dok. museum nasional indonesia
Yang bertanya kepada hutan
Jawabnya rumah
Yang bertanya kepada sungai
Jawabnya tanah
(Marhalim Zaini)
Memasuki bulan desember, terkenang lagi saya pada cerpen Hamsad Rangkuti “Sampah Bulan Desember” bercerita tentang seonggok sampah yang mengalir di kali Ciliwung. Segala macam sampah mengalir menjadi satu kumpulan sampah. Ini bukan sekedar cerpen, tetapi potret tajam mengenai ketimpangan dan ironi dalam masyarakat. Dengan nada satir plus tragis, ia selalu mengisahkan tentang kemiskinan dan orang-orang miskin. Perhatiannya pada kehidupan marjinal, gelandangan dan kelaparan, kaum yang tergusur membuat dirinya ikut mengalami penggusuran karena pembangunan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS/TPSS). Di masa tuanya, ia tak bisa memilah napas baik dari udara segar dan napas buruk dari gunungan sampah. Keduanya telah menyatu di dalam tubuhnya dengan tambahan oksigen. Sebelum pada akhirnya, ia terpaksa pindah dan tinggal di rumah petak berukuran 3,5 x 5 meter, hingga akhir hayatnya.
Setelah itu giliran desember kini penuh laporan waspada cuaca, hujan bersitegang dengan angin kencang. Pertempuran antara angin dan hujan telah menggugurkan daun-daun tua, lalu berserakan memenuhi pelataran rumah. Dedaunan itu dari tanaman (hias) merambat antara lain ada Tumbergia, Melati Belanda, Mandevilla, Morning Glory, dan yang menggantung ada Wijayakusuma—konon, dianggap sebagai bunga pemelihara alam semesta. Sementara di sudut lain, ada pohon kaktus yang tingginya hampir menyundul atap rumah. Adapula seekor Iguana yang sebelumnya dipelihara-kandangin, tapi kemudian lepas dan memilih hidup merdeka dengan menetap di sela-sela batang merambat.
Karena hutan, rumah sepetak-petak dua pintu berdampingan itu dihiasi dan dipenuhi oleh tanaman bunga rambatan agar senantiasa ingat hutan. Karena rumah, sementara saya masih bisa menyaksikan pelataran laiknya “rimba buatan” yang selalu membuat saya terkenang pada hutan dan ingin kembali mengembara.
Ketika sedang menjalani rutinitas keseharian, kadang-kala saya merasakan betapa tanaman rambatan, bunga-bunga, kaktus, iguana (dan atau hewan lain), dan alam sekitarnya itu memang tidak mempengaruhi-membangkitkan tenaga, tetapi lewat pernapasan mungkin dapat ditampung-diserap oleh badan. Kehadiran mereka juga kerapkali menimbulkan daya tangkap yang jernih serta daya sensitivitas yang peka. Itulah sebabnya saya ingin membahas tenaga, badan, dan alam sekeliling.Tenaga adalah daya kemungkinan untuk melakukan aktivitas atau menggerakkan sesuatu. Badan adalah tubuh manusia secara keseluruhan. Sedangkan alam sekeliling adalah lingkungan kehidupan di sekitar kita. Adanya hubungan antara tenaga, badan, dan alam sekeliling membuat ketiganya saling mempengaruhi satu sama lain. Semisal, kalau musim penghujan disertai angin kencang begini, alam sekitar pelataran rumah pun berubah. Sebagaimana air (kalau lagi banjir) berubah dari bersih menjadi kotor, demikian pula alam dan udara menjadi kotor. Itu artinya negatif.
Kemungkinan manusia yang tinggal di tempat itu juga akan berubah, karena telah menghirup udara kotor, kondisi tubuh akan berubah, maka akan terjadi perubahan karena alam. Apalagi kalau saat metabolisme tubuh tidak stabil, berbagai masalah kesehatan akan muncul seperti kenaikan berat badan, gampang letih dan lesu, gangguan konsentrasi, sakit kepala, dan lain-lain.
Karena memang badan manusia berhubungan erat dengan alam melalui pernapasan. Ketika kita bernapas, kita mengambil segala unsur positif dan negatif dari alam. Dalam kehidupan sehari-hari, kita membutuhkan keduanya guna keseimbangan di dalam tubuh. Inilah yang menyebabkan manusia terus bergerak sampai berhenti berdetak, sambil terus berkesadaran (sebagaimana alam juga mempunyai kemampuan) untuk membedakan mana baik mana buruk. Lantaran setiap manusia punya karakter berbeda-beda, hal ini juga bergantung pada faktor alam yang mungkin sedemikian akrab sejak kecilnya.
Tetapi, acapkali saya memandang ekosistem alam, air sungai telah mengalirkan sampah, penebangan pohon semakin liar, pencemaran tanah akibat limbah industri, perampasan lahan, perampokan sumber daya alam berlebih-lebihan, dan berbagai kerusakan lingkungan hidup demi menerapkan prinsip sustainability (keberlanjutan) dalam waktu minimal dengan keuntungan maksimal. Modal kecil dapat laba sebanyak-banyaknya. Ujung-ujungnya duit. Namun, kita semua yang akan, bahkan terpaksa menanggung akibatnya dengan terus mendekap erat keadaan miskin dan kelaparan, sedangkan mereka cuma duduk leha-leha menonton berita sambil makan-makanan cepat saji.
Kalau udara tercemar, lingkungan hidup kotor, hutan dirusak, alam sekeliling disulap menjadi angka-angka dan nominal, lantas bagaimana caranya kembali menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan alam? Sedangkan pohon-pohon yang memerlukan tanah untuk tumbuh telah ditebang-babat-habisi sampai akar-akarnya. Pohon kehilangan tanah rumahnya. Sebagian manusia kehilangan tanah hidupnya. Tanah kehilangan pohon yang telah memberi banyak manfaat buat manusia. Manusia mengolah pernapasan dari pohon dan alam sekeliling. Tapi perubahan polusi udara yang ditampung oleh pohon-pohon tak kunjung membuat manusia belajar menikmati dan berlaku rendah hati. Ini baru perkara pohon, tanah, dan manusia, tapi terkadang kita meremehkan plus merendahkan seolah-olah tak punya dampak bagi badan maupun alam beserta lingkungan hidup.
Maka sudahlah saya mengutip sajak Rendra, “Aku akan masuk ke dalam hutan. Lari ke dalam hutan. Menangis ke dalam hutan. Karena mereka telah memisahkan kami.” Manusia yang dihidupi oleh hutan, seharusnya lebih banyak menghidupi hutan. Semoga keretakan hubungan ini tidak hanya minta untuk selalu dituliskan, disuarakan, dipanggungkan, melainkan juga untuk dilakukan dan menjadi perbuatan sehari-hari. Karena tak pernah terbayangkan bila anak-cucu kita kelak harus “menziarahi” hutannya karena punah. Punah!
7 Desember 2024
Aktif berteater bersama Paseduluran Lidah Daun. Menulis puisi, esai, dan sejumlah drama. Tinggal di Pamulang, di padepokan Rumah Tumbuh Muthmainah.