Maternal Disaster: Kolaborasi Sesaji atawa Konservasi Ngramut Alam

dok. handk.prmn


Banyak orang mempelajari gempa, banjir, tsunami, gunung meletus, dan sebagainya, tetapi gagal mempelajari bencana. Tidak semua bencana alam dianggap bencana. Bencana atau bukan bencana tidak tergantung pada kejadian alamnya, melainkan pada kepentingan orang yang melihat atau menyebutnya. Sebagaimana sering kita dengar kalau gunung meletus itu berarti bencana alam. Namun dalam contoh lain, seperti bagi warga sekitaran lereng gunung merapi, atau menurut persepsi batin dan sikap rohaniah masyarakat desa, telah ditanamkan bahwa tidak ada merapi jebluk, melainkan merapi sedang duwe gawe (punya hajat). Ini merupakan pesan dari almarhum Mbah Maridjan, selaku juru kunci Gunung Merapi.

Gunung merapi adalah sumber kehidupan. Di sanalah masyarakat desa hidup dengan bertani dan beternak. Segala hal yang berasal dari alam dimesrainya. Hubungan mereka senantiasa harmonis. Maka saat merapi sedang beraksi, orang desa enggan menyebut kejadian ini pakai kata meletus, malah membahasakannya dengan merapi “sedang punya gawe”. Bahwa merapi memang punya haknya dalam siklus tertentu untuk melaksanakan hajatnya. Merapi punya gawe kan “seneng-seneng”, menjadi berkah, memberi pasir, melimpahi kesejahteraan sekaligus kesuburan. Itu namanya dialektika kemesraan.

Hidup kita di antara kawasan ring of fire. Jadi kalau bicara rawan bencana, maka di manapun juga akan rawan bencana. Pun tak ada jaminan kita akan terbebas dari risiko bencana, semisal gempa bumi, tanah longsor, erupsi gunung berapi, dan lain sebagainya.

Kalau pakai kasus lain, misalnya banjir dianggap bencana, tetapi anggapan bencana ini karena berbenturan dengan kepentingan segelintir orang. Sedangkan, apa yang bencana dari banjir? Banjir kok bencana ini bagaimana? Yang salah ini siapa? Kan air cuma lewat, patuh pada gravitasi, air bukan mengalir sampai jauh, tapi mengalir ke dataran yang lebih rendah.

Kalau pakai analogi sederhana, semisal Anda menerima “uang kaget” begitu banyak. Artinya ini bencana, ujian, berkah, atau rezeki. Bisa jadi bencana karena tidak tahu harus diapakan uangnya itu. Bisa juga semacam ujian karena mau dibuat apa uang sebanyak itu. Barangkali berkah atau rezeki. Tentulah setiap orang punya pemaknaan beragam ungkapan dan dapat berimplikasi etik dalam kehidupan sehari-hari. Baik digunakan untuk hal-hal mudharat atau kebermanfaatan seluas-luasnya.

Bencana—yang diusung oleh tim jalin karya—dalam maternal disaster ini yang bagaimana? Pertunjukan maternal disaster ini ditujukan untuk apa dan siapa? Kepada apa, ia menuntut keadilan di satu sisi, dan menentang pelaku-pelaku atau stakeholder terkait perusakan-perusakan alam di sisi lain. Yang terakhir ini jumlahnya kian hari bertambah banyak. Sedangkan kepada siapa, pertunjukan dengan mode partisipatif dan kritik sosial ini diarahkan untuk rakyat, perusahaan, pemerintah, negara, atau untuk orang-orang yang sikap hidupnya sama dengan kolaborator-kreatornya.

Untuk itu saya berusaha agar dapat terhubung dengan “maternal disaster” bencana yang seperti apakah dan yang manakah maksudnya. Beberapa pemain sempat saya kasih tiga pertanyaan: Kamu kenapa? Kamu terdampak apa? Kamu mengalami apa?

Sebelum bencana alam, kita telah terdampak begitu banyak bencana paling parah mulai dari bencana politik, bencana informasi, bencana kezaliman, bencana oligarki, akan tetapi kebanyakan orang justru menormalisasi dan merasa baik-baik saja dengan dalih “karena begitulah politik”, tanpa terlihat ada usaha untuk menyelamatkan diri, tak ada upaya evakuasi, memitigasi maupun menanggulangi. Ragam kebencanaan saling timpa-menimpa—tindih-menindih ini tampaknya masih dibiarkan terjadi.

Baik juga kita pahami, bahwa muatan bencana dalam maternal disaster adalah bencana akibat dari perusakan-perusakan alam dan lingkungan hidup. Bencana “tak alami” akibat kepentingan profit segelintir orang rakus membuat hubungan manusia dengan alam menjadi bencana. Maka dengan keberagaman latar belakang para kolaborator, jalinan karya ini berasal dari pengalaman ketertindasan dan ketidakadilan yang terjadi di daerah masing-masing.

Semisal ada Abi dari Banyuwangi, menyoal gunung-gunung ditambang demi emas. Ada Fayat dari Madura, mengenai perampasan ruang hidup, tambak udang. Ada Salira dari Jambi, terdampak kebakaran hutan dan lahan. Ada Rusydi dari Depok, prihatin terhadap minimnya air bersih atas kondisi air tanah dan sungai. Ada Samuel dari Australia, membawa keresahan cuaca serta kecemasan ekologi daerahnya. Ada Prajith dari India, mengabarkan perubahan iklim itu benar-benar nyata. Ada Fitra dari Tanggerang Selatan, menggugat kerusakan alam yang tidak berwawasan lingkungan. Ada Maria dari Flores, mewartakan erupsi gunung merapi. Ada Chiko dari Bekasi, mengalami polusi udara yang tidak sehat dari gunungan sampah. Ada Teguh dari Banten, mengejek dampak dari makanan-makanan cepat saji/junk food. Ada Mutmainnah dari Makassar, mengusung dampak dari reklamasi. Demikian ini semua merupakan intisari dari suara keberagaman mereka.

Pertunjukan jalin karya “Maternal Disaster” dimainkan oleh 11 kolaborator (seperti telah disebutkan di atas), dengan penerapan praktik seni site-specific yang outdoor di Kebun Seni Jampang Purnati, Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 30 November lalu. Dengan memakai pola dramaturgi tur, spektator diajak proses migrasi atau mengunjungi berbagai situs spesifik Kebun Seni Jampang Purnati yang menjadi arenanya. Pertunjukan ini bagian dari serangkaian bentuk kegiatan trajectory Lab Indonesiana: Lab LTC adalah pelatihan “Menjadi Aktor Partisapatif”, di dalamnya ada kelas Bongkar Muat, kelas Napak Tilas, kelas Jalin Karya, dan Silang Teks (kolaborasi Internasional).

Maternal disaster ini menyerukan suatu upaya penyelerasan kembali hubungan antara seni-alam-manusia, senantiasa menjaga alam bawah sadar agar tetap nyala memahami bahwa alam itu “saudara tua” kita. Pun pohon, hewan, tumbuhan, tanaman, dan sebagainya itu adalah kakak-kakak kita. Manusia dengan alam bagaikan anak dan Ibu. Sudah semestinya kita akui dan hormati pula keberadaannya. Apalagi dalam penciptaannya, alam dengan seluruh isinya adalah segala bentuk refleksi yang berasal dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Alam mempunyai bahasa sendiri di samping bahasa budaya, bahasa manusia. Tapi kita iseng, tidak serius dalam menjalin hubungan antara alam-manusia-Pencipta. Bahkan, perlakuan kita kepada alam sama sekali tidak mencerminkan bahwa kita sebetulnya tidak bisa lepas dengan alam. Kita sangat membutuhkan alam, meski alam (tak) membutuhkan kita.

Bencana yang diangkat maternal disaster bukanlah “bencana alam”, melainkan “bencana tak alami” akibat perbuatan (sebagian) orang-orang demi meraup keuntungan dan menumpuk hasil curian/rampasan sebanyak-banyaknya. Lagian alam kok bencana. Alam kok disuruh atau dibebani misi untuk membebaskan dari kerusakan ekologi. Alam kan “apa”, bukan “siapa”, dan adapula subyek Maha Lebih Besar yang mengelola sekalian mengendalikannya. Meskipun memang maksud implisitnya adalah seni, dalam hal ini pertunjukan, bisa menjadi penalaran sekaligus penyadaran untuk menentang segala kerusakan alam. Para kolaborator merenungi, mempertimbangkan, memakai, menggunakan atau menjadikan pertunjukan sebagai “alat” untuk membebaskan alam dari segala perilaku manusia dalam kehidupan. Perilaku manusia bisa sangat luas, bisa juga dibatasi dalam kesempitan.

Bukan karena kerusakan alam perlu disuarakan, tapi apa yang menyebabkan perusakan-perusakan alam itu harus dicari, diusut setuntas-tuntasnya. Yang digugat ialah manusianya, bukan mengeluhkan dampak dari alamnya. Sebab pada faktanya, yang terjadi bukanlah bencana alam, melainkan kecenderungan perusakan, perampasan, pembabatan, penghancuran, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan manusia terhadap alam. Sekarang ini kita sok menutup menutup-nutupi yang sebenarnya terjadi. Segala yang jelek dicari yang mendingan. Segala yang buruk diganti yang bagus. Semisal, mengambil uang rakyat disebut koruptor, padahal tinggal bilang itu maling.

Yang sesungguhnya terjadi bukanlah bencana alam, tapi komplotan perampok plus perampas lingkungan hidup dan alam. Manusia merusak alam, bukan bencana alam. Bukan berarti saya mempersoalkan “disaster” tersebut, tetapi kita harus menyeluruh dan bijaksana. Tidak ada yang saya bantah muatan dalam sesaji pertunjukan maternal disaster, para kolaborator telah menghadirkan keberagaman dimensi konkret empiriknya atas kerusakan alam. Penjelajahan atas tubuh ibu atau maternal body mengantarkan ingatan kita bahwa sesungguhnya orang-orang desa ialah manusia yang paling kuat dan tangguh. Mereka tetap berdaya tangguh tahan meski ditindas plus diusir secara paksa dari tanah maupun lingkungan hidupnya. Mereka terus menyerukan pelaksanaan kata-kata “desa tetap mowo coro” meskipun “negara gagal mowo toto”.

Maka konservasi ngramut alam adalah barangkali gagasan maternal disaster agar kita ikut berpartisipasi dalam arus memelihara dan menjaga alam beserta isinya. Partisipatoris artinya sama-sama melibatkan penonton, namun dalam hal ini bukan sekedar upaya mencapai tataran estetika tertentu, melainkan dalam pengartikulasian gagasannya dan aksentuasi suara keberagamannya dapat tercermin dalam laku keseharian hidup kita. Barangkali memang dibutuhkan pendekatan lain secara kultural, melalui dialog budaya dengan harapan—segala kandungan maternal disaster—akan lebih mudah diterima dan dimaknai seluruh kalangan, agar dapat menumbuhkan daya penalaran dan penyadaran terhadap alam secara bijak dan lestari.

Dari maternal disaster, saya masih akan merasakan sakit yang sama, duka yang meronta-ronta. Dalam keadaan begini rasa-rasanya memang kudu radikalis sadumuk bathuk, sanyari bumi, ditohi pati. Kalau harga diri diinjak-injak, diganggu ketentraman hidupnya, dirusak pula tatanan alamnya, maka hanya ada seruan perlawanan, meski dengan segala keterbatasan. Setidak-tidaknya. Seminimal-minimalnya.

2-3 Desember 2024