membangun tata kota Bogor. Meminta keterbukaan informasi publik atas semua perencanaan pembangunan. Karena semua kesemrawutan kota, kriminalitas dan kemacetannya bersumber dari tata kota. Mengimani semangat gerakan Situationist di Prancis pada bulan Mei tahun 1968: Jadilah realistis, dan tuntutlah yang tidak mungkin. ***
Penanam kesan.
komentar (0)