ilustrasi: ariantsgaleri
Untuk pertama kalinya Rumah Tumbuh Muthmainah (Rutum) ditawari sarasehan bertajuk “Menjaga Denyut Nadi Gerakan Lintas Disiplin”, diminta untuk perkenalan suatu komunitas, sharing-sharing dan bertukar pengalaman kegiatan. Ada tiga perwakilan komunitas—dari Tanggerang Selatan dan Kabupaten Tanggerang—yang diberi tugas sebagai narasumber. Membuat saya merasa agak malu karena petarangan rutum yang lebih menyerupai gudang bagi penyimpanan serta peninggalan sesuatu apapun itu ternyata dianggap sebagai komunitas.
Komunitas apa? Sementara dalam penerawangan tak begitu jelas, rupa dan jenisnya seperti apakah ia. Tak ada ukuran atau parameter yang membuat ia layak disebut komunitas. Komunitas adalah perkumpulan orang-orang yang sama-sama intens dan sungguh-sungguh dalam menggeluti sesuatu. Misalnya, komunitas seni rupa, minatnya sama-sama rupa meski di dalamnya antara lain ada perupa, penikmat, pengamat, pelaku, dan seterusnya.
Komunitas ialah kecenderungan orang-orang berkerumun atau berkelompok karena sama-sama hobinya, tujuannya, parpolnya, keseniannya, dan lain sebagainya. Ada yang sama-sama hobinya main bola. Ada yang sama-sama tujuannya duit, sebagaimana mereka tidak bisa nyari duit kalau tidak berkuasa. Ada yang sama-sama sibuk mencari dan mengejar dunia. Ada yang sama-sama mode pakaiannya. Ada yang sama-sama merek liptiknya. Dan apapun saja asalkan sama-sama mungkin baru bisa disebut komunitas.
Sedangkan rutum bisa dibilang tak memenuhi kriteria dan persyaratan tetek-bengeknya. Malahan tak ada satupun klasifikasi yang cocok secara komunitas. Ia cuma sekumpulan orang-orang dengan sadar pilihan hidupnya masing-masing. Sederhananya, mungkin, disebut para pembelajar kehidupan. Belajar untuk menjadi orang biasa saja, manusia sebagaimana hidup dalam kewajaran sosial. Hal-hal mengenai kristalisasi nilai-nilai berdampak pada implikasi etik kehidupan sehari-hari tiap pribadi. Dan, insyallah, sepenuh-penuh percaya bahwa setiap perjalanan hidup ini—tak lain tak bukan—karena diperjalankan oleh Allah.
Sesekali, cobalah tanyakan apa niatnya berkumpul di rutum? Kenapa hidup bersama di rutum?
Rutum adalah kontrakan dua pintu berdampingan, sepetak-sepetak. Semacam kos-kosan ngumpet dari pinggir jalan. Sederhana dan biasa-biasa saja. Tampak tak begitu menarik. Tempatnya sempit, halamannya cukup. Pintu satu berfungsi gudang buku-buku, pintu kedua berfungsi tempat produksi kertas, lalu kami tidur dan bangun dengan segenap daya hidup di antara keduanya. Kedua pintu ini telah lama terbuka bagi siapapun yang sekedar ingin bersilaturahmi, berkunjung, berdiskusi, maupun istirah sejenak. Kadang berlaku sebagai keranjang sampah bagi segala keluh-kesah dan sambatan hidup sehari-hari. Kadang seperti gelanggang diskusi melingkari tentang kehidupan, sosial, politik, kebudayaan, kesenian, dll. Kadang ditawari berbagai macam ajakan kolaborasi. Kadangkala cuma ingin ngopi, ngerokok, nyanyi-nyanyi dan ketawa-ketiwi. Sudahlah kadang-kadang, macam-macam pula motifnya.
Rutum telah menerima begitu banyak kedatangan, serta kepergian. Begitu terus berulang-ulang. Adapula yang ingin menginap semalam dua malam, secapeknyalah. Ada yang ingin berproses, berkarya, berjualan, berkantor, berproduksi, dan entah banyak lagi rupanya. Waktu pagi-sore buat jualan buku online hingga produksi daur ulang, malamnya lebih dihidupi dengan diskusi suntuk, atau dipakai untuk latihan musik dan teater. Kegiatan sehari-harinya kalau tidak malas ya giat. Kalau tidak urakan ya di-manage. Paling pol beberesan, membersihkan halaman, bakar sampah, nyapu-ngepel, dan bikin kopi. Ini semua program keseharian hidup manusia pada umumnya, bukan program dan motif berkegiatan dalam komunitas.
Sehingga rutum bagi kebanyakan orang sering dibilang gudang, basecamp, markas, tempat mangkal, sanggar linglung, padepokan ngawur, pesantren tanpa sarung, dan nama-nama lain menurut keunikan-keanehan tiap orang. Sampai saat ini ditulis pun belum jelas identifikasinya rutum ini apa dan ke mana arahnya. Jadi tak perlu amat dipusingkan soal ini. Rasanya juga tak perlu penjelasan panjang kali lebar mengenai kenapa namanya rumah tumbuh muthmainah. Selain bahwa kami sama-sama menyukai “ya ayyatuhan-nafsul-muthma’innah” dan berharap kalau terpanggil nanti atau mudah-mudahan kami termasuk orang-orang yang mendapat panggilan kesayangan demikian, kelak. Segala yang tumbuh berawal dari tenang, sebab yang tenang yang akan menumbuhkan.
Kembali ke sarasehan, umumnya kalau struktur komunitas kan ada ketuanya, sedangkan rutum tak diketahui siapa ketuanya, bahkan tak ada ketua, sebab semuanya bisa dibilang anggota sekaligus ketua. Pun tak ada stratifikasi rutumnya, hirarki bukan, asosiasi mungkin. Jadi ketika saya ditunjuk sebagai pembicara, tidak lantas saya mengiyakan, melainkan saya sarankan agar seluruh penghuninya gambreng bersama. Ini pun kami semua malu-malu melakukannya, maka dengan otomatis saya didorongnya untuk maju ke depan. Padahal, seluruh penghuni rutum itu berkompeten dan berkomprehensif dalam pergaulan hidup. Sangat mungkin bagi tiap penghuni untuk berbicara mewakili kami yang tinggal di rutum. Malahan kalau saya amati ada yang memang pantas memimpin, ada yang bertugas mengawasi, ada yang mendobrak, ada yang mengatur, ada yang membangun, ada yang menata, dan ini semua terpilih sebagai pemimpin di wilayahnya masing-masing.
Sedangkan saya cuma satpam rutum. Bertugas layaknya seorang penjaga. Karena, pada suatu pernah, ketika saya baru akan tertidur, atau setengah terjaga sekitar mungkin pukul tiga dini hari, saya hampir menangkap dua orang maling yang sedang mengincar salah satu motor teman kami. Sudah dikejar sampai capek tapi urung berhasil, namun setidaknya kami telah menggagalkan pencurian tersebut.
Di rutum selalu saya merasa sebagai orang yang menemani, membersamai, dan ajur ajer dari belakang. Tak ada suatu kepantasan sedikitpun pada diri saya yang mewakili sifat kehormatan-kehormatan sosial. Berada di tengah orang-orang yang merasa diri seorang pemimpin padahal ingin berkuasa, membuat saya tenggelam dalam kegelisahan Nabi Yunus tatkala berada di dalam perut paus yang mengungkapkan, “la illaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin”, demikianlah saya termasuk orang-orang yang zalim. Apalagi kalau berada di antara orang-orang yang memburu gelar-gelar penghormatan sosial, makin sepi-sunyi saya sampai hati teriris-iris saat Nabi Adam mengucapkan, “robbana dholamna anfusana wa inlam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakunanna minal khosirin,” demikian juga saya termasuk orang yang telah menzalimi diri sendiri. Tidak semua orang ikhlas merendahkan diri sebagaimana Nabi Adam dan Nabi Yunus, maka apalah saya yang cuma “pelayan” dan “pembantu” ini.
Syukurlah, melalui hidup bersama di rutum saya belajar dan dapat mengidentifikasi mana pemimpin yang “ing ngarso sung tulodo”, mana pemimpin yang “ing madya mangun karsa”, dan mana pemimpin yang “tut wuri handayani”. Sehingga saya terus mengikutinya, menemaninya kapan-pun dan di mana-pun saja. Sambil terus mendayagunakan panggung, sastra, puisi, dan teater ke mana-mana sebagai komunikasi-interaksi-dialog sosial. Tapi kami bukan komunitas sastra. Profesi kami bukan sebagai seorang seniman, penyair, maupun budayawan. Kesenian dan kebudayaan bukanlah suatu profesi. Karena profesi adalah menjalankan atau mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan penghasilan. Mencari duit saja kami belum mahir, apalagi dengan atau di sastra. Meski terkadang kami menggunakan panggung untuk mencari uang tetapi di wilayah yang diperbolehkan untuk mendapatkan uang.
Baru sekarang saya menulis dan membuat saya menertawakan diri sendiri; rutum bukan komunitas tempat berkumpulnya orang yang sama-sama, melainkan orang yang memilih hidup bersama. Orang berkumpul mencari dunia, mungkin rutum mencari akhirat, tapi juga tidak melupakan dunia. Sebagaimana duit itu dunia, tapi seandainya dipergunakan sebaik-baiknya dan bermanfaat untuk orang banyak itu akhirat. Dunia-akhirat itu yang satu kelihatan, dan lainnya lagi tidak kelihatan. Tapi kalau tidak punya keluasan hidup, kejembaran hati, keterbukaan pikiran, maka akan banyak tidak pahamnya, atau mungkin sukar untuk memahami rutum.
Hal di atas juga dibutuhkan untuk membedakan mana Negara mana pemerintah. Kalau pakai analogi, keluarga dan rumah tangga itu tinggi mana. Rumah tangga itu urusan listrik, dapur, dan segala urusan teknis keduniaan. Sedangkan keluarga itu nilai, rasa, yang kemudian kalau ditekniskan menjadi urusan rumah tangga. Jadi, semestinya Negara itu keluarga, pemerintah itu rumah tangga. Jelaslah bahwa ini Negara yang mungkin bukan Negara. Tapi sudahlah kami terlanjur hidup bersama dan bergelora hidup di rutum kecil papa. Setidaknya dengan hidup begini kami belajar tentang apa saja yang menjadi urusan rumah tangga dan keluarga.
Rutum mau disebut apapun tak masalah, begitupun saya. Karena melalui rutum, mungkin berbuat baik saja belum, apalagi bermanfaat. Maka sekarang tinggal bagaimana rutum dapat menentukan plus merumuskan gagrak aji-nya secara bersama-sama—yang bukan berdasar teknis urusan rumah tangga, bukan hanya remeh, bukan sekedar mencari uang, melainkan juga mencari kebermanfaatan, mencari kenikmatan dalam berbuat baik, mencari keikhlasan, mencari kemuliaan hidup. Amin-amin insyallah. Insyallah amin-amin.
26 November 2024
Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.