Membaca Arah Pemekaran Bogor Barat: Menuju Kesejahteraan Elite atau Kesejahteraan Kaum Alit?

gambar. AI


Narasi mengenai pemekaran wilayah Bogor Barat untuk menjadi daerah otonomi baru nampaknya menjadi isu yang makin gencar disuarakan, setidaknya oleh orang-orang yang berkepentingan di wilayah Bogor Barat. Isu tersebut mencuat ke permukaan setelah beberapa kelompok masyarakat yang menginginkan Bogor Barat mekar menuntut pemerintah pusat untuk mencabut moratorium yang sudah lebih 20 tahun belum direalisasikan.

Suara-suara dari arah Bogor Barat itu tak bisa tidak berembus juga masuk ke topik obrolan dengan kawan sejalan di tengah hangatnya isu sosial-politik, di antara sesaknya beranda sosial media berisi adegan saling sengit yang hanya mementingkan golongannya sendiri, yang hari ini, seolah tiada habis menghiasi asap di tiap perbincangan. Belum lagi berita-berita yang beredar mengenai ruang geografis Indonesia di hampir semua pulau sekarang ini, tampaknya hanya menjadi arena kontestasi semu; antara yang mementingkan pembangunan, kelestarian lingkungan dan penciptaan keadilan sosial. Tiga kepentingan tersebut tentu bisa bersifat opsional-politis atau, yang lebih gawatnya lagi, malah tanpa kajian strategis yang matang.

Seperti yang kita tahu, pemekaran daerah di Indonesia berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemekaran daerah, yang dapat didefinisikan sebagai pembentukan entitas pemerintahan baru yang mandiri, baik itu kabupaten/kota baru di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi baru di tingkat provinsi. Hal ini sejalan dengan semangat otonomi daerah yang bertujuan memberikan kekuasaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan lokal sesuai dengan aspirasi masyarakat (Kemenkumham, 2014).

Bila dilihat dari landasan hukum tersebut, masyarakat yang menginginkan pemekaran Bogor Barat telah menyuarakan tiga poin tuntutannya: 1). Kepadatan penduduk Kabupaten Bogor yang sangat tinggi (5.7 Jiwa) tertinggi di Indonesia. 2). Ketimpangan Pemerataan Pembangunan Sebagai Sarana Prasarana Pelayanan Dasar seperti bidang Kesehatan, Pendidikan, dan Keamanan yang tidak sebanding dengan luas dan jumlah penduduk. 3). Sudah 24 Tahun aspirasi pemekaran wilayah Bogor Barat itu diperjuangkan.

Menjadi masuk akal apabila melihat poin pertama dari tuntutan tersebut, sebab seperti apa yang pernah dikatakan Ridwan Kamil dalam siaran persnya pada tahun 2022, yang saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat: “idealnya per-satu juta penduduk dilayani oleh satu pemerintahan. Dengan demikian dampaknya akan terasa pada kesejahteraan masyarakat dan kemudahan pelayanan.” Dari dinamika tersebut, maka 2 poin tuntutan berikutnya menjadi obrolan menarik di warung kopi seperti yang telah diuraikan di muka, dan sampai pula pada pertanyaan paling fundamental: Pemerintah bertubuh seperti apa yang ideal dan akan membawa Bogor Barat ke depan? Bagaimana gambaran atau Blueprint yang nantinya akan dijadikan rujukan utama dalam mengelola dan mengerjakan kawasan Bogor Barat secara parsial dan berkelanjutan itu? Adakah semacam “kastrat” yang nantinya memberi pencerahan kepada masyarakat awam lagi Alit, atau masyarakat luas di luar para konsorsium pemekaran Bogor Barat berupa kajian strategisnya, urgensinya, atau bahkan Grand Design-nya? Bagaimana model pembangunan yang akan ditawarkan demi terciptanya kesejahteraan bersama itu?

Pertanyaan demikian seperti semacam kekhawatiran bagi “Kaum Alit”. Sebab, Blueprint itu baru akan dicetak tahun depan, yang bisa jadi tak akan banyak diketahui masyarakat luas (atau memang masyarakat Alit tak perlu mengerti?). Padahal sebuah wilayah yang akan menjadi Daerah Otonomi Baru itu serupa kendaraan yang hendak melaju di atas jalan berlubang lagi menanjak, pergerakannya akan berdampak pada nasib dan hajat hidup orang banyak ke depan: menuju ke arah kemajuan yang beradab dan modern atau malah bergerak ke arah kemunduran.

Kita pun tahu nantinya pemekaran wilayah pastilah menuntut adanya pembentukan pemerintahan baru. Hal tersebut akan banyak memengaruhi struktur sosial, dinamika politik-ekonomi, potensi merubah identitas budaya serta hubungan dengan lingkungannya–yang tak jarang memicu konflik kelas, hingga sampai pada tercemarnya nilai-nilai lokal. Terdengar seperti semacam nausea berlebih memang, tapi itulah konsekuensi yang mau tak mau akan terjadi dan harus dihadapi bila nantinya, pemekaran itu kemudian terwujud tapi tanpa melalui kajian matang atau malah terkesan dipaksakan.

Menuju pemerataan pembangunan, lingkungan-pertanian yang beradab dan modern?

“Modernisasi sering kali menimbulkan disintegrasi sosial karena perubahan yang terjadi terlalu cepat dan masyarakat tidak sempat mengembangkan mekanisme adaptasi yang memadai”.

Begitulah jika kita menginterpretasi uraian Koentjaraningrat yang menyoroti modernisasi tanpa persiapan matang dalam “Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan”. Setidaknya, tamsil tersebut dapat dipakai sebagai penguat argumen di “warung kopi” tentang dampak pemekaran wilayah bila dipandang sebagai salah satu bentuk “pembangunan” yang di samping mempercepat perubahan sosial, bakal memicu disintegrasi di masyarakat lokal, terutama ketika prosesnya dilakukan tanpa memperhitungkan mekanisme adat atau kearifan lokal.

Kekhawatiran bernada antroposentris di atas juga bukan tanpa alasan yang jelas. Itu semua bisa dimulai dengan mendengar penjelasan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kabupaten Bogor, Ajat R Jatnika, yang mengulas sedikit gambaran mengenai pembagian wilayah, potensi-potensi ekonomi dan pembangunan daerah Kabupaten Bogor Barat di masa depan dalam tulisan Egi Abdul Mugni Atas Nama Kepentingan, Mereka Jualan Bogor Barat”. Ajat membagi wilayah Bogor Barat menjadi tiga bagian: Bagian Perkotaan dan Bisnis, Pertambangan, dan kawasan wisata-konservasi. Mendengar itu, perhatian saya tertuju ke wilayah Bogor Barat bagian selatan yang diliputi pegunungan  Halimun Salak, yang kita tahu potensinya memang menjadi kawasan konservasi dan wisata.

Maka selanjutnya, kita dapat menanggapi hal tersebut dengan beberapa pertanyaan. Pertama, apakah Bogor Barat pada wilayah ini akan membangun pariwisata dalam artiannya secara umum, ataukah lebih fokus pada ekowisata? Jika fokusnya adalah ekowisata, jenis ekowisata seperti apa yang akan ditawarkan nantinya? Apakah ekowisata “modern” yang hanya mengedepankan konsep “kekinian” dan rating guna mengejar keuntungan sepihak, ataukah akan mulai mengedepankan ekowisata berbasis budaya? Sebab sejatinya, ekowisata selalu berjalan beriringan dengan upaya konservasi.

Namun saya perlu menaruh syak pada frasa “konservasi” apabila melihat fakta yang sebenarnya terjadi pada wilayah-wilayah tersebut. Mengingat apa yang telah diterapkan dari kebanyakan wisata-wisata berkedok ekowisata itu, nampaknya tidak didasarkan pada kajian lingkungan dan perhitungan teknis yang matang. Sudah barang tentu dampaknya pada ongkos lingkungan yang tak sedikit, karena hal itu mengorbankan hutan dan seluruh ekosistem yang menyimpan keberagaman hayati. Itu belum termasuk kebudayaan serta sistem sosial yang berlaku di masyarakat.

Itulah yang kemudian disebutkan oleh Masanobu Fukuoka sebagai kekacauan abad modern dalam “Revolusi Sebatang Jerami,” pandangannya menyoal kekacauan itu ditimbulkan tak lain adalah akibat dari kecenderungan manusia yang selalu berusaha “menguasai” alam daripada “bekerja sama” dengannya. Sesuatu yang sudah menjadi rahasia umum. Dan kita tak perlu lagi bertanya siapa yang paling diuntungkan dari praktik kekuasaan di lapangan serupa itu, dengan “lobi-lobi-”nya, dengan praktik-praktik yang mereka sendiri menganggapnya sebagai langkah konservatif. Padahal, jauh sebelum Fakuoka, masyarakat Indonesia di masa lampau, khususnya kebudayaan Sunda, sudah mewanti-wanti dan memberi contoh bagaimana cara menghargai alam dan hidup berdampingan bersamanya.

Itu baru pada sektor wisata. Supaya tak terkesan antroposentris, coba kita tarik ke fenomena sosial dan melihat beberapa kasus di wilayah pertanian Bogor Barat, setidaknya dalam pembacaan 5 tahun terakhir. Sejak “tengkulak besar” berkedok perusahaan agrikultur mulai masuk dengan bebas dan bermain di sektor pertanian, kemudian secara tak sadar malah merusak budaya dan tatanan pertanian yang sudah berlaku sebelumnya. Maka hilanglah kearifan lokal dan masuk ke dalam kubangan limbah industri.

Ironis memang, tapi begitulah fakta yang terjadi di beberapa wilayah pertanian Bogor Barat hari ini. Alih-alih masuk  membawa cita-cita mulianya sebagai ruang pertanian modern berbasis digital, perusahaan-perusahan itu malah hadir sebagai penyedia praktik kecurangan. Padahal, bila dikelola secara baik dan implementasinya tepat sasaran, program itu bakal menguntungkan petani. Namun realitas sosialnya jauh panggang dari api, ketika para petani yang bercocok-tanam demi memenuhi kebutuhan dasarnya mesti bergelut dengan keteterbatasan pada biaya produksi yang terlalu mahal akibat bergantung pada pupuk industri, di tengah gempuran teknologi pertanian yang begitu kompleks sebab mengejar nilai pasar, para tengkulak besar itu datang membawa tawaran dan iming-iming modal yang dikemas secara terstruktur dan bermanis-bibir pada petani kecil. Maka itu semua tidak ada kaitannya dengan pertanian rakyat. Mereka yang akan bekerja di ladang akhirnya hanya dipandang sebagai buruh tani, bukan pemilik tanah, apalagi berdaulat atas hasil panennya.

Sebetulnya kita tak perlu membuka teori-teori dasar para sosiolog untuk dapat mengerti, bahwa ada ketidakberesan semacam itu terjadi di hadapan mata, walau fenomena tersebut tampaknya menjadi relevan bila dipandang dengan kacamata “sosiolog brewok”–yang pandanganya sering dianggap lapuk dan usang, terutama dalam konsep alienasi dan eksploitasi untuk melihat bagaimana kapitalisme bekerja dengan segala keculasannya. Di mana petani bekerja di tanah sendiri tetapi tidak mendapatkan keuntungan penuh dari hasil kerjanya, karena perjanjian harga rendah yang hanya menguntungkan perusahaan. Disadari atau tidak, mereka dipaksa terus-terusan “bergantung pada modal” tengkulak besar, memperkuat kontrol perusahaan atas petani, yang pada akhirnya memaksa mereka untuk terus bekerja sesuai kehendak perusahaan dan melemahkan kemandirian ekonominya.

Sebagai seseorang dari kalangan alit yang lahir dan tumbuh di lingkungan pertanian serupa itu, sakit sekaligus nyeri merasakan langsung bagaimana masyarakat tani bergelut di lapangan perang berupa ladang, terlebih amat muskil apabila mereka harus bersaing dengan segala perubahan cepat yang terjadi dan tidak sempat memiliki akses untuk “mengembangkan mekanisme adaptasi yang memadai,”–seperti yang disebut Koentjaraningrat tadi. Padahal bila ingin berkaca pada tren pertanian berkelanjutan yang terjadi pada 20 tahun terakhir, pemerintah bisa saja menerapkan sistem pertanian dengan pendekatan antropologi yang lebih populis, meski kita tahu hal tersebut terkesan utopis dan naif. Tapi coba dengar beberapa guru besar IPB sendiri yang telah memberi pernyataan sikap, menuangkan pemikirannya dalam bentuk kajian ilmiah untuk “Merevolusi Revolusi Hijau”. Artinya, implementasi revolusi hijau yang sejak 1970 “dipaksakan” pada pertanian Indonesia itu tak lebih hanya serangkai frasa yang tidak lebih banyak membawa perubahan ke arah perbaikan, apalagi sejahtera. Tak terkecuali di wilayah Bogor Barat.

Lalu di mana letak bangunan peradaban modern yang sedang dituju itu? Setelah melihat berbagai fenomena di wilayah Bogor Barat, dari kaca-mata antropologi, sosiologi hingga ekonomi-politik, dari sejak 70-an sampai saat tulisan ini dibuat. Maka membaca arah pemekaran Bogor Barat menjadi suatu hal yang mau tak mau harus saya pahami, yaa, meskipun susah masuk ke kepala saya, itu semua bukannya tanpa usaha, tapi mungkin otak saya yang terlalu “kecil” untuk urusan yang berdampak “besar” terhadap kelangsungan hidup banyak pihak di esok hari.

Oleh sebab alasan itu pula, bukan berarti perhatian saya terhadap isu ini hilang sama sekali. Justru cita-cita mulia dari pemekaran ini mestinya dipahami lebih banyak orang, agar ke depan implementasinya tepat, dan ketakutan dari fenomena-fenomana yang  tadi terjadi segera mendapatkan solusi, terlebih lagi menyumbat kesenjangan yang sudah sedemikian dalamnya. Lalu yang mengambil keuntungan nantinya bukan lagi hanya dari kalangan elite yang memiliki akses dan sumber daya lebih, tetapi bagaimana pemekeran itu akan memberikan manfaat yang signifikan bagi hajat hidup orang banyak; bagi kami kaum Alit yang sering terpinggirkan dalam proses pembangunan.

Maka biarlah kehkawatiran-kekhawatiran tadi saya simpan, barangkali berlaku sebagai bahan obrolan saya nantinya, bila tak bisa menyentuh para pemangku kepentingan Bogor Barat ke depan, baik yang sudah berkedudukan, atau pun yang masih di jalan. Atau biarlah ini sekadar pengingat, suatu sikap mawas diri, bahwa ada bagian lain dari masyarakat yang secara sukarela menuangkan segenap pemikirannya berupa gerundelan, gibah, obrolan-obrolan, mulai dari warung kopi sampai warung nasi, dari ladang hingga jalan menuju terminal, yang mestinya mulai dipandang sebagai suatu “partisipasi pembangunan”, bukan melulu dianggap argumen kosong yang hanya berisi kecurigaan.***