ilustrasi @alanwari
Pada tulisan sebelumnya, apa yang kita bicarakan, ketika kita membicarakan tentang Bogor?, telah kami rumuskan wahana pengantar Surat-surat untuk Bogor dalam nuansa cinta. Cinta yang ada dalam tinjauan kami serupa studi-cinta terhadap jalan panjang Bogor, entah melalui rentetan biografisnya, geografisnya, persoalan ekonominya, psikologi-sosialnya, politiknya, kulturnya, manusianya, atau apapun saja sesuai dengan pengalaman serta harapan-impian kita tentang Bogor ke depannya, tentu melalui sudut, gerak, jarak-jangkauan pandangan kita masing-masing: sebagai arsiparis atas diri kita yang membersamai Bogor, atau mungkin saja Bogor yang membersamai diri kita.
Sejauh apa yang akan kami harap-impikan mengenai Surat-surat untuk Bogor itu, kami rasa pembahasan mengenai Surat-surat untuk Bogor bisa kita manfaatkan dan mengoptimalisasikan dengan tinjauan inderawi kita meskipun sederhana. Misalnya saja, kita bisa mengawali catatannya dengan menjawab pertanyaan “apa yang kita bicarakan, ketika kita membicarakan Bogor?” itu cukup dengan jawaban sederhana yang berdasarkan pada “yang akan kita bicarakan tentang Bogor adalah apa yang kita dengar, baca, alami serta maknai tentang Bogor.”
Kemudian, dari kerangka itulah kita bisa berangkat membicarakan apa yang telah didengar dari dongengan masyarakat, para sepuh (budayawan dan sejarawan Bogor khususnya) tentang Bogor, dari hasil bacaan buku-buku sejarah dan berita yang menguraikan tentang Bogor, atau bahkan dari kesaksian pengalaman diri kita sendiri sebagai bagian dari Bogor, yang kesemuanya prosesinya itu akan mengacu pada wahana pemakanaan kita masing-masing. Percayalah bahwa kejujuran seperti itu akan membuat pembicaraan-pembicaraan tentang Bogor akan lebih menarik. Atau kita bisa juga mengganti kata “dengar” dengan kata “lihat”, “tahu”, “dapat”, “berikan”, “harapkan”, “inginkan”, dan begitu seterusnya, untuk menjadi acuan kerangka ketika merumuskan bagaimana kita menuliskan Surat-surat untuk Bogor.
Hal-hal yang akan keluar dari dasar jawaban tersebut, tentu akan sangat membantu dan memberikan impresi tersendiri bagi pembaca, khususnya yang berasal dari Bogor, umumnya yang hanya mengenal atau sedang mengembarai Bogor. Hal itu yang kami maksudkan sebagai refleksi, bukan hanya kritik yang kita hujamkan kepada objek lain di luar tubuh kita. Kecuali, kita rela untuk melukai diri sendiri dengan pisau kritik atas dasar evaluasi dan kecintaan diri kita kepada diri kita sendiri, yang mau tak mau – suka tak suka, memang telah menyatu dengan Bogor.
Sejatinya, yang kami sepakati sebagai Surat-surat untuk Bogor sendiri merupakan media curhatan tentang diri kita, untuk diri kita, dan jelas dituliskan oleh kita, yang semoga dapat menjadi pembelajaran bagi perjalanan Bogor sebagai suatu hunian kelahiran, ruang pengembaraan, maupun tempat singgah sementara. Dan seyogyanya, bahwa Surat-surat untuk Bogor ini sebenarnya ditujukan pada diri kita sendiri, demi kebaikan kita sendiri. Dari sana, kita harus berani mendefinisikan diri kita sebagai Bogor: yang berada di dalam, di luar, ataupun berjarak dan menyatu bersama keduanya.
Apakah dengan begitu, upaya memberikan informasi mendalam untuk orang lain, atau kerja kritik dan keluhan-kesah (dalam Surat-surat untuk Bogor) akhirnya dilarang atau tak diperkenankan? Tentu tidak! Silakan saja kita merumuskan kritik terhadap Bogor. Tentu mesti dengan catatan yang mendasar disertai sumber yang kuat, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ketika kita mengkritik, menghina, bahkan menjelekkan kekurangan Bogor, sejatinya kita sedang menghujat diri kita sendiri. Dalam hal lain, menghujat diri kita sendiri bukan suatu hal yang melanggar hukum atau melanggar siklus hidup, melainkan refleksi nama lain dari cinta, dan malahan sangat berguna jika yang kita kerjakan wahana kritiknya melalui refleksi cinta.
Lagi-lagi persoalan cinta pada dasar muatannya dapat menjadi kunci bagi keberlangsungan hidup kita bersama hunian (Bogor) kita sendiri. Apalagi kerja kritik untuk Bogor jika didasari dari studi-cinta kita terhadap Bogor, sudah barang-tentu akan terjalin proses perjalanan evaluasi yang menarik untuk di-nantikan serta di-catat bersama, dimulai dari kedalaman diri sampai meluas keluar diri kita sendiri yang memang tengah melebur-menyatu dengan historiografi dari Bogor itu sendiri.
Historiografi Bogor Sebagai Suatu Refleksi Diri
Berbicara mengenai historiografi Bogor, kami rasa, seperti menelusuri fenomena sejarah yang dinaungi kabut kesunyian dan fenomena budaya yang riuh diguyuri hujan lebat, artinya sulit untuk kita bisa menerobos kedua fenomena itu tanpa persiapan panjang dan matang. Dengan begitu, kami rasa, Surat-surat untuk Bogor ini mungkin bisa menjadi langkah bersama kita untuk belajar menelusuri jalan panjang fenomena sejarah-budaya Bogor tersebut. Kita bersama-sama belajar mendobrak wahana pertanyaan menyangkut biografis-geografis Bogor di masa lampau, dengan mempertanyakan:
Kenapa peninggalan Tarumanagara dan Purnawarman sebagian berada di hunian Bogor saat ini? Bagaimana Tarumanagara bisa melahirkan Kerajaan Sunda dan Galuh, Kawali dan bahkan Pakuan Pajajaran? Apa sebenarnya motif keruntuhan Pajajaran yang ditaklukan oleh Kesultanan Banten? Apakah setelah itu hunian Pajajaran mengalami abad kekosongan atau dihuni Kesultanan Banten? Lalu, bagaimana Kolonial masuk ke Tanah Sunda, geografis Bogor khususnya? Sejak kedatangan Kolonialisme, bagaimana hunian Kota yang bernama Bogor ini bisa tercipta? Siapa yang mencetuskan nama Bogor dan mengembangkan tata-letak huniannya? Bagaimana pejuang kita, para leluhur Bogor melepas diri dari cengkraman Kolonial dan siasat Jepang, dan seperti apa cerita tumpah-darahnya? Dan seterusnya – dan sebagainya.
Rentetan rumusan masalah pertanyaan di atas akan membawa kita pada suatu kerumitan panjang yang mungkin duduk-perkaranya tak berkesudahan. Kita akan sama-sama dilanda curiga dan menyalahkan satu sama lain. Bahkan mungkin kita bersama-sama akan masuk ke jurang nir-pengetahuan yang nasibnya tak mampu menjawab semua pertanyaan tersebut. Sebab, sepenelusuran kami, ada dua sub-bab pisau bedah yang mampu menerobos wahana pertanyaan di atas, dua pisau bedah itu sama-sama tumpang-tindih dalam perjalanannya: antara mitologi kepercayaan para budayawan dan metodologi kajian para sejarawan. Kami tentu tak memihak satu daripadanya, melainkan ingin menyatukan semuanya sebagai sumber-data, sebagai wahana pembelajaran bersama.
Dan kedua pisau bedah di atas, bisa sama-sama kita temui, jika metodologinya kita akan menemukannya dari berbagai arsip naskah sunda kuna: seperti Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian, Amanat Galunggung, Carita Parahiyangan, Naskah Wangsakerta, dan seterusnya. Atau buku-buku Kebudayaan Sunda I dan II-nya Edi S Ekadjati, Prabu Siliwangi-nya Amir Sutaagra, Sejarah Bogor-nya Saleh Danasasmita, dan sebagainya. Sedangkan pisau mitologinya bisa kita temui lewat cerita lisan para budayawan, para sepuh, yang rata-rata semua serempak membahas dan memberikan kisi-kisi cerita dari Carita Pantun Bogor yang menjadi kunci kesejarahan-kebudayaan Bogor, namun anehnya sampai sejauh ini kami belum dapat menemukan salinan naskahnya.
Dari prosesi mempertanyakan dan meraba tersebutlah, kita akan menghadapi fenomena belum selarasnya historiografi Bogor pada perjalanannya, belum pula-lah utuh sebagai suatu pemaknaan rentetan sejarah. Sebab kami rasa, historiografi Bogor masih dipilih atau dipresentasikan secara tidak objektif atau bahkan kurang lengkap-menyeluruh, yang menyebabkan pemahaman kita yang salah atau pencerminan yang tidak akurat terhadap peristiwa-peristiwa historis mengenai jalan panjang Bogor. Misalnya saja, jika hanya aspek-aspek positif dari sejarah Bogor yang dipromosikan sementara aspek-aspek negatifnya diabaikan, bukankah kita generasi penerus tidak mendapatkan pemahaman yang lengkap atau seimbang tentang masa lalu Kota kita sendiri?
Jika historiografi Bogor terlalu banyak fokus pada pengalaman atau narasi mayoritas (Sunda khususnya) sementara mengabaikan kontribusi dan pengalaman minoritas (etnis lain, China, Arab, Eropa, dan sebagainya), hal itu bukankah dapat merendahkan atau menghilangkan peran mereka dalam sejarah perkembangan Bogor? Kami rasa itu bisa menyulitkan kita sebagai anak-cucu pewaris untuk menghargai kompleksitas masyarakat Bogor dan belajar dari perspektif yang beragam. Atau jika historiografi Bogor terlalu berfokus pada pencitraan idealistik tentang masa lalu Kerajaan Pakuan Pajajaran, mengabaikan masa Kolonial dan Kemerdekaan, bukankah itu bisa mengaburkan realitas yang lebih kompleks dan tambah sulit? Hal ini pula bisa menyebabkan kita sebagai anak-cucu generasi penerus memiliki harapan yang tidak realistis tentang masa lalu dan mengalami kekecewaan ketika kita menemukan kompleksitas yang sebenarnya dari sejarah Bogor itu sendiri.
Dalam mengatasi kritik-kritik pertanyaan di atas, kami rasa penting untuk mempromosikan historiografi Bogor yang lebih inklusif, objektif, dan seimbang, yang memperhitungkan berbagai perspektif dan pengalaman dalam sejarah tentang Bogor. Ini tentu akan membantu kita sebagai anak-cucu penerus untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan holistik tentang warisan dan identitas Bogor.
Nah, dengan modal rentetan persoalan tersebutlah, kami membayangkan Surat-surat untuk Bogor dapat menjadi wahana pembelajaran bersama. Entah kita terjun ke masa lalu dan belajar menyusurinya, atau kita membahas peristiwa yang terjadi hari ini dan tegas menjadi penyaksi, atau bahkan kita bisa menerawang masa depan dan mencatat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.***
Pada suatu waktu menziarahi Bogor: ruang hidup telah kembali ke akar dan kembali ke sumber!