Membaca Ulang Sejarah Perlawanan Kolektif Petani Ciomas 1886 dalam Pekik Jihad Fi Sabilillah

Membaca Ulang Sejarah Perlawanan Kolektif Petani Ciomas 1886 dalam Pekik Jihad Fi Sabilillah

Gambar: Laiden University


Tjiomas yang sekarang penulisannya adalah Ciomas, satu kecamatan yang berada tepat di lereng gunung Salak, di suatu masa pada penjajahan Belanda saat masih menjadi tanah partikelir, ternyata menyimpan memori perlawanan yang berdarah.

Bulan Februari 1886 Ciomas yang berhawa dingin memanas. Camat bernama lengkap RM. H Abdurachman Adimenggala dibunuh oleh Apan Ba Sa’maah, seorang petani yang dimiskinkan oleh kebijakan tuan tanah. Diketahui motif pembunuhan adalah lantaran Camat tersebut terlalu berpihak pada tuan tanah. Sehari setelah pembunuhan, Apan tidak ditangkap polisi, sebab langsung dieksekusi mati dengan dua belas peluru oleh setengah kompi militer. (lihat Soerabaijasch handelsblad, 01-03-1886)

Mendengar Apan telah dieksekusi mati. Beberapa petani yang terlibat akan pembunuhan melarikan diri ke Pasir Paok, daerah Ciomas Selatan. Skema perlawanan lanjutan dikonsolidasikan saat masa pelarian. Sebab Apan yang telah dieksekusi mati, bukan aktor intelektual perlawanan. Apan hanya aktor lapangan, Mohammad Idris lah yang menjadi otak dari perlawanan ini.

Tiga bulan selanjutnya, tepat pada bulan Mei 1886 Ciomas kembali memanas. Idris dan anak buahnya memanfaatkan acara tahunan di Ciomas. Sebab setiap tahun setelah perkebunan panen, tuan tanah beserta pejabat Ciomas rutin mengadakan pesta bumi. Kaki tangan Belanda turut hadir semua, berpesta-pora diringi musik dan mabuk-mabukan.

Idris dan kolektif perlawanannya sudah bersiap tikum di Ciomas selatan. Dengan persiapan matang selama tiga bulan, tanggal 18 Mei 1886, saat malam jumat berangkatlah kolektif perlawanan tersebut ke Gadog —pada masa ini, Gadog adalah bagian dari Ciomas—ke kediaman tuan tanah yang menjadi lokasi pesta bumi. Saat sedang asik pesta dan mabuk-mabukan mereka disergap, diserang, dibunuh menggunakan arit dan parang oleh Idiris dan kolektif perlawanannya. Terhitung 41 orang mati terkapar dan 70 orang terluka kena sembarang bacokan. Sisanya berhamburan lari dan dikejar.

Besoknya, tanggaal 20 Mei 1886 di-perbatasan Ciomas dengan daerah Ciampea, terjadi bentrokan hebat antara pihak Idris dan kolektif perlawanannya yang terhitung 500 orang melawan satuan militer dari Batavia (sekarang Jakarta) yang dikirim oleh pemerintah. Dari bentrokan tersebut kolektif perlawanan Idris menelan korban sebanyak 41 orang dan 9 orang terluka parah dan kesemuanya diidentifikasi sebagai warga Ciomas.

Tak berhasil memberangus semua orang yang terlibat diperlawanan yang ada di Ciomas, OM de Munnick, residen Batavia menawarkan f10 gulden kepada siapapun yang mampu mengalahkan Idris dan kolektif perlawanannya. Asisten Residen Coenen mencoba, naas usahanya gagal.  Tersiar kabar Idris dan kolektif perlawanannya diduga lari ke Cilegon menggabungkan diri dengan Ki Wasyid (1843 – 1888) yang tengah mempersiapkan pemberontakan Cilegon yang dalam sejarahnya pecah pada tahun 1888.

Penyebab Adanya Perlawanan

Barangkali kita semua sudah tau bagaimana kekejaman dalam masa penjajahan (si kebo bule). Pelajaran sejarah di sekolah sudah menceritakan itu semua. Sebab memang itulah yang benar terjadi dan untuk memastikan Ciomas mendapatkan lebih banyak uang, De Sturler selaku tuan tanah Ciomas memperbarui kontrak dengan penduduk setempat pada tahun 1869. Dalam kontrak itu ditetapkan bahwa 20% dari padi yang dipanen petani adalah milik tuan tanah. Dalam kontrak tersebut juga tertulis bahwa para petani diwajibkan menanam 250 semak kopi di halaman rumahnya. Hasil panennya harus diserahkan kepada tuan tanah dengan harga tetap. Selain itu, para petani juga diharuskan memberi semacam upeti seperti dua butir kelapa dari setiap pohon.

Dari semua beban tersebut, dan mengingat pada masa  itu belum ada kendaraan apalagi angkut jasa online, petani saat memberikan hasil panennya menggunakan pedati tenaga manusia, dan jarak tempuh dari perkebunan ke rumah tuan tanah yakni 10 sampai 12 paal atau 15 – 18 kilometer kalo sekarang.

Belum cukup sampai di situ beban petani Ciomas kala itu, sebab setelah sampai dan memberikan pajak bumi ke tuan tanah, para petani dipaksa bekerja barang dua sampai tiga hari oleh tuan tanah.  Para petani disuruh membersihkan halaman rumah yang luasnya bukan kepalang. Pekerjaan tersebut pun layaknya budak sebab sama sekali tanpa ada bayaran.

Bagaimana para petani tidak memiliki dendam kesumat, para petani yang sudah dibebani dengan pajak tinggi, dipekerjakan layaknya budak yang tanpa imbalan, sekarang mereka harus melihat istri dan anak-anak perempuannya dipaksa menjadi pembantu selama sembilan hari dalam satu bulan oleh tuan tanah tanpa bayaran. Bahkan dari beberapa istri dan perempuan diperkosa dan dipergundikkan.

Peribahasa habis jatuh tertimpa tangga bangunannya rasanya tepat menggambarkan ketragisan petani Ciomas saat itu. Seperti apa yang ditulis oleh Sosiolog kelahiran German, Henry A. Landsberger (1926 – 2017 ) di buku Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, bahwa gerakan petani itu tidak muncul dengan sendirinya untuk mewakili suatu perubahan, tetapi muncul karena konsekuensi dari perubahan yang mendahuluinya. Selain itu, Gerakan petani adalah wujud protes sosial alami pada gejala kerusuhan dalam suatu proses sejarah. Untuk itu, derita yang sudah naik seleher dari para petani, menyebabkan perlawanan berdarah yang alamiah. Hasil antitesa dari sistem kolonialisme penjajah.

Pemberontakan Sosial Yang Berbalut Agama

Peristiwa perlawanan Ciomas ini merupakan konlfik terbuka antara petani dan tuan tanah yang melibatkan pemerintah. Namun, yang paling membedakan dari perlawanan-perlawanan yang tercatat di bumi jajahan nusantara, hanya pada perlawanan Ciomas, yang menjadi inisator perlawanan adalah seorang petani tulen tanpa gelar kehajian maupun kebangsawanan (lihat: Tesis Iskandar, Hak-Hak Pemilikan Tanah Dan Kerusuhan Sosial: Kasus Tanah Partikelir Ciomas Tahun 1886. Universitas Indonesia, 199).

Tidak seperti pemberontakan di Banten, Tanggerang, Batavia, atau perlawanan Samin misalnya, yang pemimpin-pemimpinnya berasal dari elit yang memang mempunyai nilai karismatik di mata pengikutnya. Di perlawanan Ciomas Mochammad Idris dan Apan Ba Sa’maah adalah masyarakat awam yang ada di lingkungan petani itu sendiri.

Selain itu, wujud perlawanan yang diinisasikan oleh Idris dan Apan diperkuat oleh perasaan keagamaan, untuk itu senjata paling ampuh untuk menyatukan kekuatan rakyat yang sengsara dan ditindas adalah dengan jihad fi sabilillah (lihat: Tesis Amirudin, Agama Dalam Pemberontakan Petani di Ciomas, 1886. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004)

Tak heran, Apan yang terhitung jago-silat dan pandai mengaji sesaat setelah membunuh Camat, mendaku dirinya sebagai Imam Mahdi dan Idris otak dari ini semua digelari Panembahan. Karena perlawanan ini bersifat magicio religious dan messianistis, sebelum penyerangan ke Pesta Bumi, Idris dan kolektif perlawanannya banyak yang menggikatkan kain putih di kepala dan saat pendudukan tidak ada satu pun pengambil-alihan terhadap gudang-gudang di Sukamantri, Gadog maupun Warungloa. Perlawanan kolektif Idris estu ditujukan untuk tuan tanah.

Tjiomas, Tanah Partikelir Pelopor Agricultural

Dulu Ciomas adalah tanah partikelir, bernama land Tjiomas yang dimiliki oleh seorang berkebangsaan Swis yang besar di Hinda Belanda, Johan Wilhelm Eduard de Sturler. Diduga nama Tjiomas mengambil nama kampung Tjiomas, sebab di kampung Tjiomas mengalir sungai kecil yang juga disebut sungai Tjiomas. Sungai Tjiomas dihimpit antara sungai Tjisadane (sekarang Cisadane) dan sungai Tjindangbarang (sekarang Sindangbarang).

Luasnya dari sisi selatan sungai Cisadane hingga ke puncak gunung Salak. Batas dari daerah selatan Ciomas adalah sungai Tjihideung (sekarang Cihideung) yang berbatasan langsung dengan daerah Ciampea. Batas daerah utara Ciomas adalah jalan tanjangan jemabatan Cisadane dan batas daerah timur Ciomas adalah sungai Tjibereum (sekarang Cibereum) yang langsung berbatasan dengan daerah Cijeruk.

Bayangkan betapa luasnya teritorial Ciomas pada masa itu, dan tanah partikelir seluas itu bukan dimiliki oleh pemerintah maupun swasta tapi oleh seorang pribadi. Pada masa itu, bisa dibilang tanah partikelir layaknya negara (Ciomas) dalam negara (Hindia-Belanda).  Pemilik land (landheer) adalah penguasa di dalam land, menguasai seluruh lahan dan isinya baik yang berada di bawah pemukaan maupun yang berada di atas permukaan tanah. Dalam hal ini penduduk yang tinggal di dalam land juga termasuk.

Bayangannya landhleer (tuan tanah) menguasai air, api, udara, tanah, beserta manusia di dalamnya. Hak lainnya yang dimiliki tuan tanah adalah membentuk pemerintahan sendiri dengan mengangkat pemimpin lokal sebagai mandor, polisi atau camat dan mempekerjakannya untuk memungut retribusi dan menjaga kondisi ketertiban dan keamanan. Avatar kalah saing oleh tuan tanah!

Ternyata sudah sejak lama daerah Ciomas terekenal dengan hasil perkebunannya, mulai dari tebu, kopi, dan selepas pendudukan Inggris kopi mulai dikombinasikan dengan teh. Selain meningkatkan produktivitas kopi, warga Ciomas sudah mengusahakan sawah untuk menghasilkan beras, menanam tanaman hortikultura dan sayur-sayuran. 

Dampaknya kota Buitenzorg (sekarang Bogor) setiap hari dibanjiri buah-buah dan sayur-sayuran yang dibawa dari hasil perkebunan Ciomas. Sukses dengan hasil hortikultura dan kopi, De Sturler tuan tanah Ciomas mulai membuka perkebunan kina.

Pada tahun 1875 dalam surat kabar diberitakan jumlah pohon kina di daerah Ciomas sudah mencapai 60.000 batang dan jumlah tersebut belum dihitung dengan yang masih pembibitan, yang jumlahnya lebih banyak dari yang sudah ditanam. Untuk itu, hasil dar tanaman kina sudah mengimbangi penghasilan tanaman kopi.

Atas keberhasilannya, tuan tanah Ciomas, si De Sutrler dilantik sebagai pelopor masyarakat pertanian dan peternakan di Hindia. Tak hanya itu, De Sturler juga disebut sebagai pelopor tanaman kina di Bogor, dan namanya cukup harum di seputar pemerintahan Jakarta pada masa itu.

Apa Kabar Ciomas Sekarang

Ciomas yang dulu menjadi daerah partikelir terluas di Bogor, kini hanya menyisakan nama kecamatan di Kabupaten Bogor. Dahulu  Ciomas yang luas dibagi ke dalam 11 kemandoran, yakni: Tjiiomas, Sawah, Kota Batoe, Tjiloebang, Tjiapoes, Petir, Pasir Angsana, Gadok, Boeniaga, Pasir Eurih dan Kabandoengan (lihat: Peta Land Tjiomas, 1910).

Kemandoran berisi sejumlah kampung yang berdekatan. Kemandoran adalah unit terkecil pemerintahan di dalam daerah partikelir yang setingkat dengan desa di tanah-tanah pemerintah.

Berbanding terbalik dengan Ciomas yang kita kenal sekarang, yang parahnya diketahui sebagai kecamatan terkecil dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Sebab hanya terdiri dari 10 Desa: Ciomas Rahayu, Ciomas, Kota Batu, Laladon, Mekarjaya, Padasuka, Pagelaran, Parakan, Sukaharja dan Sukamakmur.

Begitulah satu lintasan daerah Ciomas tertuliskan dalam sejarah. Ciomas hari ini adalah Ciomas yang berubah arah. Hanya bungker yang ditemuka pada tahun 2017, di pesantren Al Fatah di kampung Kreteg, Desa Pagelaran yang mungkin bisa jadi saksi bisu sejarah dalam catatan dari perlawanan jihad fi sabilillah petani Ciomas pada tahun 1886.