dok. halimunsalaka
Dalam pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Garin Nugroho di Graha Bhakti Budaya-Taman Ismail Marzuki, pada tanggal 10 November tahun yang sama dengan pergantian kekuasaan itu, yang karena kegelisahan dan prihatin ia merancang strategi budaya “Balas Budi Untuk Rakyat”.
Dalam renungan itu, ia membeberkan sejumlah persoalan-persoalan, fakta-fakta dan data-data sejarah, dengan harapan yang menjadikannya pertanyaan sederhana bahwa, “mampukah pemerintahan baru melakukan koalisi dengan rakyat sebagai jalan balas budi untuk rakyat, bukan hanya koalisi kelas balas budi pendukung kekuasaan dan ekonomi?”
Kekuasaan tampaknya, barangkali juga seakan-akan, belum pernah sepenuh-penuhnya memperhatikan orang-orang yang telah mendapuknya, pun cenderung durhaka kepada rakyat yang telah melahirkannya sebagai pemimpin, dan lupa mengingat dari mana mereka berasal. Mereka lebih peduli pada posisinya sendiri, pada kepentingan segolongan yang lebih banyak meminta daripada memberi.
Maka, di luar pembahasan kekuasaan, di luar pidato kebudayaan itu, saya mencoba susuri yang mungkin, mengalami perubahan yang tak dapat dihentikan, melanjutkan perjalanan dengan setumpuk kelelahan dan hal-hal yang, barangkali selama ini kurang mendapat tempat, kurang mendapat perhatian, atau kurang diberi ruang ketika kita membicarakan seni, dalam catatan yang menyangkut seni pertunjukan, terutama sekali teater; jangan sekali-sekali melupakan peran orang-orang biasa.
Bagaimanakah seni pertunjukan di mata orang-orang yang senantiasa menganggap dirinya sebagai bukan siapa-siapa? Bagaimanakah mata seni orang-orang biasa seperti ini?
Panggung menjadi pertemuan saya dengan orang-orang yang seumur hidupnya berderma dengan teater, dengan aktor-aktor sosial yang tangguh-tahan melibatkan diri di dalam kehidupan, atau siapapun saja yang pernah mengalami sekian banyak peran, setidaknya pernah merasakan atmosfir suatu pertunjukan sebagai penonton. Bahwa melalui panggung mereka dapat membawakan kisah-kisah drama serta pertunjukan kontemporer yang mempesona. Mulai dari yang menghibur hingga berusaha menikmati pertunjukan yang belum bisa dimengerti. Yang bikin tergelak sampai membutuhkan permenungan mendalam.
Semua terekam dalam pandangan, dalam tatapan, dalam penglihatan yang sebentar membatin, sudah itu bimbang, lalu mulai meragukan apa yang ditatap. Sambil terus bergaul dengan apa artinya keindahan. Apa artinya pemaknaan. Apa artinya memainkan suatu peran dan berusaha membahagiakan sekian banyak orang yang telah menjadi penontonnya. Apa artinya panggung yang telah menjadi hidup itu sendiri. Apa artinya pertunjukan yang berdegup dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi zaman telah berubah dan membuatnya menjadi tidak sesederharna itu. Barangkali panggung, sebagaimana meminjam istilah Garin “di era serba-net ini”, juga akan atau sedang mengalami pergeseran arti, fungsi, paradigma, dan posisi. Panggung yang semula tontonan kini seolah-olah menjadi sekedar rombengan visual. Di tengah gempuran joget jedag-jedug di TikTok, di hadapan gawai masing-masing, mungkin setiap orang bisa dengan mudah bikin panggung sendiri, atau menciptakan panggung sendiri sesuai kebutuhan dan keperluan; misalnya live sale, sekedar seru-seruan, sampai yang mencari peruntungan secara materi dengan gaya dan bentuk macam-macam isi kontennya.
Bahkan, teater pun masih meladeni, menampilkan sesuatu yang harus dicocok-cocokan dengan dunia imajinasi mereka saat ini. Sehingga harus bicara soal TikTok, tentang apa yang viral, tentang relevansi-relavansi—yang terkadang belum jelas juntrungannya, baik dalam imajinasi maupun pembayangan. Tapi bukan berarti tidak diperlukan, melainkan patut dipertanyakan ulang untuk apa, sebab itu kebiasaan dan kerutinan mereka. Yang telah membuat kita sering terperangkap oleh capaian-capaiannya sendiri. Terjebak dalam penampilan dirinya daripada peran itu sendiri. Itulah sebabnya imajinasi diharuskan, sebagaimana Garin mewedar, “melewati batas-batas ketidakberdayaan dan ketidakmampuan. Imajinasi menciptakan kenyataan. Imajinasi bukan pelarian dari kenyataan, melainkan gabungan kompleks antara realitas dan spiritualitas yang menciptakan visi baru menjadi kenyataan.”
Barangkali memang kita harus kembali memberi perhatian pada hal-hal yang dekat di sekitar kita, yang mungkin remeh, sepele, tak dikenal, atau tak pernah dicatat sebagai hal yang besar dan penting dalam teater, dalam sejarah, dalam kebudayaan, dalam peradaban, dalam konstelasi sosial dan politik. Mengingat teater di tengah kita saat ini sedang sibuk-sibuknya merancang-bangun industri; berusaha lebih keras lagi untuk memantapkan diri “teater sebagai jalan keluar dari kemiskinan”. Yang mungkin hanya mempedulikan diri untuk mencari peruntungan dalam hidup dari sisi materi, dan bukan karena setidaknya kita tak jemu-jemu melakukan sesuatu untuk perubahan diri dan kewajaran hidup yang lebih manusiawi.
Yang lebih memprihatinkan, bagaimanakah akan kita hadapi tantangan teater yang seperti barang mewah ini? Ia semewah kebahagiaan yang hari ini telah ditaksir dengan deret angka dan nominal. Kebahagiaan yang harus melewati verifikasi kalkulasi berdasarkan hitungan kepemilikan dan terukur secara materi semata. Yang hanya akan melanggengkan ketimpangan sosial-ekonomi di tengah masyarakat.
Tampaknya, kebahagiaan demikian tak pernah bisa dijangkau oleh orang-orang biasa seperti kita, yang seumur hidupnya paripurna sebagai bukan siapa-siapa. Kebahagiaan telah menjadi rumit dan tidak sesederhana seperti saat ketika ngopi, lalu membicarakan tentang banyak hal, di mana kegembiraan sering timbul di sela-sela dan kita senang dengan itu.
Kebahagiaan, sebagaimana teater, hadir dan mengalir bukan untuk kemewahan seperti itu. Teater hadir untuk memberikan kesempatan bagi siapapun yang dengan segala keterbatasannya itu, ingin mencecap kebahagiaan, menorehkan makna, mengenal apa itu keindahan di dalam kebersamaan hidup dan saling isi-mengisi kegembiraan satu sama lain. Teater sebagai ruang yang terbuka untuk manusia jenis apa saja. Teater tak pernah menentukan parameter berdasarkan kriteria dan kualitas yang seakan-akan hanya dikalkulasi oleh materi.
Untuk itu, kita harus kembali melihat teater yang bukan dengan mata industri yang berkepentingan profit, bukan dengan mata seorang pemilik modal yang mengharapkan kembalian, dan bukan dengan mata kritikus yang hanya mempedulikan hal yang bermutu secara artistik saja. Melainkan dengan mata manusia yang wajar dalam pengamatan dan penyikapan atas pelbagai persoalan dalam hidup. Sepasang mata yang senantiasa mempertimbangkan penalaran dan penyadaran yang memberikan daya pada hidup ini. Sepasang mata untuk melampaui atau mengatasi kemungkinan penglihatan yang bukan sekedar kalkulasi materi maupun artistik, melainkan untuk melihat kalkulasi kemanusiaan dan kebudayaan. Sepasang mata yang berlaku demi keindahan, demi peran yang dimainkan, demi memuliakan laku, demi pemaknaan hidup dan pembelajaraan kepada orang yang bukan siapa-siapa.
15 November 2024
Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.