Menerjang Distopia Ala Work Ti Farm

Menerjang Distopia Ala Work Ti Farm

Dok. WorkTiFarm


Belakangan ini, entah kebetulan atau bagaimana, segala pertanyaan akan ketakutan saya yang saya dapatkan entah dari timeline, tontonan, atau bacaan meledak bocor ke kehidupan saya dan membuat kepala saya laksana letusan tambora. Gelap dan berserak.

3 Body Problems, Fallout dan Leave the Worlds Behind menjerat saya dalam bayang-bayang kehidupan pasca-malapetaka. Tiap-tiap berita Palestina menampar kemanusian saya dengan ketidakgunaan dan nir-makna. Tiap-tiap dokumenter kejadian alam memberitakan krisis-iklim untuk akhir dunia, dan di manga One Piece, Dr. Vegapunk tengah menyiar kabar ke seluruh penjuru pulau bahwa gempa luar biasa akan datang dan akan menghancurkan tiap pulau dan dari rentetan kekacauan dunia akan tenggelam.

Lalu dari putaran kedistopian yang tengah bocor itu, tiba-tiba datang pertanyaan Cocis, pertanyaan yang bagi saya lugu nan melodramatik namun itu juga membuat saya menghela dan menatap pesan itu lama dan, Yaps! titik itu datang dan kebocoran pesimisme ini harus segera saya arahkan ke pintu keluar. Sebab jika tidak, kebocoran ini lambat laun akan menghabisi saya. Karena itu tulisan yang berisi wawancara dengan pertanyaan Work Ti Farm ini saya buat.

Oh, ya, untuk pertanyaan Cocis, itu sesederhana ini sebenarnya: Pertanyaan ini bukan tiba-tiba ditanyakan Cocis tanpa ada konteks sebelumnya, tapi mari abaikan konteks itu, dan inilah pertanyaanya: Krisis iklim tahun sekarang makin parah. Kenaikan suhu sampai 1,5 derajat celcius, manusia mungkin bisa ngindar panas  pake AC, tapi tumbuh-tumbuhan, mikroba, hewan-hewan apa bisa?

Entah kenapa Cocis harus menulis “ °C ” dengan huruf padahal bisa dengan tanda saja, tapi waktu itu tentu saya tidak berpikir ini. Ketika saya membaca pertanyaan Cocis, pikiran saya langsung terbelah dua. Pikiran baik saya—entah saya punya pikiran baik atau tidak—langsung berpikir, “Oh, iya juga ya,” dan langsung salut bagaimana Cocis dalam merespon katastrofi massal berskala global ini masih memiliki dan memikirkan kehidupan dan cara bertahan hidup tetumbuhan, mikroba hewan-hewan yang notabenenya adalah makhluk non-manusia.

Tapi pikiran baik ini tentu langsung tercounter oleh pikiran saya yang langsung: “Lho, kenapa dia masih melihat tumbuh-tumbuhan, mikroba dan hewan-hewan ini lemah dan merasa lebih unggul hanya karena bisa menciptakan teknologi yang membuat manusia serasaaman”? Kenapa kepedulian itu harus mengandung juga dualitas yang memandang manusia lebih tinggi dan superior dibandingkan makhluk-makhluk non-manusia sih?! Lupa atau gimana, kalau tumbuh-tumbuhan, pepohonan, hewan-hewan, mikroba, batu-batu bahkan planet bumi itu sendiri ada jauh lebih lama dari adanya manusia. Mereka punya daya tahan yang jauh lebih kuat dari manusia dan sistem regenerasinya melampaui kita.

Planet bumi telah melalui banyak hal buruk dan segala macam hal yang lebih buruk daripada kita: gempa bumi, letusan gunung berapi, tubrukan lempeng tektonik, erosi, pergeseran benua, jilatan api matahari, badai magnetik, pembalikan magnet dari kutub, ribuan tembakan komet, meteor dan asteroid, banjir bah, zaman es dan mereka bisa survive dengan cara yang tak pernah kita bayangkan. Justru kitalah yang rentan, rapuh, dan berengseknya kitalah yang membawa keruntuhan di planet ini lebih cepat dan tidak se-natural dari pada yang seharusnya. Kita manusia yang menghancurkan kehidupan yang seharusnya natural dan karena itu, kitalah yang menjadi hama dan serangga dan andaikan dunia ini runtuh saat ini dan di sini yang pasti binasa pertama pasti manusia dan mungkin itu akan menjadi berita yang bagus untuk kehidupan di bumi selanjutnya.

Tentu keterbelahan pikiran saya di atas, tidak menjadi chat-balasan saya atas pertanyaan Cocis di Whatsapp grup saya. Karena dari keterbelahan itu, yang saya ambil adalah Cocis berempati ke kehidupan non-manusia dan stop sampai di situ. Kendati demikian, semoga saya juga tidak dituduh sebagai anarko-primitivism atau pengikut John Zerzan, Derrick Jensen atau Ted Kaczynski yang membenci manusia dengan kemajuan peradabannya. Semoga tidak. Karena memang bukan itu fokus saya menulis tulisan ini.

Manusia Hanya Unggul Karena Mereka Menganggap Dirinya Unggul

Hirarki filosofis alam seringkali bersifat antroposentris, di mana manusia dianggap lebih unggul atas dasar memiliki karakteristik ‘manusia yang unik’. Non-manusia ditempatkan di bawah manusia karena ‘kekurangan’ sifat-sifat tersebut. Hierarki filosofis menganggap makhluk bukan manusia sebagai makhluk inferior bergantung pada gambaran dunia yang menggambarkan tumbuhan, hewan, bumi, tanah, langit, dan bebatuan sebagai sesuatu yang tidak peka, pasif, dan tidak berpikiran. Alhasil manusia yang memiliki kemampuan berpikir berada pada urutan teratas dalam rantai tersebut, diikuti oleh hewan yang tidak mampu berpikir, dan tumbuhan yang tidak memiliki perasaan. Pada hierarki pikiran dan kehadiran yang lebih rendah, tumbuhan dan hewan dianggap tidak mempunyai tujuan sendiri sehingga keberadaan mereka sepenuhnya ditumbangkan untuk tujuan manusia.

Doktrin-doktrin antroposentris di atas kita tahu sangatlah lemah dan ketinggalan zaman. Sekarang semangat zaman yang menjadi kesadaran etika kita haruslah menyadari bahwa manusia adalah “bagian dari alam”. Implikasinya jelas, bahwa kita sebagai mahluk adalah setara, dan dalam memandang makhluk lainnya kita tidak bisa lagi hanya memandang fungsinya bagi manusia, jadi penaklukan dan eksploitasi terhadap alam dan seisinya bukan lagi hal yang harus dilakukan. Tapi kita haruslah bekerja sama, mereka mahluk alam lainnya adalah kerabat dekat kita, rekan dan kolaborator yang otonom dengan tujuan sendiri untuk eksis.

Dalam dunia aktivis, Patrice Jones, yang solidaritas politiknya terhadap alam dibingkai dengan menggunakan teori ekofeminis, dalam karya-karyanya Stomping With the Elephants: feminist principles for radikal solidarity (2006) dan Free as a bird: natural anarchism in action (2009), bahkan menempatkan tanaman, hewan, dan makhluk non-manusia lainnya sebagai kolaborator anarkis yang aktif dan bekerja berdampingan (bukan di bawah) manusia untuk menghentikan keruntuhan ekosistem lokal dan global. Jones dengan cerdik menghilangkan hierarki antara manusia dan hewan dengan menggambarkan hewan sebagai ‘anarkis alami, makhluk hidup yang tidak mengakui atau menyetujui aturan yang dibuat oleh pemerintah’.

Kembali ke keterbelahan saya atas pertanyaan Cocis, maka pertanyaan ini pun mengemuka dengan sendirinya: Bagaimana Work Ti Farm memandang manusia dan non-manusia, memandang tetumbuhan dan hewan?

“Work ti Farm meyakini bahwa manusia, hewan, atau tumbuhan memiliki kesamaan, kesamaan dalam hubungan ekologis yang saling membutuhkan satu sama lain. Dalam contoh makro, misalnya, gunung yang sudah include di dalamnya ada makhluk halus (mikroorganisme), hewan, dan tetumbuhan yang menjaga dan melangsungkan siklus alamiah daur ulang kehidupan, lalu ada manusia masuk belakangan sebagai satu faktor yang sangat bergantung pada keseimbangan alam yang sudah mapan itu. Lalu Work ti Farm mencoba membaca kesalingterhubungan semua itu dan mempraktikannya, meniru cara alam bekerja dalam skala mikro yaitu kebun,” tukas Jabbar Baskara, yang aktif menghidupi kegiatan Work Ti Farm.

Dalam banyak budaya masyarakat adat, yang menjadi sumber inspirasi bagi Work Ti Farm, tentu kaum domestikasi dan pertanian dilakukan sebagai kemitraan yang mana mitra non-manusia bersifat vokal, aktif dan komunikatif. Dengan pemikiran ini, penolakan besar-besaran terhadap pertanian dan domestikasi satwa liar tidak diperlukan. Namun untuk menjaga keterbelahan saya, saya jadi ingat, di kebun Work Ti Farm, ada Anjing yang dipelihara, jadi saya tanya, apa anjing itu hanya difungsikan untuk menjaga.

“Tentu saja, anjing!” lanjut Jabbar, “sebagai fungsi untuk penjaga keseimbangan itu, sebab ada hewan lain seperti ayam dan bebek yang dipelihara. Ini dilakukan sebagai upaya untuk memahami peran-peran yang kami lakukan dalam kebun, cara inilah yang diharapkan dalam jangka panjang bisa mencapai sistem lingkaran ekologis yang mapan, seperti di awal disebutkan saling bergantung untuk saling memenuhi kebutuhan.”

Melihat jaringan manusia dan non-manusia sebagai hubungan rekanan tentu tidak sekadar memberikan kebebasan bagi manusia dan non-manusia untuk berkembang saja, namun bagi Work Ti Farm itu dilihat juga sebagai pertanggung-jawaban bagi berkembangnya pihak lain. Tanggung jawab mencapai sistem lingkaran ekologis yang mapan itu, secara aktif memungkinkan Work Ti Farm untuk membayangkan memberi lebih banyak kepada dunia di sekitarnya, dan Work Ti Farm seperti halnya Deep Ecology, meyakini bahwa alam mempunyai nilai intrinsik, bahwa kehidupan selain manusia mempunyai hak yang tidak dapat diganggu gugat dan bahwa konservasi keanekaragaman hayati lebih penting daripada konsumsi.

Work Ti Farm dalam hal ini setidaknya, seperti sudah mengimani apa yang Jones sampaikan dalam buku-bukunya, bahwa kerabat non-manusia ini tidak kalah dengan manusia. ‘Kaum anarkis alami’ karena bagi John tidak sekadar berbicara dan berbicara, mereka bertindak dengan cara mereka sendiri, dengan gudang senjata mereka sendiri berupa ‘kaki, batang, gigi, dan sulur’. Dalam keaslian, keberanian, dan kecerdasannya, kita manusia harus banyak belajar dari kerabatnya selain manusia.

Tak heran di lahan kebun yang Work Ti Farm sedang garap, Work Ti Farm tengah kembali mengenali dan memupuk hubungan satu sama lain, dengan hewan, tetumbuhan dan dengan ekosistem di mana Work Ti Farm berada.

Dunia Yang Kita Tinggali Akan Berakhir Saat Ini Dan Di Sini

Krisis iklim, kita tahu adalah isu yang paling mendesak di abad dua satu ini. Otoritas keilmuan mungkin sudah berbusa-busa menegaskan, perubahan iklim telah berada di ruang tunggu sejarah. kiamat mungkin akan terjadi saat ini dan di sini. Tapi entah kenapa di Indonesia permasalahan ini tidak menjadi gelombang utama, bahkan mendekati kata underrated saja tidak. Padahal panasnya cuaca, naiknya suhu udara yang menerakakan tubuh kita, atau musim hujan yang tidak terprediksi lagi kapan datangnya adalah tohok-kan tajam di leher kita untuk menunjukan bahwa tanda-tanda kiamat ekologis yang akan menghancurkan kehidupan sudah dekat adanya. Tapi mungkin sebagian dari kita sadar, “Iya, ya. Jumat besok bisa jadi kiamat. Tapi, sabtu pagi saya ada ke gym, malamnya buka botol di Cabin dan minggunya ada kondangan ke teman SMA”. Ah, betapa selfish-nya kita.

“Krisis iklim agaknya hal yang sangat alamiah, sebagaimana tubuh kita sendiri saat demam, kenaikan suhu tubuh berarti bisa diduga adanya infeksi, suatu penyakit yang menyerang tubuh. Tubuh akan bereaksi dengan segala alat dan perlengkapan imun yang sudah tersedia untuk menangani serangan infeksi itu, efeknya pada tubuh adalah naiknya suhu, kita umum menyebutnya sebagai demam. Begitu Pula bumi, saya rasa, kenaikan suhu ini akibat dari infeksi, penyakitnya itu bernama manusia,” sinis Jabbar.

Melalui analogi itu, Jabbar kembali memanusiakan timbal-balik alam namun sekaligus menekankan bahwa ketakutan adalah respons rasional terhadap kenyataan bumi yang sedang sekarat. Namun saya juga paham, dalam sistem kehidupan yang sakit ini, ada banyak orang yang tengah bertarung dengan penghidupannya sendiri, mencari makan untuk malam nanti, atau berusaha memenuhi cicilan motor bulan ini, tidak sempat membayangkan bahwa dunia yang mereka tinggali akan runtuh perlahan dan menghancurkan segala kehidupan. Tetapi benar apa yang dikatakan Geger Riyanto ini, bahwa kita tak punya kemampuan membayangkan dunia sebagaimana yang kita kenal berakhir.

Anggaplah perang dunia ketiga terjadi, dunia akan kembali terbagi menjadi blok-blok politik, dan nuklir pun diluncurkan untuk menghancurkan negara-negara dan meratakan semua, atau bayangkan bencana alam terjadi di mana-mana dan lautan menenggelamkan daratan, tidak ada tempat aman di darat maupun lautan, atau bayangkan apapun dari scenario yang kalian anggap itu terburuk sekalipun, kita hanya akan membayangkan kehancurannya, tapi kita tidak membayangkan bahwa itu adalah akhir dari dunia. Kita percaya semua akan kembali seperti sediakala. Kehidupan akan baik-baik saja. Dan kita hanya perlu berdoa, berusaha atau bersabar sedikit lebih lama.

Sementara saya berpikir sebaliknya, optimisme semacam itu malah semakin membuat pikiran lain saya menjadi lebih menakutkan bagi saya. Untuk meredakan ini saya pun melemparkan tanya, bagaimana Work Ti Farm, memandang kehancuran yang sudah ada di pelupuk mata, bagaimana distopia itu membayangi kerja yang sedang dilakukan Work Ti Farm?

“Saya rasa sudah bukan di pelupuk mata, tapi kita sudah sampai dan sedang dalam kondisi kehancuran ini. Tentu dalam hal itu banyak ilmuwan sudah memberikan peringatan dan saya juga mengamati sekitar, paling mungkin terjadi adalah kita akan mengalami krisis pangan dan mengalami situasi perubahan alam yang sebelumnya tidak pernah kita rasakan, ya, agak apokaliptik lah,” ucap Jabbar, yang juga menggenapi ketakutan saya.

Jawaban Jabbar dalam ketakutannya pada krisis pangan tentu bereferensi dengan penelitian-penelitian yang ada sekarang. Siapapun yang membaca analisis Pusat Ketahanan Stockholm, bahwa umat manusia telah melanggar enam dari sembilan “batas planet” bumi , atau yang telah membaca The Sixth Extinction (2014) karya Elizabeth Kolbert, tidak perlu diyakinkan bahwa keruntuhan ekologi adalah penyebabnya, yang berarti perubahan dapat terjadi tidak hanya secara bertahap dan dapat diprediksi, namun juga secara tiba-tiba dan drastis. Kehancuran yang terjadi secara tiba-tiba pada satu bagian struktur kapitalisme global dapat – dan memang – memicu gangguan pada bagian lain.

Misalnya, jika cuaca ekstrem menyebabkan kegagalan panen yang meluas di beberapa wilayah penghasil gandum – sebuah kemungkinan yang dikenal sebagai “kegagalan multi-keranjang pangan” – maka hal ini juga akan memicu kekacauan ekonomi dan politik. Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir kita telah melihat bagaimana invasi Rusia ke Ukraina telah meningkatkan harga energi di Eropa, serta memberikan tekanan pada pasokan biji-bijian dunia, yang menyebabkan kenaikan harga pangan – yang jika dibingkai sebagai “ krisis biaya hidup”, dapat membenarkan tanggapan politik yang regresif. Hal ini mengarah pada pemahaman akan situasi kita saat ini dimana keruntuhan yang meluas bukanlah sebuah momok yang akan segera terjadi, namun terjadi di sekitar kita, pada masa sekarang – jika saja kita mempunyai mata untuk melihatnya. Keruntuhan masyarakat tidak akan terjadi secara cepat dan dramatis seperti film bencana apokaliptik.

Kegentingan ekologis memang pembahasan pelik. Meskipun krisis iklim berdampak besar bagi planet kita, aspek lingkungan kerap tidak masuk dalam skala prioritas kehidupan seseorang, apalagi para pemilik modal. Sebab, dalam sistem kapitalisme, pemilik modal memiliki kepentingan utama memperoleh keuntungan maksimal yang kerap kali bertentangan dengan kepentingan lingkungan dan hajat hidup masyarakat banyak. Dalam hal ini pun saya bertanya, dalam perlawanannya pada ruang hidup, apa Work Ti Farm melihat ini sebagai pertentangan kelas antara manusia banyak dengan elit kapitalisme yang menguasai banyak sumber daya alam atau bagaimana?

“Ya. Benar. Penyakit bernama manusia ini menciptakan virus kapitalisme yang meracuni ruang hidup hewan, tumbuhan, tanah, air, udara, bahkan sama menindas pada kaum sesamanya. Mereka yang sedikit itu telah banyak menyedot demi memuaskan berahinya akan laba,” samber Jabbar.

Jawaban Jabbar, entah bagaimana membawa saya pada Naomi Klein dengan bukunya This Change Everything: Capitalism vs. The Climate, yang membahas tentang penyebab perubahan iklim. Naomi begitu juga Jabbar percaya, kapitalisme bagaikan predator yang memakan sumber daya bumi dengan kecepatan penuh dan tidak memberikan ruang untuk hidup berkelanjutan. Dorongan rasa lapar atas dasar keuntungan dan pertumbuhan ekonomi berdampak pada eksploitasi dan degradasi alam.

Untuk itulah, dalam menghadapi krisis iklim upaya kolektif seperti yang dilakukan Work Ti Farm menjadi penting karena kita tidak bisa berpangku tangan pada pemerintahan yang berpihak pada percepatan ekonomi—dan kapitalisme—ketimbang memedulikan persoalan lingkungan.

Pada akhirnya, apa yang dilakukan dan dikampanyekan oleh Work Ti Farm adalah ajakan untuk bertindak di tengah krisis lingkungan dan iklim. Work Ti Farm menjawab seruan untuk bersatu sebagai komunitas global dan mengambil tindakan kolektif secara radikal untuk mengatasi krisis iklim. Secara metaforik, Work Ti Farm memfungsikan dirinya untuk kehidupan yang lebih besar dari dirinya. Tapi saya kelewat iseng untuk bertanya, Apa yang dipercayai Work Ti Farm setelah kehancuran? Apa ada utopia yang masih dipegang?

“Jika mengandaikan apa yang terjadi setelah kehancuran, secara subjektif” kata Jabbar, “saya ingin mengatakan jika masih ada yang tersisa, mari bangun kembali kehidupan yang lebih baik dalam semua aspek. Seperti juga peradaban-peradaban yang pernah eksis dan tenggelam, hal utopis yang Work Ti Farm bayangkan adalah kembali membangun peradaban. Cara atau bagaimana untuk membangunnya, tentu selalu terbuka untuk didudukkan dan diperbincangkan bersama-sama,” tutup Jabbar.

Tentu saya bukan orang yang ingin duduk dan berbincang bersama-sama untuk membangun kehidupan lainnya setelah kehancuran, tapi saya hanya ingin mengingatkan apa yang pernah Alan Badiou sampaikan, bahwa harapan berkaitan dengan ‘ketahanan, ketekunan, dan kesabaran. Maka dalam hal ini semoga Work Ti Farm bisa memupuk terus tiga sifat yang membosankan tersebut, dan semoga semua harapan itu tidak dilumat cepat oleh waktu. Karena kiamat ekologis yang menghancurkan akan datang di sini dan saat ini. Bersabarlah.***

*Work Ti Farm adalah kolektif yang tengah mengupayakan hidup bersinergi dengan alam. Work Ti Farm terbuka untuk didatangi untuk saling belajar pertanian. Lahan tani Work Ti ada di daerah Ciampea, Bogor Barat.

Rujukan dan Bacaan Lanjutan:

Elizabeth Kolbert, The Sixth Extinction.  Henry Holt and Company. 2014.

Naomi Klein, This Change Everything: Capitalism vs. The Climate. Alfred A. Cnoff Canada. 2014.

Patrice Jones, Stomping with the Elephants: feminist principles for radikal solidarity. Ak Press. 2006.

Patrice Jones, Free as a bird: natural anarchism in action. Routledge. 2009.