Membaca Arkais – Menyusuri Sangam: Timbul-Tenggelam Sajak-Sajak Kenangan dan Impian

Gambar: Cover Buku Arkais/Sangam


Pancaran lampu berkedip demi memperjelas aksara-aksara yang bergerak// Kian kemari// Tapi sunyi terus membungkam// (Sinta Ridwan, dalam sajak yang berjudul: Jubah Sunyi)

*

Bagaimana seorang filolog sekaligus arkeolog merekam pengalamannya ketika memesrai kehidupan masa silam dan menuangkannya dalam kerja sajak? Begitulah pertanyaan yang menyelimuti saya, ketika Sinta Ridwan meluncurkan buku kumpulan sajak terbarunya yang berjudul: Arakis/Sangam, diterbitkan oleh Pustaka Jaya, tahun 2023.

Sebelum pembaca memasuki jalannya sajak, ada baiknya kita telusuri seikat biodata singkat tentang siapa itu Sinta Ridwan? Sinta Ridwan lahir di Cirebon, pada tanggal 11 Januari 1985. Ia belajar menulis sajak ‘serius’ sejak 2006. Kumpulan sajak pertamanya berupa buku handmade bertajuk Secangkir Bintang pada 2009-2010. Melahirkan buku memoir Berteman dengan Kematian dirilis Penerbit Ombak pada 2010-2012. Pada 2017, merilis buku dokumentasi sajak versi cetak dibantu Penerbit Gambang berjudul Secangkir Bintang V1.7 terdapat 50 lebih ilustrasi karya Arut S. Batan. Akhir 2017, buku kumpulan cerita pendek Perempuan Berkepang Kenangan dirilis Penerbit Ultimus.

Sinta aktif bergiat menyibukkan diri dalam kajian yang sehubungan keilmuan yang di-dalami-nya. Mula-mula dari Sastra Inggris, Filologi, Etnolinguistik, lanjut Arkeologi. Ia pun larut dalam alih-wahana berupa audio visual, terciptalah audio-visual berjudul Melarung Banyu Kidungan, Fragmen Carita Aksara (di Jawa Barat), Hayati: Laku dan Ingatan, Dokumenter Candi Borobudur, Dokumenter Herstori Series, Membaca Kembali Aksara (Manuskrip Carita Parahiyangan), serta Manuskrip Tatamba. Melalui prosesi itulah, ia rindu melahir-terbitkan sajak-sajaknya kembali. Diputuskanlah Arkais/Sangam ini yang dirangkum serta dipilihnya dari kurun waktu 2010 hingga 2023, yang rencananya akan terbagi sejumlah buku kumpulan satu warna.

Nah! Informasi itu tentu akan membawa pembaca sekalian yang mungkin ingin mengenal lebih jauh dan ingin bertukar-kabar – serta berdiskusi, bisa langsung menghubunginya melalui kontak surel: sisintaridwan@gmail.com atau kotak pesan Instagram: Sinta Ridwan. Dan jika hendak membaca tulisan-tulisan lainnya, pembaca bisa berkunjung ke website: sintaridwan.com.

Baiklah, mari kembali ke kumpulan sajak Arkais/Sangam-nya. Apa itu Arkais/Sangam? Membaca judulnya saja kita akan dihadapkan dengan makna kata yang menarik, yaitu tentang kata Arkais dan kata Sangam. Apakah pembaca budiman sudah mengenal dekat kedua kata tersebut? Atau apa dan bagaimana sebenarnya yang dimaksud Sinta dengan dua kata “Arkais dan Sangam” yang dipilih menjadi judul bukunya itu?

Menariknya, di dalam buku Arkais/Sangam sendiri Sinta menyediakan keterangan makna katanya secara rinci. Ia menerangkan kata Arkais yang mengacu pada:

pertama, suatu yang berhubungan dengan masa lalu atau berciri kuna, tua dan suatu masa yang lebih awal dan tidak dipakai lagi, atau sesuatu hal yang memiliki ciri khas kuna atau antik.

Kedua, sesuatu yang tidak lazim dipakai lagi (tentang kata) atau ketinggalan zaman: Arkaisme, suatu hal dalam ilmu bahasa yang sudah lama dan tidak digunakan lagi.

Dan ketiga, suatu periode dalam Yunani zaman kuna: atau Periode Arkais, yang mana istilah ini muncul pada abad ke-18 dan berasal dari studi seni Yunani, periode ini berlangsung setelah Zaman Kegelapan antara 800 SM dan 480 SM, mulai muncul benih-benih awal yang nantinya berkembang, seperti ditandai dengan adanya negara-kota (polis), koloni Yunani, filsafat klasik, teater, dan sajak tertulis; bahasa tertulis yang pernah hilang pada Zaman Kegelapan, juga akan kembali muncul pada periode Arkais.

Lalu kata Sangam, mengacu pada:

pertama, tentang pertemuan sungai atau pertemuan dua sungai atabahkan lebih sebagaimana dalam bahasa Sanskerta, Triveni Sangam, pertemuan tiga sungai di Allahabad: Sungai Gangga, Sungai Yamuna dan Sungai Saraswati yang mistis.

Kedua, suatu periode dalam Tamil di zaman kuna antara 300 SM dan 200 M: periode pertumbuhan sastra dan budaya yang luar biasa dalam sejarah orang Tamil: Sastra Sangam; tulisan paling awal dalam bahasa Tamil Kuna, literatur yang dikumpulkan dalam pertemuan; diperkirakan dihasilkan di tiga sangam (akademi sastra) dari abad ke-1 M hingga abad ke-4 M; Zaman Sangam, berlokasi di Madurai, India Selatan, makmur di bawah perlindungan 89 raja Pandya.

Dan ketiga, menjelaskan tentang sekelompok atau perkumpulan bentuk bahasa Tamil dari bahasa Sanskerta: sangha; kumpulan cendekiawan dan penyair Tamil yang legendaris pada Zaman Sangam; mengacu pada pertemuan para penyair dan sebagian besar sastra Tamil Kuna ditulis.

Walaupun sedikit rumit keterangannya, setidaknya pembaca dapat menerawang sedikit tentang asal-muasal mengapa judul buku itu diberi kata Arkais/Sangam, dan mungkin dengan disertakannya keterangan itu, Sinta sengaja agar pembaca sekalian tak kesulitan mencari makna kata-nya dan dapat ikut serta langsung menyusurinya jalannya sajak-sajak yang telah dikumpulkannya.

Memasuki proses pembacaan, ketika saya mulai membuka buku kumpulan sajak Arkais/Sangam, saya langsung terkesiap. Bagaimana tidak, diawal pengantar isi bukunya (dalam Lafalan Kamsia) Sinta menyilakan pada pembacanya: teruntuk Anda, para penghayat puisi, merasuk!. Di halaman itulah saya berhenti lama, menjeda untuk tidak buru-buru membuka lembar-halaman selanjutnya. Mengapa demikian? Sebab, saya merasa, sederet kata-kata itu semacam kode (panca-curiga?) untuk memberitahu kita sebagai pembaca karyanya, bahwa ketika hendak menyusuri perjalanan sajaknya, kita tidak diperkenankan hanya membuka pintu-buku lalu membacanya tanpa bekal, tetapi mesti merasuki isi bukunya: merasuki jalannya proses kreatif Sinta dan merasuki peristiwa yang dihadirkannya tentang cerita masa silam melalui pandangannya sebagai manusia masa kini atau katakanlah sebagai anak-cucu.

Ketika saya membuka halaman selanjutnya, hal itu ternyata diperjelas dalam catatan sekaping pinang yang ditulis oleh Jean-Pascal Elbaz, yang mana ia mengutarakan bahwa, sajak-sajak Mbak Sinta Ridwan merefleksikan persilangan antara masa lalu dan masa kini, sungai-sungai mitos dan kisah-kisah kuna yang berbaur dengan kehidupan penulisnya. Maka, pertanyaan saya di awal, mungkin semacam kode-pembuka bagi kita semua, agar mau tak mau mesti belajar tentang cerita masa lalu (Nusantara khususnya) dan belajar menjelma sebagai seorang filolog serta arkeolog untuk menuntaskan makna pembacaan terhadap kumpulan sajaknya itu.

Berbeda dengan penjelasan Elbaz, Mannake Budiman merefleksikan pembacaan buku Arkais/Sangam pada catatan sekapur sirih dengan menjelaskan, masa lalu bukan soal waktu, bukan sesuatu yang telah berlalu. Masa lalu menghidupi masa kini, memberinya makan, agar waktu dapat terus berjalan, dan kehidupan terus berlangsung. Mungkin, pada dasarnya, mengerti atau tidak-mengerti kita tentang persoalan masa silam ketika membaca perjalanan sajak Arkais/Sangam olahan Sinta Ridwan, titik-pusatnya bisa dihadirkan dalam persoalan masa silam kita sendiri, masa lampau leluhur kita sendiri terlebih-dahulu.

Membaca Arkais – Menyusuri Sangam

Secara singkat, kumpulan sajak Arkais/Sangam olahan Sinta Ridwan memuat 61 sajak di dalam bukunya. Secara runut, sebagaimana kumpulan sajak pada umumnya, muatan isi sajak Arkais/Sangam memang sangat beragam nilai suasana-konflik-persoalannya, namun titik-sama-keberangkatannya mengacu ke hal-hal yang bersifat lampau sekaligus silam. Seperti dalam sajak Secepat Kedip, Sinta menghadirkan proses kreatifnya menyusuri masa lalu (sebagai filolog dan arkeolog) dengan gambaran, ibarat angin yang menggiring ke masa lalu,/ mengetuk daun jendela, melongok anak cucu// Sekejap lafalan mengudara/ Gayatri Mantram/ membuka pintu kebijaksanaan, pengetahuan luhung// Basuh energi secepat kedipan mata. (Ujungberung, 23 Januari 2012: hal.37).

Membaca sajak berjudul Secepat Kedip di atas, kita akan menemukan peristiwa yang sangat mungkin itu pengalaman Sinta sendiri sebagai filolog sekaligus arkeolog, ketika menyusuri perjalanan masa lalu (Prasasti dan Naskah Kuna), tentang angin menggiringnya untuk mengetuk daun jendela dan dibuka oleh para leluhur seraya menengok anak-cucunya sendiri. Itulah mengapa Sinta menghadirkan larik sekejap lafalan mengudara, yang dapat kita curigai sebagai hasil penelitian yang sempat dirumuskannya itu tengah terngiang jauh di puncak perasaan dan pikirannnya sendiri.

Berbeda dengan sajak berjudul Secepat Kedip, pada sajak yang berjudul Memeluk Candi, proses kreatif Sinta lebih diperjelas dan akan sangat kita rasakan bersama. Sinta secara terang-terangan mengalihwahanakan kerja penelitiannya ketika menyusuri candi-candi ke dalam kerja sajaknya, dimulai dengan: satu energi besar serupa puting beliung itu ibarat memelukku// Kala aku mendatangi kompleks percandian yang selalu digali lagi terus digali// Tak kunjung usai// Tumpukan terakota, selalu ditemukan/ Bercalar-calar, bersembunyi sunyi/ Tertutup lapisan-lapisan bentala// Aku melandai hendak mengetahui// Bagaimana Pitaloka menghunus konde ke jantung hatinya/ Sekejap hancur, perasaan serta segenap asanya/ Melebur senyumnya di sini// Andai aku berada di waktu itu/ Pitaloka// Aku turut melindungi, pivot berputar, ibarat dayang-dayang itu. Hingga nyawa berakhir. (Mojokerto, 17 Juli 2012: hal.45).

Itulah mengapa, pada sajaknya yang berjudul Memeluk Candi, sebagai filolog dan arkeolog sekaligus seorang penyair, Sinta memandang suatu gejala antara masa lalu dan masa kini, yang sesekali melihat sampai mana dan sejauh mana kita bisa menyusuri kehidupan masa silam Nenek-moyang kita sendiri, adakah batas-batas penghalang, penghambat, dan rintangan yang masih dan akan terus ada? Sungguhpun hal tersebut memang akan kita hadapi dan terus ada.

Sebagaimana Sinta menjawab dalam sajaknya yang berjudul, Cangkul Puzzle, bahwa: masa lalu negeri ini terlalu gelap/ demi menguraikan secara terang// Masih banyak kehidupan arkais menyuruk di sudut-sudut kasat mata// Manuskrip tertua mentok di 1300-an/ prasasti terbentur batas-batas persebarannya// Artefak-artefak hancur/ samar dihancurkan/ Terbelah, dibelah// Jurus-jurus menyuarakan aksara/ masih menguntit para pendahulu// Pemaknaan, menafsirkan, berulang// Klasifikasi, rekonstruksi, jigsaw puzzle berserakan// Perjalanan ini berliku-liku// Menubruk waktu// Melambat tersandung aral melintang// Keberagaman religi ditilik menggunakan kacamata kuda/ Benteng// Bentala-bentala yang mengandung bau masa kehidupan karuhun/ sukar dibeli pakai uang negara// Semak belukar dibiarkan menutupi segenggam informasi// Memendam misteri// Gulita mengkungkung// Tentu perlu bawa senter, lampu penerang// Bersiap-siap pangku cangkul/ berkehendak gali-gali, candi-candi memanggil sedari tadi// (Magelang, 19 Oktober 2021: hal.98).

Membaca sajak Cangkul Puzzle di atas, kita akan menemukan kesaksian yang sangat lugas-tegas, bagaimana seorang filolog sekaligus arkeolog menjelaskan tentang kurang perhatiannya negara (Indonesia?) terhadap penelusuran para peneliti tentang sejarah masa silam. Bagaimana Manuskrip peninggalan Nenek-moyang hanya bisa ditelusuri sampai tahun 1300-an saja. Bagaimana prasasti dan artefak hancur dan ada yang dihancurkan. Namun, dari semua kegelisahan itu semua, Sinta masih optimis dengan mengatakan, Tentu perlu bawa senter, lampu penerang// Bersiap-siap pangku cangkul/ berkehendak gali-gali, candi-candi memanggil sedari tadi//. Dari semua kegaduh-gelisahan, penelitian mandiri adalah jalan yang mesti ditempuh para peneliti, guna menjadi pembelajaran mendatang bagi anak-cucu kelak.

Timbul-Tenggelam Sajak-Sajak Kenangan dan Impian

Maka, jika kita kekeh ingin mengetahui pertanyaan di muka tentang, bagaimana seorang filolog sekaligus arkeolog merekam pengalamannya ketika memesrai kehidupan masa silam dan menuangkannya dalam kerja sajak?

Jawabannya tentu akan berisi hal-hal yang silam atau katakanlah mengais arkais sekaligus sangam. Sinta sebagai seorang filolog sekaligus arkeolog mempunyai banyak bekal perjalanan menengok masa lalu. Dengan demikian, maka sangatlah wajar jika muatan sajaknya erat kaitannya dengan perjalanan panjang cerita-cerita masa lalu. Secara wajar pula, kita bisa membayangkan bagaimana perjalanan sajak Sinta seperti membawa pembaca untuk ikut menerawang waktu dan suasana di masa lalu sekaligus menerka peristiwa dan kejadiannya terkait tokoh-tokoh yang rapi dihadirkannya.

Hal itu bisa kita lihat bersama dalam sajaknya yang berjudul: Melupa Menulis. Sinta menjelaskan, seandainya tak ada tinggalan artefak bertulis/ hilang sudah ingatan kolektif/ Seutuhnya// Tiada jejak sanggup bersuara masa-masa terlampaui// Lafal Pramoedya, “Menulis adalah bekerja demi keabadian.”// Penggores pun pemahat aksara/ sejak fajar hingga malam menyelimuti/ waktu bergulir begitu pesat// Penyuratan alkisah peristiwa tampaknya penuh jadwalnya// Penyalinan aksara demi aksara, kata demi kata/ kalimat disusun sedemikian rupa// Mewujud kakawin, hikayat, wawacan, serat, babad, lampahan// Ancaman penghapusan kisah menjelma letusan gunung/ gempa mengguncang/ tsunami menerjang, pralaya, peperangan, hingga ditujukan demi lupa identitasnya// (Depok, 5 Desember 2021. Hal.103).

Sinta sebagai penyair sekaligus filolog dan arkeolog memberi pesan pada pembacanya: jika saja tak ada peninggalan artefak bertulis, maka semua ingatan kolektif cerita masa silam akan hilang seutuhnya. Sebab, kita ketahui bersama, batas ingatan manusia sangat rentan lupa dan hilang ditelan umur dan waktu. Dalam sajak di atas juga Sinta menguraikan bahwa, untung saja leluhur kita di Nusantara masih meninggalkan artefak bertulis itu, sebab masih ditemukan kakawin, hikayat, wawacan, serat, babad, lampahan, dan masih banyak yang lainnya. Sinta secara lugas juga mengingatkan tentang, ketika leluhur kita sudah menuliskan peristiwa-kenangannya, masih ada bahaya yang dapat menghancurkannya, seperti letusan gunung, tsunami, peperangan, dan sebagainya.

Syahdan. Begitulah sedikit pembuka pembacaan Arkais/Sangam olahan Sinta Ridwan. Selengkapnya sila pembaca baca sendiri kumpulan sajaknya secara utuh. Seperti perjalanan Sinta dalam sajak yang berjudul: Lacak Budur, misalnya. Segala sesuatu yang sedang dan akan kita teliti dan hadapi, apapun  itu konteks dan muatan isinya, mesti membersamai kesabaran dengan waktu dan mesti meruang-kannya dalam perasaan yang mendalam serta pikiran yang deudeuh atau serius, tak lupa mesti berkelanjutan dan saling berkait-kelindan.

Telah menghabiskan puluhan menit, aku melacakmu, budur// Tiga wujud aksara konsonan, tanda vokal u+r main petak umpet bersama kata-kata di dalam bodi manuskrip Nagarakrtagama// Berangsang// Kucek-kucek mataku, agar lebih memusat pivot// Lensa kacamata berulang kali dilap// Agar jernih isi kepala jua// Langsung kupegang erat-erat tiap lempir// Akurat dituju// Rantai dugaan butuh disambung// Budur atau budura?// Simpang siur, namun terus berulang// Dibincang//. (Jakarta, 5 November 2021. Hal.100).

Sudah dulu, ya.***