Pilgrim II: Petualangan Mencari Diri, Menunggu Diri-Nya

Foto: Festival Teater Jakarta


Ke mana kucari Engkau?
Di mana kutunggu Engkau?
Wahai, penghuni sejati di lubuk diri

Dengan mengucap salam kepada apa dan siapapun saja, sebagaimana bunyi pasase dalam pertunjukan “Pilgrim Project #2: Bunyi Tepukan Satu Tangan” garapan Ari Pahala Hutabarat—yang pentasnya berlangsung pada 20 November 2023, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, tadi malam. Suguhan mengenai suatu peristiwa manusia yang dihidupi terus-menerus dalam penghayatan habis-habisan, pembatinan dengan mengerahkan segala kepasrahan setotal-totalnya, dan pemaknaan hidup yang amat dalam terhadap sangkan paraning dumadi: kita dari mana dan akan kemana?

Pilgrim II adalah perjalanan panjang ke dalam diri, kembali ke diri yang sejati, petualangan mencari dan menunggu diri-Nya—yang sedemikian dirindukan kehadiran dan kedatangan-Nya. Setelah jauh berjalan, setelah lelah mengembara, setelah suntuk berkelana, setelah bosan berpetualang entah ke mana sampai tidak tahu lagi jalan mana yang mesti ditempuh. Sesudah itu, tergantung pada kita, akankah kita sudahi saja atau terus berlanjut menguji diri. Sampai maut menyapa kita, meskipun kita belum sempat merampungkan puisi-puisi ini. Sampai tiba saatnya tenang, Tuhan akan memanggil kita dengan panggilan tersayang, meskipun kita belum tunai menerjemahkan kesunyian yang paling sunyi. Tapi “sampai” itu kapan? “Sampai” itu seberapa lama?

Para pengembara itu terdiri dari sembilan pemain: seorang guru dan delapan pengikutnya. Mereka terus saja melangkah, menyandang ransel masing-masing. Mereka telah meninggalkan apa yang dicintainya, dari sanalah mereka berasal. Mereka percaya bahwa mencintai merupakan suatu kesiapan bertahan pada penderitaan, karena puncak penderitaan adalah kebahagiaan, maka ke sanalah mereka akan menuju, menuju-Mu.

Biarpun digempur oleh rasa sakit yang tak pernah ditemukan obatnya. Biarpun dihajar berulang-kali oleh sebatalyon luka dan sepasukan duka. Biarpun dihadang oleh belantara sunyi yang liar, ganas dan mencekam. Biarpun diberondong setiap saat dengan peluru-peluru sepi, sia-sia, dan percuma. Biarpun ditubir secara tak terduga tak terkira oleh segerombolan kecemasan dan keputusasaan. Biarpun tak bahagia tak masalah. Soalnya bukan terletak di situ, melainkan pada kita sendiri siapkah dengan penuh kerelaan hati dan kesediaan diri untuk senantiasa terus bergerak, terus melangkah, terus bertumbuh, terus saja berjalan. Karena keterharuan ini belum usai. Kesetiaan ini belum tunai.

Adaku—yang aslinya tiada di bumi ini—karena ada-Mu. Ada-Mu karena tiadaku, tetapi kita iseng menganggap diri ada, padahal tiada. Dan untuk menjadi ada, meskipun tak bisa-bisa. Bahkan, tak mungkin terjadi, sebelum kita mati, dan pada akhirnya, kelak dihidupkan kembali menjadi ada yang sesungguhnya, menjadi ada bersama diri yang sejati, menjadi ada karena tiada. Itupun tak mengapalah, terpenting kita masih akan terus menempuh, melanjutkan kehidupan ini dengan mengisi dan meniti waktu keseharian berpetualang mencari diri dan menunggu diri-Nya.

Berkat dorongan yang kuat dari “nubuat” yang telah diterima oleh salah seorang pengembara—tak lain tak bukan ialah sang guru itu sendiri demi bertemu Guru Yang Sejati. Ia telah menyampaikan segala amanat harapan dan impian kepada para pemain (pengikutnya itu) sebagai bekal perjalanan panjang “Pilgrim II”, yang suatu saat nanti, mudah-mudahan akan mengalami perjumpaan dan merasakan bertemu dengan-Nya, secara sendiri, atau bersama-sama di dalam pengembaraan.

Meskipun tetap yang dicari tak kan ditemukan, yang ditunggu tak kan datang, yang diharap tak kan didapatkan, yang diingin tak kan diwujudkan. Semua semau-mau Allah. Terserah-serah Allah. Dia yang punya hidup, mau diapakan lagi. Namun, kita sudah terlanjur berjalan, dan setiap perjalanan punya ceritanya masing-masing. Setiap saat kita bisa berpisah karena jengah. Setiap saat kita bisa enggan melanjutkan pengembaraan karena bosan. Setiap saat kita bisa bercerai satu sama lain karena lelah.

Setelah dirasa capek menanggung setia. Capek memikul beban mencintai-Nya terlalu dalam. Capek menanti dan menahan tanggungan rindu yang bertumpuk-tumpuk demi diri-Nya. Seperti kekasih tak bisa menanti. Sepertinya mereka juga ingin mengucapkan bahwa “Tuhan, aku telah berguru kepadamu”, tapi belum cukupkah semua pelajaran atas pemaknaan hidup dan penghayatan habis-habisan ini hanya untuk berjumpa dengan-Mu. Sekali saja dalam keabadiaan hidup. Hanya sekali. Untuk meyakini apa yang kuanggap Ada selama ini bahwa memang betul ada-Nya.

Dan melewati pertunjukan “Pilgrim II” ini telah berupaya dan berusaha untuk mengantar spektator ke arah sana, menemani penonton berjalan menuju rumah-Nya, membersamai tiap diri agar senantiasa mencari dan menunggu diri-Nya. Bahwa kecintaan, kesetiaan, dan kerinduan yang amat dalam ini senantiasa terarah pada-Nya. Meskipun tetap berlaku bahwa yang mencintai belum tentu dicintai-Nya. Yang bertekad setia setiap saat selalu digoda oleh-Nya. Yang tangguh tahan rindu akan bisa merasa sangat tertekan karena-Nya.

Karena itulah, pengembaraan “Pilgrim II” menjadi sedemikian haru ditonton, ia seperti telah memainkan sebuah drama puitik—suatu eksperimen bentuk dan percobaan pemanggungan teater yang sejak lama saya idam-idamkan sendiri, dan saya memberi istilah itu untukmu selamat semua yang telah berproses dalam “Pilgrim II”. Saya meyakini saja bahwa apa yang tak bisa disampaikan lewat sajak, mungkin akan bisa diutarakan lewat drama.

Makanya dalam “Pilgrim II” kali ini panggung dibiarkan kosong seperti sedang berada di padang pasir. Hanya ada saling isi-mengisi antara irama (batin maupun suasana), musik, pencahayaan sederhana, dan rancang bangun pertunjukan itu dipersyarati oleh dan dengan olahan imajinasi tiap pemain. Di mana ruang dramatik telah dibangun dari ketubuhan tiap pemain dengan gestur, mimik, dan ekspresi wajah-wajah yang cemas dan putus asa. Di sisi lain juga dibangun dari “semacam paradoks dan rasa sunyi yang dihasilkan dari bunyi”, sehingga apa yang seolah-olah ada, apa yang seolah-olah tampak itu bukan dihayati dengan prosaik, melainkan dengan daya puitik: serangkaian impresi, sugesti, pembayangan, pembatinan, penghayatan, permenungan, pengendapan, kontemplasi, dan sebangsanya itu cenderung mengarah ke hal-hal yang transendental, meskipun terkesan sentimental, kenes, dan melankolis belaka.

Sekali lagi, tak mengapalah, pertunjukannya cukup melegakan hati siapa saja yang mencintai, mau tidak mau, suka tidak suka, maka siap kecewa dan menderita. Ia padat namun cair. Ia menggebrak namun lembut. Ia bersuara namun sunyi. Ia menangis namun tertawa. Ia ke langit namun tetap berpijak di bumi. Ia lucu namun bukan berusaha melucu. Ia tegar namun asyik-masyuk. Ia besi namun meleleh. Ia tahu kapan harus sungguh-sungguh dan kapan harus bercandanya serius. Pokoknya, “Pilgrim II” suatu pertunjukan yang menggelisahkan sekaligus menentramkan dalam tiap perenungan spektator.

Apakah kita harus sangsi atau tetap percaya ada-Nya? Apa karena kita telah menganggap ia begitu ada, maka kita mencarinya, meskipun tak jua bertemu, apalagi cuma menunggu saja percuma dan sia-sia, bukan? Apa yang harus kita lakukan? Sekarang kita sama tidak tahu harus bagaimana lagi setelah berdoa, setelah berharap, setelah percaya, setelah bermimpi, setelah menangis, setelah tertawa, setelah sunyi, setelah sakit, setelah luka, setelah cemas, setelah khawatir, setelah meyakini, dan setelah semua hal yang mungkin dapat membuktikan keberadaan-Nya itu? Tapi kita semua sudah terlanjur hidup, dan jalan yang tak ditempuh untuk menghidupi kehidupan ini adalah mencari dan menunggu-Nya sampai dihidupi dan dihidupi kembali.

“Pilgrim II” mengingat sekaligus menampar hati kita masing-masing bahwa sebetulnya kita, saat ini telah jauh ditinggal oleh-Nya, kita telah meninggalkan-Nya, kita telah berpaling dari-Nya. Sementara, kita sama tidak tahu, akan pulang ke mana di bumi ini sesudah melewati pengembaraan yang panjang: Rumahkah? Hatikah? Pikirankah? Perasaankah? Sukmakah? Kalbukah? Sanubarikah? Atau apakah? Kita akan terus bertanya pada dan bagi diri sendiri yang sedang belajar menemukan diri, meskipun yang didapat kesal, kecewa, dan derita berulang-kali. Kita sudah bosan, capek, jengah, dan lelah terhadap semua hal yang seakan-akan bisa, padahal jelas tidak bisa membuktikan kehadiran-Nya, tapi kita masih tetap mencintai, menyayangi, merindukan dan setia pada-Nya.

Dan puisi, sebagaimana apa yang telah dicapai “Pilgrim II” dengan drama puitiknya itu, tak pernah menjadi pilihan kesekian bagi saya setelah mengenal-Mu lewat alam, lewat angin, lewat gunung, lewat air, lewat api, lewat tanah, lewat daun, lewat kecoa, lewat semut, lewat lingkungan, lewat fenomena, lewat politik, lewat negara, lewat sosial, lewat budaya, lewat seni, lewat filsafat, lewat panggung, serta lewat semua hal apapun dan siapapun yang diadakan di bumi ini terima sajalah, agar supaya tak perlu membukti-buktikan lagi bahwa Dia Ada. Maka untuk menyempurnakan catatan yang buruk ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa “aku cinta padamu.” Itu sebabnya Engkau tak pernah berhenti hadir dan mengalir di dalam diri, di dalam hatiku dengan mempertahankan, merawat dan menjaga: kerinduan dan kesetiaan. Ya, cintalah yang membuat diri kadang betah untuk bertahan atau sewaktu-waktu mesti berjaga lalu menjauh darinya. Semua terserah-serah padamu, semau-maumu, sebab saya sudah terlanjur pasrah berserah semau-mau-Nya, terserah-serah Allah sajalah. Yang penting senantiasa ingat dan jangan lupakan sangkan paraning dumadi. Sebelum, pada akhirnya kita, tuntas menunaikan hidup ini sewajar-wajarnya, sesederhana-sederhananya, secukup-cukupnya. Aimak, nikmatnya. Meski hanya ingat sedikit salah satu pasase dalam “Pilgrim II” itu berbunyi, sekarang yang mungkin kita lakukan ialah “memberi kesempatan pada waktu, untuk menjawab doa-doa kita.

             
11 November 2023

***

Catatan Redaksi:

Setelah kemarin-lalu menulis, baca: Pulang Babang: Laut Tak Terinjak, Syahruljud Maulana kini kembali menghadirkan luapan refleksi kepada kita semua, lebih khusus kepada Seperduluran Halimun Salaka, melalui pembacaan dan penelusuran Pilgrim II: Petualangan Mencari Diri, Menunggu Diri-Nya.

Di dalam catatannya yang mengamati pertunjukan “Pilgrim Project #2: Bunyi Tepukan Satu Tangan”, yang pentas pada 20 November 2023, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, walau tak secara tersurat diperuntukan pada kami (fenomena kebogoran luasnya), Syah seperti menghaturkan siratan bahkan gambaran pembelajaran-perjalanan kepada kami, yang mana memang kami pun sedang melakukan perjalanan dengan mengendarai wahana Halimun Salaka ini, sebagaimana kutipan: “…Para pengembara itu terdiri dari sembilan pemain: seorang guru dan delapan pengikutnya. Mereka terus saja melangkah, menyandang ransel masing-masing. Mereka telah meninggalkan apa yang dicintainya, dari sanalah mereka berasal. Mereka percaya bahwa mencintai merupakan suatu kesiapan bertahan pada penderitaan, karena puncak penderitaan adalah kebahagiaan, maka ke sanalah mereka akan menuju, menuju-Mu…”

Dengan demikian, kutipan di atas yang mengatakan, “mereka percaya bahwa mencintai merupakan suatu kesiapan bertahan pada penderitaan, karena puncak penderitaan adalah kebahagiaan, maka ke sanalah mereka akan menuju, menuju-Mu”, sangat lekat dan terasa begitu ajaib pantulan teks-makna kaitannya dengan rumitnya perjalanan kami, yang mana kami Seperduluran Halimun Salaka, pada kenyataannya, siap tak siap memang harus sudah siap bertahan pada penderitaan menyusuri kehidupan masa lampau Bogor, lebih jauh menyusuri hidup-kehidupan luas agar terus belajar menuju-Mu: belajar menyusuri ruang, menerka waktu, dan mengolah kejadian-kejadian — “meskipun tetap yang dicari tak kan ditemukan, yang ditunggu tak kan datang, yang diharap tak kan didapatkan, yang diingin tak kan diwujudkan. Semua semau-mau Allah. Terserah-serah Allah” pokoknya.